Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
August 9th, 2011

THE MIRACLE OF “SABAR!”

Semoga kisah ini sahih … (copas dari milis lain)

Seandainya sanadnya kurang jelas, ada kisah serupa, bahkan ada yang pernah saya saksikan sendiri …

ini sekedar memberi motivasi

 

==================

 

SEBUAH KISAH DARI TANAH ARAB…..

Ditengah gemuruhnya kota, ternyata Riyadh menyimpan bayak kisah.

Kota ini menyimpan rahasia yang hanya diperdengarkan kepada telinga dan hati yang mendengar. Tentu saja, Hidayah adalah kehendak NYA dan Hidayah hanya akan diberikan kepada mereka yang mencarinya.

Ada sebuah energi yang luar biasa dari cerita yang kudengar beberapa hari yang lalu dari sahabat Saya mengenal banyak dari mereka, ada beberapa dari Palestina, Bahrain, Jordan, Syiria, Pakistan, India, Srilanka dan kebanyakan dari Mesir dan Saudi Arabia sendiri. Ada beberapa juga dari suku Arab yang tinggal dibenua Afrika. Salah satunya adalah teman dari Negara Sudan, Afrika.

Saya mengenalnya dengan nama Ammar Mustafa, dia salah satu Muslim kulit hitam yang juga kerja di Hotel ini.

Beberapa bulan ini saya tidak lagi melihatnya berkerja.

Biasanya saya melihatnya bekerja bersama pekerja lainnya menggarap proyek bangunan di tengah terik matahari kota Riyadh yang sampai saat ini belum bisa ramah dikulit saya.

Hari itu Ammar tidak terlihat.

Karena penasaran, saya coba tanyakan kepada Iqbal tentang kabarnya.

“Oh kamu tidak tahu?”

Jawabnya balik bertanya, memakai bahasa Ingris khas India yang bercampur dengan logat urdhu yang pekat.

“Iyah beberapa minggu ini dia gak terlihat di Mushola ya?” Jawab saya.

Selepas itu, tanpa saya duga iqbal bercerita panjang lebar tentang Ammar.

Dia menceritakan tentang hidup Ammar yang pedih dari awal hingga akhir, semula saya keheranan melihat matanya yang menerawang jauh. Seperti ingin memanggil kembali sosok teman sekamarnya itu.

Saya mendengarkan dengan seksama.

Ternyata Amar datang ke kota Riyadh ini lima tahun yang lalu, tepatnya sekitar tahun 2004 lalu.

Ia datang ke Negeri ini dengan tangan kosong, dia nekad pergi meninggalkan keluarganya di Sudan untuk mencari kehidupan di Kota ini. Saudi arabia memang memberikan free visa untuk Negara Negara Arab lainnya termasuk Sudan, jadi ia bisa bebas mencari kerja disini asal punya Pasport dan tiket.

Sayang, kehidupan memang tidak selamanya bersahabat.

Do’a Ammar untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di kota ini demi keluarganya ternyata saat itu belum terkabul. Dia bekerja berpindah pindah dengan gaji yang sangat kecil, uang gajinya tidak sanggup untuk membayar apartemen hingga ia tinggal di apartemen teman temannya.

Meski demikian, Ammar tetap gigih mencari pekerjaan.

Ia tetap mencari kesempatan agar bisa mengirim uang untuk keluarganya di Sudan.

Bulan pertama berlalu kering, bulan kedua semakin berat…

Bulan ketiga hingga tahun tahun berikutnya kepedihan Ammar tidak kunjung berakhir..

Waktu bergeser lamban dan berat, telah lima tahun Ammar hidup berpindah pindah di Kota ini. Bekerja dibawah tekanan panas matahari dan suasana Kota yang garang.

Tapi amar tetap bertahan dalam kesabaran.

Kota metropolitan akan lebih parah dari hutan rimba jika kita tidak tahu caranya untuk mendapatkan uang, dihutan bahkan lebih baik. Di hutan kita masih bisa menemukan buah buah, tapi di kota? Kota adalah belantara penderitaan yang akan menjerat siapa saja yang tidak mampu bersaing.

Riyadh adalah ibu kota Saudi Arabia.

Hanya berjarak 7 jam dari Dubai dan 10 Jam jarak tempuh dengan bis menuju Makkah. Dihampir keseluruhan kota ini tidak ada pepohonan untuk berlindung saat panas. Disini hanya terlihat kurma kurma yang berbuah satu kali dalam setahun..

Amar seperti terjerat di belantara Kota ini.

Pulang ke suddan bukan pilihan terbaik, ia sudah melangkah, ia harus membawa perubahan untuk kehidupan keluarganya di negeri Sudan. Itu tekadnya.

Ammar tetap tabah dan tidak berlepas diri dari keluarganya.

Ia tetap mengirimi mereka uang meski sangat sedikit, meski harus ditukar dengan lapar dan haus untuk raganya disini.

Sering ia melewatkan harinya dengan puasa menahan dahaga dan lapar sambil terus melangkah, berikhtiar mencari suap demi suap nasi untuk keluarganya di Sudan.

Tapi Ammar pun Manusia.

Ditahun kelima ini ia tidak tahan lagi menahan malu dengan teman temannya yang ia kenal, sudah lima tahun ia berpindah pindah kerja dan numpang di teman temannya tapi kehidupannya tidak kunjung berubah.

Ia memutuskan untuk pulang ke Sudan.

Tekadnya telah bulat untuk kembali menemui keluarganya, meski dengan tanpa uang yang ia bawa untuk mereka yang menunggunya.

Saat itupun sebenarnya ia tidak memiliki uang, meski sebatas uang untuk tiket pulang.

Ia memaksakan diri menceritakan keinginannya untuk pulang itu kepada teman terdekatnya. Dan salah satu teman baik amar memahaminya ia memberinya sejumlah uang untuk beli satu tiket penerbangan ke Sudan.

Hari itu juga Ammar berpamitan untuk pergi meninggalkan kota ini dengan niat untuk kembali ke keluarganya dan mencari kehidupan di sana saja.

Ia pergi ke sebuah Agen di jalan Olaya- Riyadh, utuk menukar uangnya dengan tiket. Sayang, ternyata semua penerbangan Riyadh-Sudan minggu ini susah didapat karena konflik di Libya, Negara tetangganya. Tiket hanya tersedia untuk kelas executive saja.

Akhirnya ia beli tiket untuk penerbangan minggu berikutnya.

Ia memesan dari saat itu supaya bisa lebih murah. Tiket sudah ditangan, dan jadwal terbang masih minggu depan.

Ammar sedikit kebingungan dengan nasibnya.

Tadi pagi ia tidak sarapan karena sudah tidak sanggup lagi menahan malu sama temannya, siang inipun belum ada celah untuk makan siang. Tapi baginya ini bukan hal pertama. Ia hampir terbiasa dengan kebiasaan itu.

Adzan dzuhur bergema..

Semua Toko Toko, Supermarket, Bank, dan Kantor Pemerintah serentak menutup pintu dan menguncinya. Security Kota berjaga jaga di luar kantor kantor, menunggu hingga waktu Shalat berjamaah selesai.

Ammar tergesa menuju sebuah masjid di pusat kota Riyadh.

Ia mengikatkan tas kosongnya di pinggang, kemudian mengambil wudhu.. memabasahi wajahnya yang hitam legam, mengusap rambutnya yang keriting dengan air.

Lalu ia masuk mesjid. Shalat 2 rakaat untuk menghormati masjid. Ia duduk menunggu mutawwa memulai shalat berjamaah.

Hanya disetiap shalat itulah dia merasakan kesejukan,

Ia merasakan terlepas dari beban Dunia yang menindihnya, hingga hatinya berada dalam ketenangan ditiap menit yang ia lalui.

Shalat telah selesai.

Ammar masih bingung untuk memulai langkah.

Penerbangan masih seminggu lagi.

Ia diam.

Dilihatnya beberapa mushaf al Qur’an yang tersimpan rapi di pilar pilar mesjid yang kokoh itu. Ia mengmbil salah satunya, bibirnya mulai bergetar membaca taawudz dan terus membaca al Qur’an hingga adzan Ashar tiba menyapanya.

Selepas Maghrib ia masih disana.

Beberapa hari berikutnya, Ia memutuskan untuk tinggal disana hingga jadwal penerbangan ke Sudan tiba.

Ammar memang telah terbiasa bangun awal di setiap harinya.

Seperti pagi itu, ia adalah orang pertama yang terbangun di sudut kota itu.

Ammar mengumandangkan suara indahnya memanggil jiwa jiwa untuk shalat, membangunkan seisi kota saat fajar menyingsing menyapa Kota.

Adzannya memang khas.

Hingga bukan sebuah kebetulan juga jika Prince (Putra Raja Saudi) di kota itu juga terpanggil untuk shalat Subuh berjamaah disana.

Adzan itu ia kumandangkan disetiap pagi dalam sisa seminggu terakhirnya di kota Riyadh.

Hingga jadwal penerbanganpun tiba. Ditiket tertulis jadwal penerbangan ke Sudan jam 05:23am, artinya ia harus sudah ada di bandara jam 3 pagi atau 2 jam sebelumnya.

Ammar bangun lebih awal dan pamit kepada pengelola masjid, untuk mencari bis menuju bandara King Abdul Azis Riyadh yang hanya berjarak kurang dari 30 menit dari pusat Kota.

Amar sudah duduk diruang tunggu dibandara,

Penerbangan sepertinya sedikit ditunda, kecemasan mulai meliputinya.

Ia harus pulang kenegerinya tanpa uang sedikitpun, padahal lima tahun ini tidak sebentar, ia sudah berusaha semaksimal mungkin.

Tapi inilah kehidupan, ia memahami bahwa dunia ini hanya persinggahan.

Ia tidak pernah ingin mencemari kedekatannya dengan Penggenggam Alam semesta ini dengan mengeluh. Ia tetap berjalan tertatih memenuhi kewajiban kewajibannya, sebagai Hamba Allah, sebagai Imam dalam keluarga dan ayah buat anak anaknya.

Diantara lamunan kecemasannya, ia dikejutkan oleh suara yang memanggil manggil namanya.

Suara itu datang dari speaker dibandara tersebut, rasa kagetnya belum hilang Ammar dikejutkan lagi oleh sekelompok berbadan tegap yang menghampirinya.

Mereka membawa Ammar ke mobil tanpa basa basi, mereka hanya berkata “Prince memanggilmu”.

Ammarpun semakin kaget jika ia ternyata mau dihadapkan dengan Prince. Prince adalah Putra Raja, kerajaan Saudi tidak hanya memiliki satu Prince. Prince dan Princess mereka banyak tersebar hingga ratusan diseluruh jazirah Arab ini. Mereka memilii Palace atau Istana masing masing.

Keheranan dan ketakutan Ammar baru sirna ketika ia sampai di Mesjid tempat ia menginap seminggu terakhir itu, disana pengelola masjid itu menceritakan bahwa Prince merasa kehilangan dengan Adzan fajar yang biasa ia lantunkan.

Setiap kali Ammar adzan prince selalu bangun dan merasa terpanggil..

Hingga ketika adzan itu tidak terdengar, Prince merasa kehilangan. Saat mengetahui bahwa sang Muadzin itu ternyata pulang kenegerinya Prince langsung memerintahkan pihak bandara untuk menunda penerbangan dan segera menjemput Ammar yang saat itu sudah mau terbang untuk kembali ke Negerinya.

Singkat cerita, Ammar sudah berhadapan dengan Prince.

Prince menyambut Ammar dirumahnya, dengan beberapa pertanyaan tentang alasan kenapa ia tergesa pulang ke Sudan.

Amarpun menceritakan bahwa ia sudah lima tahun di Kota Riyadh ini dan tidak mendapatkan kesempatan kerja yang tetap serta gaji yang cukup untuk menghidupi keluarganya.

Prince mengangguk nganguk dan bertanya: “Berapakah gajihmu dalam satu bulan?”

Amar kebingungan, karena gaji yang ia terima tidak pernah tetap. Bahkan sering ia tidak punya gaji sama sekali, bahkan berbulan bulan tanpa gaji dinegeri ini.

Prince memakluminya.

Beliau bertanya lagi: “Berapa gaji paling besar dalam sebulan yang pernah kamu dapati?”

Dahi Ammar berkerut mengingat kembali catatan hitamnya selama lima tahun kebelakang. Ia lalu menjawabnya dengan malu: “Hanya SR 1.400”, jawab Ammar.

Prince langsung memerintahkan sekretarisnya untuk menghitung uang.

1.400 Real itu dikali dengan 5 tahun (60 bulan) dan hasilnya adalah SR 84.000 (84 Ribu Real = Rp. 184. 800.000). Saat itu juga bendahara Prince menghitung uang dan menyerahkannya kepada Amar.

Tubuh Amar bergetar melihat keajaiban dihadapannya.

Belum selesai bibirnya mengucapkan Al Hamdalah,

Prince baik itu menghampiri dan memeluknya seraya berkata:

“Aku tahu, cerita tentang keluargamu yang menantimu di Sudan. Pulanglah temui istri dan anakmu dengan uang ini. Lalu kembali lagi setelah 3 bulan. Saya siapkan tiketnya untuk kamu dan keluargamu kembali ke Riyadh. Jadilah Bilall dimasjidku.. dan hiduplah bersama kami di Palace ini”

Ammar tidak tahan lagi menahan air matanya.

Ia tidak terharu dengan jumlah uang itu, uang itu memang sangat besar artinya di negeri Sudan yang miskin. Ammar menangis karena keyakinannya selama ini benar, Allah sungguh sungguh memperhatikannya selama ini, kesabarannya selama lima tahun ini diakhiri dengan cara yang indah.

Ammar tidak usah lagi membayangkan hantaman sinar matahari disiang hari yang mengigit kulitnya. Ammar tidak usah lagi memikirkan kiriman tiap bulan untuk anaknya yang tidak ia ketahui akan ada atau tidak.

Semua berubah dalam sekejap!

Lima tahun itu adalah masa yang lama bagi Ammar.

Tapi masa yang teramat singkat untuk kekuasaan Allah.

Nothing Imposible for Allah,

Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah..

Bumi inipun Milik Allah,..

Alam semesta, Hari ini dan Hari Akhir serta Akhirat berada dalam Kekuasaan Nya.

Inilah buah dari kesabaran dan keikhlasan.

Ini adalah cerita nyata yang tokohnya belum beranjak dari kota ini, saat ini Ammar hidup cukup dengan sebuah rumah di dalam Palace milik Prince. Ia dianugerahi oleh Allah di Dunia ini hidup yang baik, ia menjabat sebagai Muadzin di Masjid Prince Saudi Arabia di pusat kota Riyadh.

Subhanallah…

Seperti itulah buah dari kesabaran.

“Jika sabar itu mudah, tentu semua orang bisa melakukannya.

Jika kamu mulai berkata sabar itu ada batasnya, itu cukup berarti pribadimu belum mampu menetapi kesabaran karena sabar itu tak ada batasnya. Batas kesabaran itu terletak didekat pintu Syurga dalam naungan keridhaan Nya”. (NAI)

وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar”. (Al Fushilat 35)

Allahuakbar!

Maha Benar Allah dengan segala Firman Nya

Tags: , , ,

August 2nd, 2011

Simulasi Rukyat Global – apakah mungkin Sholat Ied di hari yang sama?

Menjawab keraguan sebagian kalangan, karena di dunia ini 24 (atau bahkan maximum 26 daerah waktu) sehingga di dunia setiap saat selalu ada 2 hari. oke kita simulasikan begini: ada 6 kota: Samoa (di extrim Barat, GMT-11), New York (GMT-5), London (GMT+0), Makkah (GMT+3), Jakarta (GMT+7), dan Tonga (extrim timur, GMT+13 — bukan GMT+12).

Asumsikan “Ahad sore” (tanggalnya terserah, yang jelas 29 Ramadhan) mereka rukyat. Pasti yang rukyat duluan adalah Tonga. Baru 24 jam kemudian – kalau dibilang “Ahad sore” – adalah Samoa.

Kalau katakan di Tonga Ahad pukul 18 rukyat, dan hilal kelihatan.

Peristiwa ini diikuti secara on-line.

Tonga mengatakan “besok” (yaitu Senin) lebaran Iedul Fitri.

Maka:

– di Jakarta masih Ahad pukul 12 siang; “besok” adalah Senin.

– di Makkah masih Ahad pukul 8 pagi; “besok” adalah Senin.

– di London masih Ahad pukul 5 pagi; “besok” adalah Senin.

– di NewYork masih Sabtu pukul 24 atau Ahad pukul 0 pagi; meski masih malam, tapi karena ini malam 29 Ramadhan, maka disempurnakan dulu, jadi “besok” juga Senin.

– di Samoa masih Sabtu pukul 18 sore, sama maghribnya dengan Tonga, tetapi ini malam 29 Ramadhan, maka disempurnakan dulu, jadi “besok” juga Senin.

 

Jadi rukyat global di Tonga akan menjadikan Sholat Ied di seluruh dunia sama-sama Senin.

Sekarang katakanlah di 5 kota dari Tonga hinga New York hilal tertutup awan, sehingga Ahad sore hilal tidak dapat terlihat, meski secara astronomi sudah di atas ufuk, dan itsbat memutuskan Ramadhan istikmal. Tetapi di Samoa hilal terlihat pada Ahad pukul 18 sore (29 Ramadhan), dan diumumkan “besok” (yaitu Senin) lebaran Iedul Fitri. Maka:

– di Tonga sudah Senin pukul 18 sore; sudah sama-sama Maghrib tapi hari Senin sudah selesai, sehingga “besok” adalah Selasa; bisa saja yang tadi sudah dilalui dan sudah dianggap tgl 30 Ramadhan dicancel dan dianggap 1 Syawal, agar kelanjutan hari kembali konsisten (Selasa 2 Syawal). Tetapi yang jelas, perayaan Iedul Fitri tidak bisa pada hari Senin yang sama.

– di Jakarta sudah Senin pukul 12 siang; bisa saja istikmal dicancel, tetapi sudah tidak mungkin sholat Ied lagi, jadi Senin ini sudah 1 Syawal, tetapi sholat Ied-nya baru besok.

– di Makkah sudah Senin pukul 8 pagi; istikmal 30 Ramadhan bisa dicancel, jadi Senin pagi ini juga lebaran.

– di London sudah Senin pukul 5 pagi; istikmal 30 Ramadhan bisa dicancel, jadi Senin ini juga Lebaran.

– di New York masih Ahad pukul 24 atau Senin pukul 0 pagi; istikmal 30 Ramadhan bisa dicancel; jadi “besok” Senin Lebaran.

Jadi rukyat global di Samoa ternyata TIDAK BISA membuat hari sholat Ied di seluruh dunia sama; tetapi akan 2 hari yaitu Senin dan Selasa, lepas soal cancelling istikmal 30 Ramadhan.

Bagaimana kalau kita ambil kota di tengah yang rukyat? katakanlah dari Tonga sampai Mekkah gagal merukyat karena cuaca, tetapi London berhasil pada Ahad sore pukul 18 waktu London, maka:

– di Tonga sudah Senin pukul 7 pagi; istikmal dicancel, jadinya Senin ini juga lebaran.

– di Jakarta sudah Senin pukul 1 pagi; istikmal dicancel, jadinya besok Senin lebaran.

– di Makkah masih Ahad pukul 21; istikmal dicancel, jadinya besok Senin lebaran.

– di New York masih Ahad pukul 13; sempurnakan hari, besok Senin lebaran.

– di Samoa masih Ahad pukul 7 pagi; sempurnakan hari, besok Senin lebaran.

Jadi rukyat global di London masih bisa menjaga kesamaan hari lebaran.

KESIMPULAN

Yang paling crucial memang bila rukyat yang berhasil adalah yang di “pojok barat” daerah penanggalan kita, yaitu Samoa.

PERSOALAN YANG ADA SELAMA INI BELUM SEJAUH ITU.

YANG SERING TERJADI ADALAH KLAIM RUKYAT YANG SECARA SAINTIFIK TIDAK VALID, MISALNYA TERKADANG ADA KLAIM RUKYAT PADAHAL BELUM IJTIMA’ ATAU TINGGI BULAN MASIH NEGATIF. MESKI TIDAK ADA FOTONYA, DAN ADA BESAR POTENSI KEKELIRUAN, NAMUN SEBAGIAN PAKAR SYARIAH MASIH KEBERATAN UNTUK MENOLAK RUKYAT SEMACAM INI. SEBAGIAN PAKAR SYARIAH MENGANGGAP “MENOLAK RUKYAT DENGAN ALASAN ASTRONOMIS” ADALAH TIDAK SYAR’I. ALASANNYA, KARENA ASTRONOMI DIANGGAP BUKAN SESUATU YANG PASTI SEHINGGA BISA MEMBATALKAN KESAKSIAN. MEREKA BERPANDANGAN PENDAPAT PARA AHLI ASTRONOMI SUKA BERBEDA-BEDA, INI -MENURUT MEREKA- MEMBUKTIKAN ASTRONOMI TIDAK PASTI.

PADAHAL, DALAM MASALAH MENGHITUNG KAPAN IJTIMA’ ATAU TINGGI HILAL, PARA PAKAR ASTRONOMI TELAH SEPAKAT. YANG BERBEDA-BEDA ADALAH PERISTIWA ASTRONOMIS YANG MANA YANG DAPAT DIANGGAP SEBAGAI PERALIHAN TANGGAL HIJRIYAH, APAKAH IJTIMA’? APAKAH WUJUDUL HILAL? APAKAH IMKAN 2 DERAJAT? APAKAH IMKAN 5 DERAJAT?  DSB.

JADI BUKAN PADA MENGHITUNGNYA ITU SENDIRI.

SAYA SENDIRI BERPENDAPAT, UNTUK PEMBUATAN KALENDER, TIDAK USAH PAKAI HISAB ASTRONOMI.  PASTI HASILNYA AKAN BEDA-BEDA KARENA TERGANTUNG KOORDINAT LOKASI YANG DIHITUNG.  KITA KEMBALI SAJA KE KALENDER URFIAH YANG SUDAH DIPAKAI DI ZAMAN NABI.  TERUS RUKYAT HANYA KITA KERJAKAN PADA 29 SYA’BAN. 1 SYA’BANNYA SENDIRI TIDAK USAH DIRUKYAT, KARENA TIDAK ADA PERINTAHNYA.

WALLLAHU A’LAM

Tags: ,

August 1st, 2011

Prof. Sofian Siregar harusnya tidak membodohi-bodohi ummat

Pernyataan Prof. Sofian Siregar bahwa “Sidang isbat malam ini [31 Juli 2011] merupakan pembodohan umat dan cuma seremoni buang-buang anggaran”, karena “Perintah agama untuk melakukan ru’yatul hilal (mengamati bulan baru, red) dilakukan pada tanggal 29 Sya’ban, bukan pada 30 Sya’ban atau 31/8/2011 malam ini” (detiknews.com, 31/7/2011) menunjukkan keawaman seseorang pada fakta falakiyah (astronomi), sekalipun orang itu adalah guru besar syariah.

Yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa sejak dunia Islam tidak memiliki pemimpin umum (khalifah), maka setiap negeri dan bahkan nyaris setiap ormas menyusun sendiri kalender hijriyah dengan metode, kriteria dan parameter yang berbeda-beda. Karena itu kalender Islam yang ada di dunia tidak seragam.

Sebagai contoh, kalender Ummul Qura yang dipakai di Makkah Saudi Arabia, dan sepertinya diikuti di institusi tempat Prof. Sofian Siregar bekerja, menggunakan kriteria ijtima’ qabla ghurub (moon-conjunction sebelum maghrib). Karena ijtima’ sya’ban jatuh pada tgl 1 Juli pukul 15:54 WIB, akibatnya, tgl 1 Sya’ban 1432H jatuh pada 2 Juli 2011.. Sedang Kementerian Agama RI dan juga negara-negara ASEAN menggunakan kriteria imkanur rukyat 2 derajat, sehingga 1 Sya’ban 1432H jatuh pada 3 Juli 2011. Karena startnya sudah berbeda, maka tanggal 29 Sya’bannya juga berbeda. Di Indonesia, 29 Sya’ban jatuh pada Ahad 31 Juli 2011.

Manakah dari kriteria itu yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah? Karena ini soal fakta, maka semestinya menanyakan kepada para ahli-ahli astronomi yang menekuni falakiyah Islam, terutama masalah rukyatul hilal. Hingga hari ini, para ahli falak yang melakukan rukyat secara teratur tiap bulan dan terdokumentasikan dengan baik (difoto), mendapatkan bahwa hilal baru dapat dirukyat kalau terpenuhi tiga syarat: (1) Astronomi, (2) Baiknya pengamat dan lingkungan pengamatan, dan (3) Cuaca yang mendukung (atau disebut juga syarat ABC). Dari hasil sekian ratus rukyatul hilal yang terdokumentasi dengan baik, didapatkan beberapa kriteria astronomi yang dikenal dengan kriteria Danjon, atau kriteria LAPAN (yang diusulkan Prof. Thomas Djamaluddin), atau kriteria Odeh (Prof. Mohammad Odeh dari Jordanian Astronomical Society). Kriteria itu menyebutkan misalnya tinggi hilal minimal, umurnya, prosentase pencahayaan dan sebagainya, agar tidak ada kekeliruan rukyat.

Namun demikian, meski secara astronomi sudah mungkin terlihat, tidak otomatis bisa diamati, karena kalau syarat B dan syarat C tidak terpenuhi, tetap saja hilal tersembunyi. Untuk itulah pengamatan hilal harus tidak dibatasi tempat tertentu, tetapi dilakukan secara global (rukyat global).

Jadi melalui FB  ini saya mengajak Prof. Sofian Siregar untuk bersama-sama mencerdaskan ummat, mengajak ummat bersatu, dan tidak sepihak menganggap bodoh mereka yang saat ini masih berbeda. Maklumilah, inilah buah tidak adanya Khilafah yang mempersatukan kaum muslimin saat ini.

Salam, dan Selamat Berpuasa

Tags: