Belajar Mencintai Bangsa dan Tanah Air
Bulan Maret 1987.
Kami, sekitar 250 calon penerima beasiswa LN OFP-Ristek, sedang ditatar P4 oleh BP7 Pusat. Itu karena kami akan dikirim sekolah ke Luar Negeri dalam jangka waktu setidaknya 3 tahun. Maka, penataran P4 dimodifikasi sedemikian rupa, agar nasionalisme menancap di diri kami. Beberapa pertanyaan seperti ini terlontar di forum:
– Ada nggak motivasi kenegaraan di dada Anda untuk belajar di LN ?
– Ada nggak rasa ingin menjadi pembaharu di Indonesia ?
– Apa yang Anda bilang bila di LN ada yang tanya tentang Pancasila ?
– Apa yang dapat Anda banggakan dari Indonesia ?
– Apa menurut Anda sumbangan Indonesia untuk dunia ?
– Bagaimana bila di sana ada musim protest, dan Anda jadi ketua Senat Mahasiswa ?
Tapi sebagaimana lazimnya penataran P4 di era Orde Baru saat itu, sebagian besar peserta menanggapinya dengan kurang serius. Apalagi P4 ini hanya sekedar syarat. Kalau tidak kebangetan, tidak akan ada yang tidak lulus.
Ketika kaki sudah menginjakkan bumi Eropa, kejutan demi kejutan mulai berdatangan silih berganti.
Yang pertama adalah sebuah kenyataan, bahwa alam Eropa itu ternyata sangat indah, bersih dan asri. Di Indonesia kita mungkin memang dikaruniai alam yang lebih majemuk dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Tetapi kita harus menerima dengan rendah hati kenyataan bahwa manusia kita belum bisa merawat anugrah Tuhan itu dengan baik, sehingga yang mestinya lebih indah itu menjadi jorok, kotor dan terbengkelai.
Yang kedua adalah juga kenyataan, bahwa orang Eropa itu ternyata sangat ramah, tulus dan siap membantu. Di Indonesia kita dicekoki oleh mitos bahwa bangsa kita adalah bangsa yang ramah. Tetapi coba lihat saja tingkah bangsa kita di jalan raya, atau tingkah para birokrat di tempat-tempat pelayanan rakyat. Mungkin mitos ramah dari bangsa kita itu karena murah senyum, tetapi faktanya, senyum itu sering karena ada maunya, atau karena ada kendala komunikasi. Namun yang jelas, ketika kita mengenal orang Eropa, ternyata mereka tidak kurang ramahnya, tidak kurang senyumnya, dan yang membuat aman, mereka lugas, tidak menyembunyikan maksud-maksud tertentu.
Yang ketiga adalah fakta, bahwa nyaris dalam segala aspek kehidupan, masyarakat Eropa memang lebih unggul dari bangsa kita. Dalam politik, mereka lebih bisa bertatakrama. Demokrasi bisa berjalan di masyarakat mereka, tanpa ekses-ekses negatif seperti money politik atau biaya tinggi, yang di Indonesia berujung pada korupsi. Para pemimpin mereka lebih bisa berbaur dengan masyarakat. Kritik bahkan demonstrasi biasa, tanpa anarki. Seorang Menteri bahkan biasa berangkat ke kantor naik angkutan umum. Di sisi lain kapitalisme pasar bebas bisa berfungsi mengoptimalkan ekonomi tanpa melebarkan jurang kesenjangan sosial, bahkan seraya tetap menjaga kelestarian lingkungan. Mungkin di Eropa memang ada semacam penyeimbang yang berangkat dari mazhab sosialisme (eco-social-free-market). Semua orang yang bekerja mendapatkan imbalan yang fair. Dan negara peduli pada kelompok sosial yang sedang tidak beruntung, sehingga untuk mereka diberikan santunan dan berbagai kemudahan lain. Kemudian, meski pemeluk Islam sangat minoritas, dan hari raya Islam belum menjadi hari libur, tetapi pada umumnya praktek ibadah tidak dihalangi. Muslimah memakai jilbab tidak didiskriminasi, bahkan di pasfoto dokumen resmi. Hal yang justru saat itu masih sulit dilakukan di Indonesia. Bahkan di dinas ketentaraan-pun, prajurit yang muslim bisa diberikan ransum halal.
Kalaupun ada yang kita anggap negatif di Eropa adalah gaya hidup bebas (liberalisme). Pasangan kumpul kebo bukan tabu di sana. Bahkan juga terjadi di antara orang baik-baik, misalnya kalangan akademiisi. Tetapi para pelaku di Eropa relatif “tahu diri”, sehingga tidak banyak ekses negatif seperti kekerasan atau aborsi. Jumlah aborsi per pasangan kumpul kebo, atau bahkan per populasi, mungkin jauh lebih tinggi di Indonesia daripada di Eropa. Demikian juga konsumsi minuman keras. Penduduk Eropa jelas konsumen minuman keras yang fanatik. Hampir tiap acara makan akan didampingi setidaknya bier, kadang juga wine. Tetapi mereka juga “tahu diri”. Sangat sedikit yang kemudian bawa kendaraan sambil mabuk. Dan sekalipun semalaman mereka mabuk, esoknya mereka sudah bisa bekerja keras lagi dengan tingkat kualitas yang tinggi.
Jadi apa lagi yang masih bisa kita banggakan sebagai bangsa Indonesia?
Kadang-kadang, kita merasa bangga masih memiliki seni budaya yang eksotik. Kita punya batik, gamelan, angklung, tari-tarian dan sebagainya. Tetapi ketika diadu dengan kesenian mereka yang memang sudah mendunia (misalnya Symphony V Beethoven atau Johan Strauss dalam New Year Concert), kita masih merasa keciiiil sekali. Bahkan kita kadang bangga dengan Bhinneka Tunggal Ika, dengan Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia, dengan Pancasila, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa semua masih dalam teori.
Kenyataan ini membuat kita jadi mengerti, kenapa ketika upacara Sumpah Pemuda atau 17-Agustus di KBRI, tidak muncul rasa haru yang patriotik di kalangan orang-orang Indonesia. Yang muncul justru lagu Indonesia Raya yang terbata-bata, Pancasila yang agak lupa, dan Sumpah Pemuda yang “entahlah apa relevansinya”. Bagi mereka yang menetap di Luar Negeri, negara itulah tanah airnya, bahasa di situlah bahasanya, sedang bangsanya? tergantung, dengan siapa mereka menikah! Kalau mereka menikahi warga setempat, ya akan susah bicara “bangsa Indonesia”.
Tentang “budaya bangsa”, bukankah budaya itu sebuah proses yang dinamik? Apa yang hari ini kita sebut “budaya Indonesia”, sejatinya berabad-abad yang lalu adalah budaya Cina, budaya Arab, budaya India dan sebagainya. Maka tidak mustahil apa yang saat ini kita cemooh sebagai “budaya Barat”, suatu saat bisa menjadi “budaya Indonesia”. Masih mending kalau itu budaya tepat waktu, budaya bekerja profesional, atau budaya anti korupsi. Tetapi bagaimana dengan budaya minum bier, budaya kumpul kebo atau budaya hidup bebas lainnya ? Kalau sudah begini, maka rasa-rasanya nasionalisme kita mulai goyah. Nasionalisme kita mulai kehilangan pijakan.
Apalagi ketika mahasiswa sudah kenal bekerja di Eropa. Ternyata bekerja di Eropa sangat enak. Ada fairness yang sangat tinggi. Orang dihargai benar-benar sesuai prestasinya. Tidak kena PGPS layaknya PNS di Indonesia. PGPS = Pintar Goblog Penghasilan Sama. 🙂 Orang juga tidak perlu menyuap untuk mendapatkan kesempatan, atau korupsi sekedar agar hidupnya tercukupi. Tidak perlu. Maka banyak mahasiswa yang semula dikirim dengan beasiswa pemerintahpun akhirnya enggan untuk pulang. Mereka lebih memilih tetap tinggal di Luar Negeri, hidup dengan lebih berkualitas di masyarakat yang lebih berkualitas. Sebagian bahkan telah memiliki permanent resident atau bahkan pindah kewarganegaraan. Untuk mengurangi rasa bersalah, kadang-kadang mereka mencarikan beasiswa atau kesempatan sejenis bagi mahasiswa Indonesia. Atau mereka membangun jejaring dengan institusi di Indonesia untuk berbagi informasi atau teknologi.
Sebagian dari mereka ada yang pulang ke tanah air dan sempat bekerja mengabdikan ilmunya di lembaga pemerintah. Tetapi budaya yang masih kurang sehat di birokrasi membuat mereka tidak bertahan, dan akhirnya hengkang mengabdi kepada perusahaan asing yang lebih bonafid dalam segala-galanya.
Apakah mereka kurang nasionalisme ?
Nasionalisme yang seperti apa ?
Pada akhirnya memang cinta bangsa dan tanah air ini harus dibuktikan melalui sejumlah ujian.
Dan ujian yang paling tepat adalah ketika ada konflik kepentingan. Ketika tawaran bekerja di LN dengan gaji tinggi dan fairness disandingkan dengan mengabdi di Indonesia dengan gaji “penghinaan” dan sering terdholimi – tetapi bekerja di LN itu lebih memberikan manfaat kepada masyarakat mereka yang sudah maju dan makmur, sedang mengabdi di Indonesia pasti memberikan manfaat kepada masyarakat kita yang sedang berkembang dan belum makmur. Ujian yang lebih nyata lagi adalah ketika kita menjadi anggota tim negosiator suatu perjanjian antar negara, yakni ketika kita harus mempertahankan prinsip di tengah-tengah tawaran pribadi yang menarik ataupun ancaman pribadi yang menakutkan. Contoh misalnya dalam persoalan konvensi-konvensi internasional, atau rencana pinjaman Luar Negeri, di situ komitmen cinta bangsa dan tanah air benar-benar diuji.
Tetapi tunggu dulu! Kadang-kadang, mereka yang dikritik sebagai “penggadai” bangsa dan negara, sejatinya pada saat perundingan juga merasa sedang mencintai bahkan memperjuangkan bangsa dan tanah air. Mereka memperjuangkan agar Indonesia mendapatkan hutang dari IMF atau Bank Dunia, tanpa menyadari bahwa dalam jangka panjang itu akan menjerat lehernya sendiri. Mereka merasa sedang berjuang untuk Indonesia ketika meminta agar Freeport memperpanjang kontraknya di Papua, karena merasa itu akan memberikan sumbangan yang besar bagi ekonomi Indonesia, tanpa menyadari, bahwa Indonesia bisa memperoleh manfaat yang lebih besar dengan mengolah sumberdaya alam itu sendiri, tanpa campurtangan asing.
Karena itu, mencintai bangsa dan tanah air memang fitrah, karena setiap orang pasti memiliki ikatan emosional dengan orang-orang dan lingkungan yang telah membesarkannya, tapi ini masih belum cukup untuk menentukan sikap yang benar. Kita masih memerlukan kecerdasan dan level berpikir yang lebih tinggi, sehingga dari sikap cinta yang emosional itu muncul tindakan atau aksi rasional yang tepat yang dapat menjadikan kita benar-benar bangkit, lepas dari keterpurukan dan bahkan kemudian mengungguli bangsa-bangsa yang telah maju saat ini. Capaian-capaian prestasi kita di kancah dunia pasti akan membuat kita bangga sebagai bangsa Indonesia. Kalau itu sudah terjadi, maka tak perlu lagi kita ribut-ribut soal nasionalisme. Semuanya akan berjalan secara alami. Ini sangat terasa misalnya ketika kita menorehkan prestasi dalam Olympiade Fisika Internasional, atau karya saintifik anak bangsa ternyata menjadi rujukan seluruh pakar dunia, atau gagasan-gagasan kita di bidang hukum laut internasional ternyata diikuti oleh PBB (UNCLOS). Tetapi prestasi-prestasi cemerlang ini semua muncul karena level berpikir yang lebih tinggi, bukan berpikir emosional, sekalipun itu bernama nasionalisme.
Tags: Cinta tanah Air, Indonesia, Nasionalisme