Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
February 22nd, 2009

Ketika geografi induk segala ilmu

Dr. Fahmi Amhar

Siapakah yang lebih berhak disebut induk segala ilmu?  Orang Barat menyebut: filsafat.  Ini karena filsafat dianggap kajian yang sangat mendasar, menyangkut eksistensi, pengetahuan, kebenaran, keelokan, keadilan, kepatutan, pikiran dan bahasa.  Filsafat berasal dari Bahasa Yunani kuno φιλοσοφία (philosophía), yang berarti “kecintakan pada kebijaksanaan.”

Namun tak semua ilmuwan dan orang bijak sepakat dengan itu.  Ketika filsafat semakin sering lepas dari dunia empiris, serta disinyalir justru digunakan untuk mengacau keimanan, orang mencoba mencari “induk” yang baru.  Dan salah satu induk baru itu ternyata adalah: geografi.  Geografi dianggap ilmu yang menghubungkan langit (yakni pengamatan astronomi dan meteorologi) dan bumi (geodesi dan geologi).  Juga ilmu yang menghubungkan dunia hidup (biotik) dan mati (abiotik).  Yang hiduppun mencakup flora, fauna dan manusia beserta interaksinya.

Dan yang lebih penting: geografi tidak cuma ilmu untuk memetakan dan memahami alam semesta di sekitar kita, namun juga untuk merubahnya sesuai kebutuhan kita.  Berbeda dengan filsafat, geografi memiliki kegunaan praktis, baik di masa damai maupun di masa perang.  Sampai hari ini, geografi mutlak diperlukan baik oleh wisatawan, perencana kota hingga panglima militer.

Dari sisi sejarah, para geografer pertama muncul hampir bersamaan dengan mereka yang dianggap filosof pertama.  Anaximander dari Miletus (610 – 545 SM) dikenal sebagai pendiri geografi.  Dia menemukan gnomon, alat sederhana untuk menentukan posisi lintang.  Ada perdebatan tentang siapa penggagas mula bentuk bulat bumi: Parmenides atau Phytagoras.  Anaxagoras berhasil membuktikan bentuk bulat bumi dari bayangan bumi saat gerhana bulan.  Namun dia masih percaya bahwa bumi seperti cakram.  Yang pertama mencoba menghitung radius bumi sebagai bola adalah Eratosthenes.  Sedang Hipparchus menggagas lintang dan bujur serta membaginya dalam 60 unit (sexagesimal) sesuai matematika Babylonia saat itu.  Pada awal milenia, penguasa Romawi-Mesir Jenderal Ptolomeus (83-168) membuat atlas yang pertama.

Selama zaman pertengahan dan kejatuhan Romawi, terjadi evolusi dari geografi Eropa ke dunia Islam.  Tidak syak lagi, Qur’an memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan penjelajahan demi penjalajahan (QS 30-ar Ruum : 9).  Para geografer muslim ternama dari Abu Zaid Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934), Abu Rayhan al-Biruni (973-1048), Ibnu Sina (980-1037), Muhammad al-Idrisi (1100–1165), Yaqut al-Hamawi (1179-1229), Muhammad Ibn Abdullah Al Lawati Al Tanji Ibn Battutah (1305-1368) dan Abū Zayd ‘Abdu r-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami, (1332-1406), menyediakan laporan-laporan detail dari penjelajahan mereka.

Namun tentu saja selembar peta sering berbicara lebih banyak dari jutaan kata-kata.  Fenomena juga harus ditafsirkan dengan teori atau informasi yang dikenal sebelumnya.  Untuk itulah para ilmuwan Islam menafsirkan ulang karya-karya sebelumnya baik dari Romawi, Yunani maupun India dan mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad untuk tujuan itu.  Al-Balkhi bahkan mendirikan “Mazhab Balkhi” untuk pemetaan di Baghdad.

Al-Biruni menyediakan kerangka referensi dunia pemetaan.  Dialah yang pertama kali menjelaskan tentang proyeksi polar-equi-azimutal equidistant, yang di Barat baru dipelajari lima abad setelahnya oleh Gerardus Mercator (1512-1594).   Al-Biruni dikenal sebagai sosok yang paling terampil dalam soal pemetaan kota dan pengukuran jarak antar kota, yang dia lakukan untuk banyak kota di Timur Tengah dan anak benua India.  Dia mengkombinasikan antara kemampuan astronomis dan matematika untuk mengembangkan berbagai cara menentukan posisi lintang dan bujur.  Dia juga mengembangkan teknik untuk mengukur tingginya gunung maupun dalamnya lembah.  Dia juga mendiskusikan tentang geografi manusia dan habitabilitas planet (syarat-syarat planet yang dapat dididami).  Dia berhipotesa bahwa seperempat dari permukaan bumi dapat didiami oleh manusia.

Dia juga menghitung letak bujur dari kota Khwarizm dengan menggunakan tinggi maksimum matahari dan memecahkan persamaan geodetis kompleks untuk menghitung secara akurat jari-jari bumi yang sangat dekat dengan nilai modern.  Metode al-Biruni ini berbeda dengan pendahulunya yang biasanya mengukur jari-jari bumi dengan mengamati matahari secara simultan dari dua lokasi yang berbeda.  Al-Biruni mengembangkan metode kalkulasi trigronometri berbasis sudut antara dataran dan puncak gunung yang dapat dilakukan secara akurat oleh satu orang dari satu lokasi saja.

John J. O’Connor dan Edmund F. Robertson menulis dalam MacTutor History of Mathematics archive: “Important contributions to geodesy and geography were also made by Biruni. He introduced techniques to measure the earth and distances on it using triangulation. He found the radius of the earth to be 6339.6 km, a value not obtained in the West until the 16th century. His Masudic canon contains a table giving the coordinates of six hundred places, almost all of which he had direct knowledge.”

Seiring dengan al-Biruni, Suhrab pada abad-10 membuat buku berisi koordinat-koordinat geografis serta instruksi untuk membuat peta dunia segi empat dengan proyeksi equi-rectangular atau cylindrical-equidistant.  Sedang Ibnu Sina berhipotesa tentang sebab-sebab munculnya pegunungan secara geologis, apa yang sekarang disebut ilmu geomorfologi.

Dengan kerangka tersebut Al-Idrisi membuat peta dunia yang detail atas permintaan raja Roger di Sicilia, yang waktu itu dikuasai Islam.  Peta al-Idrisi ini disebut di Barat “Tabula Rogeriana”.  Peta ini masih berorientasi ke Selatan.  Al-Hamawi menulis Kitab Mu’jam al-Buldan yang merupakan ensiklopedi geografi dunia yang dikenal hingga saat itu.  Ibn Battutah membuat laporan geografi hingga pulau-pulau di Nusantara, yang Majapahit atau Sriwijayapun tidak meninggalkan catatan.  Sementara itu Ibnu Khaldun menulis dalam kitab monumentalnya “Muqadimah” suatu bab khusus tentang berbagai aspek geografi, termasuk klimatologi dan geografi manusia.

Geografer muslim dari Turki Mahmud al-Kasygari (1005-1102) menggambar peta dunia berbasiskan bahasa, dan ini pula yang dilakukan oleh Laksamana Utsmani Piri Rais (1465–1555) agar Sultan Sulayman I (al-Qanuni) dapat memerintah daulah khilafah dengan efisien.

Geografi di kalangan kaum muslimin masih bertahan ketika Khilafah masih menegakkan jihad.  Begitu era jihad mengendur, antusiasme pada geografi pun mengendur.  Kaum muslimin jadi kehilangan “kompas” dan wawasan mereka dalam peta geopolitik dunia.  Akibatnya satu demi satu tanah air mereka lepas atau sumber dayanya diperas penjajah kafir.

Tags: , ,

February 22nd, 2009

PERTANIAN KITA: SWASEMBADA ATAU KRISIS?

(dari Seminar Pertanian di Unpad Jatinangor, 21 Feb 2009)

 

Dr. Fahmi Amhar

 

Ada dua pertanyaan seputar dunia pertanian: (1) Kalau dunia pertanian Indonesia telah berhasil swasembada beras, apakah itu keberhasilan Departemen Pertanian? (2) Kalau kita telah swasembada beras, adakah kita aman dari krisis global?  Apapun jawaban anda pada dua pertanyaan itu, marilah kita menelaah lebih jauh persoalan.

Pertanian membutuhkan lahan, air, dan infrastruktur.  Tanpa lahan di mana kita menanam?  Tanpa air tidak ada kehidupan.  Dan tanpa infrastruktur seperti jalan atau pasar, hasil panen sulit dijual.  Dan keseluruhan aspek ini karena menyangkut ruang, diatur dalam UU 24 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.  Tanpa wawasan pertanian yang cukup, dapat saja di era otonomi daerah ini seorang gubernur atau bupati mengalokasikan suatu ruang untuk peruntukan yang tidak ramah pertanian atau bahkan rajin menukar peruntukan dari sektor pertanian ke sektor yang lebih komersil, misalnya real estat atau industri.

Masalah lahan juga masalah pertanahan.  Sebagian besar petani kita adalah petani penggarap yang tidak punya tanah, atau memiliki lahan sangat sempit atau marginal yang tidak mencukupi untuk menopang kehidupannya.  Ada UU Pokok Agraria, namun UU ini kini terdesak dengan UU Penanaman Modal yang membolehkan investor asing mendirikan usaha dengan memperoleh Hak Guna Usaha hingga 95 tahun.  UU PM ini sedang di-judicial review di Mahkamah Konstitusi.  Masalahnya, tanah memang sudah menjadi objek investasi spekulatif, sedang petani kita karena keterbatasan ilmu sering terjerat pada rentenir dan ujung-ujungnya tanahnya digadaikan untuk bayar utang.

Pertanian membutuhkan sumber daya manusia (SDM).  Merekalah yang akan bertani.  Mereka perlu dibekali di dunia pendidikan, disuluhi agar selalu segar dengan teknologi terkini dan dimotivasi agar cerdas pasar dan cerdas politik.  Tanpa cerdas pasar, para petani ini akan selalu diakali oleh para tengkulak.  Dan tanpa cerdas politik, para petani ini tidak akan mengenal mana pemimpin dan mana sistem yang lebih ramah pertanian.

Pertanian juga membutuhkan teknologi.  Teknologi ini mulai dari teknik persiapan lahan, perbenihan, perpupukan, pemberantasan hama, pascapanen (pergudangan, pengemasan) hingga teknologi untuk mengetahui perkembangan pasar maupun teknologi pertanian itu sendiri, yaitu e-agro.  Teknologi ini menyangkut pemuliaan tanaman (termasuk dengan rekayasa genetika), teknologi traktor, kultur jaringan, teknologi pupuk dan pestisida organik, penyebaran pupuk dan pestisida yang presisi (precission agriculture) hingga teknologi pergudangan dengan energi matahari yang diatur komputer.  Namun semua teknologi ini jika tidak cerdas, kemungkinan juga sulit digunakan karena dilindungi UU Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

Dan terakhir tak kalah pentingnya adalah Sosial Ekonomi.  Ekonomi Pertanian harus dipandang sebagai rantai pasokan (Supply Chain).  Tanpa kontrak supply chain dari petani ke end-user, pola tanam petani tidak sustainable (berkesinambungan), sehingga harga pun dapat mudah dimainkan, baik di pasar tradisional maupun di Bursa Komoditas Berjangka.  Masalah sosial ekonomi juga menyangkut persoalan kredit pembiayaan,  masalah bea masuk, peran Bulog dan sebagainya.  Dari sisi pemerintah, distribusi hasil pertanian semestinya juga dapat dimonitor ke seluruh Indonesia.

Dari sini tampak bahwa keberhasilan pertanian adalah buah sinergi dari berbagai struktur yang lain.  Demikian pula kegagalannya adalah buah dari kegagalan berbagai sistem yang lain.

Bagaimana pertanian akan berhasil kalau tidak ada sawah baru yang dicetak, justru malah tanah produktif dialih fungsi atau cuma dijadikan objek spekulasi?  Masalah pertanahan adalah lingkup tugas BPN.  Masalah Tata Ruang di daerah adalah urusan Bappeda.

Bagaimana pula pertanian akan berhasil kalau air kini sudah menjadi komoditas ekonomi setelah adanya UU Sumber Daya Air?  Masalah irigasi adalah lingkup tugas Departemen PU.

Bagaimana pula pertanian akan berhasil kalau pendidikan gagal mencetak petani yang unggul?  Ribuan alumni Fakultas Pertanian sekarang justru bekerja jauh dari dunia pertanian, sampai ada anekdot bahwa IPB sekarang telah menjadi “Institut Pleksibel Banget”, bisa menyiapkan orang ke segala profesi, dari bankir sampai ustadz, tapi tidak menjadi petani?  Bagaimana pula setelah adanya UU BHP sehingga kampus pertanian top ini justru semakin sulit dimasuki oleh anak-anak petani?  Ini semua lingkup tugas Departemen Pendidikan.

Bagaimana pertanian akan maju kalau para peneliti yang terkait pertanian hidup kembang kempis dengan “anggaran penghinaan”?  Persoalan riset adalah tugas Kementrian Riset dan Teknologi.

Bagaimana dengan pupuknya?  Pabrik pupuk di Aceh berhenti karena ketiadaan pasokan gas.  Gas kita justru dijual ke Cina.  Ini tugas siapa?  Departemen ESDM!

Sedang tentang rantai bisnis terkait pertanian adalah urusan Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan, BULOG, Otoritas Bursa dan Otoritas Moneter.

Jadi tidak tepat bila swasembada beras diklaim sebagai keberhasilan Departemen Pertanian.

Lagi pula masih perlu dilihat, berapa lama swasembada itu akan bertahan?  Setahun?  Kita baru meraih swasembada beras, belum meraih ketahanan pangan.

Padahal krisis global yang kini terjadi akan berdampak jauh lebih parah dari krisis moneter tahun 1997.  Harga pangan dunia sebelumnya sudah sempat meroket.  Impor pangan jadi mahal.  Padahal kita masih belum swasembada terigu, jagung, daging dan sebagainya.

Kini, ekspor produk pertanian anjlog.  Resesi dunia membuat permintaan produk kita di Luar Negeri turun drastis.  Petani yang menanam produk khusus ekspor (seperti sawit, coklat atau kakao) merugi.  Mereka terancam bahkan tidak bisa makan, karena tidak punya uang untuk beli beras yang konon telah swasembada itu, sementara di lahannya mereka tidak lagi punya tanaman yang dapat dimakan.

Jadi kesimpulannya: kita belum aman dari krisis.  Kita membutuhkan solusi yang komprehensif.  Solusi yang tidak ego-sektoral.  Solusi yang fundamental.  Ibarat kendaraan yang akan melewati medan sulit, kita tidak hanya mencari sopir yang lebih baik, namun juga kendaraan yang lebih baik.  Solusi kapitalisme selama ini terbukti gagal.  Solusi dari syariat Islam wajib dikaji lebih mendalam.

Tags: ,

February 22nd, 2009

India, negeri masa lalu dan masa depan.

Dr. Fahmi Amhar

 

Apa yang anda pikirkan mendengar “India” disebut?  Tentang agama Hindu?  Mahatma Gandhi?  Bollywood?  Martabak (yang ternyata di India tidak ada)?  Bajay?  Atau Teknologi Informasi?

Penulis ke India pada Februari 2009, menghadiri konferensi “Map World Forum” di Hyderabad selama seminggu.  Penulis belum menjelajahi India, belum melihat langsung Taj Mahal apalagi Bollywood, namun semoga cukuplah merasakan India di kota terbesar ke empat India setelah Mumbai (dulu Bombai), Delhi, dan Kolkata (dulu Calcutta).

Hyderabad yang berpenduduk hampir 7 juta adalah ibu kota negara bagian Andhra Pradesh.

Sejarah Hyderabad dimulai dari 1463, ketika panglima Quli Qutb-ul-Mulk mendirikan benteng Golconda untuk memadamkan pemberontakan di kawasan Telanggana.  Pada 1518 dia memisahkan diri dari Sultan Bahmani dan menyebut dirinya sendiri sultan.  Nama Hyderabad diambil dari nama istrinya yang semula bernama Bhagyanagar, namun setelah masuk Islam kemudian bernama Hyder Mahal, sehingga dia namakan kota itu Hyderabad.

Pada 1591 cucunya memerintahkan untuk mendirikan Charminar, suatu monumen yang di atasnya terdapat masjid, sebagai tanda syukur atas keberhasilannya mengatasi penyakit menular.

Dinasti Qutb berkuasa sampai 1687 hingga penguasa Mughal Aurangzeb mengalahkannya dan mengambil alih Hyderabad.  Dia mengangkat gubernur dengan julukan Nizam-ul-Mulk.  Pada 1724 Nizam Asaf Jah I menyatakan merdeka dari Mughal setelah tampak tanda-tanda kemundurannya.  Pada 1763, Hyderabad membuat aliansi pertahanan dengan Inggris sehingga menjadi negara terbesar di bawah “asuhan” British-India.  Negeri ini adalah yang terkaya di wilayah India, hingga pada tahun 1930-an, majalah Time meranking Nizam sebagai orang terkaya di dunia.

Pada 1947 dengan kemerdekaan India, Nizam ke-7 lebih menginginkan bergabung dengan Pakistan mengingat populasi muslim di Hyderabad sangat tinggi.  Namun India segera mengirim tentaranya dan mengakhiri kekuasaan Islam di Hyderabad.

Hyderabad kini adalah sebuah kota yang penuh kontradiksi.  Suasana jalanan adalah khas dunia ketiga: kumuh, semrawut, bising oleh bunyi klakson dan deru knalpot auto-rickshaw (taksi berbentuk bajay, sebagian berargometer).  Lokasi wisata seperti Charminar, istana Nizam dan masjid Makkah (disebut masjid Makkah karena ada serpihan dari Hajar Aswad di sana), dikelilingi pedagang kaki lima.  Di mana-mana pengemis yang dekil meminta uang kepada orang berwajah asing.

Namun Hyderabad juga “kota masa depan” India.  Hyderabad berkompetisi dengan kota India yang lain Bangalore dan Chennai menjadi sentra IT dunia.  Microsoft, Google, Oracle dan perusahan software India terkemuka “Wipro” berkantor pusat di Hyderabad.  Sebuah kota technology (Hitech-city) telah dibangun.  Bahkan Hyderabad sering diplesetkan jadi “Cyberabad”.

India dengan penduduknya yang 1,15 Milyar manusia, memang potensi pasar yang sangat besar.  Dari tahun 1950-an hingga 1980-an, India menganut paham sosialis.  Uni Soviet yang berseteru dengan Cina mencoba merangkul India agar menjadi sekutunya.  Kebetulan India punya masalah dengan Cina di Tibet.  Karena India digaet Soviet maka Amerika Serikat merangkul Pakistan untuk menghadapinya.  Kebetulan Pakistan punya masalah dengan India di Kasymir.  Kedua adidaya ini sama-sama membekali sekutunya dengan nuklir.  Setelah masing-masing memiliki nuklir inilah, India dan Pakistan tidak pernah lagi perang terbuka.

Setelah Uni Soviet melakukan glasnost dan perestroika, India pelan-pelan meninggalkan sosialisme yang penuh dengan korupsi dan pertumbuhan ekonomi yang rendah.  Sejak 1991, India sebagaimana Cina, sepenuhnya masuk ke sistem kapitalisme, yang membuatnya meroket menjadi adidaya ekonomi baru.  Selepas runtuhnya Soviet, AS juga kini merangkul India guna mengimbangi Cina dan menekan kebangkitan Islam di Asia Selatan.

Di India terdapat 154 juta Muslim.  Meski cuma 13,4% populasi, rata-rata tingkat pendidikan mereka jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional.  Tingkat melek huruf nasional (literacy rate) India adalah 64,8 %, namun di kalangan muslim bisa lebih dari 91%.  Itu juga barangkali alasan Inggris dulu menghasut agar India dibagi dua menjadi India yang mayoritas Hindu dan Pakistan yang mayoritas muslim.  Kalau tidak dibagi, pasti lambat laun yang berkuasa adalah muslim, karena mereka memiliki bekal intelektual yang lebih tinggi.  Sebagai negara sekuler, India pernah memiliki presiden yang muslim, Dr. Abdul Kalam, yang juga menjadi Bapak Nuklir India.  Sekarang wakil presidennya yang muslim, Muhammad Hamid Anshari.

Dengan sejarah dan komposisi penduduk India seperti ini, budaya India menjadi ditandai dengan derajat yang tinggi pada sinkretisme dan pluralisme.  Hindu sebagai agama mayoritas di India, ternyata memiliki ribuan sekte, dan tidak sedikit sekte yang memiliki keyakinan yang bertentangan dengan kemajuan.  Namun satu hal yang positif dari pemeluk Hindu dan Budha adalah kebiasaan makan vegetarian.  Dapat dibayangkan kesulitan pangan yang akan dialami bila ratusan juta orang tiba-tiba meninggalkan kebiasaan vegetariannya.

Sementara itu bekal kemandirian yang dibangun di era sosialisme menjadikan mereka memiliki harga diri untuk masuk ke pasar global sebagai subjek, bukan hanya sebagai objek.  Oleh sebab itu kita akan banyak menyaksikan bahwa di India, kendaraan yang dominan di jalanan adalah TATA dan BAJAY, buatan India sendiri.  Semua mobil impor (yang di jalanan cuma sedikit) pasti bermitra dengan merek lokal.

Meski masih 42% (atau 483 juta orang!) penduduknya yang hidup di bawah garis kemiskinan (US$ 1,25 / hari), India tidak menghalangi pengembangan teknologi tinggi.  Teknologi roket peluncur ruang angkasa dan satelit India kini sudah setara dengan yang dimiliki Amerika atau Uni Eropa.  Teknologi ini bahkan sudah dikomersilkan dan menghasilkan devisa yang besar.  Beberapa universitas di India, sekalipun bangunannya sederhana, dan beasiswa S3-nya cuma Rs 4800 (sekitar Rp. 1 juta), masuk dalam 100 perguruan tinggi sains terbaik dunia.  Kapitalisme tidak mengubah keyakinan India untuk tetap mensupport pendidikan dan riset teknologi sebagai sebuah investasi.  Kalau di India ada makanan yang murah, itu adalah makanan kelas jalanan atau kaki lima.  Namun kalau tentang buku yang murah, itu ternyata juga belaku pada buku-buku teknologi atau manajemen standar Internasional, dengan harga seperlima atau sepersepuluhnya.  India berhasil menaruh subsidi pada pendidikan, termasuk pada buku.

Tags: , ,