Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu kompetensi yang mereka miliki.
Tidak ada yang meragukan, bahwa untuk hidup dan mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, manusia membutuhkan berbagai kompetensi. Persoalannya, banyak yang tidak tahu, kompetensi apa saja yang harus dimiliki, di mana saja belajarnya, dan bagaimana cara menguasainya.
Nabi mengatakan, bahwa tanda-tanda kehancuran sebuah masyarakat adalah ketika suatu urusan diserahkan ke orang yang bukan ahlinya, maksudnya bukan kompetensinya. Karena itu, di negara maju kemudian berkembang sertifikasi kompetensi. Siapapun yang sudah memiliki sertifikasi, diharapkan memang sudah memenuhi syarat kompetensinya. Sayangnya, terlalu banyak sebenarnya urusan dan profesi di dunia ini. Belum terbayang bila semua harus memiliki sertifikasi. Apalagi banyak hal yang berkembang pesat. Seseorang yang 20 tahun yang lalu dianggap kompeten di bidang teknologi informasi atau komputer, bahkan menyandang gelar sarjana komputer, mungkin sekarang sudah hampir tidak mengerti apa-apa lagi, bila ia tidak serius berprofesi di situ dan terus menerus mengikuti perkembangannya.
Namun, meski tanpa sertifikasi, kompetensi tetap mutlak diperlukan. Dan kehidupan menunjukkan bahwa kita memerlukan banyak sekali kompetensi. Bahkan jauh lebih banyak dari yang bisa disediakan oleh dunia pendidikan.
Akibatnya, banyak orang yang berangkat dewasa tanpa kompetensi menjadi dewasa. Mereka tidak menyadari bahwa mereka perlu kompetensi tentang bagaimana terus belajar meski tidak berada di sekolah, dan meski tidak mendapatkan gelar maupun ijazah. Mereka juga sebaiknya punya kompetensi tentang bagaimana mencari kerja atau mendirikan usaha. Mereka perlu kompetensi bagaimana memilih tempat tinggal dan berhubungan dengan tetangga. Mereka perlu kompetensi bagaimana berurusan dengan pemerintah atau penegak hukum. Bahkan mereka juga perlu kompetensi bagaimana meredakan syaraf-syaraf pikiran agar tidak stress, sekaligus meraih energi spiritual dalam ibadah dan ketaatan kepada Sang Pencipta. (more…)
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu bagaimana mereka berinvestasi dalam hidupnya.
Sebenarnya, semua orang terlahir bodoh, miskin dan tak berdaya. Lihatlah seorang bayi yang baru lahir. Dia tak tahu apa-apa, bahkan siapa dirinya juga dia tidak tahu. Dia tak memakai apa-apa. Dan dia tak bisa apa-apa kecuali menangis. Kalau dia beruntung, dia akan didampingi oleh orang tua yang baik, yang akan mengajarkan apapun yang perlu dia ketahui di dunia ini. Mereka juga akan memberikan ASI, makanan, pakaian dan tempat berteduh. Sampai suatu ketika nanti, dia cukup kuat untuk mengarungi sendiri dunia yang luas ini. Lihatlah, apa yang dilakukan si orang tua tadi, adalah sebuah investasi. Tanpa investasi, mustahil manusia yang bodoh, miskin dan tak berdaya, bisa berubah menjadi pandai, kaya dan berdaya.
Namun di dunia ini tidak semua manusia beruntung seperti itu. Faktanya, ada anak yang sedari kecil hanya didampingi orang tua yang juga bodoh, miskin dan tak berdaya. Akibatnya, anak itu tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Bahkan, makanan, pakaian dan tempat tinggal yang layakpun tidak. Akibatnya, ketika dia beranjak dewasa, kebodohan, kemiskinan dan ketidakberdayaan orang tuanya itu bisa menurun dalam dirinya. Jadilah lingkaran setan alias siklus kebodohan, kemiskinan dan ketidakberdayaan yang berkelanjutan.
Mata rantai siklus itu harus diputus. Dengan investasi.
Investasi ini ada tiga macam: internal, horizontal dan vertikal.
Investasi internal adalah bagaimana seseorang membangun dirinya sendiri. Suatu ketika, investasi ini memang perlu stimulus dari luar dirinya, tetapi sesungguhnya dirinya sendirilah yang berperan sangat signifikan. (more…)
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu bagaimana mereka mengatur zona-zona dalam hidupnya.
Setiap sebuah institusi membuat gebrakan, dan dia tahu tak mungkin mengubah seluruhnya sekaligus, maka akan dibuatlah zona-zona. Di kantor-kantor sekarang ada tulisan “Zona Bebas Asap Rokok”. Lalu perokok dikasih tempat di sudut yang dianggap tidak “membahayakan”. Di beberapa jalan polisi memasang spanduk “Zona Tertib Lalu Lintas”. Mafhumnya, di tempat lain untuk sementara dimaklumi bila belum tertib. Bahkan beberapa negara membuat “Zona Khusus Bebas Pajak”, agar investor datang dan membuat usaha di sana.
Dari sisi syari’ah, kita gembira bahwa ada beberapa pesantren menerapkan zonasi sejenis. Ada “Zona Muslimah Wajib Berjilbab”, di mana setiap perempuan yang memasuki area itu diwajibkan berjilbab, kecuali kalau memang non muslim. Mungkin baru Iran negeri yang mewajibkan semua perempuan dari manapun untuk ganti kostum ketika menginjak bandara di wilayah Iran. Ada juga “Zona Berbahasa Arab”, di mana setiap santri hanya dibolehkan berbahasa Arab. Kalau berbahasa selain itu bisa diberi sanksi. Ada juga di suatu kantor didapati tulisan “Zona bebas korupsi”. Maksudnya tentu saja bukan bahwa di situ orang bebas melakukan korupsi, tetapi di zona itu [diharapkan] sudah tidak ada lagi korupsi”.
Intinya dari semuanya, zonasi itu sering diperlukan sebagai trigger perubahan. Di perencanaan wilayah, tugas utama para planolog adalah membuat zonasi. Mana zona yang akan dipertahankan sebagai Kawasan Lindung, mana untuk Kawasan Pertanian, Ruang Terbuka Hijau, Area Permukiman dan seterusnya. Dengan cara ini, maka pemerintah mengantisipasi perkembangan jauh ke depan, agar pertumbuhan populasi tidak terkonsentrasi di suatu titik saja, yang bisa menyulitkan pemerintah dalam melayani warga secara optimal. (more…)