Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
January 17th, 2013

Sistem Administrasi yang Mendahului Zaman

Dr. Fahmi Amhar

Akhir-akhir ini kasus pungli di KUA marak diberitakan.  Di Indonesia ini banyak kasus nikah yang tidak didaftarkan resmi (nikah siri).  Sebagian nikah siri ini memiliki alasan rumitnya berpoligami di Indonesia (mesti ada izin istri-1, ada izin atasan bagi PNS, menghadapi pandangan miring masyarakat, dsb.), sedang sebagian lagi beralasan mahalnya biaya (pungli) di KUA.  Memang biaya pencatatan nikah resmi cuma Rp. 30.000.  Tetapi kalau petugas KUA diminta datang ke rumah, apalagi di luar jam kerja atau di hari libur di musim banyak orang nikah, maka selain perlu biaya transportasi dan lembur, juga terjadi hukum ekonomi: jasa yang banyak dicari, padahal suplainya terbatas, akan menjadi lebih mahal.

Padahal, tanpa surat nikah, maka anak yang akan dilahirkan akan kesulitan akta kelahiran atau di akta kelahiran tidak bisa ditulis nama ayahnya.  Tanpa akta kelahiran, nanti anak akan kesulitan masuk sekolah. Tanpa akta kelahiran juga nanti akan sulit mengurus KTP atau paspor.  Tanpa paspor, maka orang tidak bisa naik haji, sekalipun dapat warisan milyaran rupiah.

Sistem administrasi negeri ini memang semrawut.  Sebenarnya aturannya jelas tetapi masih banyak celah yang multitafsir atau belum dibarengi sistem mekanis yang memaksa untuk mengikuti sistem tetapi sekaligus juga adil.  Beberapa waktu yang lalu, seorang anak kelas IV SD dipaksa kembali ke kelas 1 karena rapornya hilang.  Padahal mestinya di sekolah ada buku induk yang bisa dipakai untuk membuatkan rapor duplikat.

Ada lagi seorang pembuat paspor dengan nama dua kata (misalnya Muhammad Ali), ketika petugas imigrasi tahu dia bikin paspor untuk pergi umrah, dipaksa menambah namanya jadi 3 kata (misalnya jadi Muhammad Ali Usman).  Ternyata belakangan penambahan nama ini jadi problem saat dia check-in di bandara, karena tiketnya dipesan dengan dua nama saja.

Mungkin karena di negeri ini sistem administrasi baru ada setelah era kemerdekaan.  Di zaman penjajahan, Belanda sudah memperkenalkan sistem administrasi, tetapi masih sporadis, hanya di kota-kota, dan cenderung diskriminatif.  Padahal berabad-abad sebelumnya, Daulah Khilafah sudah melakukannya secara cermat dan efisien.

Umar bin Khattab sudah memerintahkan pencatatan warga negara khilafah secara lengkap, bahkan meliputi data kapan mereka masuk Islam, sudah berapa kali ikut berjihad dan sebagainya.  Walhasil, pungutan dan pembagian zakat di masa khilafah sesudahnya sudah berjalan tepat sasaran (efektif).

Masih ingat Mariam Ammash? Dia terdata dalam dokumen kelahiran keluaran otoritas Utsmaniyah tahun 1888, yang kemudian dijadikan dasar otoritas Israel untuk membuatkan kartu identitas bagi Mariam.  Nenek yang wafat tahun 2012 ini tercatat sebagai warga bumi tertua.

 Yang dipegang Mariam bukanlah paspor Utsmaniyah, tetapi KTP Israel (perhatikan huruf Ibrani dan cap Menorah). Tetapi di situ tertulis tahun kelahiran 1888, zaman wilayah itu dalam kekuasaan Utsmaniyah


Yang dipegang Mariam bukanlah paspor Utsmaniyah, tetapi KTP Israel (perhatikan huruf Ibrani dan cap Menorah). Tetapi di situ tertulis tahun kelahiran 1888, zaman wilayah itu dalam kekuasaan Utsmaniyah

Bagi mayoritas orang, dokumen dengan bentuk fisik dan visual memang dianggap lebih otentik dan dapat berbicara lebih banyak dibandingkan dengan klaim atau pengakuan. Itulah mungkin yang sempat menjadikan isu (hoax) “KTP Utsmani” di balik foto Mariam santer beredar  di dunia maya.  Walaupun demikian dokumen-dokumen resmi Khilafah Utsmaniyah sebenarnya banyak tersimpan dan dipamerkan di museum maupun perpustakaan di Turki, Suriah, Mesir dan sebagainya.

Ini merupakan salah satu dokumen identifikasi penduduk yang diadopsi otoritas Utsmaniyah sejak 1863. Berisi data pemegang, orang tua, alamat, dan deskripsi fisik (www.sephardicstudies.org).

Ini merupakan salah satu dokumen identifikasi penduduk yang diadopsi otoritas Utsmaniyah sejak 1863. Berisi data pemegang, orang tua, alamat, dan deskripsi fisik (www.sephardicstudies.org).

Paspor ini diberikan konsul Utsmaniyah di Singapura pada 1902 dan Batavia pada 1911 untuk Abdul Rahman bin Abdul Majid. Dia pedagang Utsmaniyah yang lahir di Konstantinopel, kemudian pernah menjadi penduduk di Mekah dan Batavia (www.ottomansoutheastasia.org)

Paspor ini diberikan konsul Utsmaniyah di Singapura pada 1902 dan Batavia pada 1911 untuk Abdul Rahman bin Abdul Majid. Dia pedagang Utsmaniyah yang lahir di Konstantinopel, kemudian pernah menjadi penduduk di Mekah dan Batavia (www.ottomansoutheastasia.org)

Dokumen-dokumen itu menunjukkan bahwa negara Khilafah waktu itu memang “mendahului zaman”.  Bahwa negara itu akhirnya runtuh, itu hanya menunjukkan bahwa administrasi memang hanya sistem pendukung (supporting system) dalam sebuah negara, yang berada di bawah sistem politik, hukum dan ekonomi.  Namun dengan sistem administrasi yang baik, maka kebaikan yang ada dalam sebuah sistem politik akan lebih baik lagi, dan merupakan dakwah yang sempurna.

Tags: , , ,

January 13th, 2013

Belajar Meraih Multi-Target secara Efisien

Kadang ada pertanyaan yang diluncurkan kepada beberapa aktivis dakwah yang menurut mayoritas orang “sukses” dalam meraih multi-target.  Maksud multi-target itu: dakwahnya sukses, sekolahnya sukses, keluarga sukses, dan karier atau bisnisnya juga sukses.  Karena manusia itu memang mahluk multi-target.  Memang ada nasehat, bahwa agar menjadi manusia yang istimewa, itu harus fokus, karena otak tidak bisa berpikir dua hal pada saat yang bersamaan.  Itu benar.  Tetapi, kita semua diberi waktu 24 jam sehari kan ?  Dan toh tidak harus 24 jam itu hanya memikirkan satu hal saja, selamanya.  Yang namanya ibadah saja, sholat misalnya, hanya diminta paling 5 x @ 10 menit.  Di luar sholat ya mikir yang lain.  Bahkan, di Qur’an Surat Al-Jumu’ah, itu malah diperintahkan agar habis sholat Jum’at, itu supaya “bertebaran mencari rizki Allah” – bukan malah duduk-duduk atau ngobrol di masjid 🙂

Tapi sebelum lebih jauh, kata “sukses” sendiri mesti jelas ukurannya.  Kalau ukuran dasar, bahwa itu sesuai dengan perintah Allah, ooo tentu saja.  Tetapi kita biasa menilai kesuksesan dari output dibanding input.  Dakwah disebut sukses kalau bisa merubah pikiran – dan lalu perilaku – orang yang mendengarkan, sehingga makin islami.  Dan makin banyak orang yang bisa berubah, berarti makin sukses.  Sekolah disebut sukses, kalau berhasil meraih level tertinggi dengan nilai baik, dan setelahnya mampu mengamalkan ilmunya itu, atau dijadikan rujukan dalam bidang keahliannya itu.  Keluarga disebut sukses, kalau berhasil membangun rumah tangga yang harmonis, jauh dari konflik, sinergi dalam aktivitas, juga menghasilkan anak-anak yang shaleh/shalihah, sehat, cerdas dan juga sejak dini terikat dengan berbagai aktivitas positif.  Sedang karier atau bisnis disebut sukses, kalau makin berkembang, makin memberi manfaat banyak orang, makin banyak menghasilkan zakat-infaq-shadaqah, dan bisa menjadi washilah membuka jejaring yang makin mendukung tercapainya visi.

Persoalannya, banyak aktivis dakwah yang ternyata kelabakan di jalan.  Mereka yang merasa aktif dalam dakwah, ternyata ada yang sekolahnya jadi berantakan.  Atau sekolah dan dakwah semula jalan, tetapi begitu masuk dunia kerja, langsung suaranya berangsung-angsur senyap … bahkan lama-lama hilang.  Ada juga yang senyapnya ini setelah berkeluarga.  Sebaliknya ada terus rajin sibuk dalam dakwah dan bisnis, tetapi keluarga kurang mendapatkan haknya, yang bahkan berujung pada sesuatu yang halal tetapi sangat dibenci Allah, sesuatu yang menggetarkan Arasy, yakni perceraian !!!

Karena setiap dari kita mendapatkan “anggaran” yang sama dari Allah, yaitu sehari 24 jam, maka tentu kita perlu belajar “best-practice” dari mereka yang terlebih dulu dapat kita identifikasi sebagai sukses meraih multi-target tersebut.  Mungkin memang kelebihan tiap orang tidak sama, tetapi jelas mereka yang saya jadikan teladan, itu dapat disebut sukses, jauh di atas aktivis dakwah kebanyakan.

Ada yang saya lihat, pada saat itu usia beliau belum 40 tahun – pada saat dakwahnya sangat kencang – beliau sudah menjadi icon dakwah nasional, ternyata juga masih sempat menyelesaikan S2-nya, juga mendirikan sebuah sekolah dan perguruan tinggi Islam, juga menulis banyak sekali buku, juga sukses membangun lembaga konsultan bisnis & manajemen yang sudah bisa jalan sendiri, rumah tangganya juga tampak harmonis, masih sempat mengajak anak-anaknya liburan dsb.

Tags: , , ,

January 11th, 2013

Belajar Memilih Sekolah & Mengoptimalkan Yang Ada

Apakah Anda puas dengan sekolah Anda atau sekolah anak-anak Anda?

Apakah sekolah-sekolah itu lebih baik atau tidak sebaik RSBI/SBI yang baru saja dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi?

Saya “beruntung” lahir di tahun 1968 dan besar ketika di Indonesia RSBI/SBI belum dikenal.  Rumah masa kecil saya ada di samping sebuah Madrasah Ibtidaiyah swasta.  Karenanya, ketika mau masuk SD saya sempat minta ke ibu saya agar masuk MI itu saja, biar dekat …  Tetapi ibu saya akhirnya memasukkan saya ke sebuah SD Negeri yang lebih jauh, padahal beliau sendiri dulu sekolah di MI yang dinaungi oleh yayasan yang sama dengan MI samping rumah itu.  Kakak-kakak saya juga semuanya sekolah di SD Negeri.  Katanya MI sebelah rumah itu kurang bagus, muridnya nakal-nakal dan yayasannya mengalami kesulitan keuangan untuk membayar guru maupun merawat fisik sekolahnya.

SDN saya itu terletak di kampung. Kalau hujan, jalannya sangat becek dan berlumpur.  Biasanya kalau hujan, kami memilih ke sekolah tidak pakai sepatu, daripada sepatunya cepat rusak.  Waktu itu SD saya itu tidak punya toilet, tidak punya sambungan listrik, dan areanya tidak berpagar.  Kalau anak-anak mau kencing, ya kencing saja di kebun, sedang anak perempuan suka minta ijin kencing di rumah terdekat yang memiliki sumur.  Kalau hari mendung, maka di dalam kelas gelap sekali, karena tidak ada lampu.  Kalau hujan maka bocor di sana sini, dan suara guru jadi tidak kedengaran, kalah sama suara hujan.  Dan kalau sekolah sudah selesai, maka anak-anak kampung banyak yang menjadikan area sekolah jadi arena petak umpet atau perang-perangan.  Ayam juga kadang-kadang ikut belajar di kelas, dan tak lupa berak di sana 🙂

SD saya dulu masih lebih baik dari SD daerah terpencil ini ... :-)

SD saya dulu masih lebih baik dari SD daerah terpencil ini … 🙂

Di sekolah ada lapangan upacara yang disemen, tetapi sudah berlubang di sana-sini.  Lapangan ini nyaris hanya buat upacara tiap Senin, yang amanat dari Inspektur Upacara selalu saja soal kebersihan.  Kalau buat olahraga, kaki jadi sakit.  Akhirnya, kami lebih suka olahraga di lapangan rumput yang agak jauh.  Untuk ke lapangan rumput itu, kami bisa memilih dua jalan: pertama lewat samping kandang sapi, kedua lewat kuburan.  Kalau lewat kandang sapi, kami harus melewati jembatan dari sebatang pohon kelapa yang licin.  Beberapa anak kadang terpeleset, lalu tubuhnya jatuh ke selokan yang penuh kotoran sapi.  Sedang kalau lewat kuburan, kami kadang bertemu dengan kalajengking atau bahkan ular.

Tags: , , , ,