Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
February 26th, 2013

Setelah PKS menang

Dr. Fahmi Amhar, Dosen Pascasarjana Univ. Paramadina
Tulisan ini di publikasikan di isnet.org (http://media.isnet.org/islam/Etc/PKSMenang.html)

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah meraup suara yang fenomenal. Meski perhitungan akhir suara belum selesai karena teknologi TI yang ternyata tidak meyakinkan, tapi sudah tampak dari angka absolutnya, peraihan suara PKS pasti berlipat dari perolehan PK pada pemilu 1999.

Namun apakah kemenangan PKS ini berarti kemenangan Islam? Atau keberhasilan dakwah Islam? Dan kira-kira apa yang terjadi setelah ini? Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu melihat struktur pemilih PKS.

Profil pemilih PKS terdiri dari lima kelompok

Yang pertama adalah pemilih klasik, yaitu binaan gerakan (harakah) tarbiyah di Indonesia, yang sejak era 1980-an marak di kampus-kampus. Mereka inilah kader inti PKS, dengan ciri-ciri khasnya yaitu: muda, terdidik dan islamis. Mereka dibina dalam halaqoh-halaqoh dengan pola yang cukup rapi, mengacu pada gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Rujukan mereka adalah buku-buku karya Hasan Al-Bana, Said Hawa, dan terutama Yusuf Al-Qardhawi.

Yang kedua adalah simpatisan harakah-harakah lain dengan karakteristik kader yang mirip, semisal Hizbut Tahrir, yang meski memiliki massa cukup besar, namun tidak secara tegas memerintahkan kader atau simpatisannya agar memilih partai tertentu. Mereka hanya menunjukkan beberapa kriteria, seperti bahwa parpol yang dipilih harus yang berasas Islam dan memperjuangkan syariat Islam. Meski PKS tidak pernah terang-terangan berkampanye untuk syariat Islam, namun di level bawah, kader-kader inti PKS terus bergerak dari masjid ke masjid atau di majelis-majelis taklim, seraya mencoba meyakinkan massa Islam pro syariat bahwa jalan yang ditempuh PKS ini akan sampai ke penerapan syariat oleh negara. Maka tak heran bila simpatisan harakah-harakah ini akhirnya berpikir bahwa PKS adalah salah satu atau bahkan satu-satunya partai yang memenuhi syarat tadi. Apalagi juga tidak pernah ada seruan dari harakah-harakah tadi untuk Golput.

Tags: , ,

January 31st, 2013

Trilogi Kedaulatan dalam Otokrasi, Demokrasi dan Islam

Upaya memahami fenomena “demokrat islamis”

Makalah Seminar di Fakultas Ushuluddin & Filsafat- UIN Syarif Hidayatullah, 28 Mei 2005.

Dr. Fahmi Amhar

alumnus Vienna University of Technology, Austria

Abstrak

Kelompok “demokrat islamis” adalah kelompok muslim yang menerima sistem demokrasi sebatas prosedural pemilu, namun di satu sisi tetap memperjuangkan agenda syari’at Islam, bukan agenda sekuler.  Sebagian pihak khawatir bahwa kelompok di atas hanya akan memanfaatkan demokrasi untuk mewujudkan sistem otoriter atas nama agama.  Kekhawatiran ini tidak beralasan bilamana kita memahami trilogi kedaulatan.  Dalam demokrasi, trilogi itu ada dalam slogan “dari rakyat – oleh rakyat – untuk rakyat”.  Meski tampak indah, slogan ini dari awal sudah cacat, dan dalam realita oleh para kapitalis serakah telah diperalat, untuk memperbudak seluruh jagad.  Pada sistem khilafah, trilogi itu adalah “dari Allah – oleh rakyat – untuk rahmat seluruh alam”.  Maka tidak ada yang perlu khawatir atas fenomena “demokrat islamis”, kecuali musuh-musuh kemanusiaan.  Bila non muslim saja tak perlu khawatir akan termarjinalisasi, apalagi bila seseorang masih mengaku dirinya muslim.

illution-of-democracy-fahmiamhar-dot-comFenomena “demokrat islamis”

Fenomena “demokrat islamis” menurut survei PPIM UIN 2004 memiliki karakteristik sebagai berikut:

– Diperkirakan ada sekitar 1 juta muslim yang terlibat dalam aktivitas islamisme.

– Meski berpartisipasi dalam proses demokrasi (pemilu) kelompok ini hanya “memanfaatkan” demokrasi sebagai ruang persaingan bebas bagi “kudeta Islamnya” – demokrasi hanya dimaknai sebatas pemilu (electoral democracy) sementara nilai-nilai sekulernya ditolak habis-habisan; demokrasi sebagai nilai hanya ada di lapisan elite muslim yang telah terbaratkan.

Sebagai indikator penolakan itu adalah:

– Boikot produk dan jasa AS yang dianggap bertentangan dengan ahlak/syari’at Islam atau solidaritas Islam (Palestina, Iraq, Afghanistan!).

– Intoleransi terhadap Kristen (dan kristenisasi).

– Dukungan terhadap isu-isu syari’at seperti perempuan tidak boleh menjadi presiden, rajam bagi pezina, potong tangan bagi pencuri, pembagian waris yang tidak equal, pelarangan bunga bank, pembolehan poligami, marjinalisasi kaum perempuan karena fiqh yang bias jender, dan sebagainya.

Indikator-indikator ini menjadikan sebagian orang khawatir, karena:

– Islamisme akan membenarkan tesis Huntington atas adanya clash of civilization antara Barat dan Islam, dan ini akan mengganggu hubungan antar bangsa, sekaligus legitimasi aksi unitarian George W. Bush di Iraq dan Afghanistan.

– Negeri-negeri Islam dewasa ini memberi prosentase yang sangat besar dalam daftar negara yang tidak bebas dalam hal kebebasan sipil dan kesetaraan akses politik.

– Penyebab utama langkanya demokrasi di dunia Islam adalah kultur politik muslim, seperti anggapan adanya kesucian sakral pada para pemimpin Islam untuk menegakkan sistem islam di muka bumi dan oleh sebab itu otoritas tertinggi tetap diberikan kepada ulama sebagai penerjemah hukum Tuhan.

– Fatwa para ulama itu “disalahgunakan” untuk pembenaran aksi kekerasan, seperti sweeping tempat maksiat atau teror bom atas nama jihad.

Setelah era otoriter yang cukup lama selama rezim Orde Lama dan Orde Baru, kemudian muncul rezim yang lebih demokratis, di kalangan umat Islam muncul dua fenomena:

Tags: , , , , , , ,

January 23rd, 2013

Belajar Menjadi PNS

pns-indonesia-fahmiamhar-dot-comApakah Anda punya pendapat stereotip tentang PNS?

Misalnya “PNS itu pemalas”, “PNS itu bergaji kecil”, “PNS itu enak, gaji kecil tapi sabetan banyak” dsb.

Apakah Anda sendiri, anggota keluarga Anda atau teman baik Anda PNS?

Stereotip tadi tidak salah-salah amat, tetapi juga tidak benar 100%.  Sewaktu kecil dulu saya juga tidak bercita-cita jadi PNS.  Orang tua saya pedagang & guru ngaji partikelir.  Penghasilannya memang tidak teratur seperti PNS, tetapi totalnya lebih besar.  Saya pernah punya cita-cita jadi pengusaha berbasis teknologi.  Tapi nasib mengharuskan saya mengambil ikatan dinas agar bisa dapat beasiswa ke luar negeri.  Dan jadilah saya PNS sejak Februari 1987, dimulai dengan modal ijazah SMA dan pangkat II/a.  Tujuh tahun kemudian (1994), ketika saya sudah mengantongi ijazah yang disamakan dengan S1, pangkat saya dinaikkan menjadi III/a.  Dan empat tahun sesudahnya (1998), dengan ijazah S3, pangkat saya dinaikkan menjadi III/b.  Kemudian saya mengajukan diri menjadi fungsional peneliti.  Tahun 1998, ijazah Doktor dan sejumlah paper saya cukup untuk menjadi “Ajun Peneliti Muda” (atau sekarang istilahnya “Peneliti Muda III/c”).  Karena jabatan peneliti saya lebih tinggi dari pangkat saya, maka saya mendapat Kenaikan Pangkat Pilihan 2 tahun, sehingga tahun 2000 pangkat saya menjadi III/c juga.  Demikian seterusnya, dan tahun 2007 jabatan peneliti saya sudah “Peneliti Utama IV/e”, sehingga setiap dua tahun saya otomatis mendapat Kenaikan Pangkat Pilihan.  Jadi tahun 2012 saya sudah mencapai pangkat tertinggi IV/e.  Pangkat saya bahkan lebih tinggi dari pangkat Kepala Lembaga … 🙂

Tetapi meski demikian, saya belum dapat dikatakan mengumpulkan semua pengalaman PNS.  Saya memang pernah menjadi pejabat fungsional (sebagai peneliti), pejabat struktural (kepala Balai/eselon-3, pelaksana harian kepala Pusat/eselon-2), surveyor, widyaiswara luar biasa, panitia seminar & pameran, penulis pidato pimpinan, penilai prakualifikasi, pembuat spesifikasi & RSNI, pembuat RUU, RPP, dan Raperka, pembuat Harga Satuan Pokok Kegiatan (HSPK), koordinator supervisi, sekretaris pokja penanggulangan bencana, anggota tim seleksi CPNS, anggota tim reformasi birokrasi, dsb.  Tetapi saya belum pernah – dan pernah menolak – untuk dijadikan Pimpro (atau sekarang disebut “Pejabat Pembuat Komitmen”).  Saya cuma menjadi pengamat “yang sangat dekat dengan objek” … 🙂

Tags: , , , , ,