oleh: Fahmi Amhar
Situasi pertanahan di Indonesia belum pernah membuat orang bisa tidur nyenyak. Kepastian hukum masih sering dilanggar. Penyerobotan, penggusuran, dan penelantaran tanah produktif untuk tujuan spekulatif masih sering terjadi. Pada tataran makro, hukum yang berlaku masih memihak kepada para pemodal besar. Contohnya adalah sengketa tanah ulayat antara masyarakat adat dengan pemegang HPH atau konsesi pertambangan.
Dalam semangat berbagai kalangan untuk menerapkan kembali syariat Islam dalam kehidupan, perlu dielaborasi, sejauh mana pemahaman ummat — terutama para ulama — atas sistem pertanahan syariah. Klaim bahwa Islam telah sempurna sampai akhir zaman perlu dibuktikan dengan berbagai solusi praktis atas berbagai persoalan yang ada. Kesuksesan sistem perbankan syariah bisa dijadikan motivasi untuk mencari sistem pertanahan syariah sebagai alternatif sistem yang ada saat ini.
Masalah kepemilikan
Seperti masalah kepemilikan pada umumnya, dalam Islam masalah pertanahan mencakup aspek sebab-sebab kepemilikannya, pengelolaannya, dan pemanfaatannya (An-Nabhani: Nizamul Iqtishady fil Islam). Hanya berbeda dengan harta bergerak, tanah tidak bisa dikembangkan atau diperbanyak. Karena itu tanah adalah sumber daya yang terbatas.
Islam mengenal tiga jenis kepemilikan, yakni kepemilikan individu, negara dan publik. Kepemilikan individu adalah izin syar’i sehingga seseorang bisa menguasai tanah secara mutlak, termasuk menggunakan, menjual, menghadiahkan, mewakafkan serta mewariskannya berdasarkan syara’. (more…)
oleh: Fahmi Amhar
Belum lama ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) Faisal Tamin mengatakan bahwa 60 persen dari pegawai negeri sipil (PNS) tidak produktif dan tak profesional. Banyak diantara mereka di kantor sekadar membaca koran, bahkan ada yang tidak masuk kerja setahun tanpa diketahui atasannya. Untuk mengatasi hal itu, menurutnya, perlu dilakukan penataan lembaga, struktur organisasi dan komposisi mengenai sumber daya manusia (SDM) secara baik dan proporsional. Saat ini jumlah PNS yang tersebar di seluruh Indonesia tercatat lima juta orang. Satu juta diantaranya ada di BUMN dan hanya 40 persen yang memiliki kecakapan kerja sesuai dengan bidang mereka masing-masing. Dalam penilaian Feisal Tamin, kebiasaan rangkap jabatan yang dilakukan PNS juga menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya profesionalisme kerja PNS.
Sayang MenPAN tidak memberi gambaran rinci tentang komposisi distribusi PNS saat ini. Karena sesungguhnya, PNS itu ada lima macam, dan apa yang disinggung MenPAN tersebut hanya salah satunya.
Kelima macam PNS itu adalah:
Pertama, tipe birokrat. Ini adalah para PNS yang memegang suatu jabatan struktural. Jumlah mereka sebenarnya tidak banyak, namun pengaruhnya signifikan. Tanda-tangan mereka ‘sakti’, karena semua pintu regulasi ada dalam genggamannya. Pada mereka jugalah sebenarnya stereotip “PNS koruptor” teralamatkan.
Kedua, tipe suporter. Ini adalah PNS yang bertugas mendukung tugas para birokrat. PNS ini ada yang bertugas sebagai sopir, juru ketik, tukang antar surat dan sebagainya, yang sebenarnya tidak begitu perlu tingkat keahlian tinggi, bahkan sebagian bisa digantikan dengan mesin, namun perannya dalam rantai birokrasi bisa menjadi penting. Mereka bisa saja memungut pungli agar suatu surat lebih cepat sampai ke meja pejabat. (more…)
oleh: Fahmi Amhar
Meskipun harga BBM sudah naik, subsidinya masih sangat besar. Pemerintah beralasan, subsidi itu lebih baik dialihkan untuk membiayai pembangunan. Sebab, subsidi BBM justru lebih banyak dinikmati oleh mereka yang sudah kaya, yakni mereka yang punya kendaraan, atau bisa lebih banyak memborong sembako yang murah karena BBM disubsidi. Tapi, ada yang menduga kenaikan harga BBM belakangan ini lebih terjadi karena paksaan IMF.
Mengapa BBM perlu subsidi? Ada tiga poin di sini yang perlu kita soroti. Pertama adalah masalah teknologi. Agar BBM ini bisa ditemukan, diambil dan diolah, diperlukan sejumlah teknologi, yang faktanya saat ini semuanya dikuasai oleh industri asing. Karena itu, pihak asing memaksakan sejumlah aturan yang pasti akan menguntungkan mereka, bilamana Indonesia mau mendayagunakan potensi migasnya. Pada umumnya mereka menginginkan sistem kontrak bagi hasil, yaitu mereka memasukkan modal terlebih dulu (investasi), kemudian setelah menghasilkan (operasional), mereka ”dibayar” dengan bagi hasil BBM yang dihasilkan itu.
Hanya saja kontrak bagi hasil itu berjangka waktu yang sangat panjang, misalnya 10, 25, atau bahkan 50 tahun. Padahal barangkali, dengan hanya beberapa tahun saja, investasi mereka sudah akan kembali. Namun, kalau Indonesia menginginkan skema yang lain, misalnya mereka hanya dibayar secukupnya saja, atau kita beli saja teknologi mereka secara langsung lalu kita operasikan sendiri, maka mereka juga akan ”kong-kali-kong”. Prinsipnya mereka harus untung besar. Inilah fakta yang ada, dan ini semua berasal dari politik teknologi selama ini yang tidak efektif. (more…)