Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal
Bencana apapun, gempa, tsunami, erupsi gunung berapi, banjir, lumpur panas dan sebagainya akan meninggalkan setumpuk pekerjaan rumah. Sekian orang meninggal, yang lain luka-luka atau mengungsi. Sekian orang kehilangan mata pencahariannya. Sekian anak putus sekolah. Sekian kekasih kehilangan yang dicintainya, menjadi yatim atau janda.
Di antara PR itu yang kurang mendapat perhatian adalah masalah pertanahan. Filosofinya: orang yang telah menderita itu sebaiknya jangan ditambah lagi dengan kehilangan hak-hak atas tanah miliknya.
Di Aceh, sekian ratus hektar tanah, setelah tsunami tiba-tiba menjadi bagian dari laut, setelah ketinggiannya kini lebih dari semeter di bawah muka laut rata-rata. Di beberapa tepi sungai di Sulawesi yang belum lama ini banjir, sekian tanah dan bangunan di atasnya terkena erosi, sehingga kini penghuninya yang masih hidup tak tahu lagi, di mana harus membangun kembali. Di lereng Merapi, sekian petani tiba-tiba mendapatkan sawah atau kebunnya telah menjadi padang batu lava. Di Sidoarjo, ribuan orang kehilangan rumah dan sawahnya yang tergenang lumpur panas, tanpa tahu kapan mereka dapat kembali hidup seperti semula.
Sebenarnya peristiwa kehilangan tanah ini tidak hanya terjadi saat ada bencana. Bisa pula ini karena politik kehutanan atau pertambangan yang belum peduli rakyat kecil, terutama yang hidup dalam masyarakat adat. Di banyak tempat di Sumatera, Kalimantan dan Papua, ratusan masyarakat adat tiba-tiba kehilangan akses ke hutan yang sudah mereka huni berabad-abad, bahkan sejak sebelum adanya Republik Indonesia. Tiba-tiba tanah-tanah mereka itu dinyatakan sebagai tanah negara, lalu diserahkan kepada pengusaha HPH, perkebunan sawit atau pertambangan.
Pertanyaannya, bagaimana solusi pekerjaan rumah ini, dan siapa yang harus melaksanakan solusi ini?
Berbeda dengan asset lainnya, tanah adalah barang tak bergerak yang juga bukan buatan manusia. Secara adat dan juga menurut syariat Islam, manusia berhak atas tanah yang dia hidupkan. Maksud “dihidupkan” misalnya dibuat bangunan atau dikelola sehingga produktif. Asal muasalnya, tanah di dunia ini bukan milik siapa-siapa. Ia hanya milik Sang Pencipta.
Baru sejak adanya hukum positif yang diterapkan Belanda, tanah yang bukan milik pribadi dinyatakan sebagai milik negara. Pribadi yang ingin memiliki tanah dari tanah negara itu, wajib memohon dan membayar Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Mereka lalu mendapat secarik surat dan membayar Pajak Bumi dan Bangunan. “Lumayan”. Tanah yang tadinya tidak menghasilkan “apapun”, kini menghasilkan – minimal – pajak.
Banyak dampak dari politik pertanahan ini. Di daerah-daerah terpencil, masyarakat adat menjadi terancam eksistensinya, karena tiba-tiba tanah-tanah mereka – yang jelas belum bersurat itu – tiba-tiba diklaim oleh pengusaha yang telah membayar biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan.
Pengusaha yang mendapatkan tanah itu secara legal, terkadang hanya menjadikan tanah-tanah itu objek jarahan – ketika masih ada kayunya – atau spekulasi. Kalau ini terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab, tentu tanah yang ditelantarkan seperti ini akan ditarik lagi oleh negara untuk diberikan kepada orang lain yang lebih mampu mengelolanya.
Sementara itu, di daerah-daerah yang lebih ramai, orang sudah agak lupa asal muasal kepemilikan tanah adalah seperti itu. Di bayangan banyak orang, tanah hanya dapat dimiliki dengan cara dibeli atau diwarisi. Walhasil ketika tanahnya hilang oleh bencana, mereka jadi putus asa.
Sesungguhnya, tanah-tanah korban bencana, bila itu sudah mustahil direstorasi, selayaknya dideklarasikan menjadi milik umum, dan kepada yang bersangkutan diberikan ganti rugi yang sesuai, sehingga dapat bereksistensi seperti sedia kala. Kenapa dijadikan milik umum, hal itu karena tanah itu dipandang sebagai buffer bagi kemaslahatan umum, buffer dari erosi, erupsi gunung berapi, tsunami dan sebagainya.
Sedang bila tanah itu bisa direstorasi, misalnya tanah bekas tsunami direklamasi lagi, tentu saja pemilik sebelumnya lebih berhak, tentunya setelah pekerjaan reklamasi itu dibayar dengan sepadan.
Dalam hal ini, status kepemilikan tanah perlu diperluas dari dua macam (milik pribadi – milik negara) menjadi tiga macam (milik pribadi – milik negara – milik umum). Tidak selayaknya negara mengalihkan kepemilikan negara kepada pribadi / swasta, ketika tanah itu sebenarnya milik umum, kecuali dipastikan tidak ada hak umum yang dilanggar. Jadi aspek ekologis, sosial, termasuk hak masyarakat adat harus diperhatikan. Sementara itu tanah pribadi dapat dijadikan milik umum setelah dibayar ganti ruginya, atau bila oleh pemiliknya telah diwakafkan. Karena itu sudah saatnya pendataan tanah yang ada di negeri ini terintegrasikan.
Selama ini, ada dua institusi pendaftar tanah di Indonesia. Pertama Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk tanah milik. Kedua Departemen Kehutanan yang mendaftar tanah hutan. Data luas tanah dari kedua lembaga ini bila dijumlah akan jauh lebih besar dari luas resmi seluruh daratan Indonesia saat ini. Ini indikasi banyak tumpang tindih karena sistem yang kusut dan administrasi yang tidak rapi.
Semoga bencana yang bertubi-tubi menggugah segenap pihak – terutama pemerintah – untuk membenahi sistem pertanahan negeri ini. Agar mereka korban bencana tidak terus gigit jari disuguhi mimpi.
Qur’an berkata: Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi dan memperhatikan akibat (perbuatan) orang-orang sebelum mereka. Orang-orang itu lebih kuat dan telah mengolah dan memakmurkan bumi lebih banyak dari mereka. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan bukti-bukti yang nyata (namun mereka mengingkarinya). Maka Allah sekali-kali tidak zalim kepada mereka, tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri. (Qs. 30 ar-Rum:9)
Tulisan ini dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 2 Agtustus 2006
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal
Di Yogya erupsi Merapi disusul gempa. Setelah gempa terus tsunami. Di Kalimantan ada banjir, tetapi di Sumatra ada kekeringan dan kebakaran hutan. Di Sidoarjo lumpur panas belum selesai, disusul gas liar di Bojonegoro.
Ini yang besar-besar. Yang kecil-kecil tidak kurang. Ada longsoran gunung sampah di Cimahi, ada pohon-pohon raksasa yang patah terkena hujan angin di Bogor, ada perkampungan yang tiba-tiba miskin setelah pusat mata pencahariannya digusur. Di Jakarta yang konon uang lebih mudah didapat, kasus kejahatan juga lebih besar.
Lama-lama orang suka berpikir, “Adakah tempat yang benar-benar adem ayem kerta raharja, gemah ripah loh jinawi?”. Kalau di Indonesia tidak ada, adakah di luar negeri? Kalau begitu apa tidak salah bila kita pindah saja ke sana …
Jawabannya ternyata membikin ngilu: tidak ada! Tidak ada tempat di dunia ini yang benar-benar tanpa masalah. Jepang, negara paling makmur di dunia, itu juga berhadapan dengan gempa, tsunami dan taifun. Canada, negara sangat luas dengan penduduk sedikit itu sering terancam oleh badai salju dengan suhu minus 40 derajat. New Zealand negara yang jumlah dombanya sepuluh kali lipat manusianya, terancam oleh lubang Ozon yang semakin besar dan berakibat meningkatnya penderita kanker. Di Swiss, negeri Alpen yang amat terkenal produk susunya, dan sudah ratusan tahun tidak terlibat perang, berhadapan dengan masalah ledakan penduduk lanjut usia.
Benar kata Qur’an: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh; Dan jika mendapat kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa bencana mereka mengatakan: “Ini gara-gara kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. (Qs. 4-an-Nisa:78)
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. (Qs. 67-al-Mulk:1-2)
Jadi yang perlu dicemaskan bukan potensi bencana itu sendiri, tetapi apa yang kita perbuat atasnya.
Kalau dulu guru dan orang tua kita mendoktrin anak-anak bahwa “kita harus banyak bersyukur kepada Tuhan, karena tanah air kita adalah negeri yang kaya sumberdaya alam”, maka mestinya sekarang dibalik, “Nak, Tuhanmu akan selalu menguji kita siapa yang terbaik amalnya. Negerimu ini amat banyak masalahnya, banyak daerah rawan bencana, banyak kemiskinan dan kejahatan, maka kamu harus rajin beribadah, banyak belajar dan bekerja keras ya nak!”.
Itu tugas setiap insan negeri ini secara individual. Kalau tugas pemerintah tentu tidak cuma itu. Mereka punya kekuasaan lebih. Mereka juga digaji besar – bahkan suka”tanduk” sendiri – jadi ya tentunya kontribusinya harus lebih.
Salah satu yang dapat dikerjakan pemerintah di semua level adalah melakukan pemetaan daerah rawan, agar masyarakat lebih “aware”. Dulu, sebelum banyak tsunami, yang sering dibuat adalah peta rawan longsor. Mungkin karena paling mudah, cukup melakukan analisis tumpang susun atas data lereng, tanah, vegetasi dan curah hujan.
Peta rawan tsunami pernah juga dibuat. Bahkan suatu proyek di BPPT pernah sampai menghitung, kalau tsunami menghantam suatu kota, berapa kerugian materiilnya. Sayang belum disimulasikan ke seluruh kota sepanjang patahan lempeng.
Peta semacam ini jelas perlu data topografi yang rinci. Ini tidak selalu tersedia. Peta dari UNOSAT (lembaga PBB untuk pemanfaatan citra satelit bagi kemanusiaan) tentang daerah rawan erupsi Merapi menggambarkan bahwa lahar akan mencapai kota Yogya dan Solo. Mungkin mereka tidak sengaja ngawur, hanya data yang dimiliki terlalu kasar.
Beberapa tahun lalu, kantor Seswapres pernah membuat Peta Kemiskinan. Saya usul agar peta itu ditingkatkan menjadi Peta Rawan Kemiskinan. Artinya, ada daerah-daerah yang sekarang ini tidak miskin. Namun cadangan kapital di sana begitu minim, sehingga begitu ada bencana, atau ada kebijakan publik yang tidak populer (kenaikan BBM, impor beras), maka tiba-tiba penduduk di daerah itu jatuh miskin.
Di sepanjang jalan utama kota-kota kita juga bisa rawan. Kalau rawan kecelakaan lalu lintas atau rawan kecopetan, ini perlu analisis dari data sosial. Namun ada juga yang lebih sederhana: rawan kejatuhan pohon yang patah! Banyak jalur utama yang ditanami pepohonan yang gampang tumbuh, daunnya rimbun dan tidak berbuah (supaya tidak dipanjat orang). Namun pohon semacam ini setelah sekian tahun mulai getas, kena hujan angin bisa patah. Kalau patah dan menimpa orang, ya bisa saja orangnya mati. Di Kebun Raya Bogor hal ini pernah terjadi. Karena itu, mestinya di level pemerintah daerah juga ada pemetaan pohon-pohon rawan patah …
Kalau yang kecil-kecil seperti ini sudah dikerjakan, maka untuk yang besar-besar tentunya akan lebih mudah, karena sudah belajar. Tetapi nanti yang besar-besar harus diprioritaskan. Kata Qur’an:
Jika kamu menjauhi kesalahan-kesalahan besar di antara yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kecilmu dan Kamu masukkan kamu ke tempat yang mulia. (Qs. 4-an-Nisa’:31)
Tidak ada yang lebih kecil dan tidak yang lebih besar daripada itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Qs. 10-Yunus:61)
dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 21 Juni 2006.
oleh Dr Ing Fahmi Amhar
PEKAN pertama gempa di Yogyakarta tempo hari, banyak korban mengeluhkan bahwa “pemerintah adanya seperti tidak ada”. Meski bantuan masyarakat cepat mengalir dari segala penjuru tanah air, namun bantuan itu seakan tertumpuk di beberapa instansi, sementara korban yang datang minta bantuan dihadapkan pada birokrasi yang berbelit. Agak aneh juga, sepertinya aparat tidak tahu bahwa di banyak tempat, seluruh rumah rata dengan tanah, termasuk rumah Pak RT, Pak RW atau Pak Kades sendiri.
Di Porong Sidoarjo, kejadian seperti ini terulang. Meski lumpur panas yang bercampur gas racun asam sulfida (H2S) dan mengandung phenol sudah keluar sejak beberapa minggu yang lalu, perhatian elite negeri ini justru ke soal ormas-ormas Islam radikal yang konon suka anarkhis, termasuk ‘anarkhis pemikiran’, sehingga membahayakan Pancasila dan NKRI. Padahal sejak Soeharto lengser delapan tahun lalu, sepertinya rakyat sudah kurang tertarik lagi pada tema ‘awang-awang’ yang jarang ada contoh dan kenyataannya seperti itu. Bagi mereka, solusi riil masalah sehari-hari jauh lebih mendesak. Termasuk pertolongan untuk ribuan orang di Sidoarjo yang sawah atau pabriknya terendam lumpur sehingga masa depan mereka tidak menentu.
Rupanya di kalangan birokrasi, kebiasaan proaktif ini masih langka. Padahal menurut Stephen Covey dalam buku yang bestseller dunia, ‘The Seven Habits of Highly Efective People’, proaktif adalah kebiasaan pertama yang harus dibangun sebelum kebiasaan-kebiasaan yang lain. Proaktif adalah pilihan seseorang, apakah dia akan menyerah pada kondisi eksternal yang tidak dia kuasai (takdir), atau dia berbuat maksimal dalam peluang-peluang yang masih tersisa baginya.
Andaikata pemerintah kita proaktif, begitu gempa besar terjadi, akan segera dia kerahkan TNI untuk membantu mengatasi keadaan. Lupakan sementara soal dwifungsi TNI. Bagaimanapun juga, di negeri ini TNI adalah organisasi yang paling rapi, berfasilitas terlengkap serta amat terlatih menghadapi situasi darurat seperti perang, dan ini bisa dimanfaatkan untuk mengatasi bencana.
Andai pemerintah kita proaktif, begitu Pemkab Sidoarjo tidak sanggup mengatasi lumpur panas dalam 3×24 jam, semestinya tanggungjawab itu langsung diambil alih pemprop dan begitu pemprop juga tidak bisa mengatasi dalam 3×24 jam, pemerintah pusat segera ambil alih. Mereka tidak perlu menunggu laporan berulang di media massa – yang itupun kadang masih dikilah, “Belum dapat laporan resmi”. Mereka juga tidak perlu menunggu ada konflik horizontal antar-warga yang saling berebut tanggul. Kalau mereka dalam 3×24 jam juga tak sanggup mengatasi keadaan, mereka wajib segera memanggil ahli-ahli perminyakan dunia yang biasa mengatasi semburan liar. Semburan liar, apakah itu minyak mentah atau gas, bukanlah barang baru di dunia perminyakan. Retakan bumi bisa saja membuat suatu pengeboran berantakan. Tentu saja PT Lapindo Brantas tidak sengaja membuat keonaran ini. Dia hanya berada di tempat yang salah pada saat yang salah dan bereaksi salah. Mestinya, setiap perusahaan yang diberi izin eksploitasi migas, memang sudah teruji memiliki pengetahuan dan fasilitas untuk menghadapi kondisi terburuk, termasuk semburan liar. Ini yang harus diteliti oleh BP Migas, KLH beserta kepolisian. Jadi jangan cuma mau enaknya saja dikasih ‘sumur emas hitam’.
Andaikata pemerintah kita proaktif, isu-isu semacam ini tidak perlu baru dibahas setelah bencana di pelupuk mata. Dia harus diantisipasi jauh-jauh hari. Itu saat ketika para peneliti berseminar ilmiah. Itu juga saatnya mereka sharing data, tanpa menunggu diminta. Apalagi bila itu data milik publik, yang pengadaannya dibiayai pajak. Data BMG, BPS, Bakosurtanal, LAPAN, LIPI, Geologi, dan sebagainya, itu sebaiknya tidak dianggap Rahasia Negara atau Rahasia Instansi. Itu data milik publik. Dengan teknologi internet sekarang ini, menyajikan data itu kepada publik sebenarnya sangat sederhana, bahkan kalau — maaf — belum dianggarkan sewa host sendiri, bisa nebeng pada situs-situs blog gratis yang daya tampungnya Giga Bytes, jadi tidak perlu biaya tinggi. Asal ada niat. Asal proaktif.
Dan andaikata kita semua – rakyat ini – proaktif, kita tentu tidak cuma bisa berdiam diri sambil mengumpat pemerintah. Kita bisa terlibat dalam aksi-aksi sosial – yang karena keterbatasan kita tentunya hanya sementara – dan kita juga bisa ‘ngithik-ithiki’ agar para pejabat pemerintah ikut proaktif. Kalau mereka tidak berani karena katanya “itu wewenang pejabat di atasnya”, kita bisa cross-check apa betul tafsiran mereka itu. Jangan-jangan hanya karena mereka malas, emoh proaktif. Kalau memang ada aturan yang keliru, ini bisa kita gugat, kita bikin clash action, kita bawa ke Mahkamah Agung atau ke Mahkamah Konstitusi, dan kita libatkan media. Di era reformasi ini sudah banyak yang seperti ini yang berhasil.
Proaktif adalah kebiasaan dalam diri kita. Tepatlah, kalau Allah berfirman “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Qs 13 – Ar Ra’ad:11).