dipublikasikan di majalah ESQ “Nebula” edisi 03 (Februari 2005)
Tahun lalu, ketika hangat-hangatnya planet Mars pada posisi terdekat dengan bumi, ada “wacana” bahwa itu adalah tanda-tanda kiamat. Hal ini karena planet Mars setelah itu tampak berjalan “mundur” – apa yang dalam astronomi kuno disebut “retrograde motion”. Beberapa kalangan awam (non astronom) menyangka, bahwa hal serupa bisa terjadi dengan matahari, sehingga suatu ketika matahari tampak terbit dari Barat – hal mana dalam suatu hadits Nabi dikatakan sebagai tanda-tanda kiamat.
Koreksi atas “Retrograde Motion”
Retrograde Motion bukanlah gerakan mundur suatu benda langit yang sesungguhnya. Namun hanya penampakannya dari permukaan bumi, yang disebabkan oleh model geosentris.
Ceritanya begini: manusia mengamati semua objek langit dari permukaan bumi (toposentris). Karena mereka tahu bumi itu mirip bola yang sangat besar, maka data koordinat toposentris itu lalu ditransformasi ke pusat bumi (geosentris). Model ini juga dipakai karena keyakinan saat itu bahwa bumi ini diam sedng menurut agama-agama yang ada saat itu (pra-Islam), manusia itu fokus ciptaan Tuhan, sehingga bumi harus jadi titik sentral alam semesta. Model geosentris ini disebut juga model Ptolomeus.
Dari model ini, dicobalah untuk melakukan prediksi ke depan. Misalnya, kalau suatu bintang hari ini tampak di posisi anu, maka setengah tahun lagi di posisi mana. Prediksi dengan model ini relatif akurat untuk alat-alat yang dipakai hingga saat itu – kecuali untuk planet.
Planet-planet luar (Mars, Jupiter dan Saturnus yang dikenal saat itu), pada saat-saat tertentu tampak bergerak mundur (disebut “retrograde motion”). Awalnya gerak mundur ini dicoba dijelaskan dengan suatu epicycle, yakni lingkaran bantu pada orbit tiap planet. Maksudnya, ada suatu titik yang mengorbit mengelilingi bumi (masih geosentris!), lalu planet-planet itu bergerak mengelilingi titik tersebut. Tapi makin lama, epicycle ini makin rumit, makin membingungkan dan makin tidak bisa diprediksi.
Sampai Copernicus muncul menyederhanakan model tadi dengan ide bahwa semua planet, termasuk bumi, harusnya mengelilingi matahari. Maka tiba-tiba seluruh fenomena retrograde motion tadi jadi bisa dijelaskan. Retrograde motion terjadi karena periode planet dalam mengelilingi matahari (atau disebut “revolusi”) tidak sama. Misalnya revolusi bumi 365.25 hari, sedang Mars 687 hari. Maka ada saat-saat di mana Mars tampai “di depan” bumi, kemudian tiba-tiba “di belakang” bumi. Ini mirip dengan arena balap sepeda, di mana yang di lingkaran dalam kecepatannya lebih tinggi dari di lingkaran luar. Itulah retrograde motion.
Rotasi Bumi dan Matahari Terbit
Yang membuat matahari terbit di timur adalah perputaran bumi pada porosnya (“rotasi”). Bumi berrotasi dari barat ke timur, sehingga Indonesia selalu melihat matahari lebih dulu daripada India. Arah barat-timur sebenarnya hanya arah relatif terhadap arah poros bumi. Ini dikenal dengan “hukum tangan kanan”: kalau ibu jari tangan kanan menghadap utara, maka arah keempat jari yang lain adalah arah rotasi. Arah poros bumi diorientasikan ke sejumlah bintang kutub utara. Bisa saja orbit bumi terganggu dan arah poros ini bergeser, seperti dibuktikan dari sejumlah penelitian bahwa di masa lalu poros bumi itu tidak seperti saat ini. Fenomena ini disebut perkelanaan kutub (polar wandering). Bahkan kita bisa berkhayal bahwa yang sekarang Utara itu bisa saja suatu saat Selatan. Namun selama arah rotasi bumi masih mengikuti hukum tangan kanan, maka daerah sebelah timur masih lebih dulu melihat matahari. Artinya, kemanapun poros bumi menghadap, selama rotasinya tetap, maka matahari tetap tampak terbit dari “timur”.
Perlambatan Rotasi Bumi
Dulu orang mendefinisikan satu hari sebagai satu kali bumi berputar pada porosnya. Sebagai acuan perputaran adalah objek astronomis yang dianggap tetap (bintang yang jauh). Inilah yang disebut jam astronomis. Sekali putaran perlu waktu 23 jam 56 menit 4 detik. Hanya karena bumi juga mengitari matahari, maka satu hari jadi 24 jam.
Sejak ditemukannya jam atom yang sangat stabil dan teliti, maka orang lalu bisa mengukur periode astronomi itu lebih akurat. Dan hasilnya orang menemukan bahwa jam astronomis itu tidak stabil. Kadang lebih cepat dan kadang lebih lambat. Orang lalu memisahkan antara gangguan sesaat (temporer) dari gangguan tetap yang berjangka panjang. Sebuah badan ilmiah dibentuk khusus untuk itu, yaitu International Earth Rotation Service yang berpusat di Observatorium Paris.
Efek temporer disebabkan objek-objek langit lain yang kebetulan sedang berdekatan. Ini dikenal dengan “multi-body-problems”. Sedang efek jangka panjang dipastikan akibat pasang surut, baik oleh bulan maupun matahari. Beberapa ilmuwan telah mengukur efek ini. Mereka menggunakan ribuan data astronomi. Yang paling mutakhir adalah dengan 15 tahun lunar-laser ranging, yakni pengukuran laser ke beberapa cermin reflektor yang dipasang di bulan oleh missi-missi ruang angkasa Amerika atau Russia. Dickey, Williams dan Newhall (1984) memberi angka 1,9 ms/cy. Artinya rotasi bumi melambat 1,9 per seribu detik dalam seabad! Angka yang amat kecil, namun efek kumulatifnya ke depan menarik untuk diselidiki lebih lanjut (Bretterbauer, 1989, p 98).
Para ahli menduga beberapa skenario.
Pertama, rotasi bumi akan melambat sedemikian rupa, sampai suatu ketika akan sama dengan revolusi bulan mengitari bumi. Pada kondisi ini, panjang hari akan menjadi sebulan qomariah. Sisi bumi yang menghadap bulan akan konstan, sedang sisi lainnya tidak akan pernah lagi melihat bulan. Pada saat seperti itu tentu perintah sholat dan puasa akan menjadi absurd. Kondisi ini diperkirakan terjadi minimal 261 abad lagi. Angka ini belum bisa dipastikan karena masih menunggu data yang lebih banyak lagi dari beberapa satelit pengamat dinamika matahari untuk mengetahui pengaruh pasang surut matahari. Ada beberapa ilmuwan yang memprediksi sampai beberapa milyar tahun.
Kedua, rotasi bumi akan terus melambat sampai akhirnya rotasi bumi sama dengan revolusi bumi mengitari matahari. Pada kondisi ini, panjang hari akan menjadi setahun syamsiah. Sisi bumi yang menghadap matahari akan konstan, selalu siang, dan akan panas sampai ratusan derajat Celcius, sedang sisi lainnya akan selalu malam dan membeku melebihi dinginnya kutub saat ini. Pada wilayah perbatasan akan selalu berhembus topan dengan kecepatan ribuan kilometer/jam. Bumi sudah tidak akan bisa lagi dihuni mahluk hidup. Kondisi ini diperkirakan terjadi minimal 954 abad lagi – walaupun banyak juga ilmuwan yang menduga setelah beberapa milyar tahun.
Namun jelas, kedua efek ini tidak akan membuat arah rotasi bumi menjadi berbalik, sehingga matahari tampak terbit dari barat. Rotasi bumi tidak pernah benar-benar akan berhenti lalu berbalik arah. Dia hanya akan setimbang, dan titik setimbangnya pada asumsi pertama adalah saat rotasi bumi sama dengan revolusi bulan; sedang pada asumsi kedua saat rotasi bumi sama dengan revolusinya mengitari matahari.
Namun sekali lagi, masih banyak yang kita belum tahu. Bisa jadi, jika didapatkan bahwa rotasi matahari berlawanan arah dengan revolusi bumi mengitarinya, efek rotasi bumi terbalik itu masih bisa terjadi. Namun yang jelas, ketika kondisi itu ada, bumi sudah tidak layak lagi dihuni manusia.
Jadi bila dikatakan ketika kiamat terjadi matahari terbit dari barat, ya bisa saja, namun saat itu mungkin sudah tidak ada manusia menyaksikannya, kecuali bila mereka sudah menciptakan teknologi canggih yang mengantisipasi ekologi bumi yang sudah tidak ramah pada kehidupan.
Bencana Kosmik
Yang lebih mungkin dalam mengganggu rotasi bumi sehingga berbalik dan matahari tampak terbit dari barat adalah bila hadir suatu objek langit yang bermassa sangat besar (lebih besar dari bulan!) dengan lintasan sangat dekat dengan bumi. Saat ini objek “liar” yang ada seperti komet atau asteroid tidak ada yang sebesar itu. Kalaupun ada komet sebesar Schomaker-Levy yang menghantam Jupiter tahun 1996 lalu, atau seperti dalam film Armagedon ada asteroid khayal sebesar negara bagian Texas menghantam bumi, maka yang timbul hanya bencana ekologis yang dahsyat, namun belum akan merubah arah rotasi bumi.
Namun lain persoalannya bila hadir suatu objek yang disebut “black-hole”. Objek ini bermassa paling kecil seperseribu matahari atau 333 kali bumi, namun besarnya hanya beberapa kilometer saja. Karena sangat padat, maka medan gravitasinya sangat tinggi, semua materi di dekatnya akan terhisap, sampai-sampai cahayapun tidak bisa lepas darinya. Akibatnya, blackhole tidak akan kelihatan! Dia hanya akan terdeteksi bila cahaya bintang di belakangnya tiba-tiba seperti hilang “tertelan” sesuatu yang gelap.
Kalau blackhole mendekati bumi, maka akan terjadi bencana kosmik maha dahsyat. Bulan yang massanya 1/81 bumi akan keluar dari orbitnya – mungkin termakan oleh blackhole. Bumipun akan berguncang sangat dahsyat, gunung-gunung akan berhamburan. Mungkin saja rotasi bumi jadi berbalik dan matahari tampak muncul dari barat. Tapi semua sudah telat. Itulah kiamat. Tidak ada lagi saat untuk bertobat.
Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu.
Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. (Qs. 101:3-5)
presented paper, Seminar dalam rangka Science Fair, Sekolah Islam Terpadu Fajar Hidayah Kota Wisata Cibubur, 30 Mei 2006.
Ada sejumlah pertanyaan menarik tentang kedudukan sains dan Islam. Pertanyaan ini berakar dari fenomena-fenomena berikut:
1. Munculnya kegairahan baru atas sebagian cendekiawan Islam atas sains dan keyakinan bahwa kemunduran Islam itu akibat melalaikan sains dan terlalu menonjolnya fiqih.
2. Munculnya sebagian cendekiawan yang meyakini kembali bahwa Qur’an adalah sumber inspirasi sains, setelah ditemukannya bukti-bukti sains modern yang sesuai dengan ayat-ayat Qur’an. Ilmu yang terinspirasi Quran ini bahkan sering diklaim sebagai sains Islami.
3. Di sisi lain: tingkat religiositas yang tetap belum membaik di kalangan ilmuwan sains Barat – sekalipun dapat teramati bahwa tingkat religiositas di kalangan ilmuwan sains ini masih lebih baik daripada ilmuwan sosial.
Tiga fenomena ini membuat di satu sisi umat Islam semakin bersemangat dalam beragama, namun di sisi lain mereka masih mencari bentuk, bagaimana sesungguhnya integrasi sains dan Islam.
Pada berbagai jenis pendidikan Islam di Indonesia, integrasi ini dicoba baru dalam taraf penggabungan kurikulum (Depdiknas+Depag), sehingga total jam belajar siswa menjadi relatih jauh besar dibanding sekolah biasa. Karena itu kajian bagaimana integrasi sains dan Islam itu perlu ditelaah lebih jauh.
Sejarah Kedudukan Ilmu di dalam Islam
Kalau melihat sejarah, sering ada dugaan bahwa kemunduran dunia riset Islam dimulai ketika iklim kebebasan berpikir – yang sering dianggap direpresentasikan kaum mu’tazilah – berakhir, dan digantikan oleh iklim fiqh yang skripturalis dan kaku. Teori ini terbukti bertentangan dengan fakta bahwa munculnya ilmu-ilmu fiqh dan ilmu-ilmu sains dan teknologi berjalan beriringan [1] . Bahkan ketika ilmu dasar ummat musim mulai kendur, teknologi mereka masih cukup tinggi untuk bertahan lebih lama [2] .
Hunke 4. dengan cukup baik melukiskan latar belakang masyarakat Islam di masa khilafah Islam sehingga keberhasilan pengembangan teknologi terjadi, dan ini bisa diklasifikasikan menjadi dua hal.
Pertama adalah paradigma yang berkembang di masyarakat Islam, yang akibat faktor teologis menjadikan ilmu “saudara kembar” dari iman, menuntut ilmu sebagai ibadah, salah satu jalan mengenal Allah (ma’rifatullah), dan ahli ilmu sebagai pewaris para nabi, sementara percaya tahayul adalah sebagian dari sirik. Paradigma ini menggantikan paradigma jahiliyah, atau juga paradigma di Romawi, Persia atau India kuno yang menjadikan ilmu sesuatu privilese kasta tertentu dan rahasia bagi awam. Sebaliknya, Hunke menyebut “satu bangsa pergi sekolah”, untuk menggambarkan bahwa paradigma ini begitu revolusioner sehingga terjadilah kebangkitan ilmu dan teknologi. Para konglomeratpun sangat antusias dan bangga bila berbuat sesuatu untuk peningkatan taraf ilmu atau pendidikan masyarakat, seperti misalnya membangun perpustakaan umum, observatorium ataupun laboratorium, lengkap dengan menggaji pakarnya.
Kedua adalah peran negara yang sangat positif dalam menyediakan stimulus-stimulus positif bagi perkembangan ilmu. Walaupun kondisi politik bisa berubah-ubah, namun sikap para penguasa muslim di masa lalu terhadap ilmu pengetahuan jauh lebih positif dibanding penguasa muslim sekarang ini. Sekolah yang disediakan negara ada di mana-mana dan bisa diakses masyarakat dengan gratis. Sekolah ini mengajarkan ilmu tanpa dikotomi ilmu agama dan sains yang bebas nilai.
Rasulullah pernah mengatakan “Antum a’lamu umuri dunyaakum” (Kalian lebih tahu urusan dunia kalian) – dan hadits ini secara jelas berkaitan dengan masalah teknologi – waktu itu teknologi penyerbukan kurma. Ini adalah dasar bahwa teknologi bersifat bebas nilai. Bahkan Rasulullah telah menyuruh umat Islam untuk berburu ilmu sampai ke Cina, yang saat itu pasti bukan negeri Islam.
Namun demikian, dalam pencarian ilmu, Islam memberikan sejumlah motivasi dan guideline.
Motivasi pencarian ilmu dimulai dari hadits-hadits seperti “Mencari ilmu itu hukumnya fardhu atas muslim laki-laki dan muslim perempuan”, “Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahad”, “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina”, “Orang yang belajar dan mendapatkan ilmu sama pahalanya dengan sholat sunat semalam suntuk”, dsb [4] .
Sedang guideline bisa dibagi dalam tiga kelompok sesuai pembagian dalam filsafat ilmu [5] , yaitu dalam kelompok ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi menyangkut masalah mengapa suatu hal perlu dipelajari atau diteliti. Qur’an memuat cukup banyak ayat-ayat yang merangsang pembacanya untuk menyelidiki alam, seperti “Apakah tidak kalian perhatikan, bagaimana unta diciptakan, atau langit ditinggikan, …” (al-Ghasiyah 17-18). Maka tidak heran bahwa di masa al-Makmun, para pelajar tafsir menyandingkan buku Almagest karya Ptolomeus (astronom Mesir kuno) sebagai “syarah” surat al-Ghasiyah tersebut.
Kaidah “Ma laa yatiimul waajib illaa bihi, fahuwa wajib” (Apa yang mutlak diperlukan untuk menyempurnakan sesuatu kewajiban, hukumnya wajib pula) juga memiliki peran yang besar. Maka ketika kaum muslimin melihat bahwa untuk menyempurnakan jihad melawan adikuasa Romawi memerlukan angkatan laut yang kuat, maka mereka – berpacu dengan waktu – mempelajari teknik perkapalan, navigasi dengan astronomi maupun kompas, mesiu dsb. Dan bila untuk mempelajari ini mereka harus ke Cina yang waktu itu lebih dulu mengenal kompas atau mesiu, merekapun pergi ke sana, sekalipun menempuh perjalanan yang berat, dan harus mempelajari sejumlah bahasa asing.
Dengan ontologi syariah ini, kaum muslim di masa lalu berhasil mendudukkan skala prioritas pembelajaran dan penelitian secara tepat, sesuai dengan ahkamul khomsah (hukum yang lima: wajib-sunnah-mubah-makruh-haram) dari perbuatannya [6] .
Epistemologi menyangkut metode suatu ilmu dipelajari. Epistemologi Islam mengajarkan bahwa suatu ilmu harus dipelajari tanpa melanggar satu hukum syara’pun. Maka beberapa eksperimen dilarang, karena bertentangan dengan syara’, misalnya cloning manusia.
Di sisi lain, ilmu dipelajari dengan mempraktekkannya. Karena itu, ilmu seperti sihir menjadi haram dipelajari, karena konteks epistemologinya adalah dipelajari sambil dipraktekkan. Namun di sisi lain, ilmu-ilmu seperti kedokteran, fisika, namun juga ilmu sosiologi atau hukum (fiqh) menjadi tumbuh pesat karena setiap yang mempelajarinya punya gambaran yang jelas bagaimana nanti ilmu itu digunakan. Berbeda dengan sekarang ketika banyak mahasiswa di “menara gading”, dan ketika turun ke masyarakat ternyata tidak mampu harus mulai dari mana dalam menggunakan ilmunya.
Sedang aksiologi menyangkut bagaimana suatu ilmu diterapkan. Ilmu atau teknologi adalah netral, sedang akibat penggunaannya tergantung pada peradaban (hadharah) manusia / masyarakat yang menggunakannya. Banyak hasil riset yang walaupun dibungkus dengan suatu metode statistik, namun dipakai hanya untuk membenarkan suatu model yang bias ideologis ataupun kepentingan tertentu [7] .
Pada masyarakat muslim penggunaan teknologi dibatasi hukum syara’. Teknologi hanya akan digunakan untuk memanusiakan manusia, bukan memperbudaknya. Teknologi digunakan untuk menjadikan Islam rahmat seluruh alam, bukan menjajah negeri-negeri lain. Karena itu kebuntuan untuk mencapai kemajuan pada negeri-negeri miskin [8] – seperti yang terjadi dewasa ini di Afrika – akan bisa didobrak dengan aksiologi syariah.
Qur’an sebagai Sumber Inspirasi Ilmu
Obsesi menjadikan Qur’an sebagai sumber inspirasi segala ilmu tentu suatu hal yang positif, karena ini bukti keyakinan seseorang bahwa Qur’an memang datang dari Zat Yang Maha Tahu. Namun, obsesi ini bisa jadi kontra produktif jika seseorang mencampuradukkan hal-hal yang inspiratif dengan sesuatu yang empiris, atau memaksakan agar kaidah hukum empiris sesuai penafsiran inspiratifnya.
Contoh yang pertama misalnya ketika ada seseorang yang menafsirkan ayat:
“ … Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia …” (QS 57-al Hadid: 25)
Kami pernah mendapatkan seseorang yang ingin menggugat Hukum Kekekalan Energi dengan landasan ayat ini, seraya mengajukan proposal untuk membuat energy multiplier.
Energy Multiplier adalah pengganda energi. Alat semacam ini – kalau ada – akan memiliki konsekuensi yang sangat jauh, karena dengan rangkaian beberapa multiplier, teoretis energi 1 watt saja akan mampu memberi energi untuk seluruh dunia. Tentu saja alat semacam ini secara fisika maupun teknis mustahil. Namun perancangnya yakin 100% bahwa dia benar, karena rancangan mesinnya diyakininya di-backup oleh ayat al-Hadid tadi. Tentu saja ini penafsiran yang sembrono.
Sedang contoh yang kedua adalah ketika pada suatu saat, teori sains yang berlaku dianggap cocok dengan suatu ayat, lalu beberapa abad kemudian eksperimen membuktikan bahwa teori tadi keliru atau tidak lengkap, lalu orang cenderung menolak penemuan baru itu dengan alasan tidak sesuai dengan Qur’an. Hal seperti ini terjadi di abad pertengahan di kalangan gereja di Eropa, yang menolak teori heliosentris dari Copernicus dan Galileo, karena dianggap bertentangan dengan dogma al-Kitab bahwa bumi adalah pusat perhatian Tuhan. Hal serupa – walaupun dalam skala yang lebih kecil – juga terjadi di beberapa kalangan umat Islam. Sebagai contoh: ketika di Qur’an disebutkan adanya 7 buah langit,
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (Qs. 41-Fussilat:12)
Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala. (Qs. 67-al Mulk:5)
ada sejumlah orang yang kemudian menafikan perjalanan ke bulan atau ke planet-planet, apalagi bila itu dilakukan orang-orang kafir yang dianggap temannya syaitan. Kita tentu ingat bahwa “planet” seperti Venus atau Mars dalam bahasa Arab akan disebut “bintang”. Mungkin di sini tafsir kita yang perlu direvisi.
Religiousitas di kalangan Ilmuwan
Bagi orang yang menekuni sains dan al-Quran, akan didapatkan banyak ayat yang menyentuh suatu cabang sains – yang baru bisa dikenali sebagai sains setelah zaman modern. Karena saya mempelajari geodinamika, saya amat tersentuh dengan ayat seperti berikut:
Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan…(QS 27 – an-Naml:88).
Tersentuhnya adalah bahwa fakta pergerakan benua beserta gunung-gunung di atasnya beberapa decimeter pertahun baru diketemukan abad-20. Darimana Rasulullah, yang hidup 14 abad yang lalu, bisa mengetahui fenomena ini, kalau bukan Yang Maha Berilmu yang memberitahunya?
Hal serupa akan ditemui oleh orang astronomi, biologi, oceanologi dan sebagainya. Pertanyaannya, mengapa tidak semua saintis kemudian menjadi religious?
Jawabannya: tidak cukup hanya mengenal keberadaan Tuhan. Seperti tidak cukupnya kita ketika sadar punya boss, namun tidak tahu apa visi-missi boss, dan juga tidak tahu apa yang membuat boss senang atau marah.
Mereka menganggap persoalan Tuhan ini persoalan pribadi, bahkan bisa-bisa justru “menyalahkan” Tuhan ketika dilihatnya Tuhan “tak berbuat apa-apa” ketika ada ummat-Nya yang menderita, tertindas, lapar atau sakit.
Mereka mungkin akan menyembah Tuhan dengan suatu cara yang menurutnya paling rasional. Mereka gagal memahami kemauan boss – karena mereka berhenti dengan tahu bahwa ada boss, namun tidak mencari tahu, siapa orang kepercayaan boss yang pantas mereka jadikan rujukan dan juga teladan.
Wajarlah, bahwa dalam Islam dituntut dua jenis pengakuan: dikenal dengan syahadat Tauhid dan syahadat Rasul. Tanpa mengikuti Rasul, pengenalan keberadaan tuhan tidak akan banyak berbuah, karena kita tetap belum tahu hidup kita mau dikemanakan. Jadinya kita tidak tahu bahwa Tuhan akan menolong orang-orang yang tertindas atau lapar atau sakit itu melalui tangan-tangan kita. Kita akan terinspirasi untuk melakukan upaya itu setelah mengkaji manual yang diberikan Tuhan via para Rasul. Di situlah kita tahu, bahwa kita hidup sebagai agen, untuk sebuah missi pada sautu lahan yaitu planet bumi ini.
Integrasi Sains & Islam pada Pendidikan
Dengan mengetahui seluruh “duduk perkara” sains dan Islam di atas, tampak bahwa hakekat persoalannya adalah memadukan agar pada setiap aktivitas kita, setelah ada kerja keras dari kekuatan tubuh kita, ada kerja cerdas berdasarkan sains dan kerja ikhlas berdasarkan Islam.
Dalam dunia pendidikan, yang biasanya akan dikembangkan pada seorang anak didik adalah olah fikirnya (kognitif), sikapnya (afektif) dan life-skill-nya (psikomotorik). Di sinilah perlu penelaahan yang mendalam agar di setiap aspek ada muatan sains dan Islam secara sinergi. Bahkan lebih jauh lagi, beberapa mata pelajaran bisa dipadukan sehingga tercipta suatu fokus yang berguna secara praktis.
Sebagai contoh: Mengajarkan masalah air.
Kita bisa membahas mulai dari soal siklus air (IPA/fisika). Agar terkesan, bahasan bisa dilakukan di tepi kolam atau sungai. Di situ sekaligus ada pengetahuan tentang IPS/geografi. Kemudian bagaimana manusia berbagi air (matematika). Lalu bagaimana hukum-hukum Islam yang berkait dengan air (thaharah, hadits “manusia berserikat dalam air, api dan padang gembalaan”). Dan terakhir siswa diminta membuat karangan tentang bagaimana menjaga sumberdaya air (bahasa Indonesia / bahasa Inggris).
Contoh lain: mengajarkan masalah tuas.
Tuas atau pengungkit umumnya diberikan dalam pelajaran fisika (IPA). Kenapa tidak melakukannya di tukang beras yang punya timbangan, sekaligus mengenalkan pasar (IPS). Lalu anak-anak diminta menghitung berapa Rupiah yang dibayarkan bila yang dijual sepuluh kilo beras dan dua kilo gula pasir (matematika). Lalu diberikan hukum-hukum Islam tentang larangan mengurangi timbangan (agama). Dan terakhir: buat karangan tentang bagaimana agar pasar tampak rapi dan nyaman (bahasa).
Dalam cakupan yang lebih mikro, kita bisa pula memasukkan motivasi Islam ke dalam semua kajian sains. Konon Imam al-Khawarizmi ingin mengembangkan persamaan-persamaan aljabar karena ingin menyelesaikan persoalan pembagian waris dalam Islam yang akurat.
Seorang pendidik muslim dapat membuat contoh-contoh yang amat relevan dengan sisi peran murid sebagai siswa/siswi muslim.
Misalnya: untuk matematika geometri, bisa dibuatkan contoh untuk menghitung tinggi masjid atau luas areal yang diperlukan untuk membangun masjid.
Untuk pelajaran fisika mekanika bisa dibuat soal berapa sudut lontaran meriam untuk dapat mencapai benteng kafir penjajah.
Untuk pelajaran kimia titrasi bisa dibuat soal berapa cc larutan yang harus disediakan – sampai warnanya berubah – untuk mendeteksi adanya lemak babi.
Demikianlah, masih banyak hal yang bisa dilakukan oleh para pendidik muslim. Islam menjadi ontologi, epistemologi dan aksiologi dari semua aspek sains, dan pada gilirannya, sains yang dipelajari semua terasa terkait dengan kehidupannya praktis sehari-hari.
Islam membumi. Sekolah jadi menyenangkan.
[1] Rachmat Taufiq Hidayat dkk: Almanak Alam Islami. Jakarta, Dunia Pustaka Jaya, 2000.
[2] Ahmad Y. al-Hassan & Donald R. Hill: Islamic Technology: an illustrated History. Unesco, 1986. (Terjemahan oleh Yulian Liputo: Teknologi dalam Sejarah Islam. Bandung, Mizan, 1993).
[3] Sigrid Hunke: Allah’s Sonne ueber dem Abendland. Frankfurt, Fischer, 1990.
[4] Yusuf Qardhawi: Metode & Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah. Bandung, Rosda, 1991.
[5] Julius Suriasumantri: Ilmu dalam Perspektif. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1983.
[6] Yusuf Qardhawi: Fikih Prioritas, Sebuah Kajian Baru. Jakarta, Robbani Press, 1996.
[7] Darell Huff: How to Lie with Statistics. New York, W.W. Norton, 1960
[8] Franz Nuscheler: Lern- und Arbeitsbuch Entwicklungspolitik. Bonn, Verlag Neue Gesselschaft,1987.
Tulisan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Sabtu 8 Januari 2005.
KATA Tsunami tiba-tiba menjadi akrab bagi kita. Namun saya terus terang sangsi, apakah keakraban ini akan membuahkan perubahan sikap kita yang selama ini relatif cuek dengan alam, dengan moral dan dengan ilmu pengetahuan.
Kalau kita bercermin pada media massa yang lebih suka ‘bersendagurau’ dengan aneka kontes bintang (AFI, KDI, Indonesian Idol, Penghuni Terakhir,… ) dan baru pasca bencana tanpa putus menayangkan Indonesia Menangis – itupun tidak semua stasiun, kita koq perlu pesimis. Bisa saja akan banyak peristiwa lain yang mengalihkan perhatian kita (bencana di daerah lain atau hiruk pikuk Pilkada). Apakah Aceh akan terlupakan? Atau kongkritnya apakah dari Tsunami ini tidak kita ambil hikmah? Karena Tsunami bisa saja menyambar daerah lain, dan bencana tidak cuma tsunami!
Kalau kita tidak mau mengubah diri kita, yakni pikiran dan perasaan kita dalam memandang dan menyikapi hidup ini, maka nasib kita tidak akan berubah. Nanti ketika ada bencana lagi, dan mungkin langsung mengenai kita, kita akan tetap terbirit-birit, panik, tak ada koordinasi dan kerugian bisa jadi jauh lebih besar. Tak salah Allah berjanji: sesungguhnya Dia tak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka (QS 13:11).
Antara Amanah dan Ikhtiar
Sikap terbijak pertama adalah memandang pada hakikatnya semua ini milik Allah dan kita hanya mendapat amanah untuk menjaga dengan hak guna sesuai ketentuan-Nya. Jika titipan itu diambil kembali oleh pemiliknya, semestinya kita bersyukur, karena tanggungjawab kita berkurang. Meski begitu di dalam hak guna itu juga terkandung kewajiban untuk memaksimalkan ikhtiar. Ikhtiar ini meliputi pasca maupun pra-bencana.
Ikhtiar pasca-bencana meliputi aktivitas yang akut (pertolongan korban, penguburan jenazah, rehabilitasi infrastruktur dansebagainya) berikut hal-hal yang terkait (dana, sarana transportasi dan alat berat, logistik, petugas dan relawan) maupun aktivitas jangka panjang (terapi mental, pengasuhan anak yatim, pencarian orang hilang, hingga revitalisasi kehidupan ekonomi).
Sedang ikhtiar pra-bencana berusaha mencegah agar bencana ini tidak terulang lagi, di manapun. Memang tak ada manusia mampu mencegah tsunami, seperti juga tak ada yang mampu meramal kapan gempa. Gempa dengan magnitudo 9 Skala Richter memang mungkin hanya terjadi seribu tahun sekali, tapi apa lantas kita tak ada antisipasi?
Banyak cara agar Tsunami tidak menimbulkan korban dan kerusakan yang besar. Ikhtiar itu antara lain: tata ruang yang tepat (sehingga zone rawan tsunami tak menjadi pusat kegiatan ekonomi dan sosial), pembuatan peredam tsunami (pemecah ombak, hutan mangrove, tanggul pantai), sistem peringatan dini (karena dari gempa ke tsunami ada selang waktu setengah hingga beberapa jam), pembuatan tempat-tempat evakuasi aman yang dapat dijangkau dalam setengah jam, pelatihan masyarakat secara terjadwal untuk menghadapi kondisi darurat dan adanya sistem-sistem antisipasi bencana (meliputi sistem informasi, SOP, posko). Sehingga ketika bencana itu tiba, pertolongan mudah terkoordinasi.
Di sinilah pemerintah wajib berperan. Kalaupun Pos Peduli Aceh tumbuh seperti jamur (dan kadang tidak transparan), pemerintahlah yang seharusnya memiliki inisiatif, mengoptimalkan instrumen yang dimilikinya. Pemerintah bisa menggerakkan TNI dan Polri dari manapun di Indonesia. Pemerintah bisa juga memobilisasi alat-alat berat atau transportasi milik swasta atau bahkan meminjam dari luar negeri. Pemerintah juga bisa mewajibkan semua media agar membantu. Dia bisa pula melarang hura-hura tahun baru, di saat ada penderitaan yang luar biasa.
Pemerintah juga memiliki dana sarana dan birokrasi untuk mengimplementasikan hasil-hasil riset. Riset Tsunami di Indonesia sudah sering dilakukan, namun hasilnya cuma masuk perpustakaan. Sayang dengan expertise yang sudah dikumpulkan oleh lembaga-lembaga seperti Bakosurtanal, BMG, ITB, BPPT dan sebagainya. Bakosurtanal sudah melakukan riset geodinamika sejak 25 tahun. Riset ini bahkan menarik banyak peneliti dari luar negeri, dan sebagian malah didanai dari mereka. BMG punya Pusat (Studi) Gempa Nasional. ITB punya software untuk menghitung gempa dan tsunami. Dan Balai Penelitian Dampak Bencana BPPT punya Lab Teknik Pantai di UGM yang biasa melakukan simulasi tsunami untuk studi perlindungan pantai. Mereka juga telah mengembangkan sistem informasi geografis yang bisa dengan cepat menghitung berapa kerugian materi yang ditimbulkan oleh suatu gempa-Tsunami dengan magnitudo dan jarak episenter tertentu.
Sayang riset semacam ini malah cenderung mudah dipangkas, konon karena ‘tidak jelas manfaatnya’. Orang sering bertanya-tanya, buat apa geodesi & geodinamika yang memasang GPS-permanen dan mengukur gerakan kerak bumi dengan akurasi sub-milimeter? Padahal riset ini antara lain akan menunjukkan zona rawan gempa.
Antara Persatuan dan Peradaban
Kita ikut sangat bersedih dengan musibah Aceh. Penggalangan bantuan yang paling kolosal dalam sejarah Indonesiapun muncul. Perasaan ini tidak muncul ketika kota Bam di Iran rata oleh gempa serupa. Juga tidak muncul saat kota Fallujah di Iraq dihajar oleh bom-bom Amerika.
Bisa demikian, karena Aceh masih senegara dengan kita. Andaikata GAM sudah melepaskan Aceh dari Indonesia, mungkin kita akan lebih ‘masa bodoh’. Bangsa lainpun juga demikian dalam memandang kita. Maka, meski dari berbagai negeri Muslim (terutama yang kaya minyak) bantuan mengalir, nilainya tentu tak akan sesignifikan dengan andai mereka satu negara dengan kita.
Maka musibah Aceh ini mengajari kita, bahwa adalah kepentingan kita semua, agar negeri-negeri Muslim bersatu di bawah satu kepemimpinan, seperti di zaman Khilafah Rasyidah. Dengan itu kita akan maksimal dalam saling menanggung dan mengisi kekurangan kita. Barangkali Allah memberi musibah di wilayah ‘ter-Islam’ negeri ini, untuk mengingatkan kaum muslimin sedunia, bahwa mereka itu satu tubuh. Mereka menyembah Tuhan yang sama, mengikuti Nabi yang sama, membaca Kitab yang sama, salat ke Kiblat yang sama dan pergi haji ke tempat yang sama. Untuk apa sekat-sekat nasionalisme memisahkan mereka?
Bencana ini adalah cara Allah memuliakan manusia. Korbannya akan dimuliakan dengan kesabaran dan baik sangkanya kepada Allah. Sedang yang hidup dimuliakan dengan darmanya menolong sesama, dan ikhtiarnya di masa selanjutnya. Boleh jadi kamu benci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu suka sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Qs. 2:216)
Mereka juga telah membuktikan, bahwa selain amal kebajikan yang melekat di dalam dada, apapun bisa lenyap seketika. Bencana ini juga cara Allah untuk ‘mengocok’ kartu nasib. Orang-orang yang di masa lalu telah punya ‘segalanya’, tiba-tiba kehilangan semuanya. Harta hanyut, rumah roboh, kendaraan hancur, keluarga tewas semua, ijazah lenyap – bahkan sekolah yang mengeluarkannyapun hilang dan guru-gurunya entah bagaimana. Hal yang sama terjadi dengan surat tanah, kertas saham dan polis asuransi. Orang-orang itu kini kembali dari nol lagi. Sebaliknya orang-orang yang sebelumnya belum memiliki apa-apa mungkin punya kondisi re-start yang lebih baik, karena mereka tak perlu sangat menangisi apa yang hilang.
Kalau Allah mau, musibah itu bisa hadir di tempat kita, mungkin berupa longsor, gunung meletus, angin ribut, kecelakaan lalulintas, kerusuhan atau teror. Bila saat itu kita sedang jauh dari syari’at atau sedang maksiat, habis kita dunia akherat. Maka mestinya kita selalu siap mati dalam keridhaan Allah. Kita harus selalu di jalan syari’at. Dan para penguasa punya kewajiban syari’at lebih banyak dari rakyatnya.
Mereka wajib mengatur politik, ekonomi, pendidikan, pertahanan dan hubungan luar negerinya sesuai syari’at. Kemudian rakyatnya yang masih hidup, segar bugar, banyak harta, banyak ilmu, bisa tertawa, juga punya kewajiban yang lebih besar dari para pengungsi Aceh, yang kini tak punya apa-apa lagi, bahkan sudah sulit untuk tertawa. Marilah kita tarik hikmah dari Tsunami ini. q – m
*) Dr Ing Fahmi Amhar, Ahli geodesi, Peneliti di Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional-Bakosurtanal.