Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
November 22nd, 2012

Belajar Membela Diri

“Orang sholeh yang tidak bisa beladiri, akan dijajah; sedang jago beladiri yang tidak sholeh, akan menjajah”.

Kalau haditsnya, setiap anak muslim diperintahkan belajar memanah. Tetapi saat ini yang praktis adalah belajar bela diri; karena olahraga memanah yang sesungguhnya sangat mahal, apalagi olahraga menembak.  Perkecualian tentu saja di wilayah di mana jihad menjadi agenda sehari-hari, seperti di Palestina, Irak atau Afghanistan.

Sewaktu saya SD, saya termasuk penakut.  Banyak teman saya yang hobby berkelahi.  Bahkan ada seorang teman yang tiap ada murid baru, yang pertama kali dilakukan adalah menantangnya berkelahi.  Sayangnya teman ini, kalau berkelahinya serius dan dia kalah, dia akan bilang ke kakak laki-lakinya yang sudah SMP dan bilang kalau dirinya dinakali, sehingga kakaknya datang ke SD kami lalu memukuli si anak kecil yang menang berkelahi itu.

Lapangan SD kami pernah dipakai latihan karate “Kera Sakti” setiap minggu.  Saya ingin ikut tapi dilarang ayah.  Katanya, lebih baik jadi orang sholeh saja, lagian kalau mau ikut lebih baik ikut pencak [silat] saja.  Saya kurang setuju, tetapi saya lihat ada benarnya juga, karena yang ikut “Kera Sakti” koq banyak premannya.

Pada waktu saya kelas 1 SMA, ada kakak kelas yang juga teman semasjid yang mengajak ikut silat Merpati Putih (MP).  Katanya, beda dengan karate, MP ini latihan pernafasan, sehingga habis latihan malah segar.

Merpati Putih (MP)

Merpati Putih (MP)

Saya tertarik, apalagi sebelumnya pernah melihat di TV acara demo MP oleh prajurit Kopassus.  Keren abis …

Saya pun mulai ikut latihan.  Latihannya terdiri dari 4 sesi.  Sesi pemanasan, sesi latihan tata gerak jurus praktis – yakni jurus cepat untuk menjatuhkan lawan, sesi pengolahan nafas, dan sesi pembinaan nafas.  Sesi pengolahan nafas adalah yang paling berat, karena di sini kita dilatih nafas dada-perut, bahkan dengan beban.  Kami diminta membuat dua pot berisi semen seberat kira-kira 2,5 kg, untuk nanti diangkat oleh masing-masing tangan sambil melakukan pengolahan nafas.  Hasilnya, tangan jadi kuat, dan bersama dengan konsentrasi dan pengaturan nafas, siap menghancurkan benda keras dengan tangan kosong.

Setelah 4 bulan berlatih, kami pun ujian tingkat dasar-1.  Ujiannya ada 3 tahap.  Pertama ujian fisik, kami disuruh lari telanjang kaki di atas aspal di siang bolong sepanjang kurang lebih 25 Km.  Rutenya sedemikian rupa, sehingga kemungkinan curang dengan naik ojeg kecil sekali.  Hari berikutnya, dengan telapak kaki masih ancur-ancuran, kami ujian pemukulan benda keras.  Setelah itu kami dibawa ke pantai Parangkusumo Yogyakarta untuk ujian “komprehensif”, fisik dengan lari dari kali Opak melintasi bukit kapur sampai pantai, terus ujian tata gerak, dan ujian ketangguhan dengan diguling-gulingkan dari bukit pasir.

Yang paling mendebarkan memang ujian pemukulan benda keras, karena ini yang indikatornya paling jelas.  Kalau sasaran tidak hancur, ya pasti dinyatakan gagal.   Sasarannya ada dua macam: bis beton berdiameter 25 cm sepanjang 90 cm, dan tiga keping batu ubin yang tebalnya 2 cm didirikan di atas meja.  Masing-masing sasaran ini harus hancur sekali tebas.  Pertama kali melihat bis beton itu, hati saya langsung kecut.  Wah koq keras sekali begini.  Sempat terpikir untuk ke toko kimia buat membeli asam klorida (HCl) dulu.  Mungkin kalau disiram HCl, betonnya jadi rapuh …

Tapi ternyata, dengan pengosongan seluruh nafas dari tubuh, lalu menarik nafas sedalam-dalamnya sambil kita bayangkan menyerap seluruh energi alam dan semua dialirkan ke sisi telapak tangan yang makin lama makin kita keraskan, lalu kita hantamkan ke bis beton dengan secepat-cepatnya pada sesempit mungkin permukaan, hasilnya “BLETAK”, bis beton tebal itu patah !  Saya terkejut sendiri, apa jadinya kalau kekuatan tadi saya hantamkan ke tubuh atau kepala manusia …  Pada pemukulan tiga keping ubin banyak hal yang lebih fenomenal lagi.  Dengan cara yang sama, ubin-ubin itu ada yang bahkan tidak terpental, tetapi mirip kartu remi yang digunting, terpotong menjadi dua dan jatuh di meja.

Selama saya ikut latihan MP tingkat dasar-1 ini, ada sekitar 100 anggota TNI yang juga ikut berlatih bersama.  Pada saat ujian ternyata, hanya sedikit dari mereka yang lulus ujian pemukulan benda keras.  Padahal rata-rata tubuh mereka lebih kekar dan berotot dari para remaja yang masih duduk di SMA.  Ternyata kuncinya memang optimalisasi nafas dan konsentrasi!  Itu kalau sasaran tidak hancur, tangannya justru jadi bengkak lembam kebiru-biruan.  Kacian dech …

Jadi sepertinya aji “Sasra Birowo” ala Mahesa Jenar dalam novel Nagasasra – Sabukinten itu memang ada.  Kalau begitu ilmu yang aneh-aneh seperti aji Gelap Ngampar (yakni menghantam orang banyak dengan suara tertawa) atau Alas Kobar (memancarkan udara panas) itu juga mungkin bisa dipelajari.  Saya pernah ingin bertemu penulis Nagasasra yaitu S.H. Mintardja di Yogya, tapi rupanya belum rejeki, bahkan sampai beliau wafat bertahun-tahun kemudian.

Setelah itu saya naik ke tingkat dasar-2.  Latihannya lebih membosankan.  Makin banyak teman yang “mrotoli”.  Yang menarik, ada anak baru yang masuk tingkat dasar-1, yang dulu teman sekelas yang paling nakal di SD.  Tetapi ternyata, di latihan MP, dia tak juga mampu melakukan push-up dengan punggung tangan sebagaimana diminta.  Yang mengasyikkan, dia yang dulu suka njahilin saya, kini di beladiri jadi junior saya.

Di MP ada 12 tingkat.  Sangat sedikit yang dapat bertahan berlatih sampai tingkat itu.  Harus bersabar melakukan “laku” yang sangat membosankan.  Kata kerabat saya yang sudah tingkat 7, dia mulai belajar getaran.  Ketika saya tanya, “bisa apa itu”.  Katanya kalau main “cek-cek-mek” pasti menang.  Cek-cek-mek adalah permainan anak kecil, di mana seorang anak ditutup matanya, lalu dia menebak teman-temannya hanya dengan memegang kakinya saja.  Kata kerabat saya ini, dia pernah semobil dengan Mas Poeng, guru besar MP.  Di belakang duduk dua anggota Kopassus, karena mereka habis melakukan attraksi dalam rangka HUT Kopassus.  Mas Poeng yang nyetir mobil.  Tiba-tiba salah seorang anggota Kopassus itu nyeletuk, “Koq kita belum pernah ya melihat kebolehan Mas Poeng”.  Mas Poeng menjawab, “Mau ?”.  “Ya donk” … kalau anak sekarang mungkin akan ditanya, “Mau tahu aja, atau tahu banget?” 🙂  “Tahu banget donk”.  Tiba-tiba Mas Poeng melepas pegangan ke setir mobilnya, merebahkan kursinya, lalu tiduran.  Terang saja seluruh penumpang jadi ketakutan berat.  Tetapi mobil itu tetap berjalan, bahkan bisa nyalip segala, padahal setirnya tidak dipengangi, dan sopirnya tidak melihat jalan.

Meski baru lulus tingkat dasar-1, kemampuan memukul benda keras di MP membuat kita punya rasa percaya diri.  Baru saja naik kelas 1 SMA, saya sudah berani pergi dari Magelang ke Jakarta seorang diri, padahal sering mendengar betapa rawannya Terminal Bus Pulo Gadung pada dini hari.  Saya sudah bertekad, kalau ada preman macam-macam, saya tebas saja dia dengan pukulan Merpati Putih …

Kenyataannya, hingga kini, saya malah belum pernah menerapkan kemampuan pukulan Merpati Putih itu pada manusia.  Saya pernah ditodong sejumlah preman saat mencari taksi di dekat simpang Pancoran Jakarta pada saat hujan rintik-rintik pukul 22 malam.  Tetapi yang saya lakukan malah hanya berdoa dan membaca ayat kursi.  Alhamdulillah premannya malah jadi berpikiran lain, dan saya dilepaskan, padahal di tas ada laptop dan HP.

Jadinya, ilmu beladiri cenderung lebih untuk menjaga stamina agar tetap sehat.   Di MP sendiri memang “kadigdayan” itu bukan tujuan.  Merpati Putih adalah singkatan dari MERsudi PAtitising TIndak, PUsaka TItising Hening artinya Fokus pada perbuatan (tindakan) yang benar/tepat (titis), dan kemenangan (pusaka) itu hasil dari sikap tenang (hening).

Tetapi, kalau menguasai ilmu beladiri tradisional seperti pencak silat sampai tingkat tinggi, di Luar Negeri bisa jadi profesi.  Ada orang Indonesia di Austria yang profesinya memang pelatih pencak silat.  Kalau di Indonesia sepertinya masih susah mengandalkan silat untuk hidup, kecuali jadi centeng.  Saya bahkan bermimpi suatu saat nanti, pencak silat dapat dipelajari secara lebih akademis dalam suatu program studi di universitas.

Tags: ,

November 21st, 2012

Kapan Sesungguhnya Khilafah Berakhir ?

Koran Inggris yang mengabarkan dibubarkannya Khilafah tahun 1924

Koran Inggris yang mengabarkan dibubarkannya Khilafah tahun 1924

Kapankah khilafah terakhir runtuh? Ketika Rasulullah wafat, ketika Ali bin Abi Thalib terbunuh, ketika Baghdad dihancurkan Tartar, atau ketika Dinasti Utsmaniyah runtuh tahun 1924 yang lalu? Bagi pengikut Wali al-Fatah –tokoh Hizbullah yang telah membentuk ‘Jamaatul Muslimin’ di Indonesia– juga pengikut Ahmadiyah, sekarang ini khilafah sudah ada. Khalifahnya adalah pemimpin spiritual mereka.

Sebagian kaum Arab nasionalis tak setuju khilafah runtuh 1924. Menurut mereka, khilafah telah tiada sejak Baghdad dihancurkan Tartar tahun 1258. Alasannya, pasca-Dinasti Abbasiyah, khalifah tidak lagi dari Quraisy. Sedangkan ada sebuah hadits yang berbunyi: ”Sesungguhnya urusan khilafah itu ada pada Quraisy”.

Sebagian umat Islam lain yang mendambakan negara sempurna juga tidak setuju. Menurut mereka, khilafah hanya bertahan sampai dengan terbunuhnya Khulafaur Rasyidin keempat, Ali bin Abi Thalib. Setelah itu adalah monarki dengan penguasa absolut turun-temurun yang diwarnai korupsi dan kezaliman. Sebagian kaum Syiah malah berpendapat, pasca-Rasulullah, kaum Muslimin telah meninggalkan ajarannya. Alasannya, para sahabat tak melaksanakan wasiat Nabi untuk menjadikan Ali sebagai khalifah penggantinya. Jadi negara Islam praktis hanya ada di masa Rasulullah.

Sedang kaum sekuler mengatakan Nabi tak pernah menjadi kepala negara, juga tak pernah mendirikan negara, apalagi negara Islam. Kalaupun khilafah pernah ada, tak lain hanyalah persekutuan spiritual yang tidak pernah dibatasi geografis.

Sedang kaum orientalis mengakui Nabi memang kepala negara, namun bukan negara Islam, melainkan negara sekuler. Hanya, kebetulan waktu itu yang berkuasa Muslim, sehingga bisa mewarnai sistem negara dengan Islam. Alasannya, dalam Piagam Madinah tercantum bahwa kaum Yahudi boleh menggunakan aturan-aturan mereka sendiri.

Demikianlah sejumlah pendapat yang intinya skeptis pada pendapat bahwa khilafah berakhir tahun 1924 lalu. Karena itu mereka juga skeptis untuk berkontribusi dalam proses penegakannya kembali.

Negara Rasulullah

Jadi, apa sebenarnya entitas yang dipimpin Rasul saat itu? Apakah RW, kota, atau negara? Atau Rasul hanya sekadar pemimpin informal/spiritual dalam sebuah negara?

Faktanya, pada masanya, Rasulullah telah melakukan berbagai aktivitas, baik spiritual seperti memimpin shalat; maupun politis seperti mengirim dan menerima duta negara asing; mengirim pasukan; melakukan perjanjian; mengangkat hakim, gubernur, dan panglima; menetapkan kebijakan publik, dan sebagainya. Apa ini bukan aktivitas seorang kepala negara, sekalipun negara itu adalah negara kota?

Faktanya, dulu maupun kini ada negara-negara berdimensi kecil. Kita mengenal negara kota seperti Monaco, Luxemburg, atau Republik San Marino. Beberapa negara besar di masa kini, awalnya juga hanya kota. RI bermula di Jakarta. Tanpa pengakuan penguasa daerah-daerah lain atas proklamasi Soekarno-Hatta, RI tak akan sebesar ini. Kalaupun batas RI adalah eks Hindia Belanda, maka Hindia Belanda juga dimulai dari Batavia, yang diperluas dengan politik imperialisme selama 350 tahun.

Faktanya, Madinah saat itu mirip negara kota yang merdeka, tak pernah ada di bawah dominasi kekuasaan asing. Makkah juga negara kota lainnya. Saat itu, ada sejumlah negara yang lebih besar, bahkan adikuasa, seperti Romawi yang berkuasa hingga Suriah, Jordania dan Afrika Utara; dan Persia di wilayah Irak dan Iran sekarang ini.

Masyarakat Madinah juga sebuah masyarakat yang khas. Saat Rasulullah hijrah, Islam sudah menjadi pemikiran (mafahim) dan perasaan (maqayis) dominan di Madinah –sekalipun belum semua penduduknya masuk Islam. Untuk menjadi masyarakat yang lengkap mereka tinggal membutuhkan aturan (nizham) yang dominan. Aturan ini tentu harus diterapkan seorang pemimpin yang memerintah mereka, dan mereka siap melindungi dan membantu pemimpin itu.

Kontrak sosial masyarakat Madinah dengan pemimpin itu, yaitu Rasulullah, terjadi saat Baiat Aqabah II. Baiat itulah momentum berdirinya negara-khilafah Islam. Ini mirip proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi negaranya –sebagai wilayah dan masyarakat– memang sudah ada sebagai proses rasional, tapi khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, dituntun oleh wahyu. Dan sistem khilafah ini memang berbeda dari sistem kerajaan atau republik. Dia sistem yang khas.

Piagam Madinah juga lebih mirip sebuah Undang-undang Pakta Kerja Sama, baik intra-Madinah maupun antara Madinah dengan suku-suku Yahudi di sekitarnya. UU ini tetap mengacu kepada Islam, karena di banyak pasalnya ada kalimat ”dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya”. Ini adalah kalimat yang jelas-jelas tidak sekuler, tidak demokratis, tidak diktatur, melainkan Islami. Pada saat Perjanjian Hudaibiyah, Rasul sebenarnya justru mendapatkan pengakuan kedaulatan (de jure) dari negara Makkah. Ini mirip 23 Agustus 1949 tatkala RI diakui oleh Kerajaan Belanda. Jadi, Piagam Madinah ataupun Perjanjian Hudaibiyah bukanlah dalil untuk set-up sebuah negara, apalagi bila yang diinginkan adalah gambaran bahwa negara Rasul tersebut kompromistik.

Negara Rasul adalah sesuatu yang dihuni manusia. Tentu mereka juga ada yang tersalah dan berdosa. Hanya Rasul yang maksum. Meski demikian, itu tetap negara Islam, di mana sistem Islam berlaku. Ketika Rasul wafat, para sahabat tak segera mengurus jenazahnya, melainkan sibuk mencari penggantinya. Hanya Ali dan keluarga –sebagai keluarga dekat– yang memandikan dan mengafaninya. Tapi Ali juga menunda menyalatkan dan menguburkannya, hingga terpilih Abu Bakar sebagai khalifah. Penundaan ini, apalagi untuk jenazah Rasul, menunjukkan bahwa masalah khilafah lebih urgen daripada pengurusan jenazah.

Demikianlah para Khulafaur Rasyidin menerapkan Islam di dalam negeri, dan menyebarkannya ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad. Ketika Ali terbunuh dan Daulah Umayyah berdiri, lalu tampak ada pola seperti monarki. Tapi sesungguhnya itu pelanggaran yang tidak signifikan, tidak membuat bubarnya negara.

Dinasti Umayyah hanya menyalahgunakan salah satu metode penentuan khalifah, yaitu nominasi dari khalifah sebelumnya. Namun secara umum, sistem khilafah tetap berfungsi. Mungkin mirip dengan trik Soeharto untuk jadi presiden selama 32 tahun: rekayasa Golkar, pemilu, dan MPR. Kita tahu itu pelanggaran, namun RI tidak bubar karenanya. Apalagi sistem khilafah Islam tidak hanya soal suksesi, namun mencakup politik secara keseluruhan, juga ekonomi, hukum, pendidikan, dan sebagainya.

Imam Abu Yusuf menegaskan bahwa ciri-ciri negara Islam itu dua perkara. Pertama, hukum yang berlaku di negara itu adalah dari Islam semata. Kedua, kekuatan yang melindungi penerapan hukum tersebut semata-mata pada kaum Muslimin, sekalipun mereka tidak mayoritas. Faktanya, dua syarat itu terpenuhi hingga tahun 1924. Dan faktanya, banyak prestasi peradaban Islam yang dinisbahkan ke era ini.

Bagi bangsa-bangsa di dunia, negara khilafah tetaplah satu-satunya representasi kaum Muslimin yang dihormati, disegani, ditakuti, namun juga dimusuhi. Tidak seperti sekarang ini, di mana kaum Muslimin hanya dimusuhi, tapi tak lagi disegani, dihormati, apalagi ditakuti.

Memang, ada kalanya datang khalifah yang zalim atau aparat yang korup. Tapi masyarakat tahu, itu adalah pelanggaran hukum. Hukumnya sendiri digali dari Islam. Sementara sekarang, ketika khilafah tidak ada lagi, hukum digali tak hanya dari Islam, bahkan mayoritas hanya imitasi hukum-hukum warisan penjajah kafir.

Kehancuran Baghdad oleh Tartar juga tidak membubarkan khilafah. Di bagian-bagian lain negeri, sistem Islam tetap jalan. Dan tentang khalifah yang tidak lagi Quraisy, diterangkan oleh Ibnu Khaldun, bahwa Quraisy itu hanya syarat afdhaliyah dan kontekstual, karena dahulu suku paling berpengaruh di jazirah Arab adalah Quraisy, sehingga secara sosiologis, khalifah dari Quraisy akan mengurangi resistensi.

Dengan demikian jelaslah, bahwa negara khilafah Islam memang pernah ada, didirikan Rasulullah sendiri, dan telah berlangsung hingga tahun 1924. Adapun klaim pengikut Wali al-Fatah atau Ahmadiyah bahwa mereka telah memiliki khalifah, bertentangan dengan konsep khilafah yang rajih (kuat), yang menyatakan bahwa khalifah itu pemimpin baik spiritual maupun politis. Demikian juga para penguasa negeri-negeri Islam. Sekalipun mereka menyatakan Islam agama negara, UUD-nya adalah Alquran, atau berbentuk Republik Islam, selama mereka membatasi diri untuk bangsa tertentu, mereka juga belum bisa disamakan dengan khalifah.

Secara empiris, negara-negara di luar dunia Islam pasca 1924 tak pernah lagi merasa berhadapan dengan sebuah negara yang merepresentasikan umat Islam sedunia. Mereka hanya berhadapan satu-satu: dengan Iran, Saudi, Pakistan dan sebagainya. Mereka tidak lagi mendapatkan kaum Muslimin bersatu dalam suatu formasi ideologis. Jadi, memang sudah sejak tahun 1924 ini dunia menanti. (RioL)

www.swaramuslim.net (13 Mar 2006 – 10:00 am)

Tags: , ,

November 19th, 2012

Belajar Memasak Seperti Tukang Sihir

Kupat tahu Magelang, sehat & mak nyus

Kupat tahu Magelang, sehat & mak nyus

Sepandai apa Anda bisa memasak?  Sebatas bikin nasi dengan rice-cooker, mie instant dan telor ceplok?  Mau sepuluh tahun hidup nyaris hanya dengan nasi, mie instant dan telor ceplok?

Jelek-jelek begini, saya bisa memasak lebih dari 20 macam resep (di luar yang instant-instant), meskipun tentu saja tidak sejago master chef William Wongso atau Farah Quinn 🙂

Saya belajar memasak pertama kali itu tahun 1976 (kelas 3 SD), karena di sekolah ada acara masak-memasak. Kelompok saya wajib membuat bakwan. Waktu itu, karena pertama kali, saya minta tolong ibu saya menyiapkan bumbu-bumbunya di rumah, terus resep (urutan) yang harus dilakukan.  Wah repot sekali, membawa ke sekolah penggorengan, minyak goreng, bahan-bahan bakwan berikut tungku (anglo) dan arang (karena waktu itu kami belum ada yang punya kompor gas, apalagi elpiji 3 kg).

Tapi memang saat itu, sebagai anak laki-laki, saya jarang diajak belajar memasak.  Terakhir waktu camping pramuka SMA, saya terpaksa belajar menyiapkan makan satu regu.  Sempat sih bikin nasi goreng dan telor dadar, meskipun rasanya nggak rata.  Habis itu, teman-teman dan saya sendiri lebih suka jajan di warung terdekat saja.  Dengar-dengar anak pramuka jaman sekarang lebih “enak” lagi.  Di arena jambore nasional pun sekarang ada banyak restoran cepat saji seperti McDonald, KFC, Pizza Hut, dsb.

Tapi ketika akhirnya tahun 1987 saya harus kuliah di Austria, saya tiba-tiba harus belajar memasak.  Otodidak !!!   Ceritanya begini:

Hari pertama makan, saya langsung schock dengan harga makanan di sana.  Tahun 1987, makan kenyang di kantin Goethe Institut Jakarta itu cuma Rp. 1000,-  Nah di kantin Universitaet Innsbruck, itu menu termurah 40 [Austrian] Schilling, yang dengan kurs saat itu sekitar Rp. 7000,-  Jadi tujuh kali lipat.  Beasiswa saya di Austria memang juga sekitar 7-8 kali lipat penghasilan saya di Jakarta (dari gaji dan tunjangan kursus).  Akhirnya, biar tidak terlalu mikirin, saya menganggap kurs 1 Schilling bukan Rp. 175, tapi seolah-olah cuma Rp. 25.  Jadi 40 Schilling ya kira-kira sama dengan Rp. 1000,- 🙂  Beasiswa saya saat itu 7000 Schilling. Kalau saya tiap kali makan habis 40 Schilling, kalau sehari 3 kali, itu 120 Schilling, sebulan sudah 3600 Schilling.  Padahal untuk sewa kamar sudah 3000 Schilling.  Untuk abonemen bus kota sebulan 500 Schilling.  Untuk beli buku ?  Untuk beli baju winter ?  wow, bangkrut … 🙁

Persoalan kedua, saya sering tidak mengerti komposisi menu di kantin.  Pernah makan sudah enak-enak gitu (karena lapar), tiba-tiba ada teman basa-basi tanya ke pelayan, “Mbak, ini koq enak resepnya apa?” – Terus si Mbak bilang, “itu pakai speck Mas”.  Speck itu apa sih?  Lemak Babi !  Waduh.  Saya cari di ensiklopedi, benar, speck hanya bisa dibuat dari lemak babi atau lemak ikan paus.  Tapi Austria tidak punya laut.  Wah jadi pasti dari lemak babi.  Repot memang kalau makan di tempat orang, sekalipun enak.

Akhirnya saya mulai coba-coba masak.  Repotnya, di kota Innsbruck, yang tidak punya banyak komunitas Asia, nyaris tidak ada yang jual mie instant.  Pernah di sebuah toko yang saya mendapatkan sebungkus “nasi goreng instant”, tentu saja nasinya harus ditanak dulu, sedang bumbu sudah siap.  Tapi harganya sangat mahal (hampir 75 Schilling untuk seporsi nasi goreng).  Akhirnya malah saya terlalu sayang untuk memasaknya.  Apalagi kemudian saya mulai belajar masak nasi goreng tanpa bumbu instant.

Pada awalnya, bumbu masak saya untuk bermacam-macam hal nyaris sama.  Ada irisan bawang bombay, ada garam, ada bubuk merica dikit, semua dimasukkan ke sedikit minyak goreng, baru kemudian ditambah macam-macam.  Kalau bikin nasi goreng, di atas bumbu tadi dimasukkan telor, diaduk-aduk sebentar, lalu dimasukkan nasi, lalu saus tomat.  Kecap di Innsbruck tidak ada, jadi saus tomat saja yang selalu ada.  Kalau masak dengan daging, maka di atas bumbu tadi dimasukkan rebusan daging ayam atau daging sapi, lalu dituang saus tomat juga.  Kadang semuanya dicampur, jadi nasi goreng ayam, atau nasi goreng daging … Pokoknya lezat dech …

Kemudian saya mulai belajar bikin yang lain.  Paru sapi di Austria sangat murah.  Saya beli, diiris tipis-tipis, dikeringkan di oven, terus dimasukkan ke adukan tepung beras yang telah dicampur garam dan bubuk bawang (knoblauch), digoreng, jadilah peyek paru.  Wah, ternyata orang bule juga suka.

Lalu bikin mie.  Karena tidak ada mie instant, saya bikin mie dari spagheti.  Setelah direbus sampai lunak, saya olah spagheti tadi seperti bikin nasi goreng.  Jadi yang dimasukkan bukan nasi tetapi spaghetti.  Kalau dibuat mie kuah, ya tinggal dicampuri air atau susu.  Biasanya juga ditambah potongan daging.  Kalau tetap dibuat spaghetti, ya tinggal dikasih daging cacah goreng dalam saus tomat terus dikasih parutan keju.

Yang paling heboh adalah bikin soup.  Awalnya sama, irisan bawang bombay, garam, merica, terus masuk rebusan daging, kaldu ayam Maggie, sayuran (buncis, wortel, kubis, erbsen, terong, tauge), kadang juga sarden tuna, saus tomat, dll.  Teman-teman saya kadang bilang, “Fahmi, kamu bikin ramuan tukang sihir ya?  Tapi sepertinya lezat.  Nanti kalau saya cicipin, lalu saya berubah jadi kodok, semua tahu lho ya, siapa penyebabnya …. ” :-D.

Pas bulan puasa, saya juga bisa bikin kolak roti atau kolak pisang.  Tetapi karena tidak ada gula merah (gula jawa), saya pakai coklat untuk memasak !!! Sedang santan kelapa diganti dengan susu !!!  Pisangnya juga pakai pisang ambon.  Tetapi tetap enak dan khusyu’ lah.

Beberapa bahan memang bikin sendiri. Taoge ya bikin sendiri, di pasar Innsbruck tidak ada yang jual.  Telor asin juga bikin sendiri. Tapi mau mencoba bikin telor asin madu belum kesempatan.  Yang jelas, hampir tiap hari saya memasak.  Kalau hari-hari kuliah, pukul 6 pagi saya sudah memasak.  Lama-lama saya bisa masak cepat, sekalipun tidak instan.  Alokasi waktunya maksimum 30 menit.  Sering cukup 10-15 menit saja.  Nanti masakan itu dibagi 3: 1 buat sarapan, 1 buat bekal ke campus, 1 disimpan buat makan malam.  Akibatnya, bibi cleaning service-nya nyeletuk, “Fahmi, kamu ini tiap hari makan kayak raja ya?”  — soalnya, orang-orang bule kalau ke dapur paling hanya bikin teh atau paling jauh telor dadar.  Ah bibi nggak tahu saja, ini kan demi penghematan dan pencarian yang halal.  Dengan masak sendiri begini, pengeluaran saya untuk makanan bisa ditekan hingga di bawah 800 Schilling sebulan.  Itupun kadang-kadang saya masing menraktir teman makan di tempat saya.

Akhirnya inilah yang saya bisa masak:

1. Nasi goreng (berikut variannya: nasi goreng ayam, nasi goreng daging)
2. Mie goreng (berikut variannya: mie goreng ayam, mie goreng daging)
3. Spaghetti (hampir mirip mie, cuma ada daging cacahnya & parutan keju)
4. Soup (soup ayam, soup daging)
5. Daging berbumbu (kalau di Austria disebut “Gulasch”, kadang dari hati sapi atau ikan)
6. Daging goreng atau ikan goreng (digoreng doang, goreng tepung)
7. Sate (tapi dibakar di atas kompor listrik)
8. Pizza (tepi adonan tepungnya kadang kurang mantap)
9. Sandwich (roti isi daging, sayuran, kadang juga sarden tuna dll).
10. Burger atau Kebab (mirip juga, roti disisipi sosis panggang)
11. Peyek (peyek paru, peyek kacang)
12. Aneka telor (telor dadar, telor ceplok, telor orak-arik)
13. Gado-gado (sayuran dikasih larutan bubuk kacang)
14. Aneka salad (sayuran dikasih mayonaise)
15. Aneka sambal (dari cabe kering italia, diblender, dicampur tomat, atau ikan, dsb …)
16. Kolak (kolak roti, kolak pisang)

Ketika tahun 1989 pindah ke Vienna, di sana ada banyak toko Asia.  Soal bumbu tidak perlu improvisasi lagi.  Jadi dech, dunia kuliner diperluas.  Kita coba bikin lumpia, karena kulit lumpianya dijual. Lalu juga semur ayam (atau ayam kecap, wah gak terlalu tahu bedanya).  Terus makaroni panggang.  Kupat tahu Magelang (tapi tahu di Austria lebih mahal dari daging !!!).  Aneka bakso. (mau bakso ikan, bakso ayam, bakso sapi, sudah ada, walaupun bikin sendiri juga bisa, tapi males).  Terus gule atau karee (tapi ini mulai pakai bumbu jadi he he … :-).   Intinya petualangan kuliner ternyata cukup mengasyikkan.  Apalagi ketika kita mencoba resep penemuan kita sendiri.  Yang penting halal, murah, sehat, lezat dan cepat.  Walaupun sekilas seperti tukang sihir bikin ramuan ajaib.  Tetapi ketika saya kemudian menikah, istri saya yang meneruskannya.

Gara-gara lebih sering masak sendiri begini, hingga 10 tahun saya di Austria, saya tetap saja tidak familier dengan kantin campus, baik dari segi menunya maupun harganya.  Kalau ada tamu dari Indonesia, saya dan kawan-kawan lebih percaya diri masak sendiri dan menjamu mereka.  Ada kawan, dosen dari Makassar yang ternyata pintar bikin Coto Makassar.  Sedang teman dosen dari Jogja lebih suka bikin rawon.  Kami memasak bersama-sama, jadilah kombinasi menu yang istimewa, yang pasti halal, murah, tidak pakai ngantri, bahkan saking semangatnya, di sela-sela makanan sempat kita kasih bendera merah putih kecil. Kayaknya boleh-boleh saja pakai nasionalisme kalau cuma urusan selera kuliner 🙂

Tags: , , , ,