Ketika Khilafah Pindah Ibu Kota
Dr. Fahmi Amhar
Banjir besar yang melumpuhkan Jakarta baru-baru ini telah membuat wacana pemindahan ibu kota menghangat kembali. Jakarta tidak saja terancam oleh bencana banjir yang kronis, tetapi juga oleh kemacetan yang semakin hari semakin menggerogoti sumberdaya energi dan waktu, sehingga kota metropolitan ini makin terasa tidak pantas berada di jajaran kota-kota kelas dunia. Bagaimana jalannya pemerintah pusat tidak terganggu, bila ratusan ribu pegawainya tidak bisa masuk kantor akibat rumahnya tergenang, atau jalannya terputus akibat kebanjiran.
Selama ini gambaran kota modern yang ada di benak awam (termasuk sebagian besar pejabatnya) adalah kota dengan banyak gedung-gedung pencakar langit, mal, apartemen dan jalan-jalan tol layang. Mereka jarang menghitung bahwa keberadaan infrastruktur yang efisien dan tahan bencana adalah justru kunci terpenting sebuah kota, apalagi itu ibukota negara, yang menjadi etalase negeri. Banyak calon investor yang urung berinvestasi di Indonesia karena stres menghadapi kemacetan yang parah setiap hari di Jakarta, atau belum-belum sudah dikepung oleh banjir meski sudah di kawasan elite.
Karena itu wacana pemindahan ibukota tentu saja masuk akal. Ibukota bisa dipindahkan ke “kota satelit” terdekat – semacam Putra Jaya dengan Kuala Lumpur di Malaysia, atau sama sekali ke satu kota yang baru – seperti Sydney ke Canberra di Australia, atau disebar ke beberapa kota sekaligus – seperti di Jerman yang meski kedudukan parlemen dan kanselir di Berlin, tetapi pusat finansial tetap di Frankfurt dan kedudukan yudikatif di Karlsruhe.
Tags: Ibukota Negara Pindah, Kekhalifahan, Khilafah, Khilafah pindah ibukota, Pemerintahan