Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
April 12th, 2010

Satu Negeri Pergi Sekolah

Dr. Fahmi Amhar

Tahukah anda berapa tingkat buta huruf di desa anda?  Tingkat buta huruf adalah indikator ketertinggalan.  Anda percaya, bahwa di zaman sekarang, tinggal sedikit orang yang buta huruf.  Jika ada, itu “butu huruf sekunder”, yakni orang-orang yang pernah bisa membaca, tetapi lupa membaca, karena berpuluhtahun keterampilan itu jarang dipakai.  Dia lebih suka menonton televisi, itupun yang tak ada tulisannya.  Tentunya dia juga tak pernah menulis pesan pendek (sms).

Bayangkan suatu negeri yang tingkat buta hurufnya 95%!  Mengerikan.  Tetapi itulah Eropa abad 9 hingga 12 M.  Bahkan Kaisar Karl dari Aachen di usia tuanya konon masih berusaha mempelajari “keterampilan yang sulit dan langka” itu!  Di biara-biara hanya sedikit pendeta yang mampu membaca.  Di biara St Gallen Swiss pada 1291 bahkan tak ada seorangpun dapat membaca dan menulis.  Pada saat yang sama, jutaan anak-anak di desa dan kota Daulah Khilafah duduk di atas karpet dan mengeja huruf-huruf Qur’an, menulisnya, hingga menghafal surat-surat itu, lalu memulai mempelajari dasar-dasar gramatika bahasa Arab (nahwu dan shorof).

Keinginan seorang muslim untuk menjadi muslim yang baik, adalah awal semua ini.  Karena setiap muslim mesti mampu membaca Qur’an.  Di sinilah jurang antara Timur dan Barat.  Untuk kitab suci Nasrani, hanya pendeta yang memiliki akses, membaca dan mengerti bahasa kitab suci.  Namun sejak 800 M, para pengkhutbah dalam bahasa Latin sudah susah dimengerti orang kebanyakan, sampai-sampai sinode gereja memerintahkan menggunakan idiom awam, karena yang menikmati sekolah (berbahasa Latin) hanya selapis tipis rohaniwan.

Ini berbeda dengan Daulah Khilafah yang sangat berkepentingan agar rakyatnya cerdas.  Pendidikan benar-benar menjadi urusannya.  Anak-anak semua kelas sosial mengunjungi pendidikan dasar, dengan biaya yang terjangkau semua orang.  Karena negara membayar para gurunya, orang-orang miskin mendapat tempat cuma-cuma.  Di banyak tempat malah sekolah sama sekali gratis, misalnya di Spanyol.  Selain 80 sekolah umum Cordoba yang didirikan al-Hakam-II pada 965 M, masih ada 27 sekolah khusus untuk anak-anak miskin.  Di Kairo, al-Mansur Qalawun mendirikan sekolah untuk anak yatim, dan menganggarkan setiap hari ransum makanan yang cukup dan satu stel baju untuk musim dingin dan satu stel baju untuk musim panas.  Bahkan untuk orang-orang Badui yang berpindah-pindah, dikirim guru yang juga siap berpindah-pindah mengikuti tempat tinggal muridnya.  Tak ada lagi celah dalam jejaring sekolah seperti ini.

Namun pendidikan di Daulah Khilafah tidak terbatas pada pendidikan dasar.  Yang “salah” adalah politik.

Kompetisi antara oposisi dan pemerintah dalam melayani rakyat menyebabkan tingkat pendidikan cepat terangkat.  Pada abad-10 M, oposisi meluncurkan konsep berbagai program pendidikan untuk lebih menarik dukungan masyarakat dalam mengkritisi pemerintah.  Para oposisi ini merencanakan membangun universitas, tentunya juga bebas biaya.  Maka segera pemerintah mengambil ide ini, agar oposisi batal mendapat dukungan.  Hasilnya rakyat di seluruh kota besar menikmati pendidikan tinggi!

Para mahasiswa tinggal di kamar-kamar lantai atas gedung kampus.  Mereka juga mendapat makanan lengkap cuma-cuma, bahkan uang saku.  Di bawah tanah terdapat dapur, gudang dan tempat mandi.  Di lantai dasar ada ruang-ruang belajar dan perpustakaan.  Di situlah dipelajari Quran, Hadits, Bahasa Arab, Sejarah, Sosiologi, Geografi, Logika, Matematika dan Astronomi.  Melalui pertanyaan dan debat, mahasiswa dilibatkan dalam proses pembelajaran.  Para mahasiswa tingkat lanjut dan alumni membantu mereka belajar.  Mereka seperti “lebah yang sedang meracik madu ilmu dari ribuan bunga pengetahuan”, tulis Sigrid Hunke, sejarawan Jerman dalam Allah Sonne ueber dem Abendland.

Sebagian petani dari desa menitipkan anak mereka ke seorang guru di kota, bersama uang atau hasil bumi untuk biaya hidupnya.  Mereka berharap anaknya akan tumbuh menjadi seorang faqih yang kelak diterima sebagai qadhi atau bahkan syukur-syukur menjadi mujtahid Khalifah.  Anak-anak titipan ini akan menjadi “ajudan” dari sang guru.  Sebagai balas jasa, sang guru akan merawatnya jika si anak sakit, bahkan siap menjual keledai satu-satunya jika dia perlu membeli obat.

Sebagian ayah memanggil guru ke rumah, biasanya untuk anak berbakat, seperti misalnya Ibnu Sina yang di usia 10 sudah hafal Qur’an dan kitab-kitab kuno.  Ini tentu tidak mungkin tertampung di sekolah umum.  Setelah ia menamatkan fiqih pada seorang faqih dan aritmetika pada seorang pedagang, ayahnya memanggil Abu Abdullah an-Natsibi, yang terkenal sebagai filosof.  Tapi tak lama kemudian terbukti sang murid lebih pandai dari gurunya.  Baru saja gurunya mengajari 5-6 gambar dari kitab geometri karya Euklides, Ibnu Sina melanjutkan sendiri dengan bantuan kitab syarah.  Selesai kitab Euklid, dia teruskan dengan Almagest dari Ptolomeus, yakni kitab astronomi termasyhur saat itu.  Itupun tidak lama.  Dia kemudian pindah ke fisika, lalu di bawah bimbingan Isa bin Yahya al Masihi, ke kedokteran.  Dia diminta membaca buku yang tersulit.  Belakangan dia katakan kedokteran tidak sulit, karena dia hanya butuh waktu singkat.  Saat menamatkan semua ini, usianya baru 16!  Maka Sultan memanggilnya untuk menjadi ilmuwan istana.  Dia menambah ilmunya lagi dengan belajar di perpustakaan sultan dan di rumah sakit.  Di usia 18, dia benar-benar menamatkan semua yang dapat dipelajarinya.

Tentu yang seperti Ibnu Sina ini memang luar biasa.  Namun jalan umum untuk belajar adalah di masjid-masjid.  Siapa saja boleh datang dan pergi, laki ataupun perempuan.  Dan siapa saja boleh menginterupsi para guru untuk bertanya atau membantah.  Ini memaksa para guru untuk mempersiapkan materinya dengan seksama.  Sebenarnya, siapapun yang merasa mampu boleh mengajar.  Namun audiensnya yang selalu siap mengkritik, mencegah orang-orang yang belum matang atau baru setengah matang dalam ilmu untuk memimpin kalimat.

Di masjid-masjid juga biasa didengarkan kalimat dari para ulama yang sedang dalam perjalanan yang singgah di kota itu, terutama ketika musim haji.  Dengan demikian para mahasiswa selalu mendapatkan masukan.  Bahkan juga cepat tahu bila ada karya yang “dicuri” mentah-mentah (plagiarism).  Untuk mengungkap karya orang lain, sanad atau rawi wajib disebutkan.  Dan untuk itu perlu ada ijazah (lisensi) tertulis dari gurunya, bahwa dia layak untuk menjadi sanad dari pengetahuan tersebut.  Inilah mengapa gelar sarjana di timur tengah adalah Lc. dari kata Licentiate – berlisensi untuk menyampaikan.

Tags: ,

April 12th, 2010

Penghasilan PNS Super Maxima

Dr. Fahmi Amhar

Prof. Dr. Mahfud M. D., Ketua Mahkamah Konstitusi memiliki ide yang brilyan: para pejabat atau pegawai negeri sipil (PNS) di pos-pos tertentu – terutama yang menyangkut hukum atau keuangan, agar melaporkan kekayaannya, lalu kalau ternyata melebihi batas tertentu, diberi waktu dua bulan untuk menjelaskan dari mana sumber kekayaannya itu.  Kalau tidak bisa, maka berarti kekayaannya hasil korupsi, sehingga pantas dihukum seberat-beratnya, kalau perlu hukuman mati.

Masalahnya sekarang, berapa penghasilan super maxima dari PNS yang paling top markotop itu?

Penghasilan PNS yang legal memang bukan cuma dari gaji, namun juga dari berbagai tunjangan dan dari penghasilan lain yang sah.  Menurut Permenkeu no 01/PM.02/2009 tentang Standard Biaya Umum Tahun Anggaran 2010, ada beberapa penghasilan yang masuk akal, dan mungkin terjadi pada PNS yang memang memiliki kompetensi dan kapasitas tinggi.  Berikut ini adalah simulasi penghasilan PNS yang “super maxima”

Katakanlah ini seorang PNS golongan IV/d, dengan jabatan fungsional peneliti utama, yang juga karena kompetensi, kerajinan dan loyalitasnya kepada pimpinan, mendapat tugas penelitian (riset insentif), juga sering ke daerah untuk memberi pelatihan teknis atau menjadi narasumber di berbagai lokakarya atau seminar di satker lain, juga sering dikirim ke Luar Negeri untuk menjadi delegasi Indonesia pada berbagai event ilmiah internasional. Berapa kira-kira penghasilan maksimumnya dalam setahun?

(1)   Gaji pokok golongan IV/d masa kerja golongan 20 tahun = Rp. 1.738.800, ditambah tunjangan 1 istri (10%) dan 2  anak (@ 2%) = Rp. 23.775.840/tahun (Perpres 1/2006 ttg Penyesuaian Gaji Pokok PNS)

(2)   Sebagai peneliti utama, dia berhak mendapat tunjangan peneliti senilai Rp. 1.400.000 / per bulan atau Rp. 16.800.000/tahun.

(3)   Untuk tugas riset insentif,  dia mendapat tambahan maksimum Rp. 50.000/jam x 20 jam / minggu.  Dan karena setahun ada cuti dua minggu, maka dihitung 50 minggu, dan berarti Rp. 50 juta.  Setelah dipotong PPh (pasal 21) 15% maka tinggal Rp. 42,5 juta.

(4)   Tugas ke daerah 40 kali dalam setahun, dan setiap kali biasanya dihitung 3 hari.  Dan karena di lokasi sering dijamu penuh oleh tuan rumah, maka uang lumpsum dia sebesar Rp. 300.000/hari utuh, maka ini berarti tambahan penghasilan 300.000 x 3 x 40 = Rp. 36 juta.  Lumpsum ini bebas pajak!

(5)   Honor narasumber sendiri, dihitung 2 x 3 Orang-Jam, dan karena pakar honornya Rp. 1.150.000,-/OJ, jadi kalau setahun 40 kali jadi narasumber, maka kira-kira menghasilkan Rp. 276 juta, dan setelah dipotong PPh (Pasal 21) menjadi Rp. 234,6 juta.

(6)   Tugas ke Luar Negeri 10 kali dalam setahun, dan setiap kali biasanya dihitung 5 hari.  Karena di lokasi sering dijamu KBRI, maka lumpsum dia sebesar rata-rata US$ 300/hari hanya terpakai untuk sewa hotel, dan karena pandai memilih hotel murah via internet, savingnya rata-rata US$ 250/hari. Dengan kurs Rp. 9000/US$  maka saving setahun jadi Rp. 112,5 juta.  Dan ini bebas pajak!

Dari poin 1 sampai 6 saja, sudah didapatkan penghasilan dari APBN total sekitar Rp. 466.175.840,-  Semua penghasilan ini wajar dan legal, mematuhi semua aturan.  Untuk perjalanan misalnya, semuanya at cost, tidak perlu markup tiket atau memalsu bill hotel.

(7)   Kalau dia ada di institusi yang sudah remunerasi, dan asumsikan dia ada di pertengahan dengan tambahan tunjangan Rp. 25 juta / bulan, dan ini otomatis mencakup tunjangan peneliti dia, maka tambahannya adalah (25 – 1,4) x 12 = Rp. 283,2 juta, atau setelah dipotong pajak Rp. 240.720.000.

Dengan remunerasi ini, PNS super maxima ini dapat penghasilan dari APBN setahun Rp. 706.895.840,-

Dan ini belum semua.  Karena intelektualnya, dia dicari oleh berbagai PTS untuk mengajar.

(8)   Pada malam hari atau hari Sabtu/Minggu masih memberi kuliah S2 di Perguruan Tinggsi Swasta 2 kali seminggu, setiap kali 3 jam, dan setiap jam diberi honor Rp. 200.000,-, jadi = Rp. 1,2 juta  / minggu, selama 16 kali/semester atau setahun Rp. 38,4 juta, dipotong Pph (Pasal 21) menjadi Rp. 32.640.000,-

(9)   Sebagai dosen, dapat tambahan lagi karena membimbing tesis dan menguji.  Asumsikan mahasiswa yang dibimbing dan diuji adalah 20 orang tiap semester, untuk setiap bimbingan/pengujian dapat honor Rp 2 juta, maka setahun menjadi Rp. 80 juta, setelah potong pajak menjadi Rp. 68 juta

Kesimpulannya, penghasilannya hanya Rp. 807.535.840,-, setahun, tidak sampai Rp 1 Milyar !

Kalaulah untuk kebutuhan hidup dan sekolah anak-anak, yang kebetulan cerdas-cerdas (sehingga selalu di sekolah negeri yang baik dan dekat, tidak perlu kost atau ongkos), perlu Rp. 5 juta/bulan (60 juta/tahun), maka savingnya adalah sekitar Rp. 750 juta/tahun.

Jadi kalau ternyata kekayaannya setelah 10 tahun bekerja (dengan mengabaikan inflasi), lebih dari 7,5 Milyar, maka itu sudah sangat aneh.  Ini hanya mungkin kalau ada penjelasan lain. Misalnya:

–       Istri/suaminya juga bekerja sebagai eksekutif suatu BUMN atau perusahaan multinasional top, dengan salary Rp. 300 juta/bulan = Rp. 3,6 M / tahun (setelah PPh menjadi Rp. 3,06 M)

–       Menjadi super motivator / entertainer, dan setiap tampil dibayar US$ 10.000, 50 minggu setahun, ini = Rp 4,5 M/tahun (setelah PPh Rp. 3,825 M).

–       Memiliki buku bestseller, melebihi Laskar Pelangi, dicetak 1 juta exemplar setahun, dan mendapat royalti 10% dari harga toko yang Rp. 50.000,-, jadi tambahan penghasilan Rp. 5 M/tahun (setelah PPh menjadi Rp. 4.25 M)

–       Memiliki investasi bisnis yang sudah mapan (tak perlu ditungguin), misal toko beras on-line beromzet 3000 ton / bulan, dengan nett profit setelah pajak sekitar Rp. 300 juta/bulan atau = Rp. 3,60 M / tahun.  Kalau bisnis ini tumbuh 15% per tahun, maka di tahun ke-10 nett profitnya sudah 14.5 M per tahun.

–       Memiliki temuan teknologi yang dipatenkan atau software computer yang laris, terjual di seluruh dunia 1 juta copy dengan nett profit per copynya Rp. 1 juta, maka ini sudah Rp. 1 Triliun sendiri.

Jadi mudah sekali meminta dibuktikan, apakah kekayaan yang super maxima itu halal atau tidak.  Tinggal mau tidak kita menerapkan asas pembuktian terbalik? Khalifah Umar bin Khattab r.a. sudah menerapkan asas pembuktian terbalik kepada para pejabatnya 1400 tahun yang lalu!

Tags: ,

March 29th, 2010

TSQ Stories

Al-Azhar Press
isbn: 979-3118-80-6

Buku ini saya sebut “TSQ-stories”, karena berisi kisah-kisah tentang kecerdasan ilmiah dan kreativitas teknologi yang berbasis spiritual (technoscience-spiritual-quotient).  Kisah-kisah ini digali dari sejarah keemasan peradaban Islam, era di mana diyakini ada keseimbangan yang luar biasa antara budaya rasional dan transendental, antara dunia “aqli” dan “naqli”, dan antara kemajuan dunia dan keselamatan akherat.

Kisah-kisah ini “dipulung” dari banyak sekali sumber.  Saya amat berhutang budi kepada Wikipedia, Sigrid Hunke (“Allahs Sonne ueber dem Abendland”), Ahmad Y Al-Hassan & Donald R. Hill (“Islamic Technology: An Illustrated History”), suami istri Ismail Roji & Lois Lamya al-Faruqi (“The Cultural Atlas of Islam”), Francis Robinson (“Atlas of the Islamic World since 1500”), Geoffrey Barraclough (“The Times Atlas of World History”), dan masih banyak lagi sumber-sumber yang berserakan.  Meski akurasinya dijaga, buku ini tidak dimaksudkan sebagai karya ilmiah yang harus mencantumkan sumber referensi di setiap pernyataan, namun buku ini ditulis lebih untuk dijadikan inspirasi.

Dengan kisah-kisah ini kita tidak ingin bernostalgia dan selalu menengok masa lalu.  Apalah artinya uang segudang tapi adanya di masa lalu dan sekarang dengan kantong kosong dan perut lapar kita menjadi pengemis pada rentenir-rentenir dunia?  Namun dengan kisah-kisah ini kita ingin menunjukkan, bahwa kita pernah memiliki kakek dan nenek orang-orang hebat nan mulia.  Di dalam tubuh kita mengalir darah mereka.  Dan kita juga masih memiliki apa yang pernah membuat mereka hebat dan mulia, yakni ajaran Islam, yang bila dipraktekkan secara sinergis baik di level individual, level sosial-kultural, maupun level sistemik-struktural pasti akan memberikan “ledakan peradaban” yang sama.  Dalam bahasa yang lebih gamblang, pada masa keemasan Islam itu tak cuma ada kesalehan individual, tetapi juga ada kesalehan kolektif, dan kesalehan negara.  Untuk itulah pada awal setiap kisah selalu diberikan refleksi untuk menghubungkan masa kini dengan dengan masa lalu.

Tentunya akan muncul pertanyaan lanjutan yang sangat absah: mengapa peradaban tinggi yang pernah membuat generasi hebat nan mulia itu kemudian tenggelam?  Lalu apa saja yang dapat kita perbuat untuk menarik peradaban itu dari dasar samudra agar dapat tegak kembali berlayar menuju tanah impian?  Untuk pertanyaan-pertanyaan ini sudah tersedia jawabannya, namun bukan di buku ini.

Buku ini didesain agar ringan, dapat dibawa ke sekolah di level apapun, dijadikan materi diskusi oleh guru pelajaran apapun.  Sengaja, hampir seluruh pelajaran yang ada di SD hingga SMA dapat dicarikan contohnya di satu atau lebih judul tulisan dalam buku ini.  Kita ingin, Islam tidak cuma dikenal dan diinternalisasi oleh guru agama saja, tetapi juga oleh guru-guru dari segala mata pelajaran.  Guru matematika mengetahui kisah-kisah matematikawan muslim di masa lalu, sebagaimana guru olahraga atau guru kesenian juga mendapatkan perkenalan yang serupa.  Bahkan lulusan SMA yang ingin meneruskan ke perguruan tinggi dapat mendapatkan inspirasi – dan juga motivasi – tentang jurusan apa di perguruan tinggi yang dapat mengikat emosinya dengan kehebatan dan kemuliaan nenek moyang kaum muslim.

Tentu saja, sebagai perkenalan, buku ini teramat singkat.  Sesungguhnya tulisan-tulisan ini pernah dipublikasikan di tabloid Media Umat dari tahun 2008 hingga 2010.  Setelah mengarungi nyaris seluruh jenis ilmu, tiba saatnya bahasan di tabloid tersebut diperdalam.  Kalau tidak, niscaya kisah-kisah singkat yang bersifat overview semacam ini lekas kehabisan bahan.

Sebagai catatan terakhir, kalau di buku ini disebut “ilmuwan Islam”, maka maksudnya adalah “ilmuwan negara Khilafah”.  Ilmuwan yang bersangkutan boleh jadi non muslim, atau kemurnian aqidahnya diragukan oleh sejumlah ulama ushuluddin.  Kita tidak perlu berdebat tentang itu.  Yang penting, selama seorang ilmuwan mengabdikan hidupnya dalam negara Khilafah dan karyanya memuliakan Islam dan kaum muslim, maka dia adalah “ilmuwan Islam”.  Ini karena Islam adalah suatu tatanan atau suatu ideologi yang khas.  Masyarakat Islam dibangun di atas tatanan itu, mulai dari cara pandangnya atas kehidupan dan metode mereka menyelesaikan segala persoalan kehidupan itu, yang semuanya khas.

Hal ini sebenarnya mirip dengan kalau kita menyebut “ilmuwan Amerika” untuk para saintis atau teknolog di Amerika, mulai yang bekerja di NASA atau di Microsoft hingga yang membangun Disneyland atau membuat animasi untuk Hollywood.  Mereka tak semuanya warga negara Amerika dan secara individual juga tidak semua setuju dengan ideologi ataupun politik luar negeri Amerika.  Tetapi kita tidak salah menyebut mereka “ilmuwan Amerika”, karena mereka, meski berasal dari Cina, India ataupun Timur Tengah, bekerja di Amerika, dan ikut memakmurkan, membuat jaya, dan mengharumkan citra Amerika di dunia.

Saya memohon kepada Allah, semoga langkah yang kecil ini dapat mendorong ribuan langkah kecil lainnya, hingga menjadi langkah-langkah raksasa yang cukup demi menarik peradaban Islam keluar dari dasar samudra, kembali memimpin zaman, merahmati seluruh alam.

Saya memohon kepada Allah, agar mempertemukan kita dengan orang-orang yang amat kita rindukan, yaitu baginda Nabi dan para sahabatnya, serta para ilmuwan Islam yang shaleh, yang perjalanannya mencari ilmu adalah jihad fii sabilillah, dan goresan tintanya lebih mulia dari darah para syuhada.

Daftar Isi:

1.  Ketika Agama bukan sekedar Dogma dan Busana
2.  Belajar Bahasa untuk Negara Adidaya
3.  Olahraga Para Mujahid
4.  Ketika para Seniman Orang-orang Beriman
5.  Matematika Islam bukan Numerologi
6.  Astronomi Islam tak sekedar Hisab & Ru’yat
7.  Fisikawan Islam Mendahului Zaman
8.  Terbang tanpa karpet ajaib
9.  Ketika Kimiawan tak lagi Tukang Sihir
10. Teknologi Militer Islam
11. Kedokteran Islam pakai Uji Klinis
12. Ketika Sehat bukan Misteri
13. Islam Pernah Merevolusi Pertanian
14. Ketika geografi induk segala ilmu
15. Ilmu Sosial bukan Anak Tiri
16. Psikologi tak harus ikut Freud
17. Tata Negara yang tidak membosankan
18. Ekonomi Umat tak hanya Zakat
19. Industri Islam tak hanya Perangkat Ibadat
20. Negeri Kincir Angin pertama bukan Belanda
21. Arsitektur Islam tak hanya Masjid Sentris
22. Kota Islami Kota Terrencana
23. Ketika Bencana tak hanya diratapi dengan doa
24. Krisis Energi bagi sebuah Negara Merdeka
25. Ketika Jarak bukan Penghalang Komunikasi
26. Teknologi Kelautan untuk Negara Adidaya
27. Teknologi untuk Menutup Aurat
28. Menjadi Cerdas dengan Kertas
29. Ketika Perpustakaan Jadi Identitas
30. Manajemen Riset para Mujtahid

Total 204 halaman.

Tags: ,