Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
December 27th, 2012

Matematika Ramah Keluarga

Oleh: Dr. Fahmi Amhar

di publish Mediaumat.com (19/11/2012)

Setelah baca tulis, tingkat kecerdasan seseorang diukur dengan matematika. Ini berlaku juga untuk skala keluarga maupun skala bangsa.  Berapa kira-kira skala matematika keluarga Anda?  Apakah Anda puas dengan matematika yang pernah diperoleh di bangku sekolah?  Apakah matematika yang Anda lihat sudah “ramah keluarga”, sehingga Anda merasakan gunanya di kehidupan sehari-hari, dan anak-anak Anda bersemangat mempelajarinya?

Islam tidak hanya mengangkat peradaban di tingkat elite, tetapi juga untuk tingkat rumah tangga rakyat jelata.  Seperti membaca dan menulis, matematika juga di bawah Islam menjadi ilmu yang dikuasai nyaris oleh semua anak-anak yang menuntut ilmu, di mana akses sekolah telah dibuka selebar-lebarnya.

Namun salah seorang matematikawan yang paling berjasa menjadikan matematika “ramah keluarga” ini adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780 – 850 M).

Masa remaja Al-Khawarizmi di Khurasan (Iran) tidak banyak diketahui.  Yang jelas dia kemudian berkarier sebagai matematikawan di Baitul Hikmah (Akademi Ilmu Pengetahuan) di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah al-Mansur yang berkuasa dari 754 – 775 M.  Semua orang tahu bahwa al-Makmun adalah politisi yang sangat antusias dengan logika dan matematika.  Dan al-Makmun tidak salah.  Al-Khawarizmi membuktikan diri sebagai orang pertama yang berhasil “mengawinkan” geometri Yunani dengan arimetika India, baik di kecanggihannya sehingga mampu memecahkan berbagai persoalan rumit, maupun di kesederhanaan bahasanya, sehingga dapat dipelajari oleh anak sekolah dasar.

Karya Al-Khawarizmi yang mengubah sejarah matematika sehingga dapat diterapkan di setiap rumah tangga, bukanlah karyanya canggih secara ilmiah, melainkan dua buah buku yang isinya terhitung ringan, meskipun yang satu memiliki judul yang menggetarkan: “Kitab Aljabar wa al-Muqobalah”, sedang satunya lagi sebuah buku tentang teknik berhitung dengan angka India, tentang bagaimana menjumlah, mengurangi, mengalikan dan membagi.  Pada abad-12 buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin dan tersebar di Eropa.  Lambat laun, teknik berhitung ala al-Khawarizmi disebut algorizmus, atau algoritma.

Algoritma akhirnya menggusur cara berhitung Yunani dengan abakus (seperti sempoa).  Abakus memang lebih cepat untuk menghitung angka-angka besar, namun hanya terbatas untuk operasi aritmetika sederhana (misalnya menjumlah harga dagangan).  Pada hitungan yang kompleks (seperti menghitung pembagian waris atau menghitung titik berat kapal), algoritma jauh lebih praktis, cepat dan akurat.

Anehnya bangsa Eropa sendiri kemudian sempat lupa asal-usul kata algoritma.  Ada yang menyangka algoritma berasal dari kata “alleos” (asing) dan “goros” (cara pandang), karena teknik ini memerlukan cara pandang yang baru.  Ada lagi yang menduga algoritma dari “algos” (pasir) dan “ritmos” (angka), atau teknik dengan angka-angka yang mampu menghitung obyek sebanyak pasir di pantai.  Ada juga yang menyangka bahwa algoritma adalah judul buku Mesir kuno seperti Almagest karya Ptolomeus.  Demikian puluhan teori muncul, sampai akhirnya pada 1845, Franzose Reinand menemukan kembali al-Khawarizmi dalam algoritma.  Salah satu buktinya adalah bahwa dalam perhitungan aritmetika, selalu dihitung satuan dulu yang ditaruh paling kanan, lalu ke kiri dengan puluhan dan seterusnya.  Sebagaimana huruf Arab ditulis dan dibaca dari kanan ke kiri.

Ilustrasi adu cepat berhitung antara kaum Abacist (yang menggunakan abakus) vs Algoritmiker (pengikut metode al-Khawarizmi), dan dimenangkan oleh kaum Algoritmiker.

Ilustrasi adu cepat berhitung antara kaum Abacist (yang menggunakan abakus) vs Algoritmiker (pengikut metode al-Khawarizmi), dan dimenangkan oleh kaum Algoritmiker.

Pada tahun 773 Masehi, seorang astronom India bernama Kankah mengunjungi al-Mansur.  Lelaki itu membawa buku berjudul Sindhind tentang aritmetika, yang dengannya dia terbukti mampu menghitung bintang dengan sangat baik.  Al-Mansur lalu memerintahkan agar buku itu diterjemahkan ke bahasa Arab, kemudian agar dibuat sebuah pedoman untuk menghitung gerakan-gerakan planet.  Muhammad bin Ibrahim al-Fasari lalu membuat pedoman ini, yang di kalangan astronom kemudian disebut “Sindhind besar”.  Belakangan karya ini diedit ulang oleh Al-Khawarizmi.

Dengan karya ini, angka India menjadi populer.  Ketika Khalifah al-Walid I (668 – 715 M) menguasai Spanyol dan segera melarang penggunaan bahasa Yunani atau Latin dalam urusan resmi untuk diganti bahasa Arab, dia masih mengecualikan penggunaan angka Yunani, karena angka ini belum ada penggantinya.  Namun ketika buku al-Fasari dan al-Khawarizmi keluar, dengan segera “angka India” diadopsi tak hanya oleh birokrasi, tetapi juga kalangan pebisnis dan surveyor, bahkan akhirnya oleh ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak mereka. Bagi orang-orang Spanyol, angka yang dibawa oleh para matematikawan Muslim yang berbahasa Arab ini lalu disebut “Angka Arab”.  Matematika akhirnya bisa menjadi cabang ilmu yang ramah keluarga.

Pada masa Yunani kuno, para matematikawan lebih asyik berfilosofi tentang geometri daripada memikirkan aplikasi praktis capaian geometri mereka.  Contoh: mereka telah berhasil menghitung hubungan jari-jari lingkaran dengan keliling lingkaran, yaitu bilangan pi (π).  Karena nilai pi ini saat dihitung “tidak mau selesai”, maka bilangan ini disebut “trancendental”, artinya: hanya Tuhan yang tahu.

Kalau sebuah bidang memotong kerucut dan membentuk suatu bangun geometri (ellips, parabola atau hiperbola) lalu pertanyaannya berapa luas atau keliling bangun tersebut, maka geometri Yunani tak lagi bisa memberi jawaban.  Pada saat yang sama, seni berhitung ala India juga tak pernah dipakai menghitung persoalan serumit ini.  Di sinilah Al-Khawarizmi “mengawinkan” aritmetika dan geometri. Potongan kerucut dengan bidang menghasilkan beberapa unknown (yang nilainya dicari), yang akan ditemukan kalau rumus bidang datar, kerucut dan kemiringan perpotongan disatukan lalu diselesaikan.  Inilah aljabar.

Salah satu halaman di Kitab Al-Khawarizmi.

Salah satu halaman di Kitab Al-Khawarizmi.

Hitungan ini lalu dipakai untuk membuat berbagai benda teknis yang dipasang di depan masjid hingga di dalam rumah, dari jam matahari hingga wajan penggorengan, dan di zaman modern dari desain bendungan hingga antena TV.  Model hitungan “perpotongan kerucut” ini belakangan dipakai untuk menghitung lintasan peluru manjaniq di medan jihad, dan beberapa ratus tahun kemudian dipakai oleh NASA untuk memprediksikan gerakan pesawat ruang angkasa.

Tags: , , ,

December 15th, 2012

Pencarian Antara Dua Extrema

Oleh: Fahmi Amhar

Pencarian dua extrema

Pencarian antara dua extrema

Seseorang datang ke dunia tanpa bisa memilih pada keluarga mana ia dilahirkan, pada lingkungan apa ia tumbuh, dan oleh (guru) siapa ia dididik. Maka pada umumnya seorang anak kecil tidak bisa memilih sejak awal, apa agama yang akan dianutnya. Bila ia dilahirkan pada sebuah suku di rimba di Afrika, bisa jadi ia akan menjadi pemeluk paganisme yang kolot. Bila ia dibesarkan oleh seorang kader partei komunis di Uni Soviet, ia akan menjadi komunis yang fanatik. Bila ia dididik terus pada sebuah sekolah katholik di Irlandia Utara, dia akan menjadi pejuang katholik yang berani mati. Dan bila dia tumbuh di Makkah Al Mukarramah, serta setiap tahun menyaksikan jutaan muslim dari seluruh dunia datang berhaji, ia bisa berkembang menjadi muslim yang kosmopolit.

Sebagian besar manusia terbentuk oleh lingkungan. Pemikiran, perasaan dan perbuatan mereka akan ditentukan oleh apa yang menjadi norma kolektif dalam lingkungan tersebut. Jarang seorang anak kecil yang berpikir seperti Ibrahim a.s., yang mempertanyakan “Benarkah yang dianut orang-orang ini?”. Lingkungan pada umumnya kurang menghendaki pemikiran yang bertentangan dengan mainstream. Di Barat ini akan “aneh” sekali bila ada orang yang mempersoalkan kebenaran prinsip sekularisme atau demokrasi. Seperti anehnya masyarakat Quraisy di Makkah abad 7 Masehi, ketika Muhammad Saw membawa ajaran Tauhid. Mereka menuduh Muhammad telah melecehkan nenek moyang mereka, melecehkan agama dan adat istiadat mereka, bahkan mengganggu keharmonisan hidup masyarakat Makkah (lihat Sirah Nabawiyah, Ibnu Ishaq).

Tags: , , , , ,

December 11th, 2012

Tidak harus semua jadi sarjana, Tetapi semua harus jadi manusia yang berguna.

wawancara dari Tim Redaksi D’Rise di publikasi 21 March 2011 di web drise-online.com

di depan satelit Iran

di depan satelit Iran

Sedikit sekali remaja yang rela ngasih waktu mudanya buat ngemil segala hal yang berbau karya ilmiah. Ya iyalah, hari gini gitu lho. Kebanyakan remaja lebih suka kegiatan senang-senang. Yang seru-seruan gitu deh. Tapi bagi Profesor Riset asal magelang ini, justru dunia ilmiah adalah mainannya saat remaja. Nggak heran kalo beliau sukses menggondol juara karya Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) LIPI tiga tahun berturut-turut (1984-1986). Dan akhirnya, dunia ilmiah juga yang mengantarkannya meraih gelar Doktor di Vienna University of Technology, Wina, Austria pada tahun 1997 (usia 29 tahun). Berikut kutipan obrolan kang Hafidz dari drise saat berkesempatan ngobrol dengan Dr. Ing. Fahmi Amhar. Just cekidot!

Boleh dong Pak cerita ke kita-kita gimana sih bisa dapetin gelar Dr di luar negeri gitu?

Dulu saya sekolah di kampung, di kota kecil Magelang, Jawa Tengah hingga SMA. Tahun 1986 diterima di Jurusan Fisika FMIPA ITB. Pada saat itu di Kantor Menristek juga ada seleksi Overseas Fellowship Program (OFP) untuk menjaring lulusan SMA yang mau dikirim belajar ke LN dengan beasiswa ikatan dinas. Saya ikut test OFP ini juga. Alhamdulillah, test akademis lolos. Pas psikotest di Jakarta, jadwalnya bersamaan dengan daftar ulang di ITB di Bandung. Akhirnya yang psikotest OFP saya tinggal. Setelah saya kuliah di ITB dua bulan, ternyata oleh Ristek dipanggil lagi, untuk ikut psikotest susulan. Ya sudah, test lagi, tapi tanpa beban. Ya Allah kalau memang ini jalan yang membawa aku makin dekat kepada-Mu, buatlah dia lancar, tapi kalau tidak, buat aku tidak lulus sekarang juga.Alhamdulillah lolos.

Setelah lulus test OFP itu,kami harus kursus bahasa & IPA 6 bulan. Lalu ujian bahasa. Baru berangkat ke LN. Di sana kami test masuk perguruan tinggi (jadi Sipenmaru lagi). Lalu kuliah. Alhamdulillah, setelah 6 tahun, saya meraih gelar “Diplom-Ingenieur”, ini gelar insinyur professional di Austria, Jerman, Swiss dan Perancis. Levelnya setara dengan S1+S2 di negeri berbahasa Inggris. Enam tahun sepertinya lama ya? Tapi saya mahasiswa nomor dua tercepat dari seluruh mahasiswa di jurusan geodesi yang jumlahnya 70 orang, dan orang asingnya cuma 4 orang. Maka oleh Professor saya, saya lalu direkrut untuk jadi asisten riset, sekaligus dapat mengerjakan program doktor saya. Saya masih perlu 4 tahun lagi untuk mewujudkan mimpi saya jadi doktor.Dr. Ing. Fahmi Amhar

Gimana ust melihat kondisi pelajar sekarang? Kanyanya tiap hari kita disuguhin potret buram pelajar melulu.

Ya, idealnya pelajar itu belajar, bukan cuma sekolah. Sekarang di sekolah, anak-anak itu tidak merasa banyak belajar untuk hidup. Mereka hanya di-drill untuk lulus UN, atau masuk perguruan tinggi. Padahal yang mampu ke Perguruan Tinggi baik dari sisi biaya maupun kecerdasan kan tidak semua. Harusnya, sekolah itu tempat yang menyenangkan. Karena guru-guru itu adalah life-mentor untuk menghadapi kehidupan yang panjang. Boleh jadi para pelajar itu ingin, sekolah ngasih pengalaman (experiential) dan suasana petualangan (adventurial). Karena mereka tidak mendapatkan dari sistem belajar-mengajar yang ada, makanya mereka memberontak. Jadinya tawuran, kebut-kebutan, narkoba, de el el.

Sebenarnya, para pelajar sekarang tuh masih pada punya idealisme untuk menjadi yang terbaik dan berwawasan gak sih Pak?

Mereka sejatinya punya idealisme, mereka juga lebih senang kalau menjadi yang terbaik dan punya wawasan. Tetapi, lingkunganlah yang kemudian meniup mati idealisme ini. Mereka melihat lingkungan yang buruk, tetapi koq dipertahankan? Orang-orang curang, koq akhirnya dapat lebih banyak? Mereka meniru para elit negeri ini. Mereka melihat guru-guru yang asal-asalan. Saya tidak bilang semua guru asal-asalan lho ya. Banyak juga guru yang baik. Tetapi, pelajar yang amburadul ini dapat dipastikan besar di lingkungan keluarga atau sekolah yang juga amburadul. Tidak ada panutan. Tidak ada arahan kecuali hanya bentakan atau makian, bukan teladan dan pendampingan.

Kalo gitu, apa sih yang bikin prestasi para pelajar menurun? sistemikkah? atau sekedar personal?

Kalau di suatu sekolah, distribusi prestasi itu merata, ada yang baik banget, top markotop lah, dan ada juga yang jelek, tetapi rata-rata di tengah, maka itu berarti yang jelek itu personal. Tetapi kalau semua buruk, itu buruknya pasti sistemik.

Saat ini negara getol berusaha mendongkrak kualitas pelajar, diantaranya dengan pelaksanaan Ujian Nasional. Gimana tuh Pak?

Ujian Nasional saya kira hanya salah satu alat untuk mengukur keberhasilan pendidikan. Tetapi dia tidak boleh jadi satu-satunya alat. UN itu tidak bisa mengukur siswa yang kreatif, siswa yang punya kemampuan memimpin, siswa yang punya jiwa enterpreneur, siswa yang sholeh dsb. Juga pendidikan tidak bisa didongkrak hanya dengan UN. Agar kualitas pendidikan naik, maka kualitas sekolah (gedung, lab, buku dsb) harus dinaikkan juga. Kualitas guru juga harus naik, guru harus dibuat sejahtera dan profesi ini harus dibuat bergengsi. Keberhasilan pendidikan juga terkait dengan ekonomi. Banyak anak cerdas berniat sekolah, dan sekolah sudah gratis, tetapi kondisi ekonomi orangtuanya memaksa dia bekerja saja jadi buruh, karena kalau sekolah, adik-adiknya kelaparan. Atau jarak rumahnya ke sekolah terlalu jauh, tidak ada angkutan kecuali sangat mahal. Ini semua harus diperbaiki, baru kita bisa menuntut kualitas hasil pendidikan meningkat.Dr. Ing. Fahmi Amhar

Banyak para pelajar kita yang sukses menggondol medali dalam olimpiade sains tingkat dunia di tengah prestasi pelajar yang merosot. Inikah oase di tengah padang pasir?

Bukan oase, tetapi tetes embun di tengah padang pasir. Ada teori bahwa di setiap bangsa itu, Tuhan menciptakan 2,5% manusia dengan kecerdasan jauh di atas rata-rata, tanpa memandang kelas sosial ataupun level nutrisinya. Kalau bangsa Indonesia ini 200 juta jiwa, maka ada 5 juta orang yang kecerdasannya jauh di atas rata-rata. Kalau murid kelas 1-3 SMA itu ada 5 juta siswa, maka sejatinya ada 125.000 siswa yang berbakat untuk diasah menjadi peraih medali emas di Olympiade Sains tingkat dunia. Tetapi sebagian besar dari mereka tidak pernah terdeteksi. Dan mereka yang akhirnya menjadi juara olympiade sains itupun masih harus membuktikan, seperti apa kontribusi real mereka nanti di masyarakat.

Solusi seperti apa yang mesti ditempuh untuk meningkatkan prestasi dan kualitas pelajar?

Pertama, bisa dimulai dari pelajar itu sendiri, atau orang tuanya, atau kakaknya, atau gurunya. Berikan contoh yang terbaik. Itu saja. Kedua, dimulai dari media massa (terutama televisi). Berikan tayangan-tayangan yang menggugah, menginspirasi, bukan hanya hiburan yang dangkal dengan target-target komersial jangka pendek. Ketiga, ini harus dari penguasa, minimal dari Pemda yang sekarang punya otonomi mengurusi sekolah. Seleksi gurunya yang benar, Proaktif meninjau sekolah yang fisiknya perlu ditingkatkan, Beri jaminan agar seluruh siswa dapat tersalurkan bakat positifnya. Semua anak itu punya bakat positif. Tidak harus semua jadi sarjana. Tetapi semua harus jadi manusia yang berguna.

Apa pesan dan motivasi Pak Fahmi untuk temen-temen pembaca drise?

Hidup yang terbaik itu adalah hidup untuk memberi yang sebanyak-banyaknya, bukan menerima yang sebanyak-banyaknya. [341]

BOX:

Biodata Singkat

Nama : Dr. Ing. Fahmi Amhar

Profesi : Ahli Peneliti Utama bidang Sistem Informasi Spasial di BAKOSURTANAL

: Dosen pasca Sarjana IPB dan Universitas Paramadina

: Trainer TSQ

Tags: ,