Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
January 9th, 2013

Belajar Membuat Undang-Undang

Ini termasuk Note yang sudah lama sekali ingin saya tulis, bahkan mungkin menjadi sebuah buku yang perlu dipelajari oleh mahasiswa FH, FISIPOL, FT dan FG. Juga pelajaran buat generasi muda geospasial.  Mungkin saya tidak selesai menulis sekali, akan terus saya sempurnakan.

Tahun 2007, saya diminta masuk dalam sebuah tim beranggotakan 4 orang (“Tim 4 pendekar”) untuk membuatkan naskah akademis (NA) sebuah RUU.  Karena RUU itu kini sudah jadi UU, maka saya sebut saja, itu UU Informasi Geospasial (UU 4/2011).  Waktu itu, RUU itu sudah berusia 17 tahun (pertama kali digagas tahun 1990). Namanya masih RUU Tata Informasi Geografi Nasional (TIGNAS).   Tapi “gagal maning-gagal maning”.  🙂  Konon salah satu penyebabnya adalah naskah akademisnya kurang mantap.  Padahal konon naskah akademis itu sudah digarap oleh beberapa perguruan tinggi terkemuka, dibantu para senior di dunia survei dan pemetaan.  Memang ini UU yang sangat teknis, mungkin lebih mirip UU lalu lintas lah … Kalau bahasa fiqihnya, ini bukan “Qanun Tasyri’i” tetapi “Qanun Ijra’i” – yakni peraturan yang dibuat cukup dengan kesepakatan, yang hukum syar’i asalnya bersifat mubah.  Karena sifatnya teknis, maka saya tidak keberatan menggarap naskah akademisnya.  Nanti saya ceritakan mengapa kalau non teknis koq saya mungkin keberatan.

Ya, dari Tim 4 Pendekar ini, semua lulusan teknik geodesi.  Jadi semua insinyur!  Tiga orang sudah Doktor!  Semua masih di bawah 40 tahun.  Dan semua lulusan luar negeri, saya dari Austria, teman-teman lain dari Belanda, Amerika Serikat, Australia, ada juga yang ditambah sekolah di Jepang.  Tentu saja ada pendamping dari Biro Hukum yang SH, tapi perannya di Naskah Akademis tidak besar.  Belakangan saya minta ditambah 2 orang doktor geografi, keduanya juga alumni luar negeri (Jepang dan Jerman). Meski demikian, dalam perjalanannya, beberapa dari kami sempat diikutkan dalam training dan workshop legal drafting dari Kemenkumham.

LEGAL DRAFTING

Ketika kami mulai bekerja, tentu saja kami diberi bahan RUU yang sudah ada beserta NA yang pernah dibuat selama 17 tahun itu.  Tetapi sejujurnya, ketika kami melihat RUU-nya, rasanya kalau makanan seperti “tanpa garam, tanpa sambal, tanpa lauk, dan tanpa nasi”.  Lho memang makanan apa ya ? 🙂  Gak enak untuk ngomong “gak jelas”.  Akhirnya Tim-4 ini memutuskan untuk melupakan RUU & NA lama itu, dan kami menuliskan semuanya baru.  Metodenya, pertama-tama kami brainstorming, apa saja yang mau dimasukkan atau mau diatur.  Persoalan apa di negeri ini yang mau dibantu dengan sebuah UU TIGNAS.  Banyaklah.  Misalnya tentang batas daerah yang samar-samar, peta antar instansi yang tidak sinkron dan tumpang tindih, peta mutakhir dan akurat yang sulit diperoleh, penanggulangan bencana tanpa bekal peta, penataan ruang yang carut-marut – termasuk petanya juga tidak karuan, dan sebagainya.

Setelah ada kumpulan masalah, kami mulai mencoba mengelaborasi, sebenarnya di dunia selama ini, masalah teknis tersebut diselesaikan dengan cara apa?  Kami searching di internet, berbagai UU dan Peraturan lainnya dari Amerika Serikat, Canada, Belanda, Jerman, Austria, Australia, Malaysia, India, China, dan Jepang.   Untung semua dari kami pernah sekolah di Luar Negeri.  Dan untung sekarang ada Google beserta Google.Translates-nya 🙂  Mungkin ini studi banding yang paling murah dan komprehensif.  Kami juga membaca banyak sekali UU dan RUU yang ada hingga saat itu.  Kami mempelajari  UU Nuklir (10/1997), UU UU Statistik (16/1997), UU Sipteknas (18/2002), UU Perencanaan (25/2004), UU Pemerintah Daerah (32/2004),  UU Penanggulangan Bencana (24/2007), UU Penataan Ruang (26/2007), UU Wilayah Pesisir (27/2007), juga RUU Meteorologi & Geofisika, RUU Wilayah Negara, dan masih banyak yang lain.  Saya kadang berharap, para Anggota DPR atau para Penegak Hukum itu pernah membaca UU lebih banyak dari kami.  :-).  Kemudian pokok-pokok pikiran itu dituliskanlah dalam sebuah RUU yang sama sekali baru.  Kami sebut ini RUU #0.1.  Kami juga membuat Naskah Akademisnya (NA #0.1).  Pada awalnya, semua hal ini ditulis dalam sebuah matriks yang sangat besar.  Setiap masalah, dihubungkan dengan sebuah pasal/ayat di RUU, lalu ada Keterangan sebagai naskah akademis, dan ada referensi yang menunjuk kepada suatu dokumen ilmiah atau UU/Peraturan di negara lain.  Sebagai peneliti, kami bahkan membayangkan ada suatu Perangkat Lunak yang dapat mendukung pekerjaan legal drafting yang rumit ini sampai selesai.  Mungkin namanya LDSS – Legal Drafting Support System.  Tentu saja, akhirnya yang jadi produk akhir adalah dokumen RUU & Naskah Akademis.

Kedua dokumen ini kemudian di-floor.  Pertama-tama tentu saja di internal Bakosurtanal sendiri.  Kami meminta ada 3 jenis sesi.  Sesi pertama adalah dengan para pejabat teras (eselon-1 dan eselon-2).  Tentu saja, mereka biasa bicara pada level makro, tetapi umumnya hanya sensitif yang menyangkut unit kerjanya sendiri.  Sesi kedua adalah dengan mid-management.  Mereka umumnya lebih fokus pada hal-hal yang sifatnya teknis di lapangan, tetapi juga hanya fokus pada unit kerjanya.  Maka perlu sesi ketiga, yaitu dengan anak-anak baru, para PNS yang belum 5 tahun bekerja, masih fresh-graduate, tetapi umumnya memiliki idealisme dan passion dalam bekerja, juga belum terlalu fanatik pada unit kerjanya.

Kemudian keluar.  Pertama adalah ke kalangan birokrasi.  Kami mengundang semua Kementerian/Lembaga yang terkait dengan geografi.  Yang paling sering adalah BPN, Kehutanan, ESDM dan PU.  Kementerian Keuangan memiliki Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), tetapi seingat saya mereka tidak pernah hadir memenuhi undangan bedah RUU.  Kedua adalah kalangan akademisi (Perguruan tinggi).  Tim-4 beserta staf biro Hukum kemudian muter ke berbagai perguruan tinggi, terutama yang ada prodi yang terkait informasi geografis, seperti teknik geodesi, geologi, sipil, planologi, geografi, pertanian, kehutanan, kelautan dan sebagainya.  Kadang mereka diundang ke Bakosurtanal.  Ketiga adalah ke kalangan bisnis/praktisi yaitu kalangan profesional dan perusahaan-perusahaan yang terkait dunia geografi.  Bisa perusahaan jasa pemetaan, bisa pula pengguna jasa survei pemetaan, seperti dari real estate, perkebunan dan sebagainya.  Dan keempat adalah masyarakat umum, kami undang berbagai asosiasi profesi (ISI, IGI, MAPIN, IAGI, dll ) dan LSM (WALHI, JKPP, navigation.net, dsb).  Materi RUU & NA juga kami share melalui berbagai blog dan milis.

Hasilnya, muncul ratusan kritik, masukan, usulan dan pertanyaan.  Ini sebuah proses iterasi.   Sampai hampir dua tahun kami bekerja menyempurnakan draft RUU & NA itu.  Sampai akhirnya, draft itu dirasa matang (draft versi #1.0) untuk diserahkan ke Kemenkumham untuk harmonisasi.

HARMONISASI

Semua RUU di Republik ini wajib diharmonisasi, supaya tidak berbenturan dengan Konstitusi dan UU lain yang telah ada. Dan itu tugas Kemenkumham beserta Sekretariat Negara.  Maka digelarlah sidang Harmonisasi di Kemenkumham.  Mereka mengundang biro hukum dari semua Kementerian dan Lembaga yang terkait.  Sebenarnya K/L terkait ini semua pernah kami undang, tetapi waktu itu orang teknisnya, bukan biro hukum.  Nah, karena yang datang biro hukum, jadinya banyak hal yang harus dijelaskan dari awal lagi.  Kaidahnya adalah: setiap UU harus bisa dipahami oleh orang yang awam teknis, tetapi melek hukum.  Ternyata RUU #1.0 ini masih banyak cacatnya.  Padahal sudah digodog hampir 2 tahun lho!  Rapat harmonisasi memerintahkan dibentuk tim kecil, yaitu dari instansi pengusul (Bakosurtanal) ditambah pakar legal drafter dari Kemenkumham dan Setneg.

Oleh dua pakar legal drafter ini, seluruh RUU ini nyaris diformat ulang.  Mereka adalah orang-orang yang berpengalaman membuat banyak UU yang bersifat teknis.  Salah satu pakar ini konon juga ikut membidani UU Migas – karena Migas juga urusan Komisi 7 di DPR, sedang ristek (Bakosurtanal adalah lembaga di bawah Kemenristek) juga urusan Komisi 7.  Secara substansi kami sudah pasrah.  Para legal drafter itu yang menulis menurut struktur yang lazim.  Tentu saja lazim menurut dia, karena kami melihat, style dari puluhan UU yang pernah kami baca itu memang lain-lain.

Tetapi ada juga substansi yang minta dipertegas.  Ada beberapa pasal yang dinilai ambigu karena faktanya ada beberapa lembaga saat ini yang mengurusinya.  Pakar dari Setneg ini minta “Sudah, semua diurus 1 Badan saja, kalau ada Lembaga lain yang terpaksa hilang 1 kedeputian, biarin saja, kan tupoksi mereka bukan itu”.  Kami jadi terkejut dan perasaan campur baur.  Belum sempat kami tenang kembali, beliau melanjutkan, “Namun nanti kalau dengan itu masalah pemetaan belum beres juga, semua tahu, siapa yang harus dicekik lehernya”.  Jadilah pimpinan kami terkejut-kejut lagi … 😀

Selama harmonisasi ini kami juga berdebat panjang soal sanksi.  Hanya UU yang ada sanksi yang akan dihormati.  Maka kami diminta memikirkan, apa saja hal-hal yang masuk pidana yang dapat diancam dengan pidana penjara atau denda?   Apa ya?  Akhirnya kami temukan juga.  Misalnya, “secara tanpa hak memindahkan atau merusak atau membuat tidak berfungsi suatu tanda fisik jaring kontrol geodesi” — kalau yang paling gampang bentuknya adalah seperti pilar batas.  Mau dihukum berapa juta Rupiah, atau berapa tahun?  Wah berapa ya?  Pakar yang kami undang dari Kejaksaan Agung mengusulkan 5 tahun!  Alasannya, kalau 5 tahun atau lebih, itu bisa ditahan.  Waduh, kasihan amat.  Seorang pakar hukum pidana dari Ombudsman bertanya, apakah perbuatan itu jahat ya?  Di dunia hukum sekarang ini, ada istilah “kejahatan” dan ada istilah “pelanggaran”.  Menerabas lampu merah, itu bukan kejahatan, tetapi pelanggaran.  Tetapi sebuah pelanggaran bisa menjadi kejahatan, kalau itu berakibat korban jiwa atau kerugian material orang lain.  Tapi bagaimana menilainya ya?  Kami diminta membuat simulasi, berapa sih kerugian bila ada pelanggaran bla-bla-bla …  Pelanggaran yang berakibat lebih serius harus dihukum lebih berat.

Setelah setahun lebih, tinggal satu masalah: benturan dengan BPN.  BPN kan melakukan pemetaan juga?  Kami dipertemukan dalam rapat khusus dengan para pejabat BPN.  Kami mempelajari semua UU dan peraturan yang ada di BPN.  Ternyata tidak ada satupun yang menunjukkan bahwa tugas utama BPN itu adalah membuat peta.  Yang ada, mereka adalah mengurusi pertanahan.  Jadi tidak masalah.  Akhirnya dalam suatu rapat pleno di Kemenkumham, RUU ini dianggap Bulat dan Harmonis. Namanya diganti menjadi RUU Informasi Geospasial.  Inilah RUU #2.0.  RUU ini sah untuk dikirim Presiden (sebagai Pemerintah) ke DPR. Presiden menunjuk Menristek dan Menkumham, didampingi Kepala Bakosurtanal untuk menemui DPR.

PEMBAHASAN DI DPR

Gedung DPR

Gedung DPR

Jadilah, pertengahan 2010, RUU IG masuk Prolegnas.  DPR, khususnya Komisi-7 mulai membuat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).  Filosofinya: UU itu kan mengatur rakyat.  Sedangkan Pemerintah kemarin dianggap baru bicara-bicara dengan sesama birokrat.  Memang harmonisasi itu hanya melibatkan birokrasi – jadi dianggap bukan rakyat.  Sedang DPR itu wakil rakyat.  Maka DPR mengundang rakyat.  Tapi siapa ya?  Meski DPR itu wakil rakyat, tetapi rakyat yang mana?  Akhirnya, tim sekretariat DPR yang minta tolong kami untuk menunjukkan, rakyat yang terkait dengan RUU itu yang mana?  Ya kami keluarkan saja daftar nama atau organisasi yang sebenarnya dulu pernah kami temui saat masih draft #0.1.  Jadi ya orang-orang dari Perguruan tinggi, Kalangan praktisi dan LSM atau Organisasi Profesi itu diundang lagi.  Tapi kini ke DPR.

Di RDPU, kami yang notabene dari birokrasi ini tidak diundang, tetapi kami boleh hadir di balkon.  Tentu saja kami tidak boleh ikut bertanya, apalagi ikut menjelaskan atau menjawab pertanyaan dari manapun. Para anggota dewan yang terhormat itu ingin bertanya ke rakyatnya, apakah RUU ini diperlukan tidak sih?  Kalau diperlukan, substansi mana yang belum sreg?  Ternyata, yang datang mewakili itu kadang tidak sama dengan yang dulu.  Jadi masih muncul lagi ide-ide baru yang cukup bagus.  Ada juga ide-ide yang disampaikan ke kami di luar sidang.  Bahkan bahasanya sampai sambil ngancam, “Silakan, RUU ini disahkan, tetapi besoknya sudah saya bawa ke MK”.  Sebenarnya, kami ingin mengadopsi ide-ide bagus itu ke RUU.  Tapi itu tidak boleh begitu saja.  Sekarang bolanya di DPR.  Kalau RUU mau diedit lagi, ya Presiden harus menarik RUU itu dulu dari DPR, lalu Kemenkumham harus melakukan harmonisasi lagi.  Wah ribet ya?

Tapi ada jalan keluar yang elegan.  Para anggota dewan ini urusannya banyak.  Mereka tidak cuma bertugas membuat UU yang seabreg, tetapi juga mengawasi pemerintah, mengontrol APBN, mendengarkan aspirasi konstituen dsb.  Jadi, soal RUU IG ini mereka hanya punya waktu sangat sedikit. Oleh karena itu, mereka minta kepada staf ahli DPR untuk membuatkan Daftar Inventaris Masalah (DIM).  Tentu saja, karena staf ahli DPR itu juga sangat sedikit, merasa kurang kompeten, sementara pekerjaannya bejibun, maka mereka minta bantuan kami, untuk membuat DIM.  DIM ini nanti yang akan ditanyakan oleh anggota DPR ke Pemerintah.  Di depan DPR, itu yang boleh menjawab adalah Menteri, dan paling rendah pejabat Eselon-1.  Dan eloknya, karena kami ini notabene juga staf pemerintah, maka kami juga diminta oleh boss kami itu, untuk membuatkan jawaban atas DIM itu.  Jadi kami ini yang sudah membuatkan RUU & NA, diminta juga membuatkan soal-soal DIM beserta jawabannya sekaligus.  Sedang aktornya adalah DPR dan pemerintah.  🙂

Tapi itu cara yang dapat memberi peluang kami untuk terus memperbaiki RUU.  Jadi pura-puranya DPR akan tanya, “Kenapa pasal anu koq bunyinya begitu, bagaimana kalau begini saja (modifikasi)”.  Dan pemerintah nanti akan merespon, “Itu saya kira masukan yang sangat bagus dari Dewan, dan kami Pemerintah setuju”.  Nah, jadinya RUU yang jadi nanti akan lebih bermutu.

Tapi taqdir ternyata berkata lain.  Ada 3 hal yang di luar perhitungan kami:

Pertama, oleh DPR, ternyata DIM itu dipecah-pecah sampai setiap ayat. Jadi, satu pasal yang mengandung 5 ayat, bisa di-“mutilasi” menjadi 6 DIM, yaitu satu untuk judul dan total 5 dari tiap ayatnya.  Terus Komisi 7, dalam suatu rapat marathon yang sangat cepat, membagi-bagi tiap nomor DIM itu apakah “tetap”, atau “dibahas di Panja”, atau cukup “dirumuskan ulang di TimMus-TimSin”.  Panja adalah Panitia Kerja, yaitu separuh dari anggota Komisi-7 yang sekitar 50 orang itu.  Sedang TimMus adalah Tim Perumus, yaitu separuh dari Panja.  Dan TimSin adalah Tim Sinkronisasi, yaitu separuh dari TimMus.  Karena “mutilasi” ini dibahas sangat cepat, kadang-kadang jadi lucu: ada pasal yang judulnya diminta dibahas di Panja (jadi ada kemungkinan berubah), tetapi salah satu ayatnya dibilang tetap, atau sebaliknya.  Ini baru dalam pasal yang sama, belum kalau beberapa pasal pada bagian atau bab yang sama.

Kedua,  oleh staf DPR, setiap item DIM tadi yang sudah kami siapkan soal-jawabnya, “dibagi rata” ke semua fraksi.  Ada 9 fraksi di DPR.  Akibatnya, ada satu pasal yang DIM untuk ayat 1 dan 2 – misalnya – untuk Partai Demokrat, tetapi ayat 3 dan 4 untuk PDIP, dan ayat selanjutnya untuk Gerindra.  Kesatuan di dalam pasal jadi kacau.  Lebih ruwet lagi, pada saat sidang, fraksi-fraksi kecil seperti Gerindra atau Hanura jarang hadir!  Mereka hanya punya sedikit wakil di DPR.  Giliran yang ngomong Demokrat, wakil dari PDIP komentar, “Lho, ini koq Partai Demokrat (PD), yang notabene partai pemerintah malah mengkritik RUU dari pemerintah sendiri?”.  Yang dari PD tadi jadi kurang PD (percaya diri).  Jadinya dia malah berkata, “Ya ini bukan kritik, tetapi apresiasi dan hanya sedikit masukan”.  Jadilah, beberapa item yang bagus untuk perbaikan RUU itu, yang kebetulan ada di kantong Gerindra dan Demokrat, urung disampaikan.

Ketiga, pada masa pembahasan RUU ini, jajaran eselon-1 di Bakosurtanal berganti total.  Orang-orang baru ini yang akhirnya berhadapan dengan Panja di pembahasan.  Kami dari tim sudah menyiapkan suatu teknologi agar mereka yang duduk di depan dan berhak menjawab, dapat dengan mudah kami beri contekan.  Teknologi ini berbasis laptop dan jaringan wifi terbatas.  Tapi dalam perjalanannya, rupanya antara grogi atau terlalu percaya diri (tapi keliru) bercampur aduk, sehingga kadang-kadang hasilnya tidak optimal.  Ya mohon maaf, sekali lagi, dalam pembahasan dengan DPR ini, tim penyusun RUU & NA (“Tim 4 pendekar” yang sudah menjadi “Tim 6 pendekar”) tidak boleh ngomong, kecuali diminta oleh ketua sidang.

Jadilah ada beberapa item yang semula sangat “reformatif”, tiba-tiba “orde baru” lagi.  Misalnya, hingga versi #2.0, masih ditulis bahwa “informasi geospasial dasar, bersifat terbuka, dan dalam format elektronik dapat diakses masyarakat dengan 0 Rupiah (=gratis)”.  Tetapi kalimat ini kemudian direlatifkan lagi oleh DPR dengan kalimat “DAPAT dikenakan biaya tertentu yang besarnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.  Sekarang ini masyarakat yang akan mendapatkan peta memang dikenai tarif yang diatur dengan suatu Peraturan Pemerintah tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).  Jadi bahasa kasarnya, DPR ini mau bilang begini, “PNBP ini kan bisa menghasilkan uang – kenapa malah mau kalian hapuskan, nanti kalian minta uang lagi ke DPR?”.

Pembahasan dengan DPR kadang dilakukan di gedung DPR. Acara ini terbuka, boleh diliput wartawan.  Saya amati, pas di DPR, persidangan hanya memiliki speed kira-kira 1 ayat per jam.  Artinya sangat alot.  Setiap anggota panja ingin ngomong, dan harus diakomodir ketua sidang.  Anggota dewan itu ada yang mengaku sudah dua puluh tahun dipercaya mewakili rakyat, dan sudah membuat 50 Undang-undang, jadi jangan sampai merasa diremehkan.  Artinya, dalam sehari kadang hanya selesai 1 pasal.  Padahal ada puluhan pasal.  Tetapi kalau – dengan alasan perlu sidang yang lebih intensif – kemudian sidang dilanjutkan di hotel, walaupun judulnya terbuka, tetapi tidak ada wartawan, sidang bisa memiliki speed 10 pasal per jam !!!

Ini realita.  Tetapi setelah semua pasal dibahas, RUU ini tidak bisa begitu saja diketok.  Rupanya ada satu syarat menurut Tata Tertib DPR yang belum terpenuhi, yaitu: STUDI BANDING.  Ya, dan studi banding yang dimaksud adalah ke luar negeri!  Yang sudah studi banding via internet dan pengalaman semasa studi kan kami (Tim 6 Pendekar), sedangkan mereka anggota Dewan kan belum.  Jadilah, mereka minta studi banding, dan negaranya juga mereka yang menentukan: USA dan Jerman!

Sebenarnya kalau dari segi kemiripan dengan Indonesia, maka yang paling mirip secara geografis itu Jepang (sama-sama negara kepulauan dengan banyak gunung api dan kota-kota yang padat penduduk).  Sedang secara demografis itu China atau India (sama-sama negara berkembang dengan penduduk yang sangat banyak).  Tetapi kalau anggota Dewan pingin ke USA atau Jerman, ya harus nurut … kecuali kita tidak ingin RUU ini selesai.

Rencana Studi Banding ini sempat tertunda dua kali.  Pertama gara-gara gunung Merapi meletus.  Jadi tidak elok, lagi ada bencana koq DPR malah “plesiran”. Yang repot para pendamping ini.  Karena ingin tiket murah, jadinya ketika di-reschedule, kena fee yang cukup besar, jadi malah mahal.  Penundaan kedua gara-gara ada sidang Paripurna membahas hasil Pansus Century & Pansus Pajak.  Semua anggota wajib hadir!  Jadinya, jadwal yang sudah dirancang baik-baik, termasuk ketemu Parlemen Jerman atau US-Congress, gagal total.  Padahal sangat sulit membuat jadwal dengan mereka, karena sebentar lagi mereka juga reses.

Tetapi akhirnya jadilah kami merencanakan tour ke Jerman dan USA, walaupun versi minimalis.  Saya diminta mengawal yang ke Jerman.  Mereka rencana jalan 5 hari, berangkat Minggu, efektif di Jerman mulai Senin sampai Jum’at, lalu pulang Sabtu pagi.  Mungkin kami memang serius ya, jadi lima hari itu benar-benar padat.  Sampai di Berlin sudah Senin siang, setelah makan siang kami langsung diterima di KBRI, diteruskan dengan dinner. Karena jetlag, setelah itu sudah ngantuk sekali.  Selasa pagi, kami diterima Kementerian Ekonomi & Teknologi; lalu sorenya ke Geoforschung Potsdam (ini seperti Badan Geologi Jerman).  Rabu pagi naik kereta api ke Frankfurt.  Sampai Frankfurt sudah siang, setelah lunch, langsung ke Bundesamt fuer Kartografie & Geodaesie (semacam Bakosurtanal-Jerman).   Kamis pagi naik kereta api lagi ke Muenchen. Sampai juga sudah siang.  Setelah lunch, baru ke Deutsche Luft & Raumforschung (semacam LAPAN-Jerman).  Baru hari Jum’at ada sedikit waktu untuk jalan-jalan.  Ternyata terlalu banyak keinginan.  Ada yang ingin ke stadion Bayern-Munich, ada yang ingin menyeberang ke Innsbruck (Austria), ada yang ingin ke Switzerland (yang semua tidak terlalu jauh dari Muenchen).  Eh, busnya malah mesinnya rusak.  Baru jam 10.30 beres, lalu ke Innsbruck, di sana cuma 2 jam, balik lagi.  Sampai Muenchen sudah malam. Habis dinner, tinggal ada waktu 30 menit untuk belanja oleh-oleh sebelum tokonya tutup.  😀

Selama perjalanan kami sempat menyaksikan tingkah laku anggota Dewan yang ikut dalam tour.  Ada yang serius memperhatikan penjelasan dari mitra kita di Jerman.  Ada yang sibuk telponan terus dengan konstituennya di Indonesia.  Sepertinya, kadernya baru mau maju pilkada di suatu daerah.  Ada juga istri anggota Dewan (jadi bukan anggotanya) yang sibuk memarahi kader partainya yang jadi bupati di beberapa daerah.  Saya dengar dari staf ahli, ternyata beliau inilah penyandang dana terbesar partai itu.  Ada anggota Dewan dari suatu partai berbasis masa agama yang rajin ngebanyol.  Sepertinya di rapat dia tidak pernah ngomong, tetapi setiap kali acara makan isinya ngebanyol melulu.  Tetapi ada juga anggota Dewan yang rajin bertanya ke saya, “Ada gak ya pasal yang bisa kita titipin?”.  Saya tanya, “Maksudnya?”.  “Ya kita buat ada semacam pemberian konsesi begitu, nanti yang masuk ya kita juga … “.  Maklum, Komisi-7 yang mengurus migas ini juga diisi beberapa pengusaha yang mendapat konsesi minyak.  Jangan meremehkan seorang anggota dewan yang kesana kemari cuma pakai sarung dan peci, karena diam-diam dia bisa punya konsesi beberapa sumur minyak.  Alamak ….

Setelah itu draft digodok terakhir di TimMus dan TimSin.  Idealnya di sini tidak boleh lagi ada substansi yang berubah.  Ada ahli bahasa yang bertugas memastikan bahwa pilihan kata yang dipakai benar.  Dan ada pakar UU yang memastikan bahwa UU itu sinkron dengan semua UU lain yang telah ada.  Namun dalam perjalanan sidang, ketemu lagi beberapa hal yang kalau diubah, ya berpengaruh pada substansi.  Walah …  Tapi ya sudahlah, diselesaikan “secara adat”.  Toh anggota TimMus / TimSin juga anggota Panja.  Pada jam-jam terakhir – sudah larut malam – salah satu wakil fraksi yang juga seorang Kyai berkata begini, “Tuhan saja, perlu menurunkan 25 nabi hingga peraturannya sempurna.  Jadi kalau kita baru sekali ini koq belum sempurna, ya tidak usah terlalu kecewa”.  Mungkin ini guyonan Kyai yang bertugas di DPR.  Inilah RUU versi #3.0.

Beberapa hari sebelum masa sidang habis (untuk setiap RUU hanya ada jatah 3 kali masa sidang), seorang anggota DPR minta kami menghadirkan unsur Kemenhan & TNI, karena dikhawatirkan nantinya militer ini tidak mau nurut sama UU yang dibuat sipil.  Ada interupsi dari anggota lain yang mengatakan, siapapun warga negara ini wajib mentaati semua produk UU, apakah itu sipil atau militer.  Tetapi kami tetap berusaha menghadirkan unsur militer terkait.  Sampai malam kami melobby para jenderal dari Dinas Topografi Angkatan Darat (Dittopad), Dinas Hidrooseanografi Angkatan Laut (Dishidros-AL) dan Dinas Survei dan Pemotretan Udara Angkatan Udara (Dissurpotrud-AU) agar mereka mau hadir sendiri (tidak mewakilkan) di DPR saat RUU itu diketok.  Alhamdulillah, ketiga jenderal itu semua mau hadir.  Menjelang hari draft RUU diketok di Pleno Komisi-7, malamnya saya dan satu anggota Tim-6 ditelepon untuk datang ke DPR pukul 6 pagi.  Ada beberapa item lagi yang ingin dimasukkan oleh anggota Dewan.  Ada yang di teks, dan ada yang di penjelasan.  Kami benar-benar tegang.  Sampai akhirnya RUU itu diketok, dan beberapa hari kemudian di Paripurna diketok juga, jadi UU no 4/2011 tentang Informasi Geospasial.

Tapi pekerjaan kami belum selesai.  Ada 7 Peraturan Pemerintah (PP) dan 1 Peraturan Presiden (Perpres) yang harus dibuat  sebagai turunan UU itu.  Ada waktu 2 tahun sampai April 2013 ini.  Tapi membuat PP dan Perpres tidak seheboh bikin UU.  Dan yang jelas tidak perlu pakai Studi Banding segala.  😛

Tags: , , ,

January 5th, 2013

Membebaskan Belenggu Jaringan Islam Liberal (JIL )

Fahmi Amhar, pengajar Pascasarjana Universitas Paramadina

JARINGAN Islam Liberal (JIL) adalah sebuah fenomena menarik di Indonesia karena dianggap mendobrak kemapanan dan kejumudan berpikir. Hal itu bisa dimengerti karena rata-rata aktivis JIL memiliki latar belakang Islam tradisional, yang berorientasi masalah ubudiyah dan tradisi yang dogmatis, yang praktis harus diikuti tanpa diskusi. Padahal, aturan-aturan itu sering tidak relevan dengan pembebasan umat Islam dari kemiskinan, kebodohan, ataupun penindasan.

Di sisi lain, kelompok-kelompok Islam revivalis, yang ingin menyelamatkan umat dengan syariat sering bersikap simplistis, misalnya menekankan syariat sekadar kewajiban mengenakan jilbab pada muslimah, atau hukum-hukum hudud pada kasus pidana, namun mereka jarang memiliki konsep yang komprehensif dan rasional tentang mekanisme pembebasan manusia dari berbagai keterpurukannya. Bahkan, cita-cita memunculkan Islam sebagai *rahmatan lil alamin* terkadang
diwujudkan dengan cara-cara kekerasan, dan inilah *trade mark* Islam radikal yang menjadi salah satu pendorong sehingga JIL merasa perlu bersuara lebih lantang.

Dengan demikian, saya melihat JIL sebagai suatu antitesis atas latar belakang jumud dan alternatif radikal yang miskin konsep. Ini suatu hal yang bisa dimengerti, namun tidak boleh dibiarkan.

*JIL terbelenggu*

Saya setuju dengan pendapat Ulil bahwa Islam itu semacam organisme dan bukan monumen yang mati. Untuk itulah, realitas sejarah Islam di masa awal membuka pintu ijtihad yang membuat peradaban Islam berkembang pesat.

Namun, ‘paradigma organisme’ ini jangan menjadi belenggu baru bagi kita, bila kenyataannya memang ada yang tidak memberi kesempatan ijtihad, karena sudah begitu terang (*qath’i*). Andai paradigma organisme ini begitu
menonjol, Islam tidak akan tersisa lagi. Salat, puasa, atau haji bisa-bisa dianggap aktivitas mubazir yang tidak relevan dengan pembebasan manusia dari keterpurukannya.

Demikian juga dengan ‘paradigma nonliteral’. Sesungguhnya, teks-teks Islam (Quran dan hadis) memiliki makna literal dan makna *syar’i* (hukum).

Makna *syar’i* memang harus dipahami dalam konteks pelaksanaan syariat lain yang lebih luas, namun juga bisa lebih terbatas. Istilah salat, yang bermakna literal doa, memiliki makna *syar’i* aktivitas tertentu yang dimulai dari takbiratulihram dan diakhiri dengan salam. Justru JIL saya lihat lebih sering memakai makna literal untuk ditafsirkan sesuka hawa nafsunya.

Dalam kejumudannya, umat Islam di Indonesia memang sering melakukan suatu ritual yang sebenarnya hanya budaya, tanpa dasar syar’i. Namun, dalam masyarakat tradisional, hal-hal seperti itu (seperti memakai jubah), atau bahkan yang termasuk TBC (tahayul-bidah- churafat) , bisa disakralkan. Dan inilah (sesuai latar belakang JIL) yang pantas dikaji ulang. Namun, bukan hal-hal yang memang bukan tradisi, bahkan di Arab sendiri. Jilbab, misalnya, bukanlah tradisi Arab di masa Nabi. Kalau sekarang di sana menjadi semacam tradisi, apa salahnya kalau Islam yang dulu memulai tradisi itu?

Konsep Ulil tentang adanya ‘nilai-nilai universal’ yang mewajibkan umat
Islam tidak memandang dirinya terpisah dari umat manusia yang lain, seperti
nilai ‘kemanusiaan’ atau ‘keadilan’ pada tataran praktis akan menemui jalan
buntu. Manusia di mana pun memang diciptakan Tuhan untuk memiliki berbagai
sifat yang sama, misal suka diperlakukan adil. Namun, bagaimana adil itu
diciptakan ternyata tidak bisa berhenti pada dataran filosofis, namun harus
turun ke dataran yuridis, bahkan pada beberapa hal harus turun lagi ke
dataran aritmetis (misalnya pada pengenaan pajak progresif atau juga
pembagian warisan).

Karena itu, kalau Ulil usul untuk mengamendemen aturan yang membedakan
muslim dan nonmuslim (karena konon melanggar prinsip kesederajatan) ,
konsekuensinya mestinya salat id boleh diimami oleh nonmuslim, atau kalau
yang agak kurang ritual ya nonmuslim harus ikut bayar zakat.

Tentunya banyak hal-hal yang lalu menjadi absurd.

Cita-cita bahwa agama adalah urusan pribadi, sedangkan pengaturan kehidupan
publik sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui proses demokrasi,
realitasnya justru sering dilanggar para penganjurnya sendiri, begitu Islam
yang keluar sebagai pemenang proses itu. Ketika jilbab dikenakan muslimah
profesional secara sukarela, yang mengemuka bukanlah kebebasan pribadi untuk
beragama, melainkan kecurigaan atas fundamentalisme, bahkan terorisme.

Bahwa Islam pada tataran praktis hanya akan terealisasi jika kekuatan
real-politis di masyarakat sepakat menerapkannya, ya. Kalau ini disebut
proses demokrasi, silakan. Namun, kalau pada tataran ide umat Islam
memperjuangkan agar syariat Islam yang diterapkan, apanya yang salah?

Bukankah ada kekuatan-kekuatan lain yang juga ingin menerapkan ide-ide yang
lain?

Tentang Rasul Muhammad SAW, memang benar kita tidak diwajibkan mengikuti
secara harafiah. Dalam kajian ushul fiqh kita tahu, ada perbuatan Rasul yang
jibilliyah (wajar sebagai manusia Arab abad VI M), misalnya makan kurma atau
pakai jubah. Orang kafir pun saat itu demikian. Ada juga perbuatan Rasul
yang khas untuk beliau, tak boleh diikuti umatnya, misalnya boleh berpuasa
tanpa berbuka, atau menikahi sampai sembilan istri. Namun, selebihnya adalah
dalil syar’i. Tentunya dalil ini ada yang sifatnya fardu, mustahab, atau
mubah. Tidak semua yang dikerjakan Rasul itu fardu. Di sinilah pentingnya
belajar ushul fiqh. Namun, Ulil menggeneralisasi, menganggap Islam yang
dibawa Rasul hanya *one among others*, salah satu jenis Islam di muka bumi.
Kalau begitu, Islam yang lain mencontoh siapa?

Memang kebenaran bukanlah milik satu golongan saja. Namun, peradaban ataupun
disiplin ilmu mana pun pasti memiliki suatu *frame*. Islam, tentu saja,
hanya layak dipahami atau ditafsirkan oleh orang yang percaya bahwa dia *
frame* yang sah untuk dijadikan pandangan hidup. Akan *absurd* mengikuti
penafsiran Quran dari nonmuslim yang tidak percaya bahwa Quran adalah wahyu
Ilahi, se*absurd* mengikuti pendapat tentang sains dari paranormal yang
tidak percaya sains.

Saya setuju bahwa misi Islam yang terpenting adalah menegakkan keadilan,
terutama di bidang politik dan ekonomi. Dan tentu ada syariat yang mengatur
masalah ini, dan itu memang bukan syariat jilbab, memelihara jenggot, atau
hal-hal *furu’iyah*, melainkan syariat yang mengatur masalah kepemilikan,
muamalah, sistem moneter, dan hubungan luar negeri.

Namun, kembali *absurd* ketika Ulil mengatakan upaya menegakkan syariat
adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam atau mengajukan syariat Islam
adalah sebentuk kemalasan berpikir.

Memang kalau melihat ‘habitat’ Ulil dari kalangan tradisional yang jumud
atau menghadapi kalangan radikal yang miskin konsep, pemahamannya adalah
refleksi pengalamannya yang terbatas. Namun, generalisasinya tadi sungguh
tidak ilmiah.

Fakta, ada kelompok-kelompok yang berupaya menegakkan syariat namun bukan
sebagai wujud ketidakberdayaan ataupun malas berpikir. Gerakan Ikhwanul
Muslimin ataupun Hizbut Tahrir, misalnya, banyak menerbitkan buku-buku yang
memuat ide-ide tentang pengentasan kemiskinan (sistem ekonomi Islam) atau
mengatasi kezaliman (sebagai lawan ketidakadilan) secara syariat. Mereka
berjuang tanpa kekerasan.

Dan kalau Ulil keberatan dengan pandangan bahwa syariat adalah suatu ‘paket
lengkap’ untuk menyelesaikan masalah di dunia di segala zaman, selain
barangkali ini karena keterbatasan pemahaman Ulil atas syariat itu sendiri,
juga keterbatasan dia memahami apa itu ideologi.

Ideologi adalah suatu ide dasar yang di atasnya dibangun suatu paket lengkap
sistem untuk solusi problematik manusia.

Maka, kalau Ulil mengkritik orang-orang yang memahami Islam sebagai ideologi
yang mengajukan syariat sebagai paket lengkap solusi, mengapa dia tidak
melakukan kritik yang sama atas ideologi sekulerisme, yang juga mengajukan
paket solusi yang sama hanya atas dasar yang berbeda?

Sesungguhnya ide liberalisme JIL hanyalah salah satu unsur dalam paket
sekulerisme, yang unsur lainnya adalah demokrasi, kapitalisme, dan *last but
not least*: imperialisme. Di sinilah, saya katakan, kawan-kawan di JIL harus
melepaskan belenggu mereka dulu. Dalam bahasa ESQ perlu *zero mind
process*dulu. ***

Tags: , ,

January 4th, 2013

Belajar Menjadi Guru, Dosen, Widyaiswara, Ustadz …

teachingSiapakah guru dalam hidup Anda yang paling Anda kagumi?

Apa yang sangat menginspirasi dari guru Anda itu?

Guru adalah salah satu profesi yang paling dikenal anak-anak.  Sangat banyak anak punya cita-cita jadi guru, selain mungkin jadi dokter, insinyur atau pilot. Tetapi ketika mereka semakin besar, semakin kenal dengan kenyataan kehidupan guru, semakin sedikit yang masih mempertahankan cita-cita ini.  Baru akhir-akhir ini saja, profesi guru “booming” lagi.  Itu setelah di berbagai daerah, guru mendapat tunjangan profesi 1x gaji.  Akibatnya, FKIP di berbagai kampus menjadi favorit, bahkan di beberapa kampus, persaingannya mengalahkan FT atau FE.

Sejujurnya, saya termasuk yang tidak pernah punya cita-cita jadi guru.  Kalau jadi ilmuwan ya.  Tetapi ternyata perjalanan hidup saya menyebabkan saya melewati fase menjadi guru, juga dosen, widyaiswara, dan bahkan ustadz 🙂  Walaupun semua mungkin pakai embel-embel “Luar Biasa”.

Saya pertama kali “pura-pura” jadi guru, itu kelas 2 SMP, ketika di sekolah, guru sejarah saya mencoba menerapkan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif).  Anak-anak diminta membentuk kelompok @ 4 orang, lalu masing-masing diberi tugas suatu bab di buku paket, lalu “mengajar” siswa yang lain di depan kelas, bahkan sampai memberikan test.  Tetapi seingat saya tidak semua kelompok sempat maju, karena waktu keburu habis.  Saya beruntung termasuk yang sempat tampil, bahkan saya yang didaulat untuk yang berdiri mengajar di depan kelas.

Setelah itu ternyata saya jadi sering “mengajar” untuk berbagai hal yang lain.  Mengajar PKS (Patroli Keamanan Sekolah), lebih tepatnya mungkin disebut Melatih.  Sebelumnya saya dan beberapa kawan dilatih menjadi anggota PKS oleh Polres.  Tugas PKS itu yang terpenting seperti Polantas, tetapi khusus untuk menyeberangkan anak-anak sekolah di depan sekolah.  Maklum tenaga polisi saat itu dirasa terbatas.  Setelah itu, beberapa kali seminggu, pagi pukul 6.30 kami sudah bertugas.  Setelah praktek beberapa bulan, sekolah merasa perlu regenerasi, sehingga kami melatih adik-adik kelas.

Setelah PKS, pengalaman menjadi “guru” yang lebih panjang ada di Pramuka dan KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) di SMA.  Walaupun kalau direnung-renungkan sekarang, banyak “pelajaran” di Pramuka saat itu yang “nggak mutu”, tapi dulu koq ya percaya diri saja ya … he he …  Kalau KIR agak mending.  Sampai sekarangpun saya kira masih banyak pelajaran yang relevan, bahkan tidak cuma untuk siswa SMA, bahkan untuk sarjana yang lagi meniti karier jadi peneliti muda 🙂

Sewaktu saya kuliah di Austria, saya juga punya pengalaman beberapa kali jadi “guru”.  Pertama “guru” internet.  Ini terjadi tahun 1995, sewaktu penggunaan internet masih relatif awal.  Mungkin ini lebih tepat disebut “tutorial”.  Kedua tahun 1996, “guru” bahasa Indonesia untuk orang asing.  Ternyata rumit juga mengajar bahasa Indonesia yang sistematis untuk orang bule.  Murid-murid saya saat itu ada 3 kelompok motivasi.  Pertama yang motivasinya pekerjaan, yakni mereka akan dikirim bekerja di Indonesia (biasanya teknisi atau personil bisnis pariwisata).  Kedua yang motivasinya travelling.  Ada murid saya yang profesinya Profesor Fisika, tetapi hobby travelling, dan liburan mendatang ingin “blusukan” mengelilingi Indonesia.  Alamak, waktu itu saya juga belum pernah keliling Indonesia.  Yang lucu yang ketiga, motivasinya keluarga.  Ada murid saya, wanita Austria yang akan menikahi pria Indonesia.  Jadi dia perlu belajar banyak hal agar keluarganya harmonis.

Tahun 1997, sepulang dari Luar Negeri, beberapa saat lamanya saya diminta mengajar di sebuah kursus programming di suatu perusahaan. Mereka minta diajar programming dalam Visual Basic.  Sejujurnya, saat saya meng-iyakan, saya belum pernah lihat Visual Basic.  Saya memang punya pengalaman programming yang cukup panjang dalam C, Pascal, Fortran, Lisp, SQL dan Basic.  Tetapi Visual Basic?  Akhirnya saya praktis hanya menang 1 minggu dari peserta.  Tetapi alhamdulillah dalam waktu singkat saya sudah lumayan expert.  Repotnya ketika di akhir kursus, ada peserta yang tanya, apakah saya sudah punya “Microsoft Certified Programmer” ?  Saya menjawab diplomatis, “Sepertinya Bill Gates juga belum punya tuh? ” 🙂

Karena saya sudah mengantongi gelar Doktor, maka mulailah saya beranjak dari “guru kursus” ke dosen.  Ada prodi S1 suatu Perguruan Tinggi Swasta (PTS) meminta saya masuk dalam tim dosennya.  Teorinya, kalau saya masuk, ijazah S3 dan sejumlah publikasi saya bisa mendongkrak nilai akreditasi BAN-PT untuk prodi di PTS tersebut.  Ternyata betul.  Bahkan waktu itu, prodi di PTS tersebut terakreditasi lebih dulu dari PTN pembinanya !!!  Tetapi setelah terakreditasi, tiba-tiba jumlah mahasiswa yang diterima PTS itu berlipat 3x.  Dosennya yang kewalahan.  Kalau cuma mengajar sih mungkin tidak terlalu berat.  Tetapi kalau harus mengoreksi tugas, wow … capek dech …  Apalagi mengajar di LCU (Low Cost University) ini harus lebih banyak ibadahnya … 🙂  Lima tahun kemudian, karena saya semakin sibuk di kantor, saya makin mengurangi jam mengajar saya di PTS tersebut, sampai akhirnya off sama sekali.

Saat itu saya juga mencoba menjadi dosen program S2 di IPB dan di UPM (Universitas Paramadina Mulya).  Yang S2 di IPB ini program internasional, wajib pakai bahasa Inggris. Sedang yang di UPM kelas eksekutif, jadi kuliahnya malam.  Sangat berbeda dengan S1, menjadi dosen S2 jauh lebih “santai”. Mahasiswanya tidak banyak, tetapi honornya banyak … he he … Kadang saya berpikir, jangan-jangan honor saya ngajar S2 ini sebenarnya untuk jerih payah ngajar S1 di LCU itu … 🙂   Yang jelas, ndosen di S2 bersama para eksekutif itu membuat kita jadi terus terasah.  Kita mengakumulasi berbagai pengalaman dan wawasan.

Meski menjadi selingan yang menggairahkan, tetapi karena saya secara resmi bukan dosen, maka kadang-kadang tugas ini sedikit “terganggu”.  Yang paling ringan adalah ketika tiba-tiba ada jadwal rapat yang berdekatan dengan jadwal mengajar.  Kadang-kadang sulit kita mencari waktu pengganti.  Yang lebih repot lagi adalah ketika kita punya atasan yang kurang suka atau bahkan tidak setuju kita “ndosen” pada jam kerja.  Dianggapnya itu buang-buang waktu, atau bahkan “korupsi waktu”.  Padahal sesungguhnya, pada saat mengajar, kita juga bertambah ilmu, dan juga memperluas jejaring, yang juga memiliki multiplier effect pada tugas-tugas kita di kantor.  Mahasiswa S2 itu berasal dari berbagai daerah, berbagai lembaga, juga berbagai profesi dan latar belakang.

Ada beberapa kampus yang secara tersirat menawari saya pindah, jadi dosen full-time saja di sana.  Mereka mengatakan, kalau jadi dosen full-time nanti bisa jadi Professor.  Waktu itu saya coba hitung-hitung angka kredit kumulatif saya kalau dihitung sebagai dosen.  Ternyata jauuuh.  Terutama karena saya tidak bisa memenuhi porsi tri-darma perguruan tinggi yang pertama yaitu pendidikan/pengajaran.  Ya maklum, ngajar di sana-sini cuma 2 SKS.  Paling total cuma 6 SKS per semester …  Kalau mau “ngebut”, mesti menulis buku ajar.  Sebenarnya menulis buku ajar tidak terlalu susah, karena tidak harus penemuan sendiri.  Bisa menggubah ulang apa yang pernah ditulis orang lain.  Tetapi sepertinya saya nggak bisa menuliskan sesuatu yang tidak pernah saya dalami sendiri. Untunglah, kemudian muncul SKB Mendiknas-Kepala LIPI-Menpan yang mengesahkan adanya Profesor Riset, yakni jenjang Professor yang menjadikan riset sebagai komponen utama.

Selain itu, untuk berbagai diklat dari berbagai kementerian/lembaga saya juga diminta menjadi “Widyaiswara Luar Biasa”.  Widyaiswara agak berbeda dengan dosen, karena yang dididik bukan mahasiswa (apalagi mahasiswa S1), tetapi orang dewasa yang kadang merasa sudah lebih berpengalaman, atau bahkan merasa “untuk apa harus ikut diklat lagi, toh sudah tua dan sebentar lagi pensiun”.  Jadi perlu pendekatan yang berbeda, bahasa kerennya “Andragogi”, bukan “Pedagogi”.  Di diklat yang diadakan Bakosurtanal/BIG, saya kadang menjadi WLB untuk bidang Pemetaan, Penegasan Batas, Penataan Ruang, Penanggulangan Bencana dan Jabatan Fungsional Surveyor Pemetaan.  Di LIPI saya menjadi WLB Diklat Fungsional Peneliti tingkat Lanjut.  Jadi WLB ini tidak terlalu stress, karena kita cukup banyak cerita dari pengalaman kita saja, dan gak usah bikin soal yang rumit seperti ujian mahasiswa.  Biasanya sih – asal tidak keterlaluan – semua peserta diklat akan lulus.  Toh terserah mereka, apakah ilmu yang kita berikan akan terpakai atau tidak pada lingkup pekerjaan mereka.

Yang terakhir setelah guru – dosen – widyaiswara, itu adalah ustadz.  Ini seharusnya pos yang paling tinggi.  Di Mesir itu, lulusan S1 syari’ah tidak langsung dipanggil Ustadz, tetapi “Mu’id”.  Nanti kalau sudah S2, dia akan dipanggil “Musaid Mudaris”.  Setelah S3 dipanggil “Mudaris”.  Setelah mengajar dan riset kira-kira 5 tahun, akan dipanggil “Musaid Ustadz”.  Baru setelah 10 tahun sejak S3, kalau angka kumnya tercapai dan senat setuju, akan dipanggil “Ustadz”.  Jadi rupanya Ustadz itu sama dengan Professor.  Tetapi di Indonesia, panggilan Ustadz bisa dicapai siapa saja.  Sangat egaliter.  Dan tahukah Anda, bahkan sejak saya masih SMP, saya sudah dipanggil “Ustadz” !!!  Itu terjadi lantaran saya membantu mengajar membaca al-Qur’an belasan anak-anak kecil di masjid kampung.  Kemudian menggantikan ayah saya yang wafat mengisi majlis taklim Ibu-ibu.  Kemudian mengisi khutbah di sekolah.  Tentu saja, sebagai “Ustadz” tingkah laku kita lalu juga jadi sorotan.  Tapi ini bagi saya tidak masalah.  Ketika saya pada usia 26 tahun sudah naik haji, tambah disorot lagi !!!   Karena banyak orang yang menunda naik haji, karena takut nggak bisa “membuat dosa” lagi …  Itu tanda orang yang kurang cerdas.  Karena, kata Imam Ghazali, orang yang cerdas itu adalah orang yang ingat mati, dan kematian bisa datang kapan saja, tidak nunggu tua.  Karena itu, ayo buruan jadi “Ustadz” — mumpung di Indonesia belum perlu syarat macam-macam seperti di Mesir – asal tahu diri saja kapasitas ilmunya … 🙂

Tapi fenomena “Ustadz TV” atau “Ustadz Google” akhir-akhir ini memang agak memprihatinkan.  Seorang dianggap ustadz hanya oleh aktivitas ceramahnya, dan bahannyapun “cuma disedot dari Google”.  Padahal aktivitas Ustadz – dan juga guru/dosen/widyaiswara pada umumnya – yang hakiki itu adalah MENGUBAH (CHANGE).  Mengubah dari mindset (pola pikir), kemudian behaviour (perilaku), dari yang kurang cerdas menjadi cerdas, dari yang kurang cekatan menjadi cekatan, dan dari yang kurang islami menjadi islami – sesuai syari’ah.  Percuma saja ngustadz di TV, ditonton jutaan orang, kalau tidak satupun yang berubah, karena isinya cuma banyolan.  Lebih gawat lagi, kalau isinya memang mengubah, tetapi malah mengubah jadi makin tidak islami.  Karena orang yang tersesatkan akan berkilah, “Lho ini kata Ustadz Fulan di TV hukumnya halal koq”.  Padahal “fatwa halal” Ustadz Fulan itu ternyata cuma pakai “dalil perasaan”, kalau tidak “katanya” ya “pokoknya”.

Baik guru, dosen, widyaiswara maupun ustadz, semua memiliki tanggungjawab sampai akherat sana.  Karena itu beruntunglah mereka yang memposisikan semua amal itu untuk ibadah, bukan sekedar untuk mencari penghidupan.  Kita tidak usah risau dengan kompensasi yang kadang tidak sesuai dengan jerih payah, karena “Gusti Allah ora sare” (Tuhan tidak pernah tidur).  Dia Yang Maha Adil tidak akan pernah membalas kebaikan kecuali dengan kebaikan pula.  Hal Jazaa’ul Ihsani Illal Ihsan”.

Salam.

Tags: , , , , ,