Belajar Melayani Remaja Calon Ilmuan
Sejak tahun 2001 saya menjadi juri Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) LIPI, dan sejak 2008 saya juga juri Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) Kementerian Pendidikan Nasional (belakangan Kementerian Pendidikan & Kebudayaan). Bersama anggota dewan juri yang lain, saya harus ikut menentukan titik strategis dalam jalan hidup seseorang yang masih belia itu. Saya sendiri merasakan, bahwa terpilih sebagai juara LKIR (tahun 1984 saat saya baru 16 tahun), adalah salah satu titik yang signifikan mempengaruhi jalan hidup saya selanjutnya.
Lomba Ilmiah Remaja (LKIR/LPIR) sangat berbeda dengan Olympiade Sains. Dalam Olympiade Sains, soal diberikan sama ke semua peserta, dan jawabannyapun tertentu (tertutup). Sedang dalam Lomba Ilmiah Remaja, tidak ada soal yang diberikan. Peserta dibebaskan berinisiatif dan berkreasi meneliti atau menciptakan apa saja yang dianggapnya ilmiah dan bermanfaat. Hasilnya terbuka. Oleh karena itu, dalam Lomba Ilmiah Remaja bisa saja ada plagiarisme – yang harus kita tangkal – hal yang tidak mungkin ada dalam Olympiade Sains tingkat apapun. Namun tentu saja, ini adalah lomba tingkat remaja, bukan tingkat Magister atau tingkat Doktor, meskipun juri-jurinya adalah Profesor dan Doktor.
Ada tiga hal pokok yang saya pelajari ketika saya melayani remaja calon ilmuwan ini:
PERTAMA: Belum banyak remaja yang menjadi finalis ini yang berminat menjadi ilmuwan. Ketika ditanya cita-cita, sebagian besar menjawab ingin menjadi dokter – sebuah profesi yang secara klasik menjadi cita-cita nomor satu anak Indonesia. Ada juga yang ingin jadi guru, diplomat atau bahkan pramugari. Mengapa mereka mengikuti ajang lomba ini? Ada yang karena didorong oleh gurunya. Sejak era sertifikasi, guru akan mendapatkan nilai tambah dengan menjadi pembimbing KIR. Bahkan ada guru yang menyediakan ide, alat, bahan, bahkan “contekan” untuk membuat karya ilmiah, sekalipun dalam presentasi, juri tidak sulit mengenalinya. Ada karya tulis yang terlalu canggih untuk anak SMP, bahkan untuk mahasiswa S1 sekalipun. Kadang-kadang siswa ini juga secara jujur mengatakan, bahwa peran gurunya hampir 70%. Kejujuran ini patut dihargai, walaupun kadang kebablasan juga, yakni ketika siswa yang panik dikejar oleh pertanyaan dewan juri kemudian mengomeli gurunya yang dirasakan membebaninya dengan beban yang terlalu berat. Keterbukaan siswa ini terjadi karena sidang dilakukan secara tertutup, finalis hanya berhadapan dengan dewan juri. Gurunya tidak boleh ikut nonton.
KEDUA: Kita tidak hanya mencari remaja calon ilmuwan, tetapi juga membinanya. Di arena LPIR Kemdikbud, kami harus memilih 33 peserta untuk setiap bidang (IPA, IPS, Teknologi). Idealnya memang dari tiap provinsi ada wakilnya, tetapi ini tidak mudah. Beberapa provinsi sama sekali tidak mengirimkan karya tulis. Lomba ini masih sulit dilakukan berjenjang dari tingkat Kabupaten – Provinsi – baru Nasional. Jumlah anak-anak kreatif di tiap provinsi tidak merata. Di tiap daerah juga belum tentu ada juri yang kompeten. Daripada nanti akhirnya yang diajukan dipilih dengan cara KKN, atau ada provinsi yang mengeliminasi terlalu banyak anak berbakat daerahnya, akhirnya diadakan langsung tingkat nasional. Juri menyeleksi naskah yang jumlahnya bisa mencapai ribuan. Tetapi meski demikian, tidak cukup mudah untuk mendapatkan 33 finalis yang benar-benar bagus. Kadang cuma dapat 18, atau 23. Kalau sudah begini, selebihnya adalah “wawasan nusantara” atau “NKRI”. Artinya, kami undang juga peserta dari provinsi atau kabupaten lain yang sebenarnya tidak favorit, tetapi niatnya yang penting dia ikut jadi “finalis” saja, agar bertemu dengan teman-temannya dari seluruh Indonesia, dan bertemu dengan juri yang Profesor dan Doktor. Guru pembimbing mereka saja belum tentu pernah disoali oleh Professor … Tetapi kadang-kadang memang ada keajaiban. Pernah ada finalis yang semula diundang karena alasan “wawasan nusantara”, ternyata presentasinya memukau, idenya orisinil, dan karyanya bahkan layak dipatenkan.
Hanya kadang-kadang, tidak semua finalis mendapatkan kemudahan untuk mencapai lokasi final. Ada finalis dari Kalimantan Tengah, yang untuk mencapai bandara saja harus naik ojeg 4 jam! Ojegnya baru dibayar setelah dia pulang dan mendapat ganti ongkos dari panitia. Ada guru yang menggadaikan cincin kawinnya untuk menalangi biaya siswanya berangkat final ! Ada finalis dari Papua yang gagal berangkat karena tidak ada pejabat yang mau menalangi biaya tiket yang mencapai Rp. 10 juta. Semua biaya memang akan diganti oleh panitia, tetapi setelah finalis mencapai lokasi acara final! Panitia tidak bisa mengirim uang dulu, takut tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tetapi ada juga finalis yang gagal datang bukan karena faktor biaya, tetapi karena faktor jenis kelamin. Biasanya finalis perempuan. Di daerah, guru pembimbing KIR masih didominasi laki-laki. Ketika ada panggilan, yang bersangkutan, orang tua atau sekolah, keberatan siswa tersebut didampingi guru laki-laki. Pernah seorang finalis perempuan ini tidak mau keluar kamar. Ternyata, pada hari final itu, dia pas menstruasi yang pertama kali. Guru laki-lakinya tentu saja tidak bisa membantu apa-apa. Terpaksa panitia mendatangkan guru perempuannya. Untung daerah asalnya tidak jauh dari lokasi acara final. Tetapi kadang juga masalahnya cukup rumit. Misalnya, karya tulis dibuat oleh 3 orang, katakanlah namanya A, B dan C. Oleh gurunya, ditulis A sebagai penulis utama. Belakangan, ketika dipanggil final, ada intervensi dari kepala sekolah, atau dinas, agar C yang berangkat. Alasannya bisa macam-macam, misalnya C ini anak tokoh masyarakat, atau C ini punya orang tua yang bisa menalangi biaya, atau juga dalam uji presentasi di sekolah, C ini kelihatan paling menguasai. Kebetulan A dan B laki-laki, C perempuan. Akhirnya yang dikirim guru pendamping perempuan, bukan yang membimbing tim tadi. Jadinya, guru laki-laki yang pembimbing aslinya, merasa hanya berkeringat, tetapi yang menikmati orang lain. Kalau mereka tidak menang, timbul fitnah: “coba yang berangkat A, pasti menang”. Sebaliknya kalau mereka menang, bisa timbul fitnah yang lebih serius: rebutan hadiah! Rumit ya? Harusnya semua diundang saja. Tetapi anggaran negara terbatas.
Kita memang menghadapi kenyataan begitu besarnya wilayah Indonesia dan begitu beragamnya kehidupan mereka. Bagi sebagian finalis, acara final LPIR adalah kali pertama mereka menginap di hotel berbintang, kali pertama mereka naik pesawat, bahkan ada juga yang kali pertama mereka menginjak ibu kota provinsi tempat bandara berada. Akibatnya, banyak yang lucu-lucu terjadi. Ada yang di sela-sela waktunya bolak-balik naik lift atau eskalator, karena di kota mereka tidak ada gedung dengan lift atau eskalator. Ada yang mengisi bathtub dengan air panas, tetapi karena ternyata kepanasan, akhirnya menungguinya berjam-jam sampai dingin dulu sebelum akhirnya mandi. Ada yang menggunakan kesed kamar mandi sebagai handuk. Ada yang menggunakan air yang mengucur di kloset (saat mengguyur kotoran) untuk cuci muka. Ada yang bahkan tidak bisa buang air besar di kloset duduk, sehingga keluar hotel mencari sungai !
KETIGA: Kita harus menanamkan jiwa ilmuwan, yaitu jujur, kritis, kreatif dan tekun. Kadang hal ini bergesekan dengan kepatuhan kepada guru (apa kata guru adalah kebenaran – padahal ilmu terus berkembang). Tetapi kejujuran mereka tetap harus diutamakan. Yang penting mereka tekun untuk terus mencari kebenaran, setelah dihadapkan pada pandangan kritis atas apa yang telah mereka pikirkan. Kadang guru memaksakan bahwa karya tulis mereka masuk bidang teknologi, padahal setelah dibaca oleh dewan juri, ternyata cocoknya di IPS. Ada yang protes, tetapi ternyata, ketika hasil final memutuskan anak itu mendapatkan medali, protesnya sirna.
Dulu, ketika saya ikut LKIR tahun 1984, belum ada komputer di kota saya, apalagi internet, google, wikipedia dan facebook. Mencari informasi masih sangat sulit. Tetapi kini, informasi bertebaran di mana-mana, walaupun harus dipilah mana yang layak baca. Orang bisa kontak dengan siapapun di jagat maya, berkonsultasi dengan profesor manapun yang bersedia menanggapi gagasannya, dan bahkan mempublikasikan ide-idenya secara mudah dan bahkan gratis ke seluruh dunia. Karena itu, sudah selayaknya bila kita optimis, bahwa ajang LPIR ini bisa mencetak ilmuwan-ilmuwan handal 20 tahun ke depan. Saya sangat bergembira, bahwa dari 33 finalis teknologi, ada 5 yang menurut juri tamu dari Direktorat Paten Ditjen HAKI, pantas diberikan paten sederhana. Dari LPIR tahun 2011, sudah ada yang keluar surat patennya dan ditindaklanjuti oleh industri.
Jadi, kalau banyak orang miris dan pesimis melihat muramnya kehidupan ilmuwan negeri ini, marilah kita termasuk orang-orang yang menyalakan lilin, agar ke depan dunia ilmiah semakin terang. Kalau kita ingin benar-benar dapat menjadi rahmat ke seluruh alam, maka kita membutuhkan semakin banyak orang-orang beriman yang produktif dalam dunia ilmiah, dan kita juga membutuhkan ilmuwan-ilmuwan yang ikut menegakkan syariah dan khilafah. Mari melayani remaja calon ilmuwan sejak dini.