Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
October 28th, 2012

Belajar Mencintai Bangsa dan Tanah Air

Bulan Maret 1987.

Kami, sekitar 250 calon penerima beasiswa LN OFP-Ristek, sedang ditatar P4 oleh BP7 Pusat.  Itu karena kami akan dikirim sekolah ke Luar Negeri dalam jangka waktu setidaknya 3 tahun. Maka, penataran P4 dimodifikasi sedemikian rupa, agar nasionalisme menancap di diri kami.  Beberapa pertanyaan seperti ini terlontar di forum:

– Ada nggak motivasi kenegaraan di dada Anda untuk belajar di LN ?

– Ada nggak rasa ingin menjadi pembaharu di Indonesia ?

– Apa yang Anda bilang bila di LN ada yang tanya tentang Pancasila ?

– Apa yang dapat Anda banggakan dari Indonesia ?

– Apa menurut Anda sumbangan Indonesia untuk dunia ?

– Bagaimana bila di sana ada musim protest, dan Anda jadi ketua Senat Mahasiswa ?

Tapi sebagaimana lazimnya penataran P4 di era Orde Baru saat itu, sebagian besar peserta menanggapinya dengan kurang serius.  Apalagi P4 ini hanya sekedar syarat.  Kalau tidak kebangetan, tidak akan ada yang tidak lulus.

Ketika kaki sudah menginjakkan bumi Eropa, kejutan demi kejutan mulai berdatangan silih berganti.

Yang pertama adalah sebuah kenyataan, bahwa alam Eropa itu ternyata sangat indah, bersih dan asri.  Di Indonesia kita mungkin memang dikaruniai alam yang lebih majemuk dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa.  Tetapi kita harus menerima dengan rendah hati kenyataan bahwa manusia kita belum bisa merawat anugrah Tuhan itu dengan baik, sehingga yang mestinya lebih indah itu menjadi jorok, kotor dan terbengkelai.

Yang kedua adalah juga kenyataan, bahwa orang Eropa itu ternyata sangat ramah, tulus dan siap membantu.  Di Indonesia kita dicekoki oleh mitos bahwa bangsa kita adalah bangsa yang ramah.  Tetapi coba lihat saja tingkah bangsa kita di jalan raya, atau tingkah para birokrat di tempat-tempat pelayanan rakyat.  Mungkin mitos ramah dari bangsa kita itu karena murah senyum, tetapi faktanya, senyum itu sering karena ada maunya, atau karena ada kendala komunikasi.  Namun yang jelas, ketika kita mengenal orang Eropa, ternyata mereka tidak kurang ramahnya, tidak kurang senyumnya, dan yang membuat aman, mereka lugas, tidak menyembunyikan maksud-maksud tertentu.

Yang ketiga adalah fakta, bahwa nyaris dalam segala aspek kehidupan, masyarakat Eropa memang lebih unggul dari bangsa kita.  Dalam politik, mereka lebih bisa bertatakrama.  Demokrasi bisa berjalan di masyarakat mereka, tanpa ekses-ekses negatif seperti money politik atau biaya tinggi, yang di Indonesia berujung pada korupsi.  Para pemimpin mereka lebih bisa berbaur dengan masyarakat.  Kritik bahkan demonstrasi biasa, tanpa anarki.  Seorang Menteri bahkan biasa berangkat ke kantor naik angkutan umum.  Di sisi lain kapitalisme pasar bebas bisa berfungsi mengoptimalkan ekonomi tanpa melebarkan jurang kesenjangan sosial, bahkan seraya tetap menjaga kelestarian lingkungan.  Mungkin di Eropa memang ada semacam penyeimbang yang berangkat dari mazhab sosialisme (eco-social-free-market).  Semua orang yang bekerja mendapatkan imbalan yang fair.  Dan negara peduli pada kelompok sosial yang sedang tidak beruntung, sehingga untuk mereka diberikan santunan dan berbagai kemudahan lain.  Kemudian, meski pemeluk Islam sangat minoritas, dan hari raya Islam belum menjadi hari libur, tetapi pada umumnya praktek ibadah tidak dihalangi.  Muslimah memakai jilbab tidak didiskriminasi, bahkan di pasfoto dokumen resmi.  Hal yang justru saat itu masih sulit dilakukan di Indonesia.  Bahkan di dinas ketentaraan-pun, prajurit yang muslim bisa diberikan ransum halal.

Kalaupun ada yang kita anggap negatif di Eropa adalah gaya hidup bebas (liberalisme).  Pasangan kumpul kebo bukan tabu di sana.  Bahkan juga terjadi di antara orang baik-baik, misalnya kalangan akademiisi.  Tetapi para pelaku di Eropa relatif “tahu diri”, sehingga tidak banyak ekses negatif seperti kekerasan atau aborsi.    Jumlah aborsi per pasangan kumpul kebo, atau bahkan per populasi, mungkin jauh lebih tinggi di Indonesia daripada di Eropa.  Demikian juga konsumsi minuman keras.  Penduduk Eropa jelas konsumen minuman keras yang fanatik.  Hampir tiap acara makan akan didampingi setidaknya bier, kadang juga wine.  Tetapi mereka juga “tahu diri”.  Sangat sedikit yang kemudian bawa kendaraan sambil mabuk.  Dan sekalipun semalaman mereka mabuk, esoknya mereka sudah bisa bekerja keras lagi dengan tingkat kualitas yang tinggi.

Jadi apa lagi yang masih bisa kita banggakan sebagai bangsa Indonesia?

 

Kadang-kadang, kita merasa bangga masih memiliki seni budaya yang eksotik.  Kita punya batik, gamelan, angklung, tari-tarian dan sebagainya.  Tetapi ketika diadu dengan kesenian mereka yang memang sudah mendunia (misalnya Symphony V Beethoven atau Johan Strauss dalam New Year Concert), kita masih merasa keciiiil sekali.  Bahkan kita kadang bangga dengan Bhinneka Tunggal Ika, dengan Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia, dengan Pancasila, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa semua masih dalam teori.

Kenyataan ini membuat kita jadi mengerti, kenapa ketika upacara Sumpah Pemuda atau 17-Agustus di KBRI, tidak muncul rasa haru yang patriotik di kalangan orang-orang Indonesia.  Yang muncul justru lagu Indonesia Raya yang terbata-bata, Pancasila yang agak lupa, dan Sumpah Pemuda yang “entahlah apa relevansinya”.  Bagi mereka yang menetap di Luar Negeri, negara itulah tanah airnya, bahasa di situlah bahasanya, sedang bangsanya?  tergantung, dengan siapa mereka menikah!  Kalau mereka menikahi warga setempat, ya akan susah bicara “bangsa Indonesia”.

Tentang “budaya bangsa”, bukankah budaya itu sebuah proses yang dinamik?  Apa yang hari ini kita sebut “budaya Indonesia”, sejatinya berabad-abad yang lalu adalah budaya Cina, budaya Arab, budaya India dan sebagainya.  Maka tidak mustahil apa yang saat ini kita cemooh sebagai “budaya Barat”, suatu saat bisa menjadi “budaya Indonesia”.  Masih mending kalau itu budaya tepat waktu, budaya bekerja profesional, atau budaya anti korupsi.  Tetapi bagaimana dengan budaya minum bier, budaya kumpul kebo atau budaya hidup bebas lainnya ?  Kalau sudah begini, maka rasa-rasanya nasionalisme kita mulai goyah.  Nasionalisme kita mulai kehilangan pijakan.

Apalagi ketika mahasiswa sudah kenal bekerja di Eropa.  Ternyata bekerja di Eropa sangat enak.  Ada fairness yang sangat tinggi.  Orang dihargai benar-benar sesuai prestasinya.  Tidak kena PGPS layaknya PNS di Indonesia.  PGPS = Pintar Goblog Penghasilan Sama.  🙂  Orang juga tidak perlu menyuap untuk mendapatkan kesempatan, atau korupsi sekedar agar hidupnya tercukupi.  Tidak perlu.  Maka banyak mahasiswa yang semula dikirim dengan beasiswa pemerintahpun akhirnya enggan untuk pulang.  Mereka lebih memilih tetap tinggal di Luar Negeri, hidup dengan lebih berkualitas di masyarakat yang lebih berkualitas.  Sebagian bahkan telah memiliki permanent resident atau bahkan pindah kewarganegaraan.  Untuk mengurangi rasa bersalah, kadang-kadang mereka mencarikan beasiswa atau kesempatan sejenis bagi mahasiswa Indonesia.  Atau mereka membangun jejaring dengan institusi di Indonesia untuk berbagi informasi atau teknologi.

Sebagian dari mereka ada yang pulang ke tanah air dan sempat bekerja mengabdikan ilmunya di lembaga pemerintah.  Tetapi  budaya yang masih kurang sehat di birokrasi membuat mereka tidak bertahan, dan akhirnya hengkang mengabdi kepada perusahaan asing yang lebih bonafid dalam segala-galanya.

Apakah mereka kurang nasionalisme ?

Nasionalisme yang seperti apa ?

Pada akhirnya memang cinta bangsa dan tanah air ini harus dibuktikan melalui sejumlah ujian.

Dan ujian yang paling tepat adalah ketika ada konflik kepentingan.  Ketika tawaran bekerja di LN dengan gaji tinggi dan fairness disandingkan dengan mengabdi di Indonesia dengan gaji “penghinaan” dan sering terdholimi – tetapi bekerja di LN itu lebih memberikan manfaat kepada masyarakat mereka yang sudah maju dan makmur, sedang mengabdi di Indonesia pasti memberikan manfaat kepada masyarakat kita yang sedang berkembang dan belum makmur. Ujian yang lebih nyata lagi adalah ketika kita menjadi anggota tim negosiator suatu perjanjian antar negara, yakni ketika kita harus mempertahankan prinsip di tengah-tengah tawaran pribadi yang menarik ataupun ancaman pribadi yang menakutkan.  Contoh misalnya dalam persoalan konvensi-konvensi internasional, atau rencana pinjaman Luar Negeri, di situ komitmen cinta bangsa dan tanah air benar-benar diuji.

Tetapi tunggu dulu!  Kadang-kadang, mereka yang dikritik sebagai “penggadai” bangsa dan negara, sejatinya pada saat perundingan juga merasa sedang mencintai bahkan memperjuangkan bangsa dan tanah air.  Mereka memperjuangkan agar Indonesia mendapatkan hutang dari IMF atau Bank Dunia, tanpa menyadari bahwa dalam jangka panjang itu akan menjerat lehernya sendiri.  Mereka merasa sedang berjuang untuk Indonesia ketika meminta agar Freeport memperpanjang kontraknya di Papua, karena merasa itu akan memberikan sumbangan yang besar bagi ekonomi Indonesia, tanpa menyadari, bahwa Indonesia bisa memperoleh manfaat yang lebih besar dengan mengolah sumberdaya alam itu sendiri, tanpa campurtangan asing.

Karena itu, mencintai bangsa dan tanah air memang fitrah, karena setiap orang pasti memiliki ikatan emosional dengan orang-orang dan lingkungan yang telah membesarkannya, tapi ini masih belum cukup untuk menentukan sikap yang benar.  Kita masih memerlukan kecerdasan dan level berpikir yang lebih tinggi, sehingga dari sikap cinta yang emosional itu muncul tindakan atau aksi rasional yang tepat yang dapat menjadikan kita benar-benar bangkit, lepas dari keterpurukan dan bahkan kemudian mengungguli bangsa-bangsa yang telah maju saat ini. Capaian-capaian prestasi kita di kancah dunia pasti akan membuat kita bangga sebagai bangsa Indonesia.  Kalau itu sudah terjadi, maka tak perlu lagi kita ribut-ribut soal nasionalisme.  Semuanya akan berjalan secara alami.  Ini sangat terasa misalnya ketika kita menorehkan prestasi dalam Olympiade Fisika Internasional, atau karya saintifik anak bangsa ternyata menjadi rujukan seluruh pakar dunia, atau gagasan-gagasan kita di bidang hukum laut internasional ternyata diikuti oleh PBB (UNCLOS).  Tetapi prestasi-prestasi cemerlang ini semua muncul karena level berpikir yang lebih tinggi, bukan berpikir emosional, sekalipun itu bernama nasionalisme.

Tags: , ,

October 19th, 2012

Belajar Mengenali Hobby untuk dimiliki

Apa hobby Anda?

Apa pekerjaan Anda?

Apa pendidikan Anda ?

Apa cita-cita Anda ?

Apakah hobby Anda relevan dengan pekerjaan Anda?  Sejauh apa?

Kadang orang sengaja mencari hobby yang sama sekali berbeda dengan pekerjaan.  Katanya biar bisa punya dunia yang berbeda.  Biar ada keseimbangan.  Pekerjaannya dosen matematika, hobbynya menciptakan puisi.  Pekerjaannya dokter spesialis kandungan, hobbynya karate.  Pekerjaannya peneliti kimia anorganik, hobbynya main piano, bahasa asing, dan olahraga menembak.

Sebaliknya ada yang sengaja mencari hobby yang dekat dengan pekerjaan.  Alasannya, sebenarnya dia tidak ingin merasa bekerja, dia ingin punya hobby yang menghasilkan.  Pekerjaannya survey, hobbynya fotografi.  Dia bisa mencari objek fotografi di manapun dia ditugaskan survey.  Pekerjaannya kolumnis media, hobbynya travelling.  Jadilah dia pengembara sambil membuat tulisan travelling.  Pekerjaannya pedagang, hobbynya berdakwah.  Jadilah setiap orang yang melihat-lihat barang dagangannya diajak ngobrol-ngobrol untuk menyebarkan pemahaman keagamaannya.

Hobby anak-anak

Hobby anak-anak

Asal muasal seseorang memiliki hobby memang beraneka ragam.  Dan hobby pun berubah-ubah tergantung peluang dan tuntutan keadaan, juga bacaan, teman-teman dan lingkungan.  Apa hobby pertama Anda, adik Anda atau anak Anda ?  Anak kecil kalau ditanya hobby biasanya menjawab “bernyanyi”, “menggambar”, atau “bermain bola”.  Agak besar sedikit akan menjawab “membaca”, “nonton kartun”, atau “main computer-games”.  Mungkin tidak banyak yang menjawab hobby “memasak”, “main sepatu roda akrobatik” atau “astronomi”.

Hobby adalah aktivitas “mengisi waktu senggang” yang ditekuni untuk beberapa lama, sehingga dalam beberapa hal menjadi habbit juga.   Batasan menekuninya adalah tiga tahun terus menerus.  Kalau aktivitas senggang itu dilakukan 1 jam per hari, maka tiga tahun kira-kira sudah 1000 jam.  Memang belum bisa melahirkan seorang expert (yang ini perlu 10000 jam! dan biasanya tak lagi kelas “hobby”, tapi “profi”), tetapi jelas hobbyist sudah lebih mahir dari orang yang mencoba sekali-sekali.  Hobbyist sepatu roda tidak hanya main sepatu roda ketika teman-temannya lagi musim main sepatu roda.  Dia akan mengembangkan kemampuannya sampai bisa melakukan banyak sekali hal dengan sepatu rodanya itu.  Ada hobby astronomi yang benar-benar memiliki reputasi tinggi di dunia astronomi, lebih dari orang yang memang profesinya astronom.  Pekerjaan tetapnya sendiri malah jualan di toko atau sopir.  Demikian juga ada hobby hacker (penjebol jaringan komputer), yang pendidikan dan profesinya malah astronom, bukan IT.  Dunia sudah campur aduk.

Ketika saya SD, saya memulai hobby koleksi perangko (filateli).  Dan ternyata hobby ini saya bawa sampai saya kuiliah di Luar Negeri.  Sekarang hobby ini sudah sangat jarang saya sentuh lagi, apalagi teknologi sekarang sudah berganti dengan sms dan email.  Tapi ada tahun-tahun ketika banyak orang yang saya kenal saya tanya apakah mereka memiliki perangko bekas?  Sebagian ternyata bahkan juga kolektor, sehingga kami barter koleksi.  Saya pernah memiliki sampai 20 album perangko dari seluruh dunia.  Hebatnya, nyaris tidak ada perangko yang beli.  Semua didapatkan dari tukar menukar dan dari hadiah.  Teman, saudara, atau temannya saudara yang tahu saya punya hobby filateli sering membawa oleh-oleh perangko bekas ketika mereka ke luar negeri.  Setiap melihat koleksi itu, saya teringat dengan sosok baik hati yang menjadi jalannya.  Saya belajar melepas perangko itu dari amplopnya dengan merendamnya di air lalu mengeringkannya di tempat teduh, merawatnya dengan memberi tepung, memasukkannya dalam album, atau membuatnya hiasan yang menarik, misalnya dalam sebuah pigura atau vas bunga.  Saya juga belajar banyak negara di dunia dari perangko.  Bahkan, ketika saya masih SD, saya sudah tahu bahwa OSTERREICH adalah Austria, HELVETICA adalah Swiss, CCCP adalah Soviet.  Dan perangko yang tidak ada nama negaranya hanyalah perangko Inggris!

Filateli

Filateli

Selain perangko, saya pernah juga mengumpulkan kartu telepon (phonecard), uang coin, uang kertas yang sudah tidak laku, dan kertas surat.  Tetapi ternyata yang ini tidak berkembang seperti halnya perangko.  Mungkin karena ilmu yang didapat berbeda.   Waktu itu saya tidak berpikir bahwa boleh jadi, semua koleksi ini suatu saat akan menjadi investasi yang sangat mahal.  Saya melakukannya karena mengasyikkan saja.

Setelah itu, saya pernah punya hobby elektronika.  Ini sejak kelas 1 SMP.  Di sekolah memang ada pelajaran ketrampilan elektronika, tetapi yang membuat elektronika menjadi hobby adalah seorang teman saya.  Ternyata dia sejak SD sudah memiliki hobby itu.  Asyik sekali melihat seorang anak SMP sudah bisa membuat  alarm maling sendiri, handy talky sendiri, bahkan pemancar radio sendiri.  Pemancarnya bahkan saat itu begitu kuat, sehingga kalau mau, radio lain bisa di-jam di area satu desa.  Dan itu tahun 1980!  Saya meminjam buku-bukunya untuk disalin (karena saat itu fotocopy masih relatif mahal), lalu sejak itu tertarik mengklipping rubrik elektronika dari suatu surat kabar.  Kemudian mencoba sendiri.  Dengan sembunyi-sembunyi, saya membeli AVO-meter sendiri dengan tabungan saya seharga Rp. 10.000.  Kalau Ibu saya tahu uang sebanyak itu untuk beli AVO-meter, saya mungkin akan sangat dimarahinya.  Uang itu seharga emas 1 gram saat itu.  Kalau tak salah, saat itu gaji guru anyar masih Rp. 25.000 !

 

Elektronika

Elektronika

Rupanya hobby elektronika itu memupuk bakat saya sebagai peneliti.  Sepulang sekolah, saya betah asyik duduk berjam-jam merangkai berbagai komponen, menyoldernya, lalu mencobanya sambil ukur sana-sini.  Dan ini bisa saya lakukan sambil menjaga warung sembako ibu saya.  Saya terinspirasi kisah Thomas Alva Edison yang membuat “lab” di gerbong kereta api yang berjalan, tempat dia berdagang asongan.

Saya mencoba mengembangkan amplifier model baru, radio mini yang dimasukkan tempat sabun, lampu “peramal” (karena setelah dibacain “mantra” lalu bisa kelap-kelip), juga mencoba membuat kompor listrik efisiensi tinggi, alat stimulator ikan (dengan memasukkan strom aneka tegangan dan frekuensi ke akuarium), dan sebagainya.  Kendalanya saat itu, banyak komponen elektronik yang tidak bisa didapat di kota kecil Magelang.  Lebih dari itu, di Magelang sangat sulit mencari mahasiswa teknik elektro yang bisa ditanya-tanya …  Namun hobby itu bertahan cukup lama.  Sewaktu di Austria, saya sangat menyadari kalau tenaga service di sana sangat mahal.  Ketika komputer saya rusak, saya merasa lebih menguntungkan membeli buku dan perlengkapan service komputer, lalu perbaiki sendiri!  Sampai sekarangpun, meski akhirnya saya menjadi profesor sistem informasi spasial, saya masih terobsesi untuk kembali menciptakan alat-alat elektronik unik yang siapa tahu bisa dipatenkan dan lalu diproduksi massal oleh perusahaan elektronik kelas dunia milik umat … 🙂

Di SMP pula, saya mendapat motivasi seorang guru Bahasa Indonesia yang inspiratif.  Guru itu menyuruh anak-anak bikin Majalah Dinding.  Isinya diharapkan orisinil, bukan klipping, bukan nyalin … Dan saya mulai merasakan asyiknya menulis sebuah “kisah-kisah lucu di kelas” atau “fantasi anak SMP”.  Saat di kelas 3 SMP, tulisan saya yang paling pertama, sebuah Cerpen Petualangan, muncul di Majalah Remaja Zaman (anak majalah Tempo).  Saya dapat honor Rp. 25.000.  Saya sujud syukur.  Kalau anak sekarang mungkin akan koprol sambil bilang Wow !  🙂   Uang itu hampir sama dengan gaji sebulan guru saya !   Saya jadi semakin punya keyakinan, bahwa menulis adalah sebuah hobby yang harus saya kuasai dengan baik, karena bisa untuk gantungan hidup saya kelak.  Saya menulis puisi, novel, features, reportase kegiatan sekolah, juga mengikuti puluhan lomba mengarang / menulis ilmiah.  Apalagi saat itu saya sudah lancar mengetik.  Lomba Karya Tulis Ilmiah yang pertama kali saya menangkan adalah Lomba tingkat Nasional yang disponsori Cerebrovit.  Hadiahnya Rp. 250.000 !   Itu tahun 1983, saya masih kelas 3 SMP.  Judul KTI saya “Pengaruh Hobby pada Kesehatan Mental Remaja”.  Sumber literaturnya: majalah-majalah “Dunia Hobby” yang dibeli di tukang loak.  Heran ya, kenapa majalah sebagus itu sekarang sudah tidak terbit lagi …

Tahun 1992, cerita bersambung saya muncul di Majalah Sabili.  Judulnya “Expedisi ke Bosnia”.  Waktu itu Perang Bosnia lagi ramai-ramainya.   Tetapi tokoh cerita saya belum syahid, majalah itu “syahid” duluan.  Tiarap, dan baru bangun lagi setelah Reformasi 1998.   Tetapi menurut Pemrednya, cerbung saya sempat mengangkat tiras Sabili cukup signifikan.  Itu salah satu jejak kesusasteraan saya … he he …  Sayang hingga 20 tahun setelahnya, ternyata masih banyak obsesi tulisan yang belum juga terwujud.  Banyak plot cerita yang telah saya susun sejak 30 tahun yang lalu yang ternyata belum jadi buku.  Pada kurun waktu yang sama, Hilman sudah membuat seratus atau lebih novel dan film LUPUS.  Andrea Hirata sudah menyalip dengan meluncurkan tetralogi Laskar Pelangi yang national best seller.  Dan J.K. Rowling sudah menjadi orang terkaya di Inggris setelah menyelesaikan 7 epics world bestseller Harry Potter.  Hidup memang tidak linear …

Di SMA saya mendapat mencoba mainan baru: sebuah kamera.  Ini berani beli karena saya sudah punya tabungan hasil mengarang.  Kamera saya pertama hanyalah Fujica M-1, kamera dengan lensa fokus fix 1 meter sampai tak terhingga, diafragma konstan pada angka 8 dan speed konstan pada angka 1/100 detik.  Artinya ya hasilnya tidak bisa tajam-cemerlang.  Harganya waktu itu Rp. 15.000.  Lumayanlah untuk main-main.  Walaupun mahal juga, karena mesti beli film, lalu cuci cetak foto.  Saya membaca buku-buku fotografi.  Bahkan sempat bikin kamar gelap untuk mengolah sendiri film dan mencetak foto.  Kadang bermain dengan film hitam putih atau film positif (slide).  Ternyata, meski kamera sederhana, kalau digunakan dengan cara-cara istimewa, hasilnya bisa istimewa pula.  Tetapi memang kamera ini ada keterbatasannya.  Akhirnya, dua tahun kemudian, saya membeli Ricoh RX-1 yang fokus, speeed dan diafragmanya bisa diatur, cuma lensanya belum bisa diganti.  Di sekolah dan di kampung, saya sering didapuk menjadi tukang foto acara atau seksi dokumentasi.  Banyak teman yang kakaknya menikah, mengundang saya menjadi fotografernya.  Jadi walaupun kameranya belum SLR, hasilnya sering bisa menjadi “alternatif”.  Pada berbagai acara di pesta di dalam ruangan, saya sering bereksperimen dengan pemotretan tanpa lampu blitz.  Hasilnya, lebih indah dari semua kamera yang lain.  Di sekolah, saya membuat kartu ucapan dengan latar belakang foto-foto unik bidikan saya.

Fotografi

Fotografi

Ketika saya ikut seleksi beasiswa ke Luar Negeri, semula saya berminat pada jurusan Fisika Nuklir atau Teknik Elektro.  Tetapi kemudian saya dipindah ke Teknik Geodesi.  Hal yang semula tidak begitu saya tahu.  Tetapi ketika saya temukan bahwa salah satu yang dipelajari di geodesi adalah ilmu fotogrametri, maka saya jadi tertarik.  Hobby fotografi saya akan tersalurkan!  Dan benarlah.  Fotogrametri adalah fotografi yang diolah secara matematis yang dieksekusi dengan programming komputer tingkat tinggi.   Saya lalu membeli kamera Yashica SLR dengan 2 lensa tele dan banyak varian filter.  Mantap.  Benar-benar seperti profi lah.  Kalau pergi-pergi survei ke atas gunung, meski sudah berat membawa instrumen survei (teodolit, statif), masih ditambah kamera SLR satu tas!  Ketika zaman beralih ke digital, rasa-rasanya hobby ini mau meledak.  Terlalu banyak yang sekarang bisa difoto tanpa keluar biaya lagi !!!  Tapi membawa SLR kemana-mana memang kurang praktis.  Akhirnya saya membawa kamera pocket yang cukup bagus (sekarang Canon, sebelumnya Nikon) yang hampir selalu ada di ikat pinggang atau di ransel saya.  Saya membuat koleksi foto tempat-tempat unik yang pernah saya kunjungi, juga flora, wajah anak-anak yang lucu, kuliner, bahkan ujud teknologi atau poster di pinggir jalan yang jarang kita lihat. Kalau saya ada urusan ke suatu kantor, lalu ada dokumen yang menarik, saya dengan cepat akan memutuskan memotretnya.  Walaupun itu 100 halaman!  Jauh lebih cepat daripada pergi ke tukang foto copy, dan belum tentu dokumen itu boleh dibawa keluar kantor.  Bahkan, kalau saya sedang didaulat untuk jadi pembicara seminar, sambil mendengarkan peserta bertanya, saya sering iseng memotret wajah audiens.  Orang-orang sering heran melihat seorang penceramah memotret audiensnya … 🙂  Ingin saya menyeleksi isi gudang foto jepretan saya itu untuk mendapatkan foto-foto terunik buat diikutikan kontes fotografi.  Tetapi rupanya aktiivitas saya yang lain masih banyak menyita perhatian.

Terus sejak kapan saya hobby “ngomong” ?  Hobby saya berbicara di depan publik, saat ini sangat membantu saya dalam berdakwah maupun mengajar.  Dan ini ternyata juga bermula di masa SMP.  Sesungguhnya ketika saya masih duduk di SD, saya cenderung pemalu dan penakut.  Teman-teman suka “mem-bully” saya, dan saya kadang mengadu kepada guru sambil menangis.  Tetapi di masa SMP, di masjid kampung, saya bertemu seorang mahasiswa yang inspiratif.  Dia yang aktivis HMI ini memprovokasi anak-anak ababil (anak baru labil) ini untuk jadi lebih militan, dengan dasar Islam, “awas, Islam sedang dipinggirkan”.  Mungkin mahasiswa ini kalau sekarang bisa dianggap “provokator Rohis & pintu masuk Teroris” … Waktu itu Orde Baru sedang perkasa-perkasanya, dan Ali Murtopo adalah intel yang menjadi Menteri Penerangan “Yang Maha Kuasa” … :-).

Di masjid itu bersama sejumlah anak-anak sebaya, saya ditantang untuk berani pidato di mimbar.  Apa yang saya dapat di luar sekolah itu seakan berresonansi dengan aktivitas di sekolah.  Saya didaulat untuk mengikuti latihan Patroli Keamanan Sekolah (PKS) di Polres, lalu menularkan ke sejumlah adik kelas di sekolah.  Jadi, masih di kelas 3 SMP, saya sudah “mengajar”.  Akhirnya sikat aja  …  Di SMA ini berlanjut.  Yang namanya hobby tidak bisa dibendung.  Terus sampai kuliah bahkan sampai kerja.  Meyakinkan orang atau berbicara di muka umum dengan ide yang lebih segar sudah menjadi panggilan.  Kalau tak ada yang berani maju mengisi kultum, ya saya maju saja!  Kalau yang khutbah mendadak absen, ya saya menyediakan diri jadi “Khatib tembak” …  Pokoknya kita terus mengupgrade diri dan mempersiapkan diri.  Lama-lama, bagaimana mengartikulasikan pikiran dengan runtut, tertata, sistematis, menjadi habbit.  Akhirnya kalau mengajar juga rapi.  Seminar juga rapi.  Training juga rapi.  Tema boleh gonta-ganti apa saja, isi semua rapi.  Kecuali kalau pesanannya salah atau miskomunikasi.  Pesan nasi uduk, eh yang dihidangkan malah bubur ayam.  Heran juga itu, nasi sudah menjadi bubur, koq malah dijual  … he he … 🙂

Jadi, hidup yang memang yang ideal itu memang harus menggabungkan antara HOBBY, PROFESI, dan OBSESI menjadi satu rangkaian.  Semua saling mendukung.  Apalagi kalau ditambah MENGHASILKAN … he he … Kalau sekedar profesi tanpa obsesi, monoton, tidak ada strongwhy untuk bersabar meraih kemajuan.  Sedang tanpa hobby, profesi apapun lama-lama benar-benar bikin bete.  Apalagi tidak menghasilkan, wah apes bener … 🙂

Tags: , ,

October 16th, 2012

Belajar Mengetik 10 Jari karena ditipu

Segalanya bermula dari sebuah tipu-tipu.

Suatu hari ada iklan KURSUS GRATIS dari sebuah sekolah bernama Institut Wiraswasta.  Tempat kursusnya bangunan semi permanen. Ada jurusan mengetik, jurusan elektronika, jurusan bahasa Inggris dsb.  Saya waktu itu masih kelas 2 SMP.  Saya iseng-iseng daftar kursus mengetik.  Bahasa Inggris atau Elektronika sudah dapat di sekolah.  Oya, ini tahun 1981.  Saat itu di kota saya di Magelang saya kira belum ada computer satupun !

Kursus dimulai.  Ternyata saya murid satu-satunya.  Tidak ada guru.  Ada asisten, tetapi dia ternyata murid kursus juga yang sudah lebih dulu.  Saya disodori diktat, suruh menyalin.  Setelah selesai, kursus berikutnya mulai pakai mesin ketik jadul.  Karena tidak ada pita, maka diketik pada dua lembar kertas buram yang diselipi karbon.  Ketikan akan terbaca di kertas yang di bawah.  Di atasnya tidak terlihat apa-apa.  Saya ingat saya mesti menulis sebuah kalimat “The quick brown fox jumps over the lazy dog” 1000 kali (kira-kira 15 lembar kertas).  Kalimat ini mewakili seluruh huruf latin yang ada. Kemudian setelah itu, sesuai diktat, ada sekian macam tulisan lagi yang harus diketik.  Dan semua sesuai aturan, huruf a pakai jari kelingking, huruf s pakai jari manis dsb.  Karena tuts mesin ketik manual kuno itu sangat berat, kuku jari kelingking saya sampai pecah!

mesin ketik jadul

mesin ketik jadul

Dua minggu kemudian, pemilik kursus datang.  Ketika melihat saya sudah latihan mengetik, dia tanya, “Sudah ujian teori belum?”.  Saya jawab, “belum”.  “Oh, gak bisa langsung latihan praktek begini, harus ujian teori dulu!”.  Ternyata untuk ujian teori harus bayar cukup mahal.  Wah saya merasa ditipu. Akhirnya saya tidak datang lagi.  Tapi saya sudah dapat ilmu.  Biarin saja gak dapat sertifikat. Saya ingin membuktikan bahwa saya bahkan bisa lebih lancar mengetik dari mereka yang menggondol sertifikat.

Setelah itu saya mulai suka mengetik.   Kebetulan tak lama kemudian kakak saya beli mesin ketik Brother, karena mulai banyak tugas kuliah.  Saya menawarkan diri mengetikkan, agar saya dibolehkan meminjam untuk mengetik karangan saya sendiri.   Saya memang sejak itu rajin menulis dan mengirimkan karangan ke berbagai media serta mengikuti banyak sekali lomba mengarang / karya ilmiah.  Jadilah makin lama saya makin mahir mengetik.  Benar-benar 10 jari, tanpa melihat keyboard.  Kecepatan bisa mencapai  40 word per minute. Dan saya bahkan bisa mengetik saat lampu mati dengan hasil relatif bersih dari kesalahan !

mesin ketik Brother

mesin ketik Brother

Pas awal kuliah di Luar Negeri, saya sempat berniat rutin mengirim karangan ke sebuah majalah remaja.  Karena belum punya mesin ketik, beberapa karangan terpaksa ditulis tangan dan dikirim via pos.  Saya lalu sempat beli mesin ketik elektrik yang bisa menyimpan teks.  Tapi memorynya cuma 8000 bytes !  Cuma sehalaman !!  Yang bikin repot, kertasnya harus kertas thermal.  Wah ternyata mahal di ongkos.  Tetapi ketika kemudian di campus ada akses computer, mesin ketik baru itu akhirnya nyaris tidak pernah saya pakai.  Sepuluh tahun kemudian, mesin ketik yang masih tampak baru itu saya hadiahkan orang.  Gak tahu terpakai apa tidak.

Tahun 1987 itu computer (PC) masih sangat mahal.  Sebuah computer dengan prosesor 80287, RAM 640 KBytes, dan harddisk cuma 20 MB !!!, harganya hampir US$ 4000. Mungkin anak sekarang akan koprol sambil bilang “Wow”.  Jadi sementara saya hanya mengetik kalau di campus saja.  Alhamdulillah, asal tidak lagi ada praktikum, semua PC di lab bebas dipakai mahasiswa.  Ternyata mengetik di komputer memang jauh lebih mudah.  Semua bisa diedit.  Semua bisa diformat ulang. Tetapi ternyata, dengan keahlian mengetik 10 jari, saya bisa jauh lebih cepat mengetik dengan komputer dari orang lain.  Saya berani adu cepat mengetik dengan semua sekretaris kantor saya saat ini  he he  (kalau dengan sekretaris di kantor berita Antara atau di sekretariat jenderal DPR RI ya gak lah) … :-).  Kelemahan saya cuma satu: tidak punya sertifikat!  Saya bisa mengikuti rapat, bahkan memimpin rapat, sambil menulis apa yang dibicarakan orang.  Jadi selesai rapat, notulen rapat juga selesai.  Gara-gara ini saya pernah dimarahi boss saya.  “Sdr. Fahmi konsentrasi rapat saja, jangan sambil mengetik!”.  He he … soalnya beliau tidak bisa seperti itu.

Ketika saya kuliah di Austria, saya sempat pula cari uang dengan mengetikkan skripsi.  Lumayan juga, di sana dibayar sekitar 2 Euro per halaman.  Padahal kalau sudah lancar, kita bisa dapat 8-10 halaman per jam, tergantung tingkat kerumitan yang ditulis.  Namun ada juga bedanya mengetik pikiran sendiri dengan mengetikkan pikiran orang.  Kadang-kadang, kalau yang saya ketik itu ada kesalahan bahasa, saya “gatel” juga untuk langsung mengoreksi.  Padahal mestinya ya biarin saja ya?  Kan kita cuma “copy-typist”.  Tapi bisa sih diatur dalam kontrak, apakah kita sekedar mengetikkan coretan tangan cakar ayam, atau sekaligus mengetikkan yang baik dan benar …

Jadi kadang-kadang saya bersyukur … untung dulu ada tempat kursus ngetik gratis, walaupun tipu-tipu … 🙂

posisi jari di keyboard

 

Tags: ,