Berapa bahasa asing yang Anda kuasai?
Berapa tahun Anda belajar bahasa tersebut?
Apakah Anda percaya diri berkomunikasi dengan bahasa itu?
Sekarang ini, banyak orang menawarkan training untuk menguasai bahasa asing. Ada yang dengan jargon “Enam minggu percaya diri berbahasa Inggris”. Ada juga bahkan “Enam jam percaya diri berbahasa Inggris” … Anda percaya, dan mau keluar uang untuk ikut kursus itu?
Saya tidak menampik bahwa ada orang-orang yang memang dikarunia kecerdasan linguistik yang luar biasa. Sewaktu di Austria, saya mengenal seorang Profesor kimia yang memiliki hobby bahasa. Beliau menguasai secara aktif 10 bahasa asing, yaitu (kalau tak salah 🙂 Jerman (bahasa ibu) – Inggris – Perancis – Spanyol – Italia – Turki – Arab – Jepang – China – Thai. Dan dia waktu itu ingin belajar bahasa Indonesia dengan kami – mahasiswanya.
Tetapi mayoritas atau rata-rata orang, memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menguasai satu bahasa asing saja. Di sekolah, anak-anak kita sejak kecil diberi pelajaran bahasa Inggris, bahkan di SDIT juga bahasa Arab. Kalau mereka lulus SMA, mereka telah menelan 12 tahun pelajaran bahasa Inggris dan 12 tahun bahasa Arab? Apakah mereka sudah bisa kita ajak ngobrol atau surat menyurat dengan bahasa itu? Jawabnya pasti: tergantung ! Tetapi saya mengamati: mayoritas tetap tidak percaya diri.
Sebagai orang yang lahir di Jawa Tengah, bahasa pertama saya adalah bahasa Jawa. Kemudian, di kelas 1 SD, pelan-pelan saya mulai belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Hanya dua bahasa itu yang diajarkan di SD saya saat itu.
Di rumah, karena ayah saya mahir bahasa Arab, saya dilatih small-talk bahasa Arab. Kalau ada tamu yang juga ustadz atau kyai, ayah saya suka memamerkan “kebolehan” saya bercakap-cakap ringan dalam bahasa Arab. Namun pelajaran bahasa Arab ini kemudian terhenti ketika ayah saya sakit, bahkan lalu meninggal dunia.
Di SMP-SMA kita semua belajar bahasa Inggris. Tetapi saya kira, guru-guru kita sendiri masih baru “teaching as usual”. Di SMA bahkan salah satu guru bahasa Inggris saya hanya menekankan grammar. “Conversation itu tidak akan keluar di EBTANAS ataupun Sipenmaru”, katanya. Wow … bener juga sih.
Pada saat kelas 2 SMA, saya pernah ikut test seleksi peserta American Friendship Service (AFS). Ujiannya 3x. Ujian pertama: pengetahuan umum dan mengarang dalam bahasa Inggris. Yang lulus, ikut ujian ke-2: Wawancara dalam bahasa Indonesia (tentang motivasi ikut AFS) dan Wawancara dalam bahasa Inggris. Yang lulus, ikut ujian ke-3: diskusi kelompok (dalam bahasa Indonesia). Sewaktu ujian pertama mengarang dalam bahasa Inggris, saya menulis seluruh karangan saya terlebih dulu dalam bahasa Indonesia, baru menerjemahkannya dalam bahasa Inggris. Saya kira karangan saya jelek sekali. Tetapi saya lolos ke ujian ke-2. Wawancara dilakukan oleh anak AFS dari Amerika yang sekolah di Indonesia. Sepertinya sedikit nyambungnya … he he … tetapi saya beruntung lolos ke ujian ke-3. Diskusi kelompoknya membahas isu-isu kontroversial. Tapi dari sekian belas orang yang sampai ujian ke-3 ini hanya dipilih 1-2 orang saja. Dan saya alhamdulillah tidak terpilih !!! Kalau saya terpilih, mungkin jalan hidup saya akan sangat berbeda.
Ketika baru duduk 1 semester di ITB, saya lolos tes beasiswa LN OFP-Ristek, sehingga saya dipanggil untuk kursus bahasa Jerman di Goethe Institut Jakarta. Seperti diketahui, bahasa yang dipakai di Austria adalah bahasa Jerman, sama seperti di Republik Federasi Jerman dan Swiss. Hanya di Swiss, bahasa resminya ada 4, selain Jerman juga Perancis, Italia dan Ratoroman.
Di Goethe Institut kami belajar 5 jam sehari x 5 hari/minggu. Bahasa Jerman diajarkan dengan pengantar bahasa Jerman juga. Kami cuma dikasih Glosarry, seperti kamus tetapi tidak urut abjad, melainkan urut kata-kata yang keluar selama pelajaran. Gurunya separo orang Indonesia dan separo orang Jerman. Tidak semua orang Jerman bisa jadi guru di Goethe Institut lho, mereka harus lulus sekolah mengajar bahasa Jerman untuk orang asing.
Setelah dua minggu kursus, kami kedatangan seorang Profesor dari Austria yang akan mewawancarai kami. Tahu kami baru kursus dua minggu, dia coba menanyai kami dalam bahasa Inggris. Tetapi ternyata, dengan kursus dua minggu itu, bahasa Inggris yang telah saya pelajari enam tahun, seperti terhapus oleh bahasa Jerman.
Setelah kursus sekitar lima bulan, kami menghadapi ujian Zertifikat Deutsch als Fremdsprache (ZDaF). Mungkin mirip TOEFL. Bentuk ujiannya ada 5: LV (Leseverstehen – Membaca & Memahami), HV (Hoerverstehen – Mendengar & Memahami), SA (Schriftliche Ausdruck – Mengarang), SW (Strukturen & Wortschatz – Tatabahasa & Kosakata) dan MA (Mundliche Ausdruck – Berbicara). Saya mendapat nilai 96,5 (dari max 120). Wah jadi sangat percaya diri.
Sampai di Austria, kami dikursuskan bahasa Jerman level Universitas, karena agar diterima di Universitas, setiap mahasiswa asing harus lulus Universitaet SprachPruefung (ujian bahasa universitas). ZDaF saja tidak cukup. Alhamdulillah, setelah dua bulan, saya mengantongi ijazah USP ini.
Kuliah pun dimulai. Dari 70-an mahasiswa, yang orang asing cuma 2 orang, termasuk saya. Stress-pun dimulai. Waktu itu, proyektor LCD + Powerpoint belum ada. Dosen paling hanya memakai OHP, tetapi lebih banyak yang menulis mind-map-nya di papan tulis. Saya yang jadi bingung, apa yang mau ditulis, apalagi ternyata banyak dosen yang ngomongnya secepat kereta api. Akhirnya saya selalu duduk di samping mahasiswa bule. Kalau dia nulis, saya ngelihat apa yang dia tulis, kalau perlu tanya, lalu saya tulis juga. Saya tidak akan fotocopy. Memang mungkin terlihat kekanak-kanakan buat saya, dan agak mengganggu bagi si bule, tapi ya itulah yang harus saya jalani beberapa bulan. Lebih repot lagi, ada mata kuliah Pengantar Hukum Konstitusi dan Administrasi (Verfassung & Verwaltungsrecht) yang dosennya tidak pernah menulis. Dia datang, duduk di meja, lalu cerita. Akhirnya saya menghadapnya, tanya buku apa yang paling praktis untuk saya baca agar saya mengerti apa yang dia ajarkan. Buku itu lalu saya cari di perpustakaan, kemudian saya membaca semua bab sebelum dia ajarkan. Hasilnya, di akhir semester, saya malah mendapat nilai tertinggi untuk mata kuliah itu.
Sejak di Austria, Bahasa Jerman saya tumbuh lumayan pesat. Bangun tidur, wecker radio langsung menyapa dalam bahasa Jerman full. Dan saya tinggal di asrama yang isinya tidak ada orang Indonesia lain. Dan waktu itu internet juga belum ada, sehingga kita benar-benar dipaksa berkomunikasi hanya dengan bahasa Jerman. Bahkan saya mencoba menulis buku harian dalam bahasa Jerman. Hasilnya, setelah dua tahun, saya bahkan bisa mimpi dalam bahasa Jerman !!!
Di tahun kedua saya memiliki tetangga yang mahasiswa doktorat dari Mesir dan Thailand, yang selalu berkomunikasi di antara mereka dalam bahasa Inggris. Akhirnya saya mulai belajar lagi berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Saya usahakan setiap jadwal masak & makan bersamaan dengan mereka, supaya bisa ngobrol dalam bahasa Inggris. Tetapi lucunya, kalau saya ragu-ragu, reflek saya adalah mencarinya kembali ke bahasa Jerman. Kamus yang saya pakai adalah kamus Jerman-Inggris. Belakangan, saya menulis thesis S2 saya dalam bahasa Jerman, tetapi disertasi S3 saya putuskan dalam bahasa Inggris – lebih agar mudah diakses orang dari seluruh dunia. Bahasa Jerman cuma digunakan oleh kurang lebih 120 juta orang; sedang bahasa Inggris oleh 750 juta orang. Di PBB, bahasa resmi dunia ada 6: Inggris – Perancis – Spanyol – Rusia – Arab – China.
Setelah bahasa Jerman saya mantap, serta terinspirasi oleh profesor kimia yang hobby bahasa tadi, saya mencoba belajar beberapa bahasa lainnya. Kebetulan di masjid khutbah disampaikan dalam bahasa Turki. Maka saya lalu belajar bahasa Turki. Wow, ternyata bahasa Turki lebih rumit dari bahasa Jerman. Kemudian saya sempat punya teman pena orang Belanda. Karena ada kedekatan bahasa Jerman dengan bahasa Belanda, saya sempat beberapa lama berkorespondensi dalam bahasa Belanda. Kemudian ketika tahun 1988 saya berkeliling Eropa, saya membawa kamus-kamus kecil untuk mempelajari bahasa-bahasa negeri yang saya lewati : Perancis – Italia – Spanyol – Yunani. Kalau cuma untuk little talk (sekedar bilang selamat pagi, mana arah ke …….. , berapa harganya, dll) ternyata memang tidak membutuhkan waktu yang lama. Tetapi belajar seperti ini ya cepat lupa lagi.
Di tahun ke-4 di Austria, saya iseng-iseng ikut kuliah bahasa Arab di Universitas Wina. Cuma 2 x 2 jam/minggu. Di sini ikut kuliah apa saja bebas, dan waktu itu tidak perlu bayar. Semula saya merasa paling hebat, karena dari seluruh mahasiswa, mungkin saya yang sudah hafal huruf Arab duluan. 🙂 Tetapi ternyata mind-set ini kurang baik. Ternyata pelajaran berjalan cepat. Dari awal, bahasa Arab diajarkan tanpa tanda harakat (syakal). Dari awal: arab gundul. Ujian Semester adalah potongan koran berbahasa Arab lalu pertanyaan-pertanyaan, yang juga dalam Arab gundul. Wow … nyerah dech … Sepertinya memang harus seserius atau bahkan lebih serius dari ketika saya belajar bahasa Jerman dulu.
Bahasa Arab adalah bahasa persatuan Islam dan konon akan menjadi bahasa di Surga. Tetapi saya yakin, orang yang dimasukkan Allah ke surga, pasti otomatis akan bisa berbahasa Arab, sekalipun di dunia satu hurufpun tak kenal, karena di surga itu segala keinginan akan terkabul. Sedang sebagai bahasa persatuan, bahasa Arab tidak perlu diperdebatkan lagi, karena sumber-sumber ilmu dan sejarah Islam semua dalam bahasa Arab. Tetapi memang tidak otomatis bisa bahasa Arab akan mengantarkan orang ke pemahaman Islam yang benar. Andaikata begitu, niscaya semua orang di Timur Tengah yang dari kecil lancar berbahasa Arab akan ber-Islam dengan benar. Faktanya kan tidak begitu. Oleh sebab itu, belajar bahasa Arab dan belajar Islam keduanya harus dilakukan. Belajar bahasa Arab agak sulit dengan “sambil lalu” – “sambil baca kitab di halaqah”, apalagi dengan musyrif yang bahasa Arabnya juga masih belum kokoh. Kalau seperti ini, hasilnya malah kemampuan bahasa Arab tidak dapat, dan materi halaqah juga tidak tertransfer dengan sempurna.
Kursus-kursus singkat yang ditawarkan (dari yang 6 minggu sampai 6 jam) tidak lain hanya memberi motivasi saja. Buat beberapa orang, motivasi ini dapat menjadi cambuk mereka belajar selanjutnya, baik mandiri atau dengan komunitasnya. Percaya diri berbahasa asing itu tidak perlu menunggu fasih berbahasa asing. Tetapi walau baru little-talk (lebih rendah dari small-talk), percaya diri ini sangat perlu. Kalau sudah tidak percaya diri, maka bahasa yang telah dipelajari tidak akan pernah dipraktekkan, padahal kemampuan bahasa itu tumbuh seiring dengan praktek.
Hal ini ternyata tidak cuma untuk bahasa manusia. Bahasa komputerpun demikian. Setelah saya percaya diri dengan bahasa Pascal, saya lalu mulai lagi mempelajari bahasa Basic, Fortran, C, Lisp, Prolog, SQL, APL, dll. Intinya: belajar bahasa itu mesti serius sampai mencapai ambang kritis, pertama ambang “percaya diri bicara bahasa itu” – dan setelah itu jangan berhenti, teruslah belajar sampai “ambang bisa mimpi dalam bahasa itu” 🙂
Dr. Fahmi Amhar
Apa yang ada di benak para pelajar kita ketika mereka wajib mempelajari bahasa asing di sekolah? Setelah matematika, Bahasa Inggris adalah pelajaran momok di sekolah-sekolah umum. Sebagian besar sekolah memberi pelajaran Bahasa Inggris di level SMP dan SMA atau total selama enam tahun. Sebagian lagi bahkan memberi pelajaran ini sejak kelas 1 SD. Hasilnya? Sekedar cukup untuk Ujian Nasional? Cukup untuk menebak makna di balik judul film atau lagu Barat? Untuk isinya nanti dulu. Kalau buat kerja, bahasa Inggris di sekolah tersebut juga jelas belum cukup. Bagaimana kalau untuk belajar ke luar negeri? Atau untuk jadi diplomat? Makanya TKI kita di luar negeri mayoritas hanya mendapat pekerjaan kasar yang murah, salah satunya karena keterbatasan bahasa.
Itu baru untuk bahasa Inggris. Konon, di dunia ini kalau mau maju ya harus pandai berbahasa Inggris. Ini adalah mitos yang tak sepenuhnya benar. Maju tanpa berbahasa Inggris bisa, tetapi harus pandai berbahasa Perancis, atau Jerman, atau Jepang atau Rusia. Pendek kata, bahasa negara-negara juara sains dan teknologi saat ini.
Yang jelas motivasi belajar bahasa di dunia Islam saat ini sangat memprihatinkan. Kalaupun ada, mayoritas karena motivasi materialistik (“Biar mudah cari kerja”). Walhasil Bahasa Inggris tidak dikuasai, Bahasa Arab tidak bunyi, dan Bahasa Nasional tidak peduli, tidak digunakan dengan baik dan benar. Orang menggunakan bahasa amburadul, karena menguasainya juga cuma setengah-setengah. Mempelajarinya hanya bermodal semangat, tanpa kesabaran, padahal tanpa kesabaran, belajar bahasa tidak akan pernah jadi.
Ini berbeda dengan masa ketika Daulah Islam masih menjadi negara adidaya, atau terobsesi menjadi negara adidaya. Generasi awal Islam masih sangat terobsesi oleh beberapa sabda Rasulullah, bahwa orang-orang mukmin adalah umat terbaik yang dikirim Allah ketengah manusia, kemudian bahwa mereka diperintahkan untuk untuk mencari ilmu sekalipun sampai negeri Cina.
Maka kita bisa amati berbagai fenomena bahasa di dunia Islam generasi awal:
(1) kegandrungan para ilmuwan – terutama dari non native speaker – untuk menyusun struktur bahasa Arab, sehingga dari bahasa Arab ke bahasa yang lain dan sebaliknya dapat disusun rumusan sederhana yang memudahkan pembelajaran dan penerjemahan.
(2) upaya sistematis mendidik seluruh warga negara agar menguasai bahasa Arab sebagai bahasa Islam, bahasa persatuan, dan bahasa ilmu pengetahuan dengan baik dan benar, lisan maupun tulisan.
(3) kegandrungan para pemuda untuk belajar bahasa asing, agar dapat mencari ilmu dan sekaligus berdakwah ke luar negeri, demi keagungan islam dan kaum muslim;
Ilmu tata bahasa (gramatik) sudah muncul dari India sejak abad 4 SM. Tata Bahasa Arab muncul dari abad 8 M dengan karya Abdullah Ibn Abi Ishaq (wafat 735 M) dan para muridnya. Usaha ini memuncak pada tiga generasi sesudahnya, terutama pada buku karya ulama Basrah, Sibawayhi (sekitar 760-793).
Dengan kodifikasi tata bahasa ini, maka bahasa Arab menjadi lebih mudah diajarkan dan disebarkan ke rakyat negeri-negeri yang telah dibebaskan, seperti ke Iraq, Syams, Mesir, hingga Afrika Utara. Dengan kodifikasi ini pula bahasa Arab terpelihara, tidak timbul jurang perbedaan yang sangat jauh antara bahasa yang diucapkan sehari-hari dengan yang tertulis (yang di sini distandarkan pada Qur’an), dan juga antara bahasa yang digunakan di Hejaz, yang diyakini sebagai bahasa Arab termurni, dengan bahasa Arab yang digunakan di wilayah-wilayah Islam yang jauh. Bahasa Arab bahkan kemudian menjadi lingua franca – bahasa bagi pergaulan antar bangsa di dunia saat itu, digunakan pula oleh orang Eropa yang akan berdagang ke Cina! Ada ratusan kosa kata Jerman, Perancis atau Spanyol yang sejatinya berasal dari kosa kata Arab.
Namun meski bahasa Arab telah jadi bahasa internasional, kaum muslimin tetap bersemangat mempelajari bahasa asing guna merebut ilmu pengetahuan dan teknologi di luar negeri, yang tidak cukup hanya dipahami dengan small-talk. Dan itu bukan perkara gampang. Ketika orang Islam berangkat ke Cina untuk belajar membuat kertas, kompas atau mesiu, mereka setidaknya harus mempelajari empat bahasa asing secara berurutan (sequensial). Ini karena menurut riwayat tidak ada orang Cina di Hejaz. Mungkin pertama-tama mereka harus belajar bahasa Persia. Sebulan kemudian mereka pergi ke Persia. Di Persia masih belum ditemukan orang Cina, yang ada orang Uzbekistan. Maka mereka belajar bahasa Uzbek, dengan pengantar bahasa Persia. Sebulan kemudian mereka pergi Tashkent, Uzbekistan. Di sana masih belum ditemukan orang Cina, yang ada hanya orang Xinjiang – sekarang wilayah Cina bagian Barat yang mayoritas penduduknya muslim. Orang Xinjiang ini bicara bahasa Uighur. Maka belajarlah orang-orang muslim ini bahasa Uighur, dengan pengantar bahasa Uzbek. Sebulan kemudian mereka berangkat ke Urumqi, ibukota Xinjiang. Baru di sana mereka bertemu orang Cina. Maka belajarlah mereka bahasa Mandarin, dengan pengantar bahasa Uighur. Ingat bahasa-bahasa ini memiliki bunyi, tulisan dan tata bahasa yang sangat berbeda. Barulah setelah sebulan belajar bahasa Mandarin, mereka datang ke Xian, ibu kota kekaisaran Tiongkok saat itu. Hanya orang-orang bersemangat baja dan sabar luar biasa, yang sanggup bertahan dalam perjalanan perburuan ilmu semacam itu.
Hingga masa dinasti Abbasiyah, bahasa Arab diajarkan secara sistematis ke setiap tempat yang telah dibebaskan oleh kaum muslimin. Akibatnya, secara sistematis pula terjadi arabisasi bahasa di seluruh wilayah Islam. Bangsa Iraq misalnya, akhirnya melupakan bahasa Mesopotamia mereka. Demikian juga orang Mesir akhirnya melupakan Hieroglyph. Bangsa-bangsa itu kini menggunakan bahasa Arab dalam lisan dan tulisan seperti orang Quraisy di Hejaz, bahkan terkadang lebih fashih.
Pada masa-masa akhir Abbasiyah, perang Salib dan lalu serbuan Tartar ke Baghdad membuat pendidikan bahasa Arab nyaris terhenti. Dinasti Utsmaniyah penerusnya lebih berkonsentrasi menghadapi tantangan militer dan kurang mendorong ilmu pengetahuan, termasuk bahasa. Akibatnya, bahasa yang digunakan oleh negara Utsmani adalah campuran dari kosa kata Arab, Turki dan Persi, disusun dalam struktur tata bahasa Turki, dan ditulis pakai huruf Arab. Pada masa itu ada sejumlah wilayah Islam yang separatis, seperti Persia (Dinasti Safawid) dan India (Dinasti Mogul). Kedua negara ini juga tidak lagi istiqomah dalam bahasa. Walhasil sekarang ini kita mendapatkan di Iran, yang dipakai adalah tulisan Arab, tetapi bahasanya Persia. Hal yang sama di India atau Pakistan dengan bahasa Urdu dan di Nusantara dengan Arab-Melayu. Tulisan Arab di bahasa Melayu ini baru dihapus tahun 1905 dengan dipaksakannya huruf latin (ejaan Van Ophuizen) oleh penjajah Belanda. Sedang huruf Arab di bahasa Turki baru dihapus dan digantikan huruf Latin tahun 1926 oleh Attaturk.
Kini, di masa kemunduran, di negeri non Arab, orang yang lancar membaca huruf Arab sudah dipanggil “Ustadz”. Bisa sedikit berbahasa Arab dan mampu membaca “kitab gundul” sudah disebut Kyai. Padahal di masa Islam menjadi Negara Adidaya, itu semua baru modall awal. Mereka yang sudah lancar berbahasa Arab tidak henti-hentinya memperdalam ilmunya, termasuk mempelajari bahasa asing lain guna mempelancar dakwah ke luar negeri, dan memburu ilmu pengetahuan dan teknologi dari manapun.