Pribadi Triple Helix
Akhir-akhir ini publik diramaikan dengan isu mobil nasional, hasil karya perusahaan keluarga Kiat Motors dengan anak-anak sebuah SMK di Solo, sehingga dinamai “Kiat Esemka”. Mampukah mobil nasional benar-benar akan menjadi tuan di negeri yang sudah di-“kunci” secara regulasi oleh WTO (perdagangan bebas), secara faktual oleh agen-agen tunggal pemegang merek dari Jepang, Korea dan Eropa, dan secara kultural oleh mindset “inlander”? Sepertinya jalan panjang masih harus ditempuh. Untuk benar-benar sampai menjadi produk nasional yang membanggakan dan menjadi tuan di negeri sendiri, hasil karya akademis itu harus bersinergi dengan dunia pengusaha dan dunia penguasa.
Adalah Dr. Kusmayanto Kadiman, mantan rektor ITB yang pernah menjadi Menristek, yang mempopulerkan istilah “triple helix” untuk menggambarkan konstruksi ideal sinergi antara kalangan akademisi (yang memproduksi riset dan SDM dalam bidang sains & teknologi), kalangan bisnis (yang menggunakan hasil riset dan SDM tersebut), dan kalangan government / pemerintah (yang membuat regulasi agar semua berjalan lancar, sinergis, konstruktif dan bermartabat). Pak KK suka menyingkat triple helix ini menjadi “ABG”. Pada saat dia menjabat, kemanapun beliau pergi, beliau selalu promosi agar semua entitas ABG ini berpikir triple helix. Kalau disederhanakan, kira-kira bahasanya akan begini:”Percuma saja jadi peneliti senior, kalau risetnya tidak dipakai di dunia bisnis atau tidak dipedulikan birokrasi”.”Percuma saja jadi profesor, kalau anak didiknya gagal di dunia bisnis atau di birokrasi malah korupsi”.”Percuma saja jadi boss perusahaan besar, kalau tidak bisa memanfaatkan hasil riset dalam negeri”.”Percuma saja jadi birokrat, kalau tidak bisa memberi iklim yang kondusif untuk tumbuhnya riset ataupun bisnis berbasis riset dalam negeri”.
Kalau melihat sejarah bangsa lain, ternyata triple helix ini mencapai titik optimal kalau ketiganya melebur pada satu orang. Contohnya: Thomas Alva Edison, sang penemu lebih dari 1000 paten terkait penggunaan listrik, ternyata juga seorang pebisnis ulung (pendiri General Electric), dan terkenal lobby-lobby-nya dengan penguasa birokrasi di AS saat itu. Penemu lain di masanya, tapi kurang memiliki kemampuan triple helix ini – misal Nikola Tesla – cenderung kurang memiliki dampak seperti Edison. Hal yang sama juga terjadi pada Henry Ford, Seichiro Honda, Steve Jobs dan Bill Gates. Perkecualian mungkin pada Albert Einstein, karena beliau dikenal hanya memiliki “dual-helix”, yaitu sebagai saintis top peraih hadiah Nobel Fisika (akademisi) dan politisi (government) karena surat-suratnya ke Presiden AS saat itu agar mengembangkan bom atom. Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan, salah satu hal yang menarik di dunia teknologi abad 20-21 adalah “pribadi triple helix”. Merekalah yang membuat dunia memiliki bentuk seperti saat ini.
Pada masa Islam memiliki peradaban emas di masa khilafah, pribadi triple helix ini sangat banyak. Dimensinya juga tidak hanya di bidang sains dan bisnis, tetapi juga bisa ke arah seni, siyasah (politik) ataupun petualangan.
Coba lihat beberapa contoh:
Umar Khayyam adalah mujtahid, tetapi juga matematikawan dan sastrawan. Triple helixnya dapat disingkat “3S” : Syariah – Sains – Seni. Hebatnya, di helix sains, Umar Khayyam menghasilkan penemuan di berbagai disiplin ilmu.
Muhammad al-Fatih adalah pemimpin pembebasan Konstantinopel (yang diramalkan Rasulullah sebagai sebaik-baik panglima), tetapi ternyata beliau juga seorang teknokrat ulung yang memahami dengan detil berbagai sains teknologi peperangan (beliau merancang konstruksi super-gun, dan juga memberikan metode memindahkan kapal melewati perbukitan) dan seorang eksekutif yang sangat paham hukum syariah. Triple helixnya adalah juga “3S” : Siyasah (strategi) – Sains – Syariah.
Ibnu Batutah adalah traveller yang berkelana lebih dari 75000 Km (sebuah jarak hampir 2x mengelilingi bumi), di beberapa tempat ditunjuk sebagai hakim, dan kemudian menuliskan seluruh pengalamannya secara sistematik dalam beberapa buku yang menjadi rujukan ilmiah geografi, politik, antropologi dll selama berabad-abad. Triple Helix Ibnu Batutah adalah “3S” juga: Spatialist (traveller) – Syariah – Sains.
Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi adalah faqih, matematikawan top (penemu aljabar), dan juga pedagang (dia mengenal angka India – yang kemudian diadopsi dalam bukunya dan menjadi “angka Arab” – karena interaksinya dengan para pedagang). Kitab Aljabar wal Muqobalah menjadi populer salah satunya karena dipakai dalam akuntansi perdagangan!
Triple Helix al-Khwarizmi adalah “3S” juga: Syariah – Sains – bisniS. 🙂
Ternyata, helix yang sangat dominan di sejarah Islam dan selalu ada adalah: Syariah!
Sekarang kembali kepada kita: akan mengambil triple helix yang mana?