Belajar Membela Diri
“Orang sholeh yang tidak bisa beladiri, akan dijajah; sedang jago beladiri yang tidak sholeh, akan menjajah”.
Kalau haditsnya, setiap anak muslim diperintahkan belajar memanah. Tetapi saat ini yang praktis adalah belajar bela diri; karena olahraga memanah yang sesungguhnya sangat mahal, apalagi olahraga menembak. Perkecualian tentu saja di wilayah di mana jihad menjadi agenda sehari-hari, seperti di Palestina, Irak atau Afghanistan.
Sewaktu saya SD, saya termasuk penakut. Banyak teman saya yang hobby berkelahi. Bahkan ada seorang teman yang tiap ada murid baru, yang pertama kali dilakukan adalah menantangnya berkelahi. Sayangnya teman ini, kalau berkelahinya serius dan dia kalah, dia akan bilang ke kakak laki-lakinya yang sudah SMP dan bilang kalau dirinya dinakali, sehingga kakaknya datang ke SD kami lalu memukuli si anak kecil yang menang berkelahi itu.
Lapangan SD kami pernah dipakai latihan karate “Kera Sakti” setiap minggu. Saya ingin ikut tapi dilarang ayah. Katanya, lebih baik jadi orang sholeh saja, lagian kalau mau ikut lebih baik ikut pencak [silat] saja. Saya kurang setuju, tetapi saya lihat ada benarnya juga, karena yang ikut “Kera Sakti” koq banyak premannya.
Pada waktu saya kelas 1 SMA, ada kakak kelas yang juga teman semasjid yang mengajak ikut silat Merpati Putih (MP). Katanya, beda dengan karate, MP ini latihan pernafasan, sehingga habis latihan malah segar.
Saya tertarik, apalagi sebelumnya pernah melihat di TV acara demo MP oleh prajurit Kopassus. Keren abis …
Saya pun mulai ikut latihan. Latihannya terdiri dari 4 sesi. Sesi pemanasan, sesi latihan tata gerak jurus praktis – yakni jurus cepat untuk menjatuhkan lawan, sesi pengolahan nafas, dan sesi pembinaan nafas. Sesi pengolahan nafas adalah yang paling berat, karena di sini kita dilatih nafas dada-perut, bahkan dengan beban. Kami diminta membuat dua pot berisi semen seberat kira-kira 2,5 kg, untuk nanti diangkat oleh masing-masing tangan sambil melakukan pengolahan nafas. Hasilnya, tangan jadi kuat, dan bersama dengan konsentrasi dan pengaturan nafas, siap menghancurkan benda keras dengan tangan kosong.
Setelah 4 bulan berlatih, kami pun ujian tingkat dasar-1. Ujiannya ada 3 tahap. Pertama ujian fisik, kami disuruh lari telanjang kaki di atas aspal di siang bolong sepanjang kurang lebih 25 Km. Rutenya sedemikian rupa, sehingga kemungkinan curang dengan naik ojeg kecil sekali. Hari berikutnya, dengan telapak kaki masih ancur-ancuran, kami ujian pemukulan benda keras. Setelah itu kami dibawa ke pantai Parangkusumo Yogyakarta untuk ujian “komprehensif”, fisik dengan lari dari kali Opak melintasi bukit kapur sampai pantai, terus ujian tata gerak, dan ujian ketangguhan dengan diguling-gulingkan dari bukit pasir.
Yang paling mendebarkan memang ujian pemukulan benda keras, karena ini yang indikatornya paling jelas. Kalau sasaran tidak hancur, ya pasti dinyatakan gagal. Sasarannya ada dua macam: bis beton berdiameter 25 cm sepanjang 90 cm, dan tiga keping batu ubin yang tebalnya 2 cm didirikan di atas meja. Masing-masing sasaran ini harus hancur sekali tebas. Pertama kali melihat bis beton itu, hati saya langsung kecut. Wah koq keras sekali begini. Sempat terpikir untuk ke toko kimia buat membeli asam klorida (HCl) dulu. Mungkin kalau disiram HCl, betonnya jadi rapuh …
Tapi ternyata, dengan pengosongan seluruh nafas dari tubuh, lalu menarik nafas sedalam-dalamnya sambil kita bayangkan menyerap seluruh energi alam dan semua dialirkan ke sisi telapak tangan yang makin lama makin kita keraskan, lalu kita hantamkan ke bis beton dengan secepat-cepatnya pada sesempit mungkin permukaan, hasilnya “BLETAK”, bis beton tebal itu patah ! Saya terkejut sendiri, apa jadinya kalau kekuatan tadi saya hantamkan ke tubuh atau kepala manusia … Pada pemukulan tiga keping ubin banyak hal yang lebih fenomenal lagi. Dengan cara yang sama, ubin-ubin itu ada yang bahkan tidak terpental, tetapi mirip kartu remi yang digunting, terpotong menjadi dua dan jatuh di meja.
Selama saya ikut latihan MP tingkat dasar-1 ini, ada sekitar 100 anggota TNI yang juga ikut berlatih bersama. Pada saat ujian ternyata, hanya sedikit dari mereka yang lulus ujian pemukulan benda keras. Padahal rata-rata tubuh mereka lebih kekar dan berotot dari para remaja yang masih duduk di SMA. Ternyata kuncinya memang optimalisasi nafas dan konsentrasi! Itu kalau sasaran tidak hancur, tangannya justru jadi bengkak lembam kebiru-biruan. Kacian dech …
Jadi sepertinya aji “Sasra Birowo” ala Mahesa Jenar dalam novel Nagasasra – Sabukinten itu memang ada. Kalau begitu ilmu yang aneh-aneh seperti aji Gelap Ngampar (yakni menghantam orang banyak dengan suara tertawa) atau Alas Kobar (memancarkan udara panas) itu juga mungkin bisa dipelajari. Saya pernah ingin bertemu penulis Nagasasra yaitu S.H. Mintardja di Yogya, tapi rupanya belum rejeki, bahkan sampai beliau wafat bertahun-tahun kemudian.
Setelah itu saya naik ke tingkat dasar-2. Latihannya lebih membosankan. Makin banyak teman yang “mrotoli”. Yang menarik, ada anak baru yang masuk tingkat dasar-1, yang dulu teman sekelas yang paling nakal di SD. Tetapi ternyata, di latihan MP, dia tak juga mampu melakukan push-up dengan punggung tangan sebagaimana diminta. Yang mengasyikkan, dia yang dulu suka njahilin saya, kini di beladiri jadi junior saya.
Di MP ada 12 tingkat. Sangat sedikit yang dapat bertahan berlatih sampai tingkat itu. Harus bersabar melakukan “laku” yang sangat membosankan. Kata kerabat saya yang sudah tingkat 7, dia mulai belajar getaran. Ketika saya tanya, “bisa apa itu”. Katanya kalau main “cek-cek-mek” pasti menang. Cek-cek-mek adalah permainan anak kecil, di mana seorang anak ditutup matanya, lalu dia menebak teman-temannya hanya dengan memegang kakinya saja. Kata kerabat saya ini, dia pernah semobil dengan Mas Poeng, guru besar MP. Di belakang duduk dua anggota Kopassus, karena mereka habis melakukan attraksi dalam rangka HUT Kopassus. Mas Poeng yang nyetir mobil. Tiba-tiba salah seorang anggota Kopassus itu nyeletuk, “Koq kita belum pernah ya melihat kebolehan Mas Poeng”. Mas Poeng menjawab, “Mau ?”. “Ya donk” … kalau anak sekarang mungkin akan ditanya, “Mau tahu aja, atau tahu banget?” 🙂 “Tahu banget donk”. Tiba-tiba Mas Poeng melepas pegangan ke setir mobilnya, merebahkan kursinya, lalu tiduran. Terang saja seluruh penumpang jadi ketakutan berat. Tetapi mobil itu tetap berjalan, bahkan bisa nyalip segala, padahal setirnya tidak dipengangi, dan sopirnya tidak melihat jalan.
Meski baru lulus tingkat dasar-1, kemampuan memukul benda keras di MP membuat kita punya rasa percaya diri. Baru saja naik kelas 1 SMA, saya sudah berani pergi dari Magelang ke Jakarta seorang diri, padahal sering mendengar betapa rawannya Terminal Bus Pulo Gadung pada dini hari. Saya sudah bertekad, kalau ada preman macam-macam, saya tebas saja dia dengan pukulan Merpati Putih …
Kenyataannya, hingga kini, saya malah belum pernah menerapkan kemampuan pukulan Merpati Putih itu pada manusia. Saya pernah ditodong sejumlah preman saat mencari taksi di dekat simpang Pancoran Jakarta pada saat hujan rintik-rintik pukul 22 malam. Tetapi yang saya lakukan malah hanya berdoa dan membaca ayat kursi. Alhamdulillah premannya malah jadi berpikiran lain, dan saya dilepaskan, padahal di tas ada laptop dan HP.
Jadinya, ilmu beladiri cenderung lebih untuk menjaga stamina agar tetap sehat. Di MP sendiri memang “kadigdayan” itu bukan tujuan. Merpati Putih adalah singkatan dari MERsudi PAtitising TIndak, PUsaka TItising Hening artinya Fokus pada perbuatan (tindakan) yang benar/tepat (titis), dan kemenangan (pusaka) itu hasil dari sikap tenang (hening).
Tetapi, kalau menguasai ilmu beladiri tradisional seperti pencak silat sampai tingkat tinggi, di Luar Negeri bisa jadi profesi. Ada orang Indonesia di Austria yang profesinya memang pelatih pencak silat. Kalau di Indonesia sepertinya masih susah mengandalkan silat untuk hidup, kecuali jadi centeng. Saya bahkan bermimpi suatu saat nanti, pencak silat dapat dipelajari secara lebih akademis dalam suatu program studi di universitas.
Tags: Beladiri, Merpati Putih