Konon, dalam soal finansial, manusia itu pasti jatuh di setidaknya salah satu dari 4 kuadran: menjadi karyawan (employee), menjadi karyawan sendiri (self-employee), menjadi pengusaha, atau menjadi investor.
Sebagian besar orang jadi employee, dengan grade dari buruh tani, sopir angkot milik orang, sampai PNS, karyawan swasta, hingga yang pangkat tertinggi seperti Dirjen atau Presdir. Semuanya employee. Ada majikannya. Ada gajinya. Dan suatu saat akan dipensiun atau dipecat. Sebagian besar lagi jadi self-employee, dengan grade dari tukang ojeg, pedagang asongan, tukang pijat, hingga penulis, artis, arsitek, dokter, programmer freelance, atau pengacara. Cuma sedikit yang bisa jadi pengusaha. Mereka inilah yang mencari penghasilan dengan membangun sistem bisnis dengan menggerakkan modal dan tenaga orang lain, sehingga kalau sudah running, bisa punya passive income.
Yang mau loncat mendapatkan passive income biasanya adalah investor. Mereka tidak punya waktu, skill dan kesabaran untuk membangun sebuah sistem bisnis. Sebagian dari mereka notabene employee atau selfemployee yang punya sedikit atau banyak kelebihan uang. Mereka akan menyerahkan modalnya ke pengusaha, kemudian menunggu bagi hasil. Sebagian kecil investor ini akhirnya mendapatkan bagi hasil yang lumayan, sebagian besar mendapatkan bagi hasil tetapi hanya sedikit lebih besar di atas bunga deposito, dan sebagian besar lagi kecele, investasinya berkurang atau bahkan raib sama sekali. Sebagian karena investasi di tempat yang salah, sebagian karena ditipu mentah-mentah.
Sebagain peneliti dan dosen, saya seorang employee. Sebagai PNS majikannya adalah pemerintah. Sebagai dosen tidak tetap, majikannya berganti-ganti, kadang perguruan tinggi negeri A, kadang juga perguruan tinggi swasta B, dsb.
Sebagai penulis buku, saya seorang self-employee. Alhamdulillah, buku saya laku, bahkan cukup laris. Kalau itu saya terbitkan sendiri, mungkin saya juga pengusaha, walaupun tidak full-time. Di Indonesia, ada aturan PNS tidak boleh bisnis. Ada perkecualian untuk guru atau dokter. Selain itu harus minta ijin Menteri Keuangan. Wuiih … Tapi tanpa diijinkan saja, sekarang banyak PNS bisnis tidak resmi, pakai nama istri, anak, keluarga besar dsb. Bisnisnya masuk jadi rekanan kantor, atau jadi calo proyek, dan hasilnya banyak pengadaan barang dan jasa yang tidak objektif lagi.
Tetapi kalau jadi investor, sepertinya semua orang bisa dan boleh. Asal ada uang. Banyak atau sedikit relatif, tergantung invest di bisnis apa.
Paling gampang invest di properti, khususnya tempat kos-kosan. Syaratnya: tempatnya dekat dengan perkantoran atau kampus. Pangsanya, pegawai kantoran kelas menengah, atau mahasiswa yang cukup berduit. Dari mana tahunya? Makin mahal sekolahnya (misalnya Kedokteran, atau FE sekolah swata yang bergengsi) biasanya makin tebal koceknya. Tetapi biasanya lokasi strategis untuk kos-kosan seperti ini sudah habis. Kalau ada yang menawarkan take-over, sudah mahal sekali. Coba kalkulasinya begini: tempat kos-kosan dengan 20 pintu, lokasi strategis, kamar mandi di dalam, ada tempat parkir, bisa ditawarkan pada kisaran harga Rp. 1 Milyar. Kalau ini disewakan per pintu Rp. 500.000/bulan, dan full-occupied, maka penghasilan tahunan adalah Rp. 120 juta. Maka dengan mengabaikan inflasi, Break Event Poin baru terjadi setelah 9 tahun. Kalau kita mau tambah invest furniture dan pasang AC misalnya (otomatis juga naikin daya PLN), maka kamar bisa disewakan Rp. 1 juta/bulan atau bahkan lebih. Jadi BEP bisa lebih singkat. Mau lebih asyik lagi, buka sekalian layanan catering atau laundry. Kita upah saja satu keluarga muda untuk maintainance kos-kosan tadi, sambil melayani laundry dan catering itu. Tapi sekali lagi, lokasi harus strategis dan pangsa pasar yang baik. Kalau dapatnya mahasiswa yang suka berkelahi, mabuk, atau bahkan narkoba, alamak! Habis sudah reputasinya. Bukan cuma uang kos yang jadi susah ditarik, tetapi juga penghuninya lama-lama bisa habis.
Banyak orang yang jualan training motivasi bisnis atau sedang menjaring investor, hanya bercerita KISAH SUKSES. Padahal di dunia bisnis dapat dikatakan, untuk 1 kisah sukses, ada 10 kisah “gak jelas” (sukses belum, dibilang gagal juga tidak) dan 100 KISAH GAGAL. Tetapi kisah gagal ini jarang sekali ditulis untuk ditarik pelajaran. Makanya kegagalan yang sama terus saja terulang. Di tulisan ini saya akan sedikit menunjukkan kisah-kisah gagal. Walaupun secara keseluruhan saya tidak gagal. Saya mendapat banyak ilmu, banyak teman, dan alhamdulillah, zakat maal saya dari tahun ke tahun ternyata terus meningkat, meskipun gaji saya sebagai PNS ya tetap segitu-segitu saja 🙂
Saya pernah mencoba invest pada rekan yang dapat proyek renovasi pasar. Saya cuma ikutan 4 kios. Semula sangat menjanjikan. Tetapi ternyata lama-lama bermasalah juga. Masalahnya ada yang terletak pada teenant (penghuni kios). Ternyata ada penghuni yang merasa harga kios itu terlalu tinggi, dan menolak mencicilnya di atas harga yang menurutnya masih wajar, meskipun kami masih sedikit untung. Dan di pasar itu, kadang-kadang yang berlaku logika kekuatan, bukan kekuatan logika, sehingga rekan saya yang menjadi principal dalam proyek renovasi itupun akhirnya keder juga (gak berani nagih). Pada saat yang sama – dasar orang pasar – rekan saya tadi tiba-tiba tertarik ke proyek lain, sehingga uang saya yang masih dipegangnya langsung dipinjam untuk diinvestkan ke sana, tanpa konsultasi dulu. Ternyata proyek lain itu macet. Untuk mendapatkan kembali uang saya, saya harus melalui perjuangan yang cukup alot, karena rekan saya itu ternyata tidak takut sama hukum yang katanya buatan manusia. Saya terpaksa memakai jurus, bahwa saya akan mengadukannya kepada Tuhan, karena saya merasa didholiminya. Akhirnya setelah molor beberapa tahun, rekan saya itu akhirnya mengembalikan uang saya yang dipinjamnya. Kalau dalam Rupiah akhirnya balik modal sih, dari Rp. 50 juta, balik Rp. 53 juta, tapi kalau dihitung inflasi ya tetap saja tekor.
Itu pelajaran pertama jadi investor cerdas: jangan mau uang bagi hasil dipinjam oleh pengelola.
Lalu saya mencoba invest warung sembako. Ada teman yang pernah menjadi karyawan toko sembako milik orang. Dia sudah kenal baik bisnis ini. Nah, pada skema investasi ini, dia jadi pengelolanya. Ternyata setelah jalan lumayan juga. Investor dapat rata-rata Rp 2 juta per bulan dari modal Rp. 25 juta. Saya bisa memperkirakan, bahwa pengelola yang nisbahnya lebih tinggi, pasti dapat hasil yang juga lumayan saat itu. Tapi suatu hari, rupanya dia tergoda untuk menjadi employee. Mungkin karena merasa, ijazah S1-nya lebih terhargai, daripada jualan sembako yang tidak perlu ijazah. Sekalipun gaji sebagai employee itu tidak sebesar penghasilan sebagai pengusaha. Atau dia optimis bisa disambi. Warung itu akhirnya dia serahkan pengelolaan hariannya ke iparnya. Tapi rupanya iparnya tidak punya passion sebagai pengusaha. Kinerja mulai turun. Tapi dia rupanya juga tidak tega untuk memecat iparnya. Takut mengganggu hubungan keluarga. Akhirnya, di tangan iparnya itu warung semakin surut, sampai akhirnya bubar. Hampir sama dengan pelajaran pertama. Dari Rp. 25 juta, balik Rp. 28 juta setelah bertahun-tahun … sehingga kalau dihitung inflasi tetap tekor juga.
Ini pelajaran kedua: jangan ijinkan pengelola men-sub-kan tanggungjawabnya sebagai pengelola.
Kemudian saya ditawari invest wartel & warnet. Awal tahun 2000-an, bisnis itu masih lumayan, karena pemilik Handphone belum sebanyak sekarang, dan belum banyak HP yang bisa dipakai internetan. Tapi ini bisnis yang praktis paling gelap yang pernah saya alami. Rp. 50 juta nyaris tidak kembali. Sebenarnya mitra saya ini orang yang amanah, bahkan ustadz. Tapi mungkin saking bersihnya hatinya, dia tidak curiga apa-apa ketika pesan komputer untuk warnet itu ke seseorang yang ternyata penipu. Bahkan saking percayanya, ketika setor uang dia tidak minta tanda terima! — sampai akhirnya ternyata komputer itu tidak pernah dikirim. Saya cuma bisa istighfar. Akhirnya cuma yang wartel yang jalan. Tentu saja, overhead menjadi tidak efisien. Dan setelah jalan kurang lebih setahun, akhirnya semua ditutup. Bisnis ini sudah digilas oleh teknologi Handphone yang makin murah. Belakangan masih ada orang lain yang menyangka bisnis warnet masih menjanjikan dan mengajak invest. Tapi saya sudah terlanjur mendengar, di banyak tempat lain ada saja investor warnet yang menderita kerugian yang lebih besar. Dari kasus ini saya mendapat sekaligus dua pelajaran:
Pelajaran ketiga: masukkan dalam klausul aqad, bahwa investor menanggung kerugian bisnis, tapi bukan kelalaian pengelola yang tidak menjalankan praktek bisnis yang standar – misalnya setiap transaksi non tunai, wajib ditulis dan disaksikan!
Pelajaran keempat: hati-hati bila masuk ke bisnis yang sangat dipengaruhi perkembangan teknologi.
Petualangan investasi saya berlanjut pada investasi karya cipta. Ada dua mitra. Yang satu mengajak invest pada buku yang akan ditulisnya. Teorinya, buku itu kalau sudah terbit, royaltinya akan lumayan. Sedang yang kedua invest untuk membuat VCD keislaman.
Pada proyek buku, nilai investasinya akan dipakai oleh sang penulis untuk pengadaan seperangkat komputer dan biaya hidup dia selama fokus menulis. Hasilnya memang buku yang saya nilai sangat bagus dan menarik. Tetapi rupanya logika penerbit bisa berbeda. Meski buku-buku itu diterbitkan oleh sebuah penerbit nasional yang besar, tetapi rupanya di toko buku ditaruh pada rak yang kurang tepat, sehingga tidak selaris yang diharapkan. Royalti 10% dari harga buku yang sekitar Rp. 30.000, kalau dikalikan oplag yang lazimnya di penerbit itu 5000 exemplar, mestinya cukup untuk balik modal. Tapi mungkin memang penjualan tidak sampai sebanyak itu. Faktanya kita juga tidak bisa mengontrol benar tidaknya laporan penerbit. Atau mungkin di lapangan, buku itu dibajak habis-habisan oleh mereka yang tanpa pandang bulu berprinsip “Tidak ada copyright dalam Islam” – walaupun itu berarti mendholimi penulis dan investornya. Pada bisnis ini modal hanya balik kurang dari 40%. Sisanya saya niatkan di-shadaqahkan saja, tapi boleh tidak ya men-shadaqahkan sesuatu yang belum di tangan? Ah, biarlah, yang jelas buku itu semoga bermanfaat luas.
Pelajaran kelima: kalau bisnis karya cipta, lebih baik terbitkan dan distribusikan sendiri, serta siap-siap mengantisipasi pembajakan.
Pada proyek VCD, risiko pembajakan bisa lebih besar lagi. Karena itu distribusi harus lebih cepat lagi, agar sudah balik modal sebelum VCD dibajak orang habis-habisan. Alhamdulillah, di sini mitra saya memang kafa’ah dan amanah. Ini salah satu investasi saya yang cukup menguntungkan. Sampai suatu saat, ada orang yang merasa keberatan dengan salah satu isi VCD tersebut. Dia protes pada jama’ah tempat mitra saya bernaung. Jama’ah meminta mitra saya mengedit bagian VCD itu. Mitra saya rupanya bertahan, karena menurut persepsinya, isinya sudah benar. Karena deadlock itu, jama’ahnya kemudian melarang VCD yang belum diedit itu beredar. Mitra saya membalas dengan keluar dari jama’ah itu, berhenti membuat VCD, dan akhirnya investasi saya di bidang ini juga berhenti.
Pelajaran keenam: untuk karya cipta, cari mitra yang flexible, bersedia untuk memperbaiki apa yang bisa menghambat bisnis.
Kemudian ada tawaran investasi di suatu lembaga pendidikan. Lembaga ini cukup memiliki nama nasional, dan cabangnya yang didirikan dengan sistem waralaba ada di mana-mana. Ada teman yang sudah kerja di sana, dan diajak mendirikan waralaba baru. Saya diajak. Ternyata biaya investasi totalnya cukup besar, sehingga total investasi saya yang terasa sudah cukup besar itu nilainya hanya 10% ! Pada tahun-tahun pertama bagi hasil bagus. Tetapi kemudian, konon pemilik merk mulai mengobral waralabanya. Dari semula di satu kecamatan cuma boleh ada 1 waralaba, kemudian jadi seperti tidak dibatasi. Akhirnya terjadi over-kompetisi antar cabang, padahal merk yang sama. Akibatnya bagi hasil semakin kecil. Dulu setahun bisa bagi hasil tiga kali, tetapi kini tinggal sekali. Kondisi ini diperparah, karena pengelola cabang adalah juga pemodal yang memiliki saham sendirian lebih dari 60%, sehingga apa-apa nyaris bisa dia putuskan sendiri. Pemodal yang lain kadang merasa dilewati begitu saja. Bahkan laporan keuangan saja sudah lama tidak diberikan. Setelah bertahun-tahun memang modal Rupiah sudah balik , laba bahkan sudah lebih besar dari bunga deposito atau inflasi, tetapi kalau diukur dengan harga emas, ternyata masih belum balik modal. Kalau mau keluar juga ternyata nilai modal kita sudah susut cukup jauh, tinggal setengahnya. Jadi buah simalakama.
Pelajaran ketujuh: kalau pengelola sekaligus juga pemodal yang dominan, akan susah mengawasinya.
Menjadi investor memang tidak mudah, terlebih kalau bidang investasinya tidak terlalu diketahuinya. Lha yang diketahui dengan baik saja belum tentu beres. Saya pernah diajak invest di bidang kuliner. Sebenarnya kuliner termasuk yang tidak canggih-canggih amat, banyak ditulis di media bisnis, dan ada satu-dua tetangga atau famili kita yang punya pengalaman di bidang ini. Pendapatan kotor hariannya ada di kisaran 100% dari modal bahan harian. Kalau punya tempat, modal tidak usah besar. Itulah yang saya pegang. Tetapi setelah berjalan setahun (setahun adalah waktu minimal untuk kita mengevaluasi, apakah investasi kita berjalan sehat atau tidak), saya cuma bisa “meringis”. Pengelolanya rupanya secara simultan mengelola berbagai jenis usaha, dan sepertinya ada bisnis lain yang lebih “joss”, sehingga bisnis kuliner ini dipegang sambil lalu. Indikator pertama tampak dari laporan yang tidak pernah tepat waktu. Kedua tampak dari rasio pendapatan kotor harian pada modal harian yang jauh dari kenormalan sebuah bisnis kuliner. Kalau yang jadi alasan adalah faktor cuaca dan SDM, saya hanya bisa memahami kalau terjadi sebulan dua bulan. Tapi ini konstan selama setahun. Pasti karena salah kelola. Boleh saja sih pengelola memegang berbagai jenis bisnis sekaligus, asalkan sudah punya sistem yang running, dan punya SDM yang mantap. Tetapi kalau akuntansi standar saja baru belajar, dan SDM asal comot dengan training ala kadarnya, wah udah dech. Yang bikin “nyesek” itu, setiap beberapa bulan, dia mengaku sudah harus menalangi kerugian dengan dana pribadi, dan minta ganti ke investor, karena menurutnya, “kerugian kan ditanggung pemodal”. Jumlahnya cukup besar. Akhirnya beberapa kali saya terpaksa menambah modal, yang trend menurut laporan keuangannya berkecenderungan bakal tidak balik. Tetapi kalau talangan dana pribadinya itu dikonversi jadi modal, lama-lama seluruh usaha akan diambil-alih olehnya. Padahal kita tidak pernah bisa verifikasi, sebenar apakah yang dia bilang “rugi” itu, otomatis sebenar apakah dia telah “menalangi”. Bisnis memang jadi susah kalau trust tidak dijaga dengan baik.
Pelajaran kedelapan: pengelola silakan mengurus berbagai jenis bisnis, asal sudah ada sistem yang running dan SDM yang mantap.
Tetapi ada yang lebih konyol lagi. Ada lulusan D3 perikanan sebuah kampus pertanian top negeri ini yang membuat proposal bisnis budidaya lele. Ini saya kira proyek yang sangat tidak canggih, tetapi bakal dipegang ahlinya. Saya tidak ragu-ragu untuk invest. Ada dua orang yang invest di dua proyek yang berbeda. Yang seorang (si A) dengan aqad mudharabah (bagi hasil), yang seorang (si B) dengan aqad murabahah (membeli barang modal secara cicilan, jadi saya membelikan seluruhnya lalu dia mulai mencicil ke saya dengan harga setelah dimarkup).
Perkembangannya, setelah beberapa bulan, si-A tiba-tiba melaporkan bahwa dia akan menutup usahanya. Dia mengembalikan modal saya ditambah bagi hasil. Jadi lumayanlah. Tetapi info yang belum saya verfikiasi (karena si A ini ada jauh di tempat lain), sebenarnya usahanya jalan terus, hasilnya bagus, tetapi dia memang tidak ingin berbagi dengan orang lain. Jadi setelah bagi hasilnya lebih tinggi dari modal, dia kembalikan, seolah-olah itu utang. Padahal mestinya saya kan dapat bagi hasil terus selama proyek itu masih jalan.
Pelajaran kesembilan: hati-hati dengan mereka yang kalau untung, merasa sudah cukup bila bagi hasilnya sedikit lebih tinggi dari bunga deposito, atau bahkan mengkonversi mudharabah jadi seakan-akan aqad utang.
Sedang perkembangan si B, rupanya diam-diam punya masalah dengan tempat kontrakannya. Dia pindah dua kali, sambil membawa seluruh proyek lele itu. Ternyata ilmu teknisnya tidak diimbangi dengan sikap gentle, berterus terang baik kepada orang yang dikontraknya maupun kreditornya. Ketika ada masalah lagi, dia bahkan lari bersembunyi ke desa asalnya ! Anggota keluarganya yang pernah memberi jaminan pribadi kepada saya sampai malu dan berkali-kali minta maaf atas kelakuannya. Tapi ya sekedar minta maaf saja, karena mengganti uangpun dia tidak sanggup, padahal di sini aqadnya murabahah. Jadi kalau si B rugi, itu bukan tanggung jawab saya, tetap saja barang saya harus dia bayar.
Pelajaran kesepuluh: hati-hati juga dengan mereka yang kalau rugi, ingin mengkonversi aqad murabahah jadi aqad mudharabah, sehingga tiba-tiba kreditornya harus ikut menanggung kerugiannya.
Bicara soal berbagai jenis aqad syari’ah seperti wadiah (titipan), murabahah (pembelian dengan cicilan), mudharabah (pemodalan) dan musyarakah (joint-venture), saya pernah juga invest pada suatu lembaga pembiayaan syari’ah. Motivasinya sip, menghindarkan ummat dari riba dan aqad-aqad bathil lainnya. Aqad mu’amalah yang bathil itu banyak, tidak cuma riba. Di beberapa bank syari’ah, sebagian aqad-aqad bathil ini juga masih ada. Mungkin yang salah bukan fatwa DSN-MUI, tetapi bagaimana mencocokkan fakta apa yang mau dihukumi dengan fatwa yang mana. Seharusnya syari’ah itu menjadi solusi yang tepat untuk problema yang tepat. Nah untuk memberi jalan keluar, maka didirikanlah suatu lembaga pembiayaan dengan niat pertama 100% syari’ah. Ada tiga orang yang bersama-sama menjadi pengelola. Jumlah investor yang berhasil dihimpun cukup banyak, dan akhirnya lembaga ini bisa running. Dalam kenyataannya, karena dana yang terkumpul tidak sampai hitungan M, maka yang bisa dibiayai juga baru kecil-kecilan saja, seperti beli laptop atau beli motor. Skema yang dipakai nyaris hanya murabahah, dan yang dibiayai baru objek yang cicilannya maksimum 2 tahun. Lebih dari itu kata orang Sunda lieur (capek) … Realitanya, bagi hasil cukup lumayan. Tetapi beberapa tahun kemudian terasa mulai ada masalah. Ternyata tiga pengelola ini mulai kurang kompak. Ada persoalan perbedaan waktu yang diluangkan, yang sebenarnya sudah diantisipasi dengan pembagian profit di antara mereka yang tidak sama, juga karena ada yang dianggap memiliki jasa di masa lalu (intangible asset) yang lebih besar. Kemudian muncul juga beberapa perbedaan pemahaman fiqih, misalnya salah satu berpendapat bahwa memiliki rekening di bank konvensional itu haram sama sekali. Akibatnya, beberapa debitor menjadi kesulitan dalam mencicil, karena rekening banknya yang dibuatkan oleh perusahaan tempatnya bekerja, adalah bank konvensional. Akhirnya, usaha yang sebenarnya punya potensi cukup bagus ini bubar. Yang repot, ketika berhenti, tidak otomatis urusan selesai, karena masih banyak uang investor yang sedang beredar di nasabah. Ini juga salah satu perbedaan bisnis keuangan dengan bisnis yang lain. Dua dari tiga pengelola sepakat membentuk lembaga baru, sambil mengurus pengembalian investasi lama, mereka mengajak investasi di lembaga baru. Tapi sepertinya tidak semua investor tertarik.
Pelajaran kesebelas: Untuk mengelola bisnis keuangan syari’ah, tidak cukup hanya bermodal ghirah Islam yang tinggi, tetapi perlu juga pemahaman proses bisnis sebuah lembaga keuangan yang lengkap, dan wawasan fiqih yang tepat untuk itu.
Sepertinya pengembaraan saya sebagai investor di belantara bisnis belum akan berakhir. Selangkah demi selangkah saya mendapat banyak pelajaran. Kadang-kadang memang uang belajarnya cukup mahal. Saya mencoba mempercepat proses belajar itu, selain dengan mendengar dari mereka yang sudah lebih dulu jatuh bangun, membaca kisah-kisah sukses (dan tentunya juga kisah gagal – karena ini jarang sekali ditulis, maka saya tulis di sini), juga dengan mengamalkan pasal 280 Kitab Undang-Undang Sapi Betina he he … maksudnya ayat 280 QS Al-Baqarah: “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. 2:280)”. Saya merasa, dengan mengamalkan ayat ini, maka uang saya yang sepertinya telah hilang, itu justru kembali dan abadi. Dan mereka yang berhutang itu, mungkin suatu saat akan bisa membayar utangnya, tetapi nilainya, setelah disedekahkan, tidak akan bisa mereka bayar lagi sampai kapanpun.
Setiap ada mantan mitra saya berikan pembebasan berdasarkan ayat itu, saya katakan padanya, agar kalau suatu saat dia sudah sukses berbisnis, jangan lupa sisihkan keuntungannya untuk membantu teman-teman lain pengemban dakwah yang sedang belajar berbisnis. Alhamdulillah beberapa di antara mereka setelah sekian tahun ternyata sukses, walaupun ternyata jenis bisnisnya itu berbeda dengan yang dulu diia coba bersama saya.
Sebenarnya indikator investasi yang sehat itu tidak sulit: “bisnis sehat – cashflow sehat”. Kalau cashflow berdarah-darah, pasti tidak sehat. Tinggal dilihat, tidak sehatnya itu karena “pola makan yang tidak sehat” (dalam arti kelemahan pengelola), atau “cuaca yang sedang tidak bersahabat” (dalam arti kondisi external seperti pasar, kompetitor atau regulasi pemerintah), atau “ada penyakit genetis” (proses bisnisnya sendiri ada masalah, bisa syar’i, bisa teknologi, dll). Tapi yang repot itu kalau pengelolanya memang cari penyakit (misalnya melakukan “perselingkuhan bisnis”).
Secara keseluruhan, dari berbagai cabang investasi yang pernah saya ikuti, dapat dibilang saya tidak rugi dalam Rupiah. Bahkan alhamdulillah, zakat maal saya naik terus! Kerugian di salah satu investasi, ternyata terkompensasi di investasi yang lain. Benar juga nasehat “jangan taruh seluruh telor di satu keranjang”. Tetapi memang secara keseluruhan, investasi baru menghasilkan sedikit di atas bunga deposito. Masih terlalu kecil untuk ukuran bisnis sektor real. Masih kalah dengan inflasi. Apalagi bila dihitung dengan standar emas. Kadang-kadang terpikir juga, “mending uangnya dibelikan emas saja, disimpan saja, toh harganya naik terus, sekalipun tiap tahun dikeluarin zakat, tetap saja perolehannya lebih besar”. Tapi kalau seperti ini, saya tidak dapat ilmu, tidak tambah sahabat, juga tidak memberdayakan ekonomi, tidak membuka lapangan kerja, tidak menjadi jalan rezeki banyak orang, dsb
Jalan untuk menjadi pengusaha memang tidak mulus. Menjadi investorpun juga tidak mulus. Apalagi menjadi investor yang cerdas. Ini baik di skala pribadi maupun skala negara. Jangan heran, banyak BUMN merugi, atau sumbangannya pada APBN amit-amit kecilnya, karena negara sebagai investornya kurang cerdas. Tapi tidak perlu heran, karena memang banyak orang yang malas mengikuti proses seperti ini, akhirnya terjebak pada investasi yang tidak syar’i, atau investasi bodong yang penuh tipu daya, yang meski di luar dibungkus dengan embel-embel syariah, bahkan aktornya konon juga pejuang syariah, tetapi investor yang sudah cerdas akan segera mengenali, bahwa bisnis semacam itu penuh kejanggalan. Alhamdulillah, sedikit pengalaman saya di atas mampu melindungi saya dari beberapa kali tawaran investasi abal-abal seperti itu. Alhamdulillah.
Dr. Fahmi Amhar
Apa yang ada di benak para pelajar kita ketika mereka wajib mempelajari bahasa asing di sekolah? Setelah matematika, Bahasa Inggris adalah pelajaran momok di sekolah-sekolah umum. Sebagian besar sekolah memberi pelajaran Bahasa Inggris di level SMP dan SMA atau total selama enam tahun. Sebagian lagi bahkan memberi pelajaran ini sejak kelas 1 SD. Hasilnya? Sekedar cukup untuk Ujian Nasional? Cukup untuk menebak makna di balik judul film atau lagu Barat? Untuk isinya nanti dulu. Kalau buat kerja, bahasa Inggris di sekolah tersebut juga jelas belum cukup. Bagaimana kalau untuk belajar ke luar negeri? Atau untuk jadi diplomat? Makanya TKI kita di luar negeri mayoritas hanya mendapat pekerjaan kasar yang murah, salah satunya karena keterbatasan bahasa.
Itu baru untuk bahasa Inggris. Konon, di dunia ini kalau mau maju ya harus pandai berbahasa Inggris. Ini adalah mitos yang tak sepenuhnya benar. Maju tanpa berbahasa Inggris bisa, tetapi harus pandai berbahasa Perancis, atau Jerman, atau Jepang atau Rusia. Pendek kata, bahasa negara-negara juara sains dan teknologi saat ini.
Yang jelas motivasi belajar bahasa di dunia Islam saat ini sangat memprihatinkan. Kalaupun ada, mayoritas karena motivasi materialistik (“Biar mudah cari kerja”). Walhasil Bahasa Inggris tidak dikuasai, Bahasa Arab tidak bunyi, dan Bahasa Nasional tidak peduli, tidak digunakan dengan baik dan benar. Orang menggunakan bahasa amburadul, karena menguasainya juga cuma setengah-setengah. Mempelajarinya hanya bermodal semangat, tanpa kesabaran, padahal tanpa kesabaran, belajar bahasa tidak akan pernah jadi.
Ini berbeda dengan masa ketika Daulah Islam masih menjadi negara adidaya, atau terobsesi menjadi negara adidaya. Generasi awal Islam masih sangat terobsesi oleh beberapa sabda Rasulullah, bahwa orang-orang mukmin adalah umat terbaik yang dikirim Allah ketengah manusia, kemudian bahwa mereka diperintahkan untuk untuk mencari ilmu sekalipun sampai negeri Cina.
Maka kita bisa amati berbagai fenomena bahasa di dunia Islam generasi awal:
(1) kegandrungan para ilmuwan – terutama dari non native speaker – untuk menyusun struktur bahasa Arab, sehingga dari bahasa Arab ke bahasa yang lain dan sebaliknya dapat disusun rumusan sederhana yang memudahkan pembelajaran dan penerjemahan.
(2) upaya sistematis mendidik seluruh warga negara agar menguasai bahasa Arab sebagai bahasa Islam, bahasa persatuan, dan bahasa ilmu pengetahuan dengan baik dan benar, lisan maupun tulisan.
(3) kegandrungan para pemuda untuk belajar bahasa asing, agar dapat mencari ilmu dan sekaligus berdakwah ke luar negeri, demi keagungan islam dan kaum muslim;
Ilmu tata bahasa (gramatik) sudah muncul dari India sejak abad 4 SM. Tata Bahasa Arab muncul dari abad 8 M dengan karya Abdullah Ibn Abi Ishaq (wafat 735 M) dan para muridnya. Usaha ini memuncak pada tiga generasi sesudahnya, terutama pada buku karya ulama Basrah, Sibawayhi (sekitar 760-793).
Dengan kodifikasi tata bahasa ini, maka bahasa Arab menjadi lebih mudah diajarkan dan disebarkan ke rakyat negeri-negeri yang telah dibebaskan, seperti ke Iraq, Syams, Mesir, hingga Afrika Utara. Dengan kodifikasi ini pula bahasa Arab terpelihara, tidak timbul jurang perbedaan yang sangat jauh antara bahasa yang diucapkan sehari-hari dengan yang tertulis (yang di sini distandarkan pada Qur’an), dan juga antara bahasa yang digunakan di Hejaz, yang diyakini sebagai bahasa Arab termurni, dengan bahasa Arab yang digunakan di wilayah-wilayah Islam yang jauh. Bahasa Arab bahkan kemudian menjadi lingua franca – bahasa bagi pergaulan antar bangsa di dunia saat itu, digunakan pula oleh orang Eropa yang akan berdagang ke Cina! Ada ratusan kosa kata Jerman, Perancis atau Spanyol yang sejatinya berasal dari kosa kata Arab.
Namun meski bahasa Arab telah jadi bahasa internasional, kaum muslimin tetap bersemangat mempelajari bahasa asing guna merebut ilmu pengetahuan dan teknologi di luar negeri, yang tidak cukup hanya dipahami dengan small-talk. Dan itu bukan perkara gampang. Ketika orang Islam berangkat ke Cina untuk belajar membuat kertas, kompas atau mesiu, mereka setidaknya harus mempelajari empat bahasa asing secara berurutan (sequensial). Ini karena menurut riwayat tidak ada orang Cina di Hejaz. Mungkin pertama-tama mereka harus belajar bahasa Persia. Sebulan kemudian mereka pergi ke Persia. Di Persia masih belum ditemukan orang Cina, yang ada orang Uzbekistan. Maka mereka belajar bahasa Uzbek, dengan pengantar bahasa Persia. Sebulan kemudian mereka pergi Tashkent, Uzbekistan. Di sana masih belum ditemukan orang Cina, yang ada hanya orang Xinjiang – sekarang wilayah Cina bagian Barat yang mayoritas penduduknya muslim. Orang Xinjiang ini bicara bahasa Uighur. Maka belajarlah orang-orang muslim ini bahasa Uighur, dengan pengantar bahasa Uzbek. Sebulan kemudian mereka berangkat ke Urumqi, ibukota Xinjiang. Baru di sana mereka bertemu orang Cina. Maka belajarlah mereka bahasa Mandarin, dengan pengantar bahasa Uighur. Ingat bahasa-bahasa ini memiliki bunyi, tulisan dan tata bahasa yang sangat berbeda. Barulah setelah sebulan belajar bahasa Mandarin, mereka datang ke Xian, ibu kota kekaisaran Tiongkok saat itu. Hanya orang-orang bersemangat baja dan sabar luar biasa, yang sanggup bertahan dalam perjalanan perburuan ilmu semacam itu.
Hingga masa dinasti Abbasiyah, bahasa Arab diajarkan secara sistematis ke setiap tempat yang telah dibebaskan oleh kaum muslimin. Akibatnya, secara sistematis pula terjadi arabisasi bahasa di seluruh wilayah Islam. Bangsa Iraq misalnya, akhirnya melupakan bahasa Mesopotamia mereka. Demikian juga orang Mesir akhirnya melupakan Hieroglyph. Bangsa-bangsa itu kini menggunakan bahasa Arab dalam lisan dan tulisan seperti orang Quraisy di Hejaz, bahkan terkadang lebih fashih.
Pada masa-masa akhir Abbasiyah, perang Salib dan lalu serbuan Tartar ke Baghdad membuat pendidikan bahasa Arab nyaris terhenti. Dinasti Utsmaniyah penerusnya lebih berkonsentrasi menghadapi tantangan militer dan kurang mendorong ilmu pengetahuan, termasuk bahasa. Akibatnya, bahasa yang digunakan oleh negara Utsmani adalah campuran dari kosa kata Arab, Turki dan Persi, disusun dalam struktur tata bahasa Turki, dan ditulis pakai huruf Arab. Pada masa itu ada sejumlah wilayah Islam yang separatis, seperti Persia (Dinasti Safawid) dan India (Dinasti Mogul). Kedua negara ini juga tidak lagi istiqomah dalam bahasa. Walhasil sekarang ini kita mendapatkan di Iran, yang dipakai adalah tulisan Arab, tetapi bahasanya Persia. Hal yang sama di India atau Pakistan dengan bahasa Urdu dan di Nusantara dengan Arab-Melayu. Tulisan Arab di bahasa Melayu ini baru dihapus tahun 1905 dengan dipaksakannya huruf latin (ejaan Van Ophuizen) oleh penjajah Belanda. Sedang huruf Arab di bahasa Turki baru dihapus dan digantikan huruf Latin tahun 1926 oleh Attaturk.
Kini, di masa kemunduran, di negeri non Arab, orang yang lancar membaca huruf Arab sudah dipanggil “Ustadz”. Bisa sedikit berbahasa Arab dan mampu membaca “kitab gundul” sudah disebut Kyai. Padahal di masa Islam menjadi Negara Adidaya, itu semua baru modall awal. Mereka yang sudah lancar berbahasa Arab tidak henti-hentinya memperdalam ilmunya, termasuk mempelajari bahasa asing lain guna mempelancar dakwah ke luar negeri, dan memburu ilmu pengetahuan dan teknologi dari manapun.