Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Badan Informasi Geospasial
Banjir membuat sengsara. Air kotor masuk rumah, membuat sofa, kasur, buku-buku tidak bisa dipakai lagi. Pada saat banjir, listrik mati, PAM mati, telefon mati., jalanan macet. Pasca banjir, sampah di mana-mana. Pabrik dan kantor yang tidak kena banjirpun banyak yang tidak berjalan. Pegawainya tidak bisa menembus banjir. Daerah bebas banjir ikut kena imbasnya. Harga kebutuhan pokok naik. Pasokan BBM terlambat.
Adakah teknologi untuk mengendalikan banjir? ada! Kenapa tidak dipakai? Dipakai! Kenapa tidak berhasil? Perlu sistem! Sistem apa? Ada sistem keras (fisik) dan sistem lunak.
Banjir bukan sekedar fenomena alam. Fenomena alamnya adalah hujan. Tetapi hujan belaka tidak otomatis menyebabkan banjir. Untuk menjadi banjir, debit air yang berasal dari hujan dan limpahan daerah hulu, harus lebih besar dari “kredit air”, yaitu air yang meresap, menguap atau dibuang. Oleh sebab itu, agar tidak banjir, teknologi yang dapat dikembangkan adalah bagaimana mengendalikan peresapan dan pembuangan air.
Pengendalian hujan dan penguapan belum perlu kita bahas, karena perlu energi yang besar atau waktu lama. Agar peresapan optimal, tanah memerlukan permukaan yang poris. Hutan tropis adalah contoh permukaan yang amat poris. Akarnya yang dalam mampu mengantar air hingga lapisan yang terdalam. Sementara dedaunannya dapat melindungi serangan hujan langsung ke tanah. Kalau tidak terlindungi, lapisan humus yang mampu meresap air akan terkuliti, terbawa erosi, meninggalkan tanah gundul yang keras dan tidak dapat meresap air lagi. Karena itu, teknologi peresapan yang terbaik adalah penghutanan sebanyak mungkin lahan-lahan kosong, terutama di daerah hulu. Hingga saat ini belum ada teknologi mekanis, termasuk sumur resapan, yang lebih baik dari keberadaan pohon. Yang banyak diharapkan adalah bioteknologi untuk menghasilkan jenis pohon yang dalam waktu singkat dapat besar, berakar dalam dan efisiensinya tinggi.
Yang kedua adalah pembuangan. Air yang mengalir di permukaan harus dibuang ke laut. Kalau debitnya amat besar, saluran alam (sungai) yang ada bisa kewalahan. Untuk itu, ada beberapa teknologi untuk mengatasinya:
(1) membuat setu (danau penampungan). Ini teknologi yang paling sederhana, namun boros ruang. Di zaman Belanda, ada ratusan setu di Jakarta dan Bogor. Ada setu yang aslinya rawa-rawa, ada pula yang memang dibuat. Sekarang setu-setu itu banyak yang diurug jadi perumahan. Alasannya untuk mengatasi ledakan penduduk, sekaligus mengusir sarang nyamuk malaria atau demam berdarah. Sayang fungsi anti banjirnya tidak diganti. Idealnya, kalau diurug, maka harus ada teknologi penggantinya, misalnya yang berikut ini.
(2) Kanalisasi, termasuk normalisasi sungai dan sodetan. Normalisasi adalah pelurusan aliran sungai, supaya air lebih cepat ke laut, sehingga genangan lebih cepat teratasi dan tidak membentuk banjir. Sodetan adalah menghubungkan dua sungai atau lebih dengan kanal buatan, untuk mendistribusikan debit berlebih di satu sungai ke sungai yang lain.
(3) Pompanisasi, ini termasuk upaya pembuangan modern, perlu energi ekstra. Negeri Belanda saat ini termasuk negara yang unggul dalam hal “mengeringkan laut” dengan pompanisasi dan tanggul. Sebagian besar Amsterdam sekarang ini lebih rendah tujuh meter dari permukaan laut, tetapi berkat sistem pompa yang cukup, sudah 40 tahun lebih tidak ada banjir. Pompa-pompa modern dilengkapi pula dengan sensor hujan atau air pasang, sehingga bekerja otomatis ketika dibutuhkan.
(4) Tanggul, ini untuk membendung agar air sungai tidak meluap ke sekitarnya, yang barangkali elevasinya lebih rendah dari air ketika tinggi. Hal yang sama dilakukan untuk air pasang laut. Karena air tinggi tidak tiap hari, maka setiap tanggul pasti harus ada pintu air.
Lima teknologi ini adalah inti sistem keras (hardware), yakni peningkatan daya resap baik dengan pohon maupun sumur resapan, setu, kanalisasi, pompanisasi maupun tanggul sudah dicoba semua. Sudah ada beberapa villa di Puncak yang dirobohkan lagi, demi tanah resapan. Gubernur DKI sudah lama berencana mau membeli tanah-tanah untuk membuat setu. Banjir Kanal Timur sudah dibangun, meski sebagian pembebasan tanahnya terkendala. Pompanisasi sudah dipakai di banyak komplek perumahan menengah ke atas, agar banjir tidak sampai masuk komplek mereka. Dan tanggul sungai beserta pintu airnya, nyaris tak terhitung, meski yang terkenal pintu air Manggarai.
Pasca banjir, banyak pihak berkomentar yang cenderung menyalahkan salah satu aspek saja, kemudian lalu membuat usulan menurut satu aspek juga.
Bahkan, meski lima teknologi tadi sudah dioptimasi dengan simulator dan dipasang dengan komposisi ideal, tetap saja banjir bisa menjadi bencana, bila sistem lunaknya tumpul. Apa itu sistem lunak? Sebenarnya cukup banyak. Di tulisan ini akan diberikan lima contoh sistem lunak.
(1) Sistem pengelolaan sampah. Banyak sungai dan selokan penuh sampah sehingga banjir. Namun bila ditelusuri, sampah yang dibuang sembarangan itu terjadi karena tempat sampah langka dan kapan diangkutnya tidak diketahui. Jadi pemerintah daerah bertanggung jawab untuk mengangkuti sampah dengan disiplin tinggi. Sistem penggajiannya perlu diperbaiki agar mereka dapat dapat bertahan pada “bisnis kotor” itu.
(2) Sistem tata ruang. Perencanaan tata ruang saat ini sering disetir para pemilik modal. Hampir tak ada satupun daerah di Indonesia yang tata ruangnya berbasis bencana. Artinya, mereka mengembangkan kota sudah dengan simulasi akan seperti apa kota itu bila diberi bencana tertentu (banjir, gempa, tsunami, dll). Tata ruang yang berbasis bencana akan menyiapkan diri dengan tempat dan rute evakuasi bila banjir atau kebakaran atau bencana lainnya terjadi. Jadi tidak perlu nantinya ada pengungsi banjir di tepi jalan tol.
(3) Sistem distribusi ekonomi. Ekonomi kapitalisme berbasis riba sangat mendorong urbanisasi, karena ada cukup besar uang yang tidak benar-benar ditanamkan di sektor real. Andaikata sistem syariah yang dipakai, modal akan mengalir ke sektor real, dan ini mau tidak mau akan mengalir ke daerah-daerah, dan urbanisasi bisa ditekan.
(4) Sistem edukasi bencana. Masyarakat kita bukanlah masyarakat yang sadar bencana. Sebagian bahkan menganggap banjir hal biasa kalau tinggal di Jakarta. Di kantor-kantor saja, jarang ditemukan alat pemadam api, padahal kebakaran adalah bencana lokal yang paling sering terjadi. Kalau kita belajar dari Jepang, alat pemadam api kecil (sebesar semprotan Baygon) ada di hampir tiap rumah tangga dan kamar hotel. Rute evakuasi dipasang di tempat-tempat umum. Pendidikan sadar bencana ini harus didukung oleh para elit politis, selebritis, dan media massa. Pemerintah bahkan tampak belum serius membangun museum-museum bencana untuk memberi penghayatan bencana kepada orang-orang yang belum pernah mengalaminya, agar tahu apa yang harus diperbuat, baik untuk mencegahnya maupun mengatasinya ketika bencana terjadi.
(5) Terakhir adalah sistem manajemen pemerintahan yang tanggap bencana. Semua orang yang akan menjadi pejabat publik perlu dibekali dengan manual bila ada bencana beserta trainingnya. Aparat TNI perlu memiliki latihan-latihan khusus mengatasi darurat bencana – tidak sekedar darurat militer atau perang. TNI adalah organisasi yang paling mudah digerakkan, serta punya perlengkapannya untuk mengatasi bencana. Namun bila saat ini tidak pernah disiapkan ke sana, dan para pejabat publik tidak terpikir ke sana, ya semua tidak disiapkan.
Bagi seorang mukmin, kesiapan terhadap bencana tidak cuma atas bencana dunia, namun juga atas “bencana akherat”. Dia menyiapkan amal, menghadapi mati yang bisa datang sekonyong-konyong.