Mengukur Kinerja Aparat Birokrasi
Pertanyaan paling mendasar: bagaimana mengukur kinerja aparat birokrasi?
Banyak kantor yang konon telah melakukan reformasi birokrasi dan memberikan tunjangan / remunerasi sesuai kinerja. Namun ternyata, kinerja yang dimaksud baru diukur melalui satu instrumen, yaitu: mesin absen fingerprint!
Kinerja birokrasi sangat berbeda dengan kinerja lembaga swasta pencari laba. Di sana kinerja lebih mudah diukur, yaitu cost/profit ratio. Makin kecil angka ini, makin bagus kinerja orang tersebut. Kalau profit tidak dapat diukur, maka cost-nya dibandingkan dengan cost orang lain, jabatan serupa di lembaga sejenis, atau jabatan serupa di masa lalu. Jabatan satpam misalnya, tentu tidak terkait langsung dengan profit. Tetapi cost-nya dapat dibandingkan dengan satpam di perusahaan lain, atau satpam di perusahaan yang sama di masa lalu. Jika untuk memenuhi SOP yang sama, seorang satpam bisa melakukannya dengan upah dan biaya yang lebih rendah, maka kinerja satpam itu lebih baik. Hal yang sama juga terjadi pada pekerjaan rutinitas lainnya, seperti sekretaris, teknisi, resepsionis dsb. Mungkin hanya tenaga produksi dan tenaga sales yang paling jelas cara mengukurnya secara langsung dari profit.
Sementara itu Kementerian dan Lembaga Pemerintah bukanlah lembaga pencari laba. Mereka dibayar dari APBN untuk memberikan manfaat (benefit) maksimal kepada rakyat yang merupakan pemilik hakiki negara ini. Karena itu ukurannya bukanlah cost/profit-ratio, tetapi cost/benefit-ratio. Persoalannya, bagaimana mengukur benefit ini?
Untuk kantor-kantor yang langsung melayani masyarakat (seperti KTP, SIM, perijinan, dsb), benefit ini bisa diukur dari kecepatan waktu pelayanan, atau jumlah orang yang terlayani. Makin cepat, makin banyak orang, makin baik.
Namun tidak semua pelayanan dapat diukur secara kuantitatif seperti ini. Ada hal-hal yang kualitasnya berbeda. Soal perijinan saja misalnya, ada IMB rumah sederhana, yang dapat diselesaikan secara massal, dan ada pula IMB gedung besar nan jangkung yang penyelesaiannya tentu perlu kajian yang lebih dalam.
Secara umum, pekerjaan-pekerjaan yang dihadapi birokrasi dapat dibagi dalam lima hal:
1. Human-intensif – ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang lebih memerlukan kehadiran manusia berkualitas, misalnya guru atau tenaga kesehatan. Mereka tidak mudah digantikan oleh mesin otomatis, dan jumlah orang yang dilayani tidak menunjukkan kinerja. Seorang guru yang harus mengajar 3 kelas dengan total 120 siswa tidak berarti lebih baik kinerjanya dibanding guru yang hanya memegang 1 kelas dengan 20 siswa. Solusinya bukan memberi tunjangan kinerja yang lebih tinggi bagi guru dengan 120 siswa tadi (walaupun ini adil), melainkan dengan menambah jumlah guru di sekolah tersebut sampai tercipta rasio guru:siswa yang ideal. Tenaga kesehatan juga mirip. Tidak bisa diukur dari jumlah pasien yang dilayani. Bagaimana kalau di daerah itu memang tingkat kesadaran hidup sehat sudah tinggi, sehingga jarang ada yang sakit? Namun walaupun tidak ada yang sakit, tenaga kesehatan tetap harus standby di pos-nya masing-masing, agar sewaktu-waktu ada pasien dapat segera terlayani. Jangan dilupakan, bahwa jumlah terbesar PNS di Indonesia didominasi oleh guru dan tenaga kesehatan.
2. Kapital-intensif – ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang outputnya akan sebanding dengan jumlah uang yang dikeluarkan. Misalnya pekerjaan pemotretan udara atau pembangunan jalan. Tentu saja, makin banyak anggaran yang dimasukkan, makin luas area yang dapat dipotret, atau makin panjang jalan yang dapat dibangun. Sebagian besar anggaran di sini akan dibelanjakan untuk bahan atau barang modal di pasar, bukan untuk menambah kesejahteraan pegawai. Jadi kinerja mereka yang ditugaskan di jenis pekerjaan ini adalah sejauh mana mereka dengan jumlah anggaran yang sama dapat menghasilkan output yang lebih banyak. Kalau anggaran ditambah, mereka akan menghasilkan lebih banyak lagi.
3. Teknologi-intensif – ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dapat lebih mengandalkan kemajuan teknologi. Di masa lalu, ketika teknologi informasi dan komunikasi belum maju dan murah seperti sekarang, ada ribuan pegawai di kantor telepon yang tugasnya hanya menyambungkan panggilan. Kini semua panggilan dapat dilakukan otomatis dan akurat. Maka ribuan petugas telepon tadi dapat dirasionalisasi dengan cara dipindahkan ke bagian lain (tentu saja melalui diklat ulang) atau dipensiunkan lebih cepat. Di dunia birokrasi sekarang, tampak masih banyak sekali pekerjaan yang dapat digantikan dengan teknologi. Kurir surat (caraka) misalnya. Sekarang e-mail dan mesin fax sudah dipakai di mana-mana, sehingga pekerjaan antar-mengantar surat sebenarnya dapat dikurangi. Demikian juga beberapa pekerjaan rutin dapat digantikan dengan mesin otomatis atau sistem komputer dan internet yang sekarang juga lebih murah. Anehnya, banyak pengadaan teknologi ini tidak juga menghemat biaya organisasi. Atau ada aturan keuangan atau kepegawaian yang belum dapat mengakomodir berbagai bukti elektronik (misalnya surat undangan via e-mail). Dan masih ada pandangan yang memandang birokrasi sebagai lapangan kerja, sehingga kehadiran teknologi dianggap musuh.
4. Knowledge intensif – ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang outputnya tergantung knowledge pada SDM yang ada. Biasanya ini adalah pekerjaan di dunia pendidikan tinggi dan riset, tetapi bisa juga pekerjaan kreatif di unit yang melakukan sosialisasi / kehumasan, unit yang membuat perencanaan atau unit yang melakukan pengawasan. Jumlah produk mereka tidak dapat begitu saja ditingkatkan dengan memberi anggaran yang lebih besar, karena meski anggaran bertambah, kalau pakar yang mengerjakan tidak ada, ya pekerjaan itu tidak dapat dilaksanakan. Kadang-kadang kinerja mereka ingin diukur dengan jumlah S1-S2-S3 yang diluluskan, atau publikasi ilmiah yang ditulis atau paten teknologi yang didapat. Tetapi ini tidak selalu linier. Jumlah S1-S2-S3 yang diluluskan bukan semata-mata ada dalam kendali mereka, karena itu juga tergantung minat masyarakat yang akan menggeluti bidang ilmu itu serta kualitas calon mahasiswa. Demikian juga, tidak semua hal yang diteliti layak untuk publikasi ilmiah atau paten. Bagaimana kalau penelitian itu untuk mengefisienkan proses kerja (yang teknologi-intensif atau kapital-intensif) di lembaga itu sendiri? Misalnya, peneliti kementerian agama ingin meningkatkan proses layanan haji, apakah ini bisa sekedar konsumsi di jurnal ilmiah atau lebih baik dia menjadi kebijakan yang diambil Menteri? Yang jelas, riset di kementerian agama tidak bisa dipatenkan, karena bukan teknologi.
5. Wisdom-intensif – ini adalah pekerjaan para pejabat yang outputnya adalah keputusan atau kebijakan publik, yang kualitasnya tergantung dari wisdom yang ada pada mereka. Sebuah Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah adalah contohnya. UU hingga Perda itu tentunya disiapkan oleh sebuah tim yang bekerja tidak sebentar. Kualitasnya tidak ditentukan oleh berapa anggaran yang dikucurkan, tetapi pada kecerdasan intelektual, emosional, sosial dan spiritual mereka. Karena itu mengukur kinerjanya juga tidak mudah. Dampak dari kebijakan itu sering baru dapat diukur jangka panjang di masyarakat, bahkan ada yang baru terukur setelah pejabat yang mengambil keputusan itu sudah tidak lagi menjabat.
Dari lima jenis pekerjaan ini, tentunya mengukur kinerjanya tidak bisa sama.
Apa usulan anda?
Tags: Pemerintahan, PNS, usulan