Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
January 2nd, 2013

Belajar dari Negeri Para Mullah

Prof. Dr. Fahmi Amhar

“Pergi ke Iran mau ngapain?  Mau jadi syi’ah?”, tanya seseorang.  Pertanyaan tak serius ini tentu saja saya jawab dengan canda, “Lho saya kan sudah Ayatollah!”.

Ada juga canda yang lain, “Kalau belum menikah memang seharusnya ke Iran dulu, biar tidak menyesal …”.  Konon sejak revolusi Islam, wanita Iran tidak boleh ikut seleksi wanita cantik sejagad seperti Miss Universe.  Hal ini karena di Iran tidak ditemukan satupun wanita cantik.  Adanya wanita amat cantik dan wanita cantik sekali …

Pertengahan tahun 2011, saya ke Iran diundang presentasi oleh International Conference on Sensors & Models of Photogrammetry & Remote Sensing di College of Engineering University of Teheran.  Keputusan jadi berangkat diambil dua hari sebelumnya, setelah dipastikan kita bebas visa untuk seminggu.  Meski jarang turis “nyasar” ke Iran karena berbagai travel warning dan citra Iran yang dibuat buruk media Barat, namun menurut saya ada dua hal yang perlu dipelajari dari negeri para Mullah ini.  Pertama, tentang dunia sains di Iran yang tetap maju ditengah-tengah kesulitan akibat embargo yang dijatuhkan dunia. Kedua, realitas kehidupan sehari-hari di sebuah Republik Islam.

 

Tentang dunia sains di Iran:

Iran beruntung memiliki warisan kejayaan Islam masa lalu, bahkan juga dari masa pra Islam.  Ingat, Salman al Farisi RA adalah sudah insinyur ketika dia masuk Islam.  Nama-nama intelektual besar Islam seperti al-Khawarizmi, Ibnu Sina dan Umar Khayam, “hadir” dalam kehidupan sehari-hari.  Banyak jalan atau lapangan dinamai dengan tokoh-tokoh itu.  Iran bahkan memberi penghargaan tahunan “Al-Khawarizmi Award” bagi ilmuwan muslim dunia yang dianggap berprestasi dalam inovasi teknologi.  Setiap tahun mereka juga mengundang seluruh negeri Islam dalam sebuah pameran internasional sains dan teknologi.

Dalam conference ini, saya melihat bahwa kualitasnya masih di atas rata-rata conference sejenis yang diadakan di Indonesia.  Tidak cuma bahwa sebuah konferensi ilmiah internasional diawali dengan pembacaan al-Qur’an, tetapi presentasi para peneliti Iran, termasuk yang masih mahasiswa benar-benar mengambil thema yang tidak mudah, meski banyak batasan yang mereka alami.  Sebagai contoh, ada ilmuwan Iran yang membuat sebuah alat yang dicangkokkan pada sebuah alat yang lebih besar buatan perusahaan Austria, Vexcel, untuk dipasarkan ke seluruh dunia.  Tiba-tiba Vexcel dibeli Microsoft.  Maka kerjasama dengan Vexcel otomatis batal, karena bila diteruskan, Microsoft akan kena UU Embargo.  Dalam UU itu, semua perusahaan Amerika yang berhubungan dengan Iran akan dihukum.  Kini Iran mencoba bekerja sama dengan China untuk alat yang serupa.

Namun kesulitan itu makin membuat Iran tertantang.  Kata beberapa teknisi PTDI yang diperbantukan di industri pesawat Iran, mereka benar-benar “diperas ilmunya” selama di Iran.  Ini sikap yang sangat berbeda dengan kita di Indonesia terhadap expatriat.  Tak heran, nyaris tanpa pertolongan negara lain, tahun 2009 mereka sudah berhasil membuat roket yang dapat membawa satelit komunikasi ke orbit.  Kalau Iran berhasil membuat bom atom, maka dengan roket tersebut Iran pasti akan dapat menjatuhkan bom ke mana pun di seluruh dunia.  Oleh karena itulah, Amerika dan sekutunya makin kencang dalam membatasi gerak gerik Iran.  Hal yang sejenis barangkali akan terjadi ketika Khilafah, yang mungkin jauh lebih “berbahaya” bagi Barat daripada Iran, diproklamasikan di sebuah negeri Islam.

Tentang realitas Republik Islam:

Di negeri ini internet disensor.  Semua link berbau pornografi akan otomatis dialihkan ke situs yang menyediakan informasi ajaran Islam.  Namun pasca keributan seputar pemilu 2009, situs seperti facebook, twitter, youtube dan banyak lainnya juga diblokir.

Di jalan-jalan tidak ada baliho iklan dengan gambar wanita.  Di televisi juga tidak ada film Hollywood ataupun konser dengan biduanita yang tidak menutup aurat.

Di jalanan, berlaku aturan berpakaian Islam.  Bahkan wanita peserta conference dari Russia pun begitu masuk imigrasi di bandara sudah harus berpakaian tertutup.  Minimal bercelana panjang, blazer dan kerudung menutup rambut dan leher.  Kadang sedikit rambut depan masih terlihat, namun ini tak masalah dalam fiqih syiah, karena dianggap bagian wajah yang biasa terlihat.  Namun ada juga yang menambah dengan chador, kerudung besar (setengah lingkaran dengan radius setinggi badan) warna hitam yang diselimutkan dari kepala dan menjuntai ke tanah.  Agar tak lepas, chador ini harus selalu dipegang.  Kalau wanita itu mencangklong tas, tas itu akan tertutup chadornya.  Konon, hanya di kota suci Qom yang nyaris seluruh wanitanya memakai chador.

Di bus tempat penumpang wanita di depan, laki-laki di belakang.  Untuk kereta ada gerbong khusus wanita.  Transportasi umum di Iran sangat murah.  Tiket bus 1000 Riyals (sekitarr Rp. 800) dan Metro hanya 2000 Riyals.  Bensin hampir sama dengan di Indonesia, 4500 Riyals, tetapi ada quota.  Setiap kendaraan dijatah sehari 2 liter, angkutan umum/usaha 10 liter.  Di SPBU ada card-reader.  Kalau jatah habis maka berlaku harga 7000 Riyals.  GDP perkapita US$ 10.800, lebih dari 3x Indonesia.

Di Teheran tak ada jaringan toko atau restoran cepat saji internasional.  Jadi jangan mencari KFC atau McDonald.  Pepsi atau CocaCola saja amat terbatas, apalagi khamr.  Mungkin ada satu dua di pasar gelap, tapi yang jelas tidak ada di toko resmi.  Demikian juga Hotel seperti Hilton.  Sejak embargo ekonomi pasca revolusi Islam, Iran bisa hidup tanpa simbol-simbol modernitas seperti itu.  Banyak pengusaha Barat hengkang karena mengkhawatirkan perang atau pertumbuhan negatif.  Apalagi, sejak revolusi Islam, terbit Undang-undang perbankan bebas riba.  Walhasil, kartu kredit seperti Visa atau Mastercard juga tidak bisa dipakai.  Namun pasar-pasar Iran tetap ramai.  Satu jalan panjang penuh dengan penjual spareparts kendaraan.  Di tempat lain penuh dengan penjual baju atau barang-barang hobby.  Banyak merek yang hanya ada di Iran.  Usaha Kecil dan Menengah booming.  Konon perdagangan dengan negara yang netral terhadap politik Iran amat deras, misalnya dengan Jepang, Perancis atau China.  Cash dibayar dengan devisa dari expor, terutama migas.  Iran mungkin negara tanpa utang luar negeri.

Jalan-jalan di Teheran juga relatif bersih, memberi tempat yang cukup untuk pejalan kaki, pokoknya lebih nyaman dari Jakarta, walaupun masih jauh dari Singapura.  Tetapi air PAM dapat langsung diminum.  Di dekat masjid Imam Khomeini bahkan ada zona pejalan kaki yang sangat luas dan nyaman karena dinaungi pohon-pohon rindang.

Namun memang bagi turis pemburu hiburan, di Iran nyaris tak ada hiburan.  Ini yang juga dikeluhkan generasi muda Iran yang lahir pasca revolusi tapi pernah keluar negeri.  Mereka menginginkan kebebasan.  Mereka belum pernah merasakan, bagaimana Iran sangat menderita di masa Syah Reza Pahlevi.  Raja zalim itu ingin membuat Iran negara paling sekuler dan liberal, namun pada saat yang sama dia sangat koruptif dan menjalankan politik negara intel.  Hingga awal 1979, jarang orang percaya bahwa Raja yang amat berkuasa itu dapat digulingkan oleh ulama sepuh yang telah diasingkan 15 tahun.

Tak ada setahun pasca jatuhnya Syah Iran, dilakukan referendum, dan 90% rakyat Iran setuju dengan sebuah konstitusi baru yang dibuat Ayatullah Khomeini.  Dalam konstitusi itu, pemimpin tertinggi Iran (Imam) dipilih dari dan oleh Dewan Ulama (Wilayatul Faqih).  Imam ini yang menjadi panglima tertinggi angkatan perang, mengangkat para hakim serta setengah anggota Dewan Penjaga Revolusi yang mirip Mahkamah Konstitusi.  Sementara itu Presiden dipilih rakyat untuk menjalankan pemerintahan. Parlemen membuat UU, namun dapat dicabut oleh Imam atas saran Dewan Penjaga Revolusi, bila dianggap bertentangan dengan Islam.  Bila Presiden hanya berkuasa 4 tahun dan boleh dipilih sekali lagi, maka Imam mengabdi seumur hidup.  Dalam ajaran syi’ah, masalah Imamat adalah bagian dari rukun iman.  Dalam ajaran sunni, masalah kepemimpinan atau Khilafah adalah “min ma’luman bid dharurah”, tetapi bukan bagian rukun iman.  Jadi kira-kira Imam adalah Khalifah, dan Presiden adalah Muawin Tafwidh, meski masih banyak bedanya.

Tetapi memang banyak kejutan dengan syi’ah ini.  Begitu mendengar adzan, ada beberapa sisipan yang tidak lazim kita dengar, misalnya “Asyhadu an Ali Waliyullah! Asyhadu an Ali Hujatullah” dan “Hayya alal khoiru amal”.  Di masjid jadi kikuk.  Pernah orang KBRI sholat di masjid, karena mungkin “aneh” bagi orang sana, dia sampai difoto oleh intel masjid.  Mungkin jaga-jaga, “ada penyusup sunni”.

Khutbah Jum’at juga lebih mirip orasi politik.  Kadang ada yel-yel yang diteriakkan, “Hancurkan Amerika!”.  Ini yang kadang ditakutkan oleh negeri-negeri Islam lainnya  Maka undangan beasiswa ke Iran sering ditanggapi dingin oleh pemerintah kita.  Namun demikian, dari Indonesia saja, kini ada 300 mahasiswa yang belajar agama di kota Qom.  Apakah mereka akan dicuci otak dan jadi agen syiah di Indonesia?  Atau mereka justru tertarik dengan wanita Iran yang menurut seorang mahasiswa yang terpental dari Qom (mungkin gagal dicuci otaknya): “memang cantik sekali, tapi kalau tidak matre , ya sangat syi’ah ” :-).

** ini re-published ** sepertinya pernah saya tulis di Notes, tapi koq tidak ketemu lagi ya ?

Tags: , , ,

December 31st, 2012

Belajar “Mengikuti” Tanpa Terlibat (MTT)

Kata “mengikuti” sering multitafsir.

“Apakah kalian mengikuti piala dunia? yang menang Spanyol atau Jerman?”

Oh ternyata yang dimaksud “menonton siaran piala dunia”.

Ini mah “Mengikuti Tanpa Terlibat” (MTT).

 

Hukum MTT apa ya?

belajar-mengikuti-tanpa-melihatTergantung objeknya apa, dan posisi kita di sana sebagai siapa, juga seberapa dekat MTTnya.

Kalau objeknya mubah (seperti pertandingan bola), maka MTT juga mubah kalau cuma via layar kaca, tetapi kalau kita ada di stadion, bisa menjadi makruh atau haram tergantung suasana yang menyelubungi kita, seberapa jauh ikhtilatnya, seberapa anarkis aktivitas supportingnya dsb.

Kalau objeknya haram (seperti pesta goyang dangdut yang menebar aurat), maka MTT juga ikut haram, kecuali kalau kita “terjebak”, maksudnya: gak tahu kalau acaranya sejauh itu, karena tadi katanya ini peringatan 1 Muharram, dibuka dengan bacaan Quran & doa oleh Pak Ustadz, gak tahunya ada dangdut segala, dan mau escape susah, maka hukumnya jatuh makruh (asal kita tidak justru “kebeneran” lalu bilang “Masya Allah – Alhamdulillah”) :-).

Bagi wartawan, peneliti atau investigator hukum, MTT untuk objek yang haram pun kadang-kadang diperlukan.  Tujuannya semata-mata untuk fact-finding.  Mereka tidak diberi kewenangan menindak.  Mereka masuk ke arena sekedar untuk mengumpulkan data.  Biar nanti otoritas pemilik kewenangan yang melakukan penindakan.  Pada kasus zina, syara’ mewajibkan untuk menghadirkan 4 orang saksi yang semua melihat dengan matanya sendiri.  Tentu saja, para saksi ini mustahil dihadirkan kalau mereka tidak MTT.  Dan kalau MTT itu dari awal dinyatakan haram, ya mereka juga tidak mau jadi saksi.

Wartawan atau peneliti kadang-kadang perlu MTT pada acara ritual agama lain.  Juga sekedar fact finding, apa yang dilakukan.  Karena meski Islam mentolerir umat agama lain menjalankan ritualnya, tetapi ritual itu sendiri tidak boleh melanggar hukum yang berlaku umum.  Misalnya, tidak boleh ada ritual agama dengan melakukan pengorbanan manusia.  Petugas dari Khalifah Umar bin Khattab yang dikirim ke Mesir mendapatkan bahwa orang-orang penganut agama Mesir kuno kala itu kalau kemarau panjang suka melakukan upacara ritual melarung (menghanyutkan) perawan cantik ke sungai Nil.  Bisa saja mereka dilapori orang lain, tapi bisa pula sebelumnya mereka telah mencari fakta melalui MTT, untuk meyakinkan bahwa itu bukan gossip murahan.  Setelah yakin ada faktanya, maka Umar kemudian memerintahkan menggantikan korban manusia itu dengan sehelai suratnya yang terkenal, yang bertuliskan: “Wahai Sungai Nil, kalau engkau mengalir karena kemauanmu sendiri, maka mengalirlah; dan kalau engkau mengalir karena menuruti perintah Rabb-mu, maka turuti perintahNya”.

Pada kasus kejahatan luar biasa (korupsi, narkotika, terorisme), MTT bisa berabe, karena sekedar tahu – tapi tidak berbuat pro justicia (melaporkan) – bisa dianggap terlibat.  Kecuali kalau sebelumnya ada ijin dari aparat (misalnya untuk petugas serse atau KPK yang akan disusupkan untuk menangkap basah).

Bagaimana MTT pada objek yang hukumnya wajib?  Misalnya ada seorang yang perlu pertolongan segera, dia digigit anjing, atau dia hampir hanyut diterjang banjir, maka MTT hukumnya haram kalau kita punya kemampuan untuk memberi pertolongan, minimal mencari pertolongan terdekat.  MTT baru dimaklumi kalau benar-benar force majeur, misalnya anjingnya sangat ganas sementara tidak ada senjata atau orang lain yang bisa dipanggil; atau dalam kasus banjir, kita sendiri sangat berresiko terseret arus karena banjir sangat deras dan kita tidak bisa berenang.

Yang pasti, untuk banyak aktivitas fardhu kifayah (termasuk dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam melalui penerapan syariah dan khilafah), kita tidak boleh MTT, karena sekecil apapun, pasti ada peran yang dapat kita lakukan.

Wallahu a’lam bis shawab.

Tags: , ,

December 31st, 2012

Belajar Beberapa Bahasa Asing

Berapa bahasa asing yang Anda kuasai?

Berapa tahun Anda belajar bahasa tersebut?

Apakah Anda percaya diri berkomunikasi dengan bahasa itu?

Beberapa Bahasa Dunia

Beberapa Bahasa Dunia

Sekarang ini, banyak orang menawarkan training untuk menguasai bahasa asing.  Ada yang dengan jargon “Enam minggu percaya diri berbahasa Inggris”.  Ada juga bahkan “Enam jam percaya diri berbahasa Inggris” …  Anda percaya, dan mau keluar uang untuk ikut kursus itu?

Saya tidak menampik bahwa ada orang-orang yang memang dikarunia kecerdasan linguistik yang luar biasa.  Sewaktu di Austria, saya mengenal seorang Profesor kimia yang memiliki hobby bahasa.  Beliau menguasai secara aktif 10 bahasa asing, yaitu (kalau tak salah 🙂 Jerman (bahasa ibu) – Inggris – Perancis – Spanyol – Italia – Turki – Arab – Jepang – China – Thai.  Dan dia waktu itu ingin belajar bahasa Indonesia dengan kami – mahasiswanya.

Tetapi mayoritas atau rata-rata orang, memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menguasai satu bahasa asing saja.  Di sekolah, anak-anak kita sejak kecil diberi pelajaran bahasa Inggris, bahkan di SDIT juga bahasa Arab.  Kalau mereka lulus SMA, mereka telah menelan 12 tahun pelajaran bahasa Inggris dan 12 tahun bahasa Arab?  Apakah mereka sudah bisa kita ajak ngobrol atau surat menyurat dengan bahasa itu?  Jawabnya pasti: tergantung !  Tetapi saya mengamati: mayoritas tetap tidak percaya diri.

Sebagai orang yang lahir di Jawa Tengah, bahasa pertama saya adalah bahasa Jawa.  Kemudian, di kelas 1 SD, pelan-pelan saya mulai belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.  Hanya dua bahasa itu yang diajarkan di SD saya saat itu.

Di rumah, karena ayah saya mahir bahasa Arab, saya dilatih small-talk bahasa Arab.  Kalau ada tamu yang juga ustadz atau kyai, ayah saya suka memamerkan “kebolehan” saya bercakap-cakap ringan dalam bahasa Arab.  Namun pelajaran bahasa Arab ini kemudian terhenti ketika ayah saya sakit, bahkan lalu meninggal dunia.

Di SMP-SMA kita semua belajar bahasa Inggris.  Tetapi saya kira, guru-guru kita sendiri masih baru “teaching as usual”.  Di SMA bahkan salah satu guru bahasa Inggris saya hanya menekankan grammar.  “Conversation itu tidak akan keluar di EBTANAS ataupun Sipenmaru”, katanya.  Wow … bener juga sih.

Pada saat kelas 2 SMA, saya pernah ikut test seleksi peserta American Friendship Service (AFS).  Ujiannya 3x.  Ujian pertama: pengetahuan umum dan mengarang dalam bahasa Inggris.  Yang lulus, ikut ujian ke-2: Wawancara dalam bahasa Indonesia (tentang motivasi ikut AFS) dan Wawancara dalam bahasa Inggris.  Yang lulus, ikut ujian ke-3: diskusi kelompok (dalam bahasa Indonesia).  Sewaktu ujian pertama mengarang dalam bahasa Inggris, saya menulis seluruh karangan saya terlebih dulu dalam bahasa Indonesia, baru menerjemahkannya dalam bahasa Inggris.  Saya kira karangan saya jelek sekali.  Tetapi saya lolos ke ujian ke-2.  Wawancara dilakukan oleh anak AFS dari Amerika yang sekolah di Indonesia.  Sepertinya sedikit nyambungnya … he he … tetapi saya beruntung lolos ke ujian ke-3.  Diskusi kelompoknya membahas isu-isu kontroversial.  Tapi dari sekian belas orang yang sampai ujian ke-3 ini hanya dipilih 1-2 orang saja.  Dan saya alhamdulillah tidak terpilih !!!  Kalau saya terpilih, mungkin jalan hidup saya akan sangat berbeda.

Ketika baru duduk 1 semester di ITB, saya lolos tes beasiswa LN OFP-Ristek, sehingga saya dipanggil untuk kursus bahasa Jerman di Goethe Institut Jakarta.  Seperti diketahui, bahasa yang dipakai di Austria adalah bahasa Jerman, sama seperti di Republik Federasi Jerman dan Swiss.  Hanya di Swiss, bahasa resminya ada 4, selain Jerman juga Perancis, Italia dan Ratoroman.

Di Goethe Institut kami belajar 5 jam sehari x 5 hari/minggu.  Bahasa Jerman diajarkan dengan pengantar bahasa Jerman juga.  Kami cuma dikasih Glosarry, seperti kamus tetapi tidak urut abjad, melainkan urut kata-kata yang keluar selama pelajaran.  Gurunya separo orang Indonesia dan separo orang Jerman.  Tidak semua orang Jerman bisa jadi guru di Goethe Institut lho, mereka harus lulus sekolah mengajar bahasa Jerman untuk orang asing.

Setelah dua minggu kursus, kami kedatangan seorang Profesor dari Austria yang akan mewawancarai kami.  Tahu kami baru kursus dua minggu, dia coba menanyai kami dalam bahasa Inggris.  Tetapi ternyata, dengan kursus dua minggu itu, bahasa Inggris yang telah saya pelajari enam tahun, seperti terhapus oleh bahasa Jerman.

Setelah kursus sekitar lima bulan, kami menghadapi ujian Zertifikat Deutsch als Fremdsprache (ZDaF).  Mungkin mirip TOEFL.  Bentuk ujiannya ada 5: LV (Leseverstehen – Membaca & Memahami), HV (Hoerverstehen – Mendengar & Memahami), SA (Schriftliche Ausdruck – Mengarang), SW (Strukturen & Wortschatz – Tatabahasa & Kosakata) dan MA (Mundliche Ausdruck – Berbicara).  Saya mendapat nilai 96,5 (dari max 120).  Wah jadi sangat percaya diri.

Sampai di Austria, kami dikursuskan bahasa Jerman level Universitas, karena agar diterima di Universitas, setiap mahasiswa asing harus lulus Universitaet SprachPruefung (ujian bahasa universitas).  ZDaF saja tidak cukup.  Alhamdulillah, setelah dua bulan, saya mengantongi ijazah USP ini.

Kuliah pun dimulai.  Dari 70-an mahasiswa, yang orang asing cuma 2 orang, termasuk saya.  Stress-pun dimulai.  Waktu itu, proyektor LCD + Powerpoint belum ada.  Dosen paling hanya memakai OHP, tetapi lebih banyak yang menulis mind-map-nya di papan tulis.  Saya yang jadi bingung, apa yang mau ditulis, apalagi ternyata banyak dosen yang ngomongnya secepat kereta api.  Akhirnya saya selalu duduk di samping mahasiswa bule.  Kalau dia nulis, saya ngelihat apa yang dia tulis, kalau perlu tanya, lalu saya tulis juga.  Saya tidak akan fotocopy.  Memang mungkin terlihat kekanak-kanakan buat saya, dan agak mengganggu bagi si bule, tapi ya itulah yang harus saya jalani beberapa bulan.  Lebih repot lagi, ada mata kuliah Pengantar Hukum Konstitusi dan Administrasi (Verfassung & Verwaltungsrecht) yang dosennya tidak pernah menulis.  Dia datang, duduk di meja, lalu cerita.  Akhirnya saya menghadapnya, tanya buku apa yang paling praktis untuk saya baca agar saya mengerti apa yang dia ajarkan.  Buku itu lalu saya cari di perpustakaan, kemudian saya membaca semua bab sebelum dia ajarkan.  Hasilnya, di akhir semester, saya malah mendapat nilai tertinggi untuk mata kuliah itu.

Sejak di Austria, Bahasa Jerman saya tumbuh lumayan pesat.  Bangun tidur, wecker radio langsung menyapa dalam bahasa Jerman full.  Dan saya tinggal di asrama yang isinya tidak ada orang Indonesia lain.  Dan waktu itu internet juga belum ada, sehingga kita benar-benar dipaksa berkomunikasi hanya dengan bahasa Jerman.  Bahkan saya mencoba menulis buku harian dalam bahasa Jerman.  Hasilnya, setelah dua tahun, saya bahkan bisa mimpi dalam bahasa Jerman !!!

Di tahun kedua saya memiliki tetangga yang mahasiswa doktorat dari Mesir dan Thailand, yang selalu berkomunikasi di antara mereka dalam bahasa Inggris.  Akhirnya saya mulai belajar lagi berkomunikasi dalam bahasa Inggris.  Saya usahakan setiap jadwal masak & makan bersamaan dengan mereka, supaya bisa ngobrol dalam bahasa Inggris.  Tetapi lucunya, kalau saya ragu-ragu, reflek saya adalah mencarinya kembali ke bahasa Jerman.  Kamus yang saya pakai adalah kamus Jerman-Inggris.  Belakangan, saya menulis thesis S2 saya dalam bahasa Jerman, tetapi disertasi S3 saya putuskan dalam bahasa Inggris – lebih agar mudah diakses orang dari seluruh dunia.  Bahasa Jerman cuma digunakan oleh kurang lebih 120 juta orang; sedang bahasa Inggris oleh 750 juta orang.  Di PBB, bahasa resmi dunia ada 6: Inggris – Perancis – Spanyol – Rusia – Arab – China.

Setelah bahasa Jerman saya mantap, serta terinspirasi oleh profesor kimia yang hobby bahasa tadi, saya mencoba belajar beberapa bahasa lainnya.  Kebetulan di masjid khutbah disampaikan dalam bahasa Turki.  Maka saya lalu belajar bahasa Turki.  Wow, ternyata bahasa Turki lebih rumit dari bahasa Jerman.  Kemudian saya sempat punya teman pena orang Belanda.  Karena ada kedekatan bahasa Jerman dengan bahasa Belanda, saya sempat beberapa lama berkorespondensi dalam bahasa Belanda.  Kemudian ketika tahun 1988 saya berkeliling Eropa, saya membawa kamus-kamus kecil untuk mempelajari bahasa-bahasa negeri yang saya lewati : Perancis – Italia – Spanyol –  Yunani.  Kalau cuma untuk little talk (sekedar bilang selamat pagi, mana arah ke …….. , berapa harganya, dll) ternyata memang tidak membutuhkan waktu yang lama.  Tetapi belajar seperti ini ya cepat lupa lagi.

Di tahun ke-4 di Austria, saya iseng-iseng ikut kuliah bahasa Arab di Universitas Wina.  Cuma 2 x 2 jam/minggu.  Di sini ikut kuliah apa saja bebas, dan waktu itu tidak perlu bayar.  Semula saya merasa paling hebat, karena dari seluruh mahasiswa, mungkin saya yang sudah hafal huruf Arab duluan.  🙂  Tetapi ternyata mind-set ini kurang baik.  Ternyata pelajaran berjalan cepat.  Dari awal, bahasa Arab diajarkan tanpa tanda harakat (syakal).  Dari awal: arab gundul.  Ujian Semester adalah potongan koran berbahasa Arab lalu pertanyaan-pertanyaan, yang juga dalam Arab gundul.  Wow … nyerah dech …  Sepertinya memang harus seserius atau bahkan lebih serius dari ketika saya belajar bahasa Jerman dulu.

Bahasa Arab adalah bahasa persatuan Islam dan konon akan menjadi bahasa di Surga.  Tetapi saya yakin, orang yang dimasukkan Allah ke surga, pasti otomatis akan bisa berbahasa Arab, sekalipun di dunia satu hurufpun tak kenal, karena di surga itu segala keinginan akan terkabul.  Sedang sebagai bahasa persatuan, bahasa Arab tidak perlu diperdebatkan lagi, karena sumber-sumber ilmu dan sejarah Islam semua dalam bahasa Arab.  Tetapi memang tidak otomatis bisa bahasa Arab akan mengantarkan orang ke pemahaman Islam yang benar.  Andaikata begitu, niscaya semua orang di Timur Tengah yang dari kecil lancar berbahasa Arab akan ber-Islam dengan benar.  Faktanya kan tidak begitu.  Oleh sebab itu, belajar bahasa Arab dan belajar Islam keduanya harus dilakukan.  Belajar bahasa Arab agak sulit dengan “sambil lalu” – “sambil baca kitab di halaqah”, apalagi dengan musyrif yang bahasa Arabnya juga masih belum kokoh.  Kalau seperti ini, hasilnya malah kemampuan bahasa Arab tidak dapat, dan materi halaqah juga tidak tertransfer dengan sempurna.

Kursus-kursus singkat yang ditawarkan (dari yang 6 minggu sampai 6 jam) tidak lain hanya memberi motivasi saja.  Buat beberapa orang, motivasi ini dapat menjadi cambuk mereka belajar selanjutnya, baik mandiri atau dengan komunitasnya.  Percaya diri berbahasa asing itu tidak perlu menunggu fasih berbahasa asing.  Tetapi walau baru little-talk (lebih rendah dari small-talk), percaya diri ini sangat perlu.  Kalau sudah tidak percaya diri, maka bahasa yang telah dipelajari tidak akan pernah dipraktekkan, padahal kemampuan bahasa itu tumbuh seiring dengan praktek.

Hal ini ternyata tidak cuma untuk bahasa manusia.  Bahasa komputerpun demikian.  Setelah saya percaya diri dengan bahasa Pascal, saya lalu mulai lagi mempelajari bahasa Basic, Fortran, C, Lisp, Prolog, SQL, APL, dll.  Intinya: belajar bahasa itu mesti serius sampai mencapai ambang kritis, pertama ambang “percaya diri bicara bahasa itu” – dan setelah itu jangan berhenti, teruslah belajar sampai “ambang bisa mimpi dalam bahasa itu” 🙂

Tags: , ,