Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
November 21st, 2011

BANGGA KARENA KARYA

Sekarang negeri ini sedang berharap banyak dapat medali emas dari pesta olahraga Asia Tenggara (SEAGAMES) yang sedang berlangsung di Palembang dan Jakarta.  Menteri Pemuda dan Olahraga sampai memberi iming-iming yang “sesuatu banget”, yakni setiap peraih medali emas akan diberi tambahan bonus duaratus juta Rupiah, ditambah hadiah lain dari sponsor, bahkan akan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil untuk membantu membina olahraga.  Negeri ini memang sudah cukup lama miskin prestasi yang dapat dibanggakan di kancah dunia.  Sehingga walaupun ini cuma arena SEAGAMES, yang sebenarnya hanya diikuti oleh 10 negara yang tidak terhitung tangguh di kancah olahraga, tapi menang terhadap negara lain masih dapat membuat bangga dan untuk itu harus tetap disyukuri.

Padahal bila direnungkan, tidak banyak masyarakat yang merasakan manfaat dari dimenangkannya lari 100 meter, loncat indah, angkat besi ataupun sepak takraw.  Satu dua jenis olahraga mungkin cukup menghibur, tetapi bagi sebagian masyarakat, tidak terlalu banyak bedanya, apakah menonton sepakbola antara Manchester United melawan Liverpool, atau menonton PSSI melawan Laos.  Mungkin malah yang MU vs Liverpool lebih ditunggu-tunggu, karena secara umum lebih bagus dan menarik.

Perhatian terhadap prestasi olahraga yang sebenarnya baru “gitu-gitu saja” ini berbeda dengan perhatian negeri ini pada prestasi yang sebenarnya berdampak lebih luas, misalnya karya para ilmuwan atau teknolog yang menerapkan ilmunya di masyarakat (technopreneur).

Sebenarnya banyak ilmuwan dan technopreneur di negeri ini yang membuat karya-karya besar yang dirasakan masyarakat secara langsung maupun tak langsung dan bahkan diakui oleh dunia internasional.  Tetapi karya mereka jarang disorot media massa.  Masyarakat jadi tak kenal, sehingga tak merasa bangga sebagai anak bangsa.  Dan pemerintah juga tidak memberi penghargaan yang pantas.  Walhasil, sekarang ini, peneliti yang paling senior pun, Profesor Doktor yang sekolahnya susah di Luar Negeri, gaji dan tunjangannya masih lebih rendah dari guru SD di Jakarta.  Kita belum membandingkannya dengan atlit berprestasi, artis atau politisi.

Padahal di dunia Islam, kita lama pernah sangat percaya diri sebagai sebuah bangsa.  Itu pada zaman ketika belum ada pesta olahraga antar bangsa atau Olympiade ala Yunani kuno belum dihidupkan lagi.

Kunci dari rasa bangga sebagai bangsa dan percaya diri itu muncul semata-mata karena karya.  Ada suatu masa di dunia ini ketika tidak ada kemajuan kecuali ada kontribusi kaum muslim dan negara Islam di dalamnya.  Mereka bangga dengan karya kolektifnya, bangga karena ada jejak amal shalehnya.

Bagaimana tidak, saat itu apa saja yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari, dipelopori, ditemukan atau dimutakhirkan oleh para ilmuwan Islam.  Mulai dari sabun untuk mandi, piring porselin untuk makan, tekstil untuk menutup auratnya, mesin-mesin pembangkit energi, teknologi konstruksi untuk membangun gedung-gedung, kapal untuk berlayar, aljabar untuk menghitung, ilmu pengobatan, musik untuk terapi kejiwaan, hingga geografi untuk merencanakan apa yang ada di bumi dan astronomi untuk bernavigasi dengan apa yang tampak di langit.

Semua kontribusi para ilmuwan itu dinikmati umat manusia selamanya, bahkan tidak hanya di negeri itu saja.  Bandingkan dengan prestasi atlit di SEAGAMES yang mungkin dua tahun lagi sudah dilupakan, karena akan tertutup oleh atlit yang baru yang lebih muda.

Tetapi kontribusi karya yang lebih besar itu tidak mungkin tanpa sinergi banyak pihak.  Seorang ilmuwan besar lebih mudah dimunculkan pada masyarakat yang gemar belajar dan menghargai ilmu.  Dan masyarakat yang seperti itu lebih mudah dikondisikan oleh media massa yang menyebarkan opini yang konstruktif.  Seorang ilmuwan besar juga lebih mudah dimunculkan jika ada kemauan politik dari penguasa negara yang diikuti langkah nyata.  Misalnya mengalokasikan anggaran yang cukup untuk aktivitas pendidikan dan riset, serta membuat aturan yang ramah terhadap hasil riset agar lebih mudah diterapkan dalam pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah.

Dan itu semua dikerjakan selama masa yang panjang di era Khilafah Abbasiyah dan Utsmaniyah.  Khalifah secara sistematis menggerakkan mesin pendidikan.  Rakyat dimudahkan untuk belajar.  Negara membayar guru-guru hingga berkecukupan dan mengadakan perpustakaan, di mana rakyat bebas membaca buku-bukunya sepuasnya.

Negara mensponsori riset-riset awal dan perjalanan ilmiah yang menjelajahi dunia baru.  Inilah yang membuat seorang Al-Khawarizmi (780-850 M) bisa leluasa menulis bukunya yang merubah cara dunia dalam berhitung, yaitu Kitab Aljabar wa al-Muqobalah.  Banyak hal dalam kitab itu yang baru terasa manfaatnya setelah ratusan tahun!  Tetapi itulah, negara khilafah tidak melihat keuntungan jangka pendek dari sebuah karya ilmiah.  Demikian juga dengan penemuan fisika optika (camera obsicular) dari Ibn al-Haitsam, yang barangkali di saat hidupnya belum memiliki aplikasi praktis.  Atau catatan perjalanan sang geografer penjelajah, Ibnu Batuthah.

Kehebatan sebagian dari ilmuwan-ilmuwan itu ada yang sempat dikenali semasa hidupnya, sehingga Khalifah atau para sulthan (gubernur) menghadiahi mereka emas seberat buku yang ditulisnya.  Tetapi sebagian yang lain terhargai dengan sendirinya ketika setiap ilmu yang mereka wariskan digunakan oleh orang-orang sesudahnya.  Mereka mendapatkan pahala yang tak putus-putusnya.

Dan umat Islam juga bangga dengan karya-karya mereka.  Bagaimana tidak bangga bila orang-orang asing berduyun-duyun sekolah di universitas di dunia Islam, termasuk Sylvester II yang kemudian menjadi Paus di Vatikan tahun 999 – 1003 M dan memperkenalkan “angka” arab di Eropa, ternyata juga alumni universitas Islam di Cordoba.

 

Bangga karena karya ini lebih mendasar, “lebih sesuatu”, tidak hanya pencitraan karena medali emas SEAGAMES.  Itulah yang membuat rakyat khilafah dengan percaya diri berdakwah ke seluruh penjuru dunia.  Dan berbagai negeri menerima dakwah Islam karena takjub pada sebuah negara dan masyarakatnya yang luar biasa.  Para pangeran dari negara paling hebat di Nusantara yaitu Majapahit saja memandang takjub para pedagang yang datang dari dunia Islam, sehingga mereka kemudian masuk Islam, menyebarkan Islam dan mengganti negara Majapahit yang mereka warisi menjadi negara Islam juga.

Bukan seperti sekarang.  Ada beberapa negeri yang prestasi olahraganya lebih hebat dari Indonesia (misalnya Brazil atau Argentina).  Tetapi tetap saja di kancah politik, ekonomi dan budaya, rakyatnya sendiri tidak bangga, karena mereka tetap pecundang dan bahan tertawaan.

Tags: , , ,

November 8th, 2011

DOA BAGI SAHABAT WANITA YANG AKAN MENIKAH

Aku berdoa untuk seorang pria, yang akan menjadi bagian dari hidup sahabatku
Seorang pria yang sungguh mencintai-Mu lebih dari segala sesuatu.

Seorang pria yang akan meletakkan sahabatku pada posisi kedua di hatinya setelah Engkau
seorang pria yang hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk-Mu.

Seorang pria yang mempunyai hati sungguh mencintai dan haus akan Engkau
dan memiliki keinginan untuk mentauladani sifat-sifat Agung-Mu.

Seorang pria yang mengetahui bagi siapa dan untuk apa ia hidup, sehingga hidupnya tidaklah sia-sia
seorang pria yang mempunyai hati yang bijak bukan hanya sekedar otak yang cerdas.

Seorang pria yang tidak hanya mencintai sahabatku tetapi juga menghormatinya
seorang pria yang tidak hanya memujanya tetapi dapat juga menasehatinya ketika berbuat salah
seorang pria yang mencintainya bukan karena kecantikannya tetapi karena hatinya.

Seorang pria yang dapat menjadi sahabat terbaiknya dalam tiap waktu dan situasi
seorang pria yang dapat membuatnya merasa sebagai seorang wanita ketika di sebelahnya.

Seorang pria yang membutuhkan dukungannya sebagai peneguhnya
seorang pria yang membutuhkan do’anya untuk kehidupannya
seorang pria yang membutuhkan senyumannya untuk mengatasi kesedihannya
seorang pria yang membutuhkan dirinya untuk membuat hidupnya menjadi sempurna.

Dan aku juga meminta .

Buatlah sahabatku menjadi seorang perempuan yang dapat membuat seorang pria itu bangga
berikan dia sebuah hati yang sungguh mencintai-Mu, sehingga dia dapat mencintainya
dengan cinta-Mu, bukan mencintainya dengan sekedar cinta

Berikanlah sifat-Mu yang lembut sehingga kecantikannya datang dari-Mu bukan dari luar dirinya
Berikan dia tangan-Mu sehingga dia selalu berdoa untuknya.

Berikanlah dia penglihatan-Mu sehingga dia dapat melihat
banyak hal baik dalam diri suaminya dan bukan hal buruk saja
Berikanlah dia mulut-Mu yang penuh dengan kata-kata kebijaksanaan-Mu dan pemberi semangat,
sehingga dia dapat mendukungnya setiap hari, dan dia dapat tersenyum padanya setiap pagi.

Dan bilamana akhirnya mereka akan bertemu, aku berharap mereka berdua dapat mengatakan
“Betapa besarnya Engkau karena telah memberikan kepada kami
seorang yang dapat membuat hidup kami menjadi sempurna”.

Aku mengetahui bahwa Engkau menginginkan mereka bertemu pada waktu yang tepat
dan Engkau akan membuat segala sesuatunya indah pada waktu yang Kau tentukan.

Amien.

Tags: , , ,

November 7th, 2011

BELAJAR BERMIMPI NAIK HAJI DI USIA MUDA

Bagi orang tua saya yang pas-pasan, pergi haji adalah sebuah mimpi.  Sepertinya saat itu hanya sebuah keajaiban yang mampu melontarkan kami ke tanah suci.  Tetapi ayah saya tidak pernah ragu, bahwa bila Allah telah memanggil (dan Dia telah memanggil seluruh manusia melalui Nabi Ibrahim ribuan tahun yang lalu!), tentu Dia juga yang akan memberikan jalan, kepada mereka yang memang bersungguh-sungguh berproses untuk merespon panggilan itu.

Tetapi, kalau saya di SD ditanya cita-cita oleh ibu guru, lalu saya jawab, cita-cita saya adalah “naik haji sebelum berusia 30 tahun”, tentu teman-teman saya bisa tertawa sampai terguling-guling.  Umumnya teman-teman kami bercita-cita menjadi dokter, insinyur, polisi atau guru.  Lha belum apa-apa koq sudah ingin naik haji.  Beberapa orang terkaya di kampung kami juga belum naik haji tuh.

Oleh kakak saya, sejak saya pergi ke Taman Kanak-kanak, saya sering dipakei peci.  Apalagi kalau ke masjid pakai sarung dan peci, lucu sekali.  Dan dari kecil, saya yang bungsu ini sering dipanggil “pak haji” – mungkin karena saya rajin adzan. Bisa memukul bedhug pertama kali lalu adzan di masjid, itu obsesi saya setiap hari waktu itu.

Tahun 1978, ketika saya duduk di kelas 3 SD, kakak ipar saya mencoba usaha pembibitan cengkeh.  Pada waktu harga cengkeh masih sangat tinggi.  Bibit cengkeh dibeli Rp. 30 / batang, nanti setelah umurnya sekitar 1 tahun dan tingginya sudah semeter lebih, bisa laku Rp. 1000.  Bisnis yang menggiurkan, meski kemudian dari 1000 batang bibit cengkeh lebih dari 200 yang diserang rayap.  Beberapa batang kami tanam sendiri, dan ibu saya sangat berharap pohon cengkeh ini kelak mampu membawa kami berhaji.  Namun apa dikata, beberapa tahun kemudian, ketika pohon-pohon cengkeh telah besar, Soeharto membuat BPPC yang diketuai Mas Tommy, yang membuat harga cengkeh hancur …

Tahun 1986 saya lulus SMA.  Adalah sebuah musibah bahwa nama saya tidak disebut dalam daftar siswa yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri lewat jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK).  Padahal saya memilih jurusan fisika FMIPA yang kapasitas PMDK-nya besar.  Beberapa teman yang rankingnya di sekolah di bawah saya malah diterima di jurusan-jurusan favorit.  Aneh juga, tapi itulah matematika PMDK yang tidak selalu dapat dilacak.

Sehabis test Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru), ada peluang test Overseas Fellowship Program (OFP) dari Kementrian Ristek untuk lulusan SMA yang ingin dapat beasiswa sekolah di Luar Negeri.  Mungkin karena saya masih fresh sipenmaru, saya bisa lulus test akademik OFP.  Sayang jadwal psikotestnya bersamaan dengan registrasi ulang di ITB.  Okey, saya lupakan OFP.  Ibu saya kecewa, karena tadinya, beliau berharap saya dapat beasiswa itu.  Selain bisa sekolah tanpa pusing mikirin biaya, barangkali itu juga jalan untuk bisa … naik haji … kembali kepada mimpi.

Tiba-tiba, hampir satu semester di ITB, ada panggilan dari OFP untuk psikotest susulan.  Okeylah, tanpa beban, psikotest ini saya ikuti.  Dan singkat cerita akhirnya saya lulus seluruh rangkaian test OFP.  Kesimpulan: ITB ditinggal.  ITB sih menganjurkan, saya tetap registrasi ulang tiap semester dengan SKS 0.  Iya benar juga.  Di depan saya saat itu masih ada kursus bahasa 6 bulan.  Lalu test bahasa.  Lalu berangkat ke negara tujuan.  Di sana test masuk Universitas.  Semua belum tentu lulus.  Nanti kalau sudah kuliah juga belum tentu selesai …  Tapi akhirnya, saya tidak pernah registrasi ulang di ITB lagi.  Ini ibarat strategi membakar kapal Thariq bin Ziyad.  Hanya ada satu jalan: maju terus.

Oktober 1987 saya mulai kuliah di Austria.  Alhamdulillah, test bahasa dan test masuk Universitas sudah lewat. Saya mencoba hidup hemat.  Kenapa?  Biar bisa nabung … biar bisa naik haji dan memberangkatkan ibu saya naik haji. Ayah saya sudah wafat ketika saya SMP, dan beliau belum sempat naik haji.

Kalau tidak hemat, beasiswa yang 7000 Schilling (sekitar US$500) per bulan bisa tekor.  Untuk bayar kamar di asrama sudah 2500 Schilling.  Ongkos tiket bulanan naik bus 500 Schilling.  Asuransi kesehatan wajib 120 Schilling.  Anggaran beli buku, alat tulis, pakaian dsb rata-rata sebulan 300 Schilling.  Sedang makan di kantin kampus sekitar 50 Schilling sekali makan.  Jadi harus hemat.  Untuk itu harus belajar masak.  Tiap pagi masak.  Sebagian buat sarapan, sebagian buat bekal makan siang di kampus, sebagian disimpan untuk makan malam.  Ternyata seperti ini kemudian berjalan bertahun-tahun.  Ketika masak sendiri, ternyata cukup anggaran 1000 Schilling sebulan.  Jadi bisalah nabung hingga 2000-3000 Schilling / bulan.

Waktu itu ongkos naik haji sekitar US$ 3200.  Ketika kemudian mata uang Dollar terhadap Schilling melemah, dan kursnya menjadi 10 Schilling per US$, maka ONH menjadi sekitar 32.000 Schilling.  Jadi kalau nabung 2000 Schilling / bulan, perlu sekitar 2 tahun. Tetapi kalau ONH dari Austria jauh lebih kecil.  Cuma 20.000 Schilling cukup lah.  Jadi tabungan setahun insya Allah akan memadai.

Tahun 1988, ada paman saya yang bekerja di Depag, mengajak kalau bisa pas liburan datang ke Jeddah, untuk bantu-bantu tim haji Indonesia.  Bisa dalam administrasi (entri data di komputer) atau di transportasi (nyopir).  Maka saya belajar dengan sungguh-sungguh keahlian menggunakan komputer dan belajar nyetir.  Untung lab-lab komputer di kampus bebas dipakai asal tidak sedang dipakai praktikum.  Ikut saja suatu mata kuliah yang pakai komputer — jadi mahasiswa gelap … lalu cari buku dan belajar mandiri.  Sayang kalau belajar nyetir tidak bisa seperti itu.  Di Austria, semua orang yang mau mendapatkan SIM harus kursus dan praktek minimal 15 jam.  Padahal 1 jam belajar nyetir ongkosnya hampir 300 Schilling.  Dan saya pernah ketiduran, sehingga 300 Schilling menguap percuma!  Singkat cerita, saya akhirnya dapat juga SIM Austria, sekalipun telah habis hampir 14.000 Schilling, gara-gara tidak lulus ujian praktek 2 kali padahal setiap mengulangi ujian, bayar lagi 3000 Schilling !  Hikmahnya: saya jadi pengemudi yang hati-hati.

Pada pertengahan 1988 itu saya ke KBRI di Wina, minta pengantar untuk mencari visa haji.  Ternyata ditolak mentah-mentah!  Alasannya: saya belum 2 tahun belajar di Austria, jadi belum boleh pulang.  Lho padahal ini kan tidak pulang, tetapi naik haji.  Tetap saja dianggap sama.  Anehnya, kalau saya jalan-jalan keliling Eropa, boleh.  Ya udah, akhirnya, dana naik haji ini dikirim saja ke Indonesia, buat ibu saya.  Bersama dana dari kakak saya, jadilah ibu saya mendaftar buat naik haji, dan akan berangkat tahun 1990.

Saya mulai nabung untuk haji dari nol lagi.  Tahun 1989, di campus ada iklan pekerjaan untuk mahasiswa.  Pekerjaan programming!  Tadinya saya ragu, bisa gak ya?  Akhirnya nekad.  Eh sampai di kantor biro engineering itu, pertama-tama saya ditanya, mau dibayar berapa?  Bagaimana kalau 150 Schilling?  Kupikir sehari, ternyata ini per jam.  Soalnya, ada teman saya kerja nyuci piring di restoran hanya dapat 4000 Schilling sebulan, artinya sehari tak sampai 150 Schilling.

Mungkin karena saya sudah belajar komputer (khususnya programming) untuk persiapan bekerja di Jeddah tahun 1988 itu, saya bisa dapat pekerjaan itu.  Singkat cerita, dari bekerja 2 bulan itu saya mendapat hampir 40.000 Schilling!  Wah bisa berangkat haji lagi deh …

Tahun 1990 saya mengurus segala sesuatu untuk haji.  Ini kesempatan yang luar biasa, karena ibu saya juga berangkat tahun itu.  Dan sejak tahun 1987, artinya sejak saya berangkat ke Luar Negeri, saya belum berjumpa dengan beliau.  Alangkah rindunya.  Akhirnya saya sudah di ruang tunggu pesawat Austrian Airlines yang akan membawa kami ke Jeddah.  Penumpang satu persatu mulai masuk.  Ketika giliran saya, tiba-tiba pramugari setelah memeriksa visa saya berkata, “Maaf, Anda tidak boleh ikut, karena untuk haji kemarin sudah Closing Date”.  Saya bingung.  Ternyata, 1 Zulhijjah di Mekkah maju sehari (konon karena hilal dapat dirukyat).  Sehingga hari closing date ikut maju.  Saya yang berangkat di hari terakhir – karena menyesuaikan dengan jadwal ujian – terpaksa ditolak berangkat.  Kalau airlines maksa, mereka akan didenda oleh pemerintah Saudi US$ 25.000. Wah, loyo lah … jadi yang sempat terangkut ke Jeddah cuma bagasi saya, yang esoknya sudah diantar pulang. Ongkos tiket sih dikembalikan, tetapi semangat seperti terbang.

Tahun 1990 itulah terjadi tragedi terowongan al-Muashim, di mana 400 jama’ah Indonesia tewas.  Mungkin itu hikmahnya.  Barangkali Allah ingin mencegah saya ada dalam rombongan yang tewas itu.  Saya masih punya tugas lain.

Tahun-tahun berikutnya, musim haji terjadi di tengah-tengah musim ujian kuliah.  Jadi saya tidak bisa mencobanya lagi. Tahun 1993 saya lulus meraih gelar “Diplom-Ingenieur”, jadi tuntaslah sudah beban beasiswa saya.  Alhamdulillah, karena saya termasuk “the speedy” (lulusan no-2 tercepat), saya ditawari beasiswa dari Austrian National Science Foundation untuk langsung menempuh jenjang Doktor.  Jadi masih ada kesempatan mencoba berhaji lagi …

Tahun 1993 setelah lulus saya pulang dulu, nikah dulu, kemudian balik lagi ke Austria sudah membawa istri.  Dengan istri saya sudah berkomitmen, bahwa goal yang pertama bukan punya anak, bukan punya rumah, tetapi pergi haji.  Banyak saudara yang menasehati kami, agar menabung dulu, karena nanti harga rumah makin mahal.  Sekolah anak juga mahal.  Padahal gaji saya sebagai pegawai negeri sangat keciiiiil.  Bikin nggak pede saja …

Tahun 1994 rencana haji itu kami godhog lebih matang.  Pengalaman dua kali kegagalan pergi haji membuat saya belajar. Ternyata banyak pernik-pernik yang kami baru tahu.  Maka buku-buku haji dikumpulkan.  Pengalaman teman-teman yang pergi haji dari Eropa juga.

Dan alhamdulillah, tahun 1994 itu saya berhasil pergi haji, bahkan langsung bersama istri tercinta.

Allah memang memberikan sesuatu sangat indah, pada saatnya.

Tahun 1994, kami berhasil pergi haji pada usia 26 tahun.
Tahun 1997, saya pulang setelah meraih gelar Doktor pada usia 29 tahun.

Dan tahun itu pula, alhamdulillah saya juga bisa beli rumah, cash, gak pakai kredit (apalagi kredit pakai riba janganlah ya) 🙂 … karena tiba-tiba ada krisis moneter, sehingga tabungan saya dalam mata uang asing jadi terasa lebih banyak ketika ditukar dalam Rupiah …

sampai di Mina …

Tags: ,