Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
July 18th, 2010

Masjid 1.000 Tahun di Beijing

Suasana Jum’atan di masjid Niu Jie - Beijing

Suasana Jum’atan di masjid Niu Jie – Beijing

Cina, negeri dengan penduduk terbanyak di dunia.  Kalau mendengar Cina, kita ingat komunisme, yang konon pada tahun 1965 berada di belakang Partai Komunis Indonesia.  Namun komunis di Cina kini tinggal berada di bidang politik.  Sejak tahun 1990-an, kehidupan ekonomi di Cina adalah kapitalis.  Dan Cina tumbuh menjadi raksasa ekonomi yang ditakuti oleh Amerika Serikat.

Namun mendengar kata Cina, kita juga ingat akan suatu riwayat di mana Nabi Muhammad memerintahkan umatnya untuk mencari ilmu sampai negeri Cina.  Tentu saja ilmu yang dimaksud bukan ilmu aqidah, ilmu fiqih atau ilmu tafsir.  Yang dimaksud adalah teknologi, karena di zaman Nabi, Cina sudah dikenal memiliki beberapa teknologi yang belum dikuasai oleh bangsa-bangsa Persia atau Romawi sekalipun, misalnya teknologi pembuatan kertas, kompas atau mesiu.  Saat itu tembok Cina juga sudah terbangun beberapa ratus kilometer, sebuah mahakarya yang tak ada duanya di dunia.

Tak heran di masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq sudah ada kafilah dagang yang pergi ke Cina, dengan berbagai tujuan sekaligus: mencari ilmu, berdagang untuk hidup dan berdakwah.  Tentu saja mereka mengalami banyak kesukaran seperti antara lain wajib mempelajari berbagai bahasa yang diperlukan agar dapat berkomunikasi di Cina.

Hasilnya tidak sia-sia.  Di zaman Utsman bin Affan, para alumni Cina ini sudah dapat membuat sendiri kertas, yang dengan itu Mushaf Utsmani ditulis. Namun mereka juga meninggalkan cikal bakal Islam di Cina.  Bahkan pernah ada seorang Laksamana Cina yang seorang Muslim, yaitu Cheng Ho.

Prasasti masjid Niu Jie, berdiri 996 M

Prasasti masjid Niu Jie, berdiri 996 M

Tahukah Anda, bahwa masjid di Beijing lebih tua usianya dari semua masjid yang ada di Nusantara?  Masjid ini didirikan tahun 996 M.  Tidak terlalu sulit untuk menemukan Masjid Niu Jie di Beijing ini, meski tidak banyak sopir taksi yang mengetahuinya.  Dengan menunjukkan ke peta yang ada aksara Cina-nya, dibantu sedikit bahasa Tarzan, akhirnya sampai juga saya ke masjid Niu Jie, dengan nyasar dulu ke sebuah kelenteng yang tidak jauh dari masjid.  Kelenteng ini jauh lebih kecil, tapi ternyata buat orang Cina lebih dikenal.

Dari segi bangunan, masjid Niu Jie ini tidak berbeda jauh dengan arsitektur sebuah kelenteng.  Warna-warna merah mendominasi.  Yang membedakan hanya kaligrafi Arab di atas pintu-pintunya.  Di seputar masjid ada beberapa bangunan lain.  Kaum wanita dan anak menempati bangunan terpisah, sehingga saat bapak-bapak shalat Jumat mereka dapat shalat Dzuhur sendiri.  Ruang terbuka di antara bangunan itu mengingatkan pada lapangan latihan kungfu di padepokan Shaolin.  Mungkin memang pernah difungsikan demikian.

Niu Jie Muslim Supermarket

Niu Jie Muslim Supermarket

Khutbah Jumat dan shalatnya sendiri alhamdulillah masih tetap dalam bahasa Arab.  Hanya saja saat shalat akan dimulai, dan jamaah diminta merapikan shaf, ada perintah Imam dalam bahasa Cina, yang tentu saja terdengar agak menggelikan bagi kita: ada bahasa Cina di masjid!

Masjid Niu Jie memang terletak di kawasan Muslim.  Di sekitarnya berdiri beberapa supermarket dan restoran halal.  Perempuan Cina yang berkerudung banyak terlihat.  Anak-anak muda Cina di situ juga lebih familier bahasa Arab daripada bahasa Inggris. Di Cina, ditaksir ada sekitar 10 persen penduduk Muslim.  Karena penduduk Cina 1,4 milyar manusia, maka 10 persen ini banyak juga.  Bagi pemerintah Cina, keberadaan Muslim di Beijing sebagai minoritas tidak menjadi masalah.  Lain halnya dengan Muslim Uighur di Xin Jiang yang mayoritas dan menginginkan otonomi khusus.  Mereka ditekan dan bahkan kadang-kadang dibantai. []

Tags: , , ,

July 18th, 2010

Filipina – Punya Pahlawan Islam

Masjid di Manila

Masjid di Manila

Filipina, negeri dengan 7.107 pulau di sebelah utara Indonesia.  Kalau mendengar Filipina, kita ingat revolusi menggulingkan Marcos tahun 1986, ingat ketegasan Presiden Gloria Macapagal-Aroyyo kalau sedang membela para migrant worker asal Filipina jika dizalimi di luar negeri, tapi juga ingat penindasan atas kaum muslim di Mindanao Selatan yang tak kunjung usai.

Dari 92 juta penduduk Filipina, hanya 5-10 persen yang Muslim dan mayoritas tinggal di Mindanao, Palawan dan Sulu dan dikenal sebagai Bangsa Moro.  Pasti ada suatu sejarah sehingga saat ini selain Tagalog dan Inggris sebagai bahasa resmi, Filipina memiliki bahasa asing pilihan yaitu Spanyol dan Arab!  Selain itu masih ada sekitar 10 bahasa daerah yang diakui.

Nama “Phillipines” diturunkan dari nama raja Spayol Philip II pada abad-16 yang para pelautnya menemukan kepulauan itu lalu secara sewenang-wenang menyatakan sebagai kepulauan milik Raja Phillip.  Padahal siapakah sebenarnya pemilik sah dari kepulauan itu?

Sejarah Filipina sebelum kedatangan orang-orang Spanyol adalah mirip dengan Nusantara sebelum kedatangan Belanda.   Banyak negara-negara kota atau pulau dengan penguasa para Datu (Datuk), Rajah (Raja) atau Sultan.  Sebagian wilayah pernah dikuasai oleh Raja atau Sultan dari wilayah yang sekarang di luar Filipina, seperti dari Sriwijaya, Majapahit, atau Brunei.

Pada 1380, Karim al Makdum dan Syarif al Hasyim Syed Abu Bakar, pedagang Arab kelahiran Johor datang ke Sulu dan mendirikan Sultanat Sulu dan menghasilkan kemakmuran yang besar dari perdagangan mutiara.

Akhir abad-15 Syarif Muhammad Kabungsuwan dari Johor mendakwahkan Islam di Mindanao dan menikahi puteri Parmisuli dari Mindanao dan mendirikan kesultanan Maguindanao.  Pada abad 15 Islam telah tersebar hingga Visayas dan Luzon, pulau terbesar Filipina.

Raja Sulayman

Monumen Rajah Sulayman di Rizal Memorial Park, Manila

Antara 1485-1521, Sultan Bolkiah dari Brunei mengalahkan dinasti Tondo dan mendirikan Kesultanan Seluron (sekarang Manila) sebagai negara satelit Brunei.

Tahun 1521 penjelajah Spanyol kelahiran Portugis Ferdinand Magellan mendarat di Samar dan Leyte dan mengklaim kedua pulau itu milik Spanyol, tapi kemudian dibunuh oleh tentara dari pulau Mactan yang dipimpin Datu Lapu-lapu.  Sisa pasukan Magellan kabur ke Spanyol dan mempersiapkan armada yang lebih kuat untuk menjajah Filipina.

Tahun 1565 penjelajah Spanyol Miguel Lopez de Legazpi datang dan membentuk permukiman Eropa pertama di pulau Cebu.  Tahun 1571 mereka menyerbu Kesultanan Maynila dan Tondo, dan menyatakan Manila sebagai ibukota “Spanish-East Indies”.  Rajah Sulaiman yang memimpin kesultanan Maynilla mempertahankan kota itu bersama 300 pasukan setianya sampai titik darah penghabisan.

Spanyol lalu memasukkan unsur-unsur Barat seperti hukum Barat, aksara latin, kalender Gregorian dan agama Katholik.  Filipina kemudian menjadi ajang perebutan antara Spanyol, Inggris,  Amerika Serikat, dan Jepang.

Tahun 1872 Jose Rizal dan kawan-kawan membuat gerakan kemerdekaan Filipina.  Karena tulisan-tulisannya dianggap subversif, Rizal dihukum mati pada 30 Desember 1896.   Eksekusi Rizal ini menyulut revolusi yang mengusir Spanyol dari Filipina.  Proklamasi kemerdekaan Filipina dilakukan pada 12 Juni 1898.

Spanyol tidak mampu mempertahankan Filipina karena sedang kewalahan melawan Amerika Serikat dalam perang di Cuba.  Perang ini berakhir dengan perjanjian Paris di mana Spanyol menjual Filipina, bersama Cuba, Puerto Rico dan Guam ke Amerika Serikat dengan harga US$ 20 juta. Kelanjutannya adalah perang antara Filipina melawan Amerika Serikat hingga 1913.  Kemelut dua Perang Dunia membuat Filipina akhirnya baru diakui kemerdekaannya oleh Amerika Serikat pada 4 Juli 1946 setelah Manila hancur dan Amerika mendapat tekanan internasional.  Namun secara politik, Filipina tetap “dikunci” oleh Amerika Serikat hingga hari ini.

Saat ini, penghasilan perkapita Filipina adalah US$ 3.515 per tahun, tetapi melihat kenyataan kehidupan sehari-hari di Manila tidak berbeda jauh dengan Jakarta.  Suasana kumuh, kesemrawutan lalu lintas dan gap kaya – miskinnya nyaris sama.

Di tengah kota Manila terdapat lapangan besar Jose Rizal Memorial Park untuk mengenang pahlawan Filipina terbesar itu.  Di arena itu terdapat patung para pahlawan Islam, seperti Datu Lapu-lapu dan Rajah Sulaiman. []

Tags: , , ,

June 3rd, 2010

Ketika Muadzin seorang Astronom

Dr. Fahmi Amhar

Pernahkah anda berlomba untuk memperebutkan posisi sebagai muadzin di masjid?  Muadzin mungkin bukan orang nomor satu di sebuah masjid.  Kedudukan itu barangkali lebih tepat diberikan kepada imam.  Namun Rasulullah pernah bersabda, “Andaikata umatku tahu besarnya pahala mengumandangkan adzan, barangkali setiap saat aku harus mengundinya di antara mereka”.

Untuk menjadi muadzin biasanya diperlukan sejumlah syarat, antara lain: memiliki suara yang lantang tetapi indah – sehingga orang suka mendengarnya, untuk kemudian datang ke masjid; tidak dikenal sebagai orang yang fasik; dan tentu saja bersedia datang lebih awal.  Kalau orang biasa baru berangkat ke masjid setelah mendengar suara adzan, tentunya bukan dia yang akan mengumandangkan adzan.  Ini artinya, muadzin harus hafal kapan saat-saat sholat, yang setiap harinya bisa bergeser beberapa menit.

Untuk syarat yang terakhir ini sekarang tergolong mudah.  Di mana-mana ada jam, dan di setiap masjid ada jadwal shalat abadi.  Kalau untuk adzan maghrib, orang dapat pula mendengar dari radio atau televisi – yang biasanya hanya mengacu pada kota tertentu dan sekitarnya.  Tetapi dulu, seorang muadzin wajib mengetahui sendiri saat-saat sholat.  Karena saat-saat sholat ditentukan oleh posisi matahari, maka seorang muadzin harus sedikit banyak tahu tentang astronomi.  Bahkan karena ilmu ini juga dibutuhkan untuk mengetahui arah kiblat dan awal/akhir puasa, maka praktis seorang muadzin harus seorang astronom!  Untuk itulah, di masa lalu, semua muadzin wajib memiliki sertifikasi (ijazah) ilmu falak dasar, yakni astronomi dasar untuk persoalan jadwal sholat, puasa dan arah kiblat.

Untunglah, banyak ulama Islam yang mencurahkan hidupnya untuk memudahkan pekerjaan ini.  Mereka membangun dasar-dasar ilmu falak dan lebih dari itu juga astronomi untuk navigasi di medan jihad.  Walhasil, banyak juga muadzin yang karena kemampuan astronomi ini lalu direkrut untuk jihad fi sabilillah.  Jadi di belakang predikat seorang muadzin, tidak cuma tersembunyi kemampuan mengumandangkan adzan dengan indah, tetapi juga ilmu astronomi dan pengalaman jihad.  Subhanallah.

Kaum muslim telah berburu ilmu ke Barat (Mesir, Yunani) maupun ke timur (Persia, India), mengintegrasikannya, memperkuat dasar-dasarnya dan mengembangkan jauh di atas para gurunya.  Pusat penelitian astronomi Islam yang paling tua bermula di kota Maragha.  Maka dalam sejarah ilmu pengetahuan muncullah “Madzhab Maragha” atau bahkan “Revolusi Maragha” – sebuah revolusi saintifik sebelum Rennaisance.

Ini berawal ketika Khalifah al-Ma’mun memerintahkan untuk mendirikan sebuah observatorium dan merekrut para astronom untuk melakukan pengumpulan data yang teliti guna mengoreksi data yang telah ada hingga saat itu.  Untuk itu para astronom meminta bantuan ahli-ahli mekanik untuk membuatkan sebuah alat pengamatan langit yang disebut astrolabs.  Hasil-hasil pengamatan langit yang lebih teliti ini menyelesaikan problem yang signifikan yang selalu timbul dalam model langit geosentris Ptolomeus.  Saat-saat tertentu, planet Mars tampak seperti bergerak mundur (retrograde motion).  Kalau saja model ini diubah menjadi heliosentris, maka gerak mundur planet Mars itu mudah sekali dipahami, yaitu tatkala bumi yang beredar mengelilingi matahari lebih cepat dari Mars, sedang “menyalip” Mars.  Tapi waktu itu, Ptolomeus yang percaya pada teori geosentris, mencoba memecahkan problema itu dengan lingkaran-lingkaran tambahan yang disebut episiklus.  Tetapi episiklus-episiklus ini makin lama menjadi makin rumit.

Maka sejumlah astronom muslim seperti Ibnu al-Haytsam dan Ibnu al-Syatir menekuni kemungkinan bahwa bumi berputar pada porosnya serta kemungkinan adanya sistem tata surya yang berpusat di matahari.  Mereka membuat model planet non Ptolomeus.  Sedang Muayyaduddin Urdi secara total menolak model Ptolomeus karena dasar empiris, tak hanya filosofis.  Ini pendapat yang luar biasa maju.  Nicolaus Copernicus baru berani mengemukakan pendapat ini di Eropa 500 tahun kemudian.  Buka Copernicus yang berjudul De Revolutionibus ternyata banyak mengadaptasi model langit dari Ibnu al-Syatir dan at-Tusi dari madzhab Maragha.  Argumentasi Copernicus tentang rotasi bumi juga senada dengan karya Ali al-Qusyji.

Pada abad-21 ini, fenomena langit seputar tata surya sudah bukan teori lagi, tetapi sudah menjadi fakta keras yang tidak dapat dibantah lagi.  Manusia berbagai bangsa sudah meluncurkan ribuan pesawat ruang angkasa dan satelit yang mengorbit bumi.  Terakhir, tahun 2009 para astronom dan insinyur aeronautika Iran sudah berhasil membuat satelit dan meluncurkannya dengan roket yang dibuat sendiri tanpa pertolongan negara lain.  Semua hasil eksperimen ini terus membuktikan bahwa bumi memang berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari.

Anehnya, di abad ini pula, justru ada sejumlah orang yang ghirah Islamnya tinggi kembali meragukan pendapat bahwa bumi itu berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari.  Mereka berpendapat, bumi itu diam, dan matahari, bulan dan seluruh bintang-bintang beredar mengelilingi bumi.  Mereka menganggap pendapat ini didukung Al-Qur’an (antara lain QS 35:41, dan QS 21:33).

Padahal kebenaran sebuah fenomena alam yang dapat diamati atau diukur sama sekali tidak memerlukan dalil kitab suci manapun.  Rupanya para astronom seribu tahun yang lalu justru lebih jernih dalam memahami ayat Al-Qur’an sekaligus memahami fenomena alam.  Dengan itulah mereka dapat menjadikan astronomi sebagai modal untuk memuliakan Islam dan kaum muslim.  Itu karena para astronom itu berangkat dari seorang muadzin!

Abu ar-Raihan al-Biruni menegaskan perbedaan antara astronomi dengan astrologi, sehingga menekankan pengamatan empiris yang akurat dan eksperimen untuk membuktikan kebenaran perhitungan astronomi.  Akurasi data itu juga membuat astrofisika dimulai.  Adalah Ja’far Muhammad bin Musa bin Syakir yang dari ribuan pengamatannya memastikan bahwa benda-benda langit mengalami hukum fisika yang sama seperti bumi.  Sedang Ibnu al-Haytsam, sang penemu fisika optika – yang menjadi dasar pembuatan lensa untuk teropong bintang – dari pengamatannya memastikan, bahwa apa yang hingga saat itu diyakini sebagai “lapisan-lapisan langit” ternyata bukanlah sesuatu yang padat, melainkan bahkan kurang rapat dibanding udara.  Jadi kalau di Qur’an disebut “lapis langit pertama sampai ketujuh”, maka itu pasti terletak di alam ghaib yang tidak dapat diamati manusia.  Di situlah, ketika sains berakhir, dimulailah keimanan.

Tags: ,