Menyusul gempa 7.6 SR yang meluluhlantakkan kota Padang dan sebagian wilayah Sumatera Barat dan Jambi, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) telah mengirim peta-peta kawasan bencana ke wilayah bencana. Peta-peta yang terdiri dari peta rupabumi 1:10.000 sebanyak 41 nomor lembar peta, peta dinding Sumatera Barat, Bengkulu dan Jambi, Atlas Pariwisata dan peta Citra sebanyak 16 nomor ini akan digunakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam mengidentifikasi sebaran kerusakan untuk mempermudah tim penolong baik selama tanggap darurat maupun dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi nantinya. Peta-peta tersebut juga telah diupload pada website BAKOSURTANAL (www.bakosurtanal.go.id) untuk free-download, sehingga para pemberi bantuan dari seluruh dunia dapat menggunakan data spasial yang standar, yang lebih akurat dari data-data sejenis yang telah ada di internet. BAKOSURTANAL juga segera mengirim tim untuk membantu BNPB dalam menggunakan data spasial maupun Sistem Informasi Geografis untuk optimasi tanggap darurat. Tim ini juga akan meninjau ulang berbagai infrastruktur data spasial yang telah ada selama ini, yang tentu saja mengalami kerusakan berat akibat gempa. Tim juga akan mengukur ulang titik-titik kontrol geodetik yang kemungkinan telah bergeser beberapa puluh centimeter hingga beberapa meter akibat pergerekan lempeng bumi yang cukup signifikan dalam waktu beberapa detik selama gempa. Biasanya pergerekan lempeng ini hanya 4-6 centimeter per tahun.
Berdasarkan pengalaman tanggap darurat kebencanaan sejak gempa-tsunami di Aceh pada Desember 2004, BAKOSURTANAL telah memetakan ulang kawasan Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara dan kawasan pantai Barat Sumatera selebar tiga kilometer dalam rangka membangun Tsunami Early Warning System (TEWS). Namun rupanya, perhatian masyarakat selama ini terlalu tertuju pada tsunaminya, sedang antisipasi pada gempa berkekuatan besar, yang mestinya terwujud dalam bentuk penegakan aturan bangunan yang lebih ketat (Building Code) agak terabaikan. Semestinya, bangunan-bangunan di kawasan-kawasan yang telah teridentifikasi rawan bencana segera dievaluasi. Kalau bangunan itu terbukti belum memenuhi persyaratan dalam Building Code, maka bangunan itu segera direnovasi. Mungkin proses ini memang memakan biaya. Namun itu pasti lebih murah daripada ketika bangunan itu dirobohkan oleh gempa secara mendadak.
Perhatian pemerintah maupun masyarakat pada pemetaan kawasan bencana, baik selama masa pencegahan (mitigasi), masa tanggap darurat maupun masa rehabilitasi-rekonstruksi memang masih perlu ditingkatkan. Ini terbukti bahwa peta kebencanaan dalam Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana baru disebut dalam satu ayat tanpa penjelasan. Dan kewajiban itupun dibebankan kepada Pemerintah Daerah. Akibatnya, baru sebagian kecil daerah yang dapat berbuat sesuatu dalam memulai menyiapkan peta kawasan rawan bencana. Dari sisi landasan hukum, UU ini memang perlu segera diamandemen. BAKOSURTANAL beserta komunitas-komunitas geospasial, semisal RS-GIS-Forum, Ikatan Surveyor Indonesia dan Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia sedang berupaya keras agar masyarakat kita makin sadar spasial, sehingga juga makin sadar bencana. Saat ini Pemerintah melalui BAKOSURTANAL juga sedang menggodok RUU Informasi Geospasial, yang diharapkan akan membuat data geospasial lebih memasyarakat lagi.
Contact Person:
Dr.-Ing. Fahmi Amhar (0816-1403109)
Sekretaris Tim Geospasial Tanggap Darurat BAKOSURTANAL
Fax: 021-87906041, email: famhar@bakosurtanal.go.id, famhar@yahoo.com
Dr. Fahmi Amhar
Indonesia konon adalah negara yang “bukan-bukan”. Negara ini bukan negara sekuler, bukan pula negara Islam. Jadi bukan-bukan. Jaman Orde Baru dulu negara kita bukan demokrasi liberal, bukan pula diktator. Jadi bukan-bukan. Sistem republik kita juga bukan presidensil murni, bukan pula parlementer. Jadi bukan-bukan.
Kebingungan ini barangkali berhubungan dengan pola pendidikan tentang ketatanegaraan yang membosankan. Pada masa Orde Baru, ihwal tata negara dimasukkan dalam pelajaran Pendidikan Moral Pancasila atau Penataran P4. Kesan yang muncul: siapapun yang masih kurang sreg dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku akan di-stigma “tidak bermoral Pancasila”. Padahal siapakah moralis Pancasila sejati? Pada akhirnya sejarah melihat, Soeharto Sang Penggagas P4 tumbang setelah KKN-nya makin memuakkan rakyat.
Reformasi kemudian mengaduk-aduk tata negara. UUD 45 yang semula dianggap “suci” diamandemen beberapa kali. Hak-hak asasi manusia dipertegas. Otonomi daerah diperluas. Presiden dan Kepala Daerah dipilih langsung. Masa jabatan presiden dibatasi dua kali. DPR diperkuat. Komisi-komisi dibentuk. Dan Mahkamah Konstitusi dijadikan pemutus perbedaan tafsir konstitusional.
Meski demikian, proses ini sepertinya masih lama belum akan berakhir. Hak-hak asasi manusia membuat arus liberalisme menjadi-jadi. Hanya sedikit daerah yang terbukti sanggup memanfaatkan otonomi untuk menaikkan taraf hidup rakyatnya. Pemilu yang terlalu sering juga malah membuat rakyat jenuh, sehingga angka golput meningkat. DPR yang kuat justru membuat pemerintah gerah, karena tanpa dukungan DPR (misalnya dalam hal anggaran), agenda pemerintah akan macet. Dan Mahkamah Konstitusi dianggap tirani baru, karena 5 dari 9 hakim MK sudah cukup untuk membatalkan suatu Undang-undang yang disepakati 550 anggota DPR.
Jadi, dalam dua puluh tahun terakhir ini kita menyaksikan tata negara yang “membosankan” ala Orde Baru dan lalu “membingungkan” ala Reformasi. Mungkin persoalannya akan berbeda kalau kita gali ilmu ini seperti nenek moyang kaum muslimin melakukannya.
Tata negara sebagai amalan praktis – tak sekedar sebagai teori filsafat – sudah dipraktekkan sejak zaman sahabat. Mereka ditugaskan dalam berbagai pos, seperti sebagai gubernur, panglima, qadhi, bendahara baitul maal, penarik zakat, dan sebagainya. Para imam mujtahid juga pasti memasukkan bab siyasah dalam kitab-kitab fiqihnya.
Namun tata negara sebagai sebuah ilmu yang utuh dan sistematik adalah hasil tangan dingin Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi (972-1058 M). Beliau dikenal sebagai ahli tafsir dan fiqh madzhab Syafi’i; serta mendalami sastra, naskah kuno dan etika. Dia pernah bekerja sebagai qadhi di berbagai daerah di Iraq, juga sebagai utusan Khalifah ke berbagai penjuru negeri Islam.
Karya al-Mawardi yang paling monumental dan sudah menjadi klasik adalah kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyya w’al-Wilayat al-Diniyya (Kitab tentang sistem pemerintahan, wilayah dan agama). Selain itu ada juga menulis Qanun al-Wazarah (Hukum tentang para Menteri), Kitab Nasihat al-Mulk (Buku tentang Nasehat untuk Para Penguasa), dan Kitab Aadab al-Dunya w’al-Din (Buku tentang Etika Dunia dan Agama).
Al-Mawardi menulis bukunya berdasarkan realitas empiris pengalaman praktik pemerintahan yang beliau hadapi sebagai qadhi dan utusan khalifah, yang lalu dianalisis dan dikaitkannya sesuai persepsinya sebagai ahli fiqh. Dia termotivasi untuk menulis buku-bukunya itu agar para penguasa muslim di wilayah yang semakin luas itu, juga generasi sesudahnya, dapat semakin efektif menjalankan roda pemerintahan berdasarkan syariat Islam. Dalam banyak aspek al-Mawardi melakukan ijtihad sendiri atas persoalan yang memang di masa Nabi atau generasi sahabat belum ditemui, dan di sisi lain, dia juga melakukan adopsi atas hal-hal yang sifatnya teknis administratif pemerintahan – yang sejak masa Khalifah Umar bin Khattab – banyak ditiru dari Persia atau Romawi.
Dibandingkan misalnya pendapat Plato (360 SM) tentang “Republik” dalam bukunya Πολιτεία (Politea), pendapat-pendapat al-Mawardi terasa sangat revolusioner.
Al-Mawardi membahas rinci tata cara pengangkatan para pejabat dari khalifah hingga panglima, hakim dan petugas zakat; juga tentang jihad, pembagian harta negara (termasuk ghanimah dan fai); tentang status daerah, pertanahan, dokumen, pidana hingga hisbah. Banyak sekali apa yang ditulis al-Mawardi tetap dijadikan prinsip umum administrasi negara hingga zaman modern.
Sezaman dengan al-Mawardi adalah Abu Ya’la Muhammad bin al-Hasan bin Muhammad bin Khalaf bin al-Farra’ yang menariknya juga menulis buku dengan judul yang sama. Hanya saja, al-Mawardi ternyata lebih tua dari Abu Ya’la, dan bukunya terbit lebih dulu. Selain itu buku al-Mawardi juga menggunakan metode muqaranah (komparatif) antar pendapat fiqh berbagai mazhab yang dikenalnya, dan tidak hanya mengacu kepada satu mazhab tertentu, sementara Abu Ya’la hanya mengacu ke mazhab Hanbali.
Setelah al-Mawardi, ilmuwan besar yang menekuni tata negara adalah Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Bakr al-Ansari al-Qurtubi (1214 – 1273 M), seorang imam mazhab Maliki dengan karyanya yang terkenal Tafsir al-Qurtubi Al-Jami’ li Ahkam il-Qur’an, sebuah tafsir 10 jilid tebal dengan fokus tentang masalah hukum, termasuk hukum-hukum tata negara.
Kemudian kajian tata negara ini diteruskan Taqī ad-Dīn Abu ‘l Abbās Ahmad ibn ‘Abd al-Halīm ibn ‘Abd as-Salām Ibn Taymiyah al-Harrānī (1263 – 1328 M), yang antara lain menulis kitab al-Siyasa al-shar’iyya.
Seabad kemudian Jalaluddin as-Suyuti (1445-1505 M) menulis hampir 500 kitab, dan yang paling terkenal adalah Tarikh al-Khulafa yang mempelajari tata negara secara historis serta Al-Khulafah Ar-Rashidun tentang praktek kenegaraan ala empat khalifah pertama.
Selama mengacu kepada Islam, tata negara berdasarkan syara’, tidak akan membosankan. Negara khilafah baru redup ketika fiqh tata negara makin jarang dibicarakan, dan rakyat awam yang tahu makin sedikit. Ini berdampak makin memburuknya penerapan sejumlah hukum Islam. Zakat, kharaj atau jizyah memang terus dipungut, tetapi negara tidak lagi serius mendistribusikan pungutan itu kepada mereka yang berhak. Negara makin mengabaikan tanggung jawabnya terhadap rakyat. Akibatnya rakyat yang terdhalimi jadi mudah terprovokasi untuk disintegrasi. Mereka akhirnya jatuh ke pelukan penjajah.
Sekarang ketika khilafah sudah tiada, saatnyalah fiqh tata negara digali lagi dan diaktualisasi, untuk modal kebangkitan hakiki, agar kita tidak jalan di tempat, bingung menjadi bangsa dengan negara bukan-bukan.
Dr. Fahmi Amhar
Masa keemasan peradaban Islam sering diindikasikan dengan berbagai kemajuan pada bidang ilmu-ilmu agama (ushuluddin, tafsir, hadits, fiqih dan tasawuf) dan ilmu-ilmu alam atau sains (astronomi, matematika, fisika, kimia, kedokteran dan sebagainya). Pertanyaan yang kemudian muncul, di mana posisi ilmu-ilmu sosial?
Ilmu-ilmu sosial memang berbeda dengan sains maupun ilmu-ilmu agama. Sementara sains relatif netral dan ilmu-ilmu agama jelas bersumber dari Islam, maka ilmu-ilmu sosial sering tercampur aduk, antara kajian ilmiah dengan pandangan hidup. Ilmu sejarah atau sosiologi misalnya, sering hanya ditinjau dari sudut pemenang peradaban. Dalam dunia saat ini yang didominasi Barat, ilmu ini praktis memandang segala hal dari standar liberalisme. Demikian juga ilmu ekonomi. Berbagai cara pandang kapitalisme terhadap masyarakat, kemakmuran ataupun kebahagiaan dianggap dalil yang tidak dapat ditolak lagi.
Karena itu lebih tepat bila umat muslim mengembangkan sendiri ilmu-ilmu sosial ini agar tidak menjadi “anak tiri”, baik dari sisi ilmu sosialnya maupun dari kemuslimannya. Dan mereka memiliki sejumlah besar teladan di masa keemasan peradaban Islam.
Ilmu Sejarah termasuk yang paling awal dipelajari oleh para sarjana muslim. Abu Muhammad Abdul Malik Ibnu Hisyam (wafat 834 M) sudah menulis “Sirah Nabawiyah” (sejarah Rasulullah) sekaligus memulai suatu tradisi ilmu sejarah yang tidak sekedar menceritakan suatu peristiwa dari sudut pandangnya, tetapi juga melengkapinya dengan metode periwayatan, suatu hal yang diadopsinya dari ilmu hadits. Terobosan Ibnu Hisyam kemudian dilanjutkan sejarahwan muslim yang lain seperti Abul Hasan Ali ibn al-Husayn ibn Ali Al-Mas’udi (wafat 956 M) yang menulis karya agung “Muruj al-Zabab wa Muadin al-Jawhar” (Lahan Emas dan Tambang Mutiara) tentang kajian geografi sosial (termasuk sejarah, sosiologi dan ekonomi) bangsa-bangsa di dunia (dari Mesir, Romawi, Perancis, Persia, hingga India) yang pernah dikunjunginya.
Imam Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 903 H / 1498 M) menulis “Tarikhul Khulafa” (sejarah para khalifah hingga masanya). Dalam kitabnya itu dia menulis bahwa rujukannya adalah “Tarikh” karya Adz-Dzahabi yang berakhir pada 700 H, lalu “Tarikh” karya Ibnu Katsir yang berakhir pada 738 H, kemudian “Kitab Anbaa’ Al Ghumr” karya Ibnu Hajar al Asqalani yang berakhir tahun 850 H sedang dari masanya dia merujuk “Tarikh Baghdad” karya Khatib Al-Baghdadi sebanyak 10 jilid dan “Tarikh Dimasyq” karya Ibnu Asakir sebanyak 57 jilid.
Ilmu ekonomi, yang membahas berbagai hal teknis dalam urusan pertanahan, administrasi dan keuangan, sudah dimulai oleh Abu Hanifa an-Nu‘man (699-767 M), Abu Yusuf (731-798 M), Ishaq bin Ali al-Rahwi (854–931 M), al-Farabi (873–950 M), Qabus (wafat 1012 M), Ibn Sina (980–1037 M), Ibn Miskawayh (lahir 1030 M), al-Ghazali (1058–1111 M), al-Mawardi (1075–1158 M), Nasīr al-Dīn al-Tūsī (1201-1274 M), Ibn Taymiyyah (1263–1328 M) dan al-Maqrizi (1364-1442 M).
Abū al-Rayhān al-Bīrūnī (973-1048 M) sering disebut sebagai “antropolog pertama”. Dia menulis detail studi komparasi antropologi dari bangsa-bangsa, agama dan budaya di Timur Tengah, Mediteran dan Asia Selatan. Al-Biruni juga bapak dari Indologi – ilmu tentang India.
Dari semua ilmuwan sosial muslim, tidak diragukan bahwa yang terbesar adalah Ibnu Khaldun. Abū Zayd ‘Abdur-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami (1332 – 1406 M) dari Tunisia adalah seorang polymath yang menguasai banyak keahlian sekaligus; beliau adalah hafiz, fuqoha, astronom, geografer, matematikawan, sejarawan, sosiolog, ekonom dan negarawan. Bukunya yang paling terkenal adalah “Muqaddimah” (di Barat dijuduli “Prolegomenon”), yaitu juz pertama dari tujuh juz buku sejarah dunia universalnya “Kitab al-Ibar”.
Sejarawan terkenal Inggris Arnold J. Toynbee menyebut Muqaddimah adalah karya terbesar dalam filsafat sejarah yang pernah dibuat pikiran manusia sepanjang masa. Bahkan sejarawan Inggris lainnya, Robert Flint menulis bahwa Plato maupun Aristoteles belum mencapai jenjang keilmuan setaraf Ibnu Khaldun.
Di antara pemikiran jenius Ibnu Khaldun adalah ketika mendefinisikan pemerintahan sebagai “institusi pencegah kezaliman“ adalah teori terbaik dalam ilmu politik. Sedang konsep Ibnu Khaldun dalam meramalkan kegagalan ekonomi pasar dinilai sebagai dasar-dasar sosionomi (sosiologi-ekonomi).
Menurut Ibnu Khaldun, ada semacam siklus perubahan sosial yang pada momentum tertentu dapat berubah secara tajam. Idenya didasarkan pada tesis manfaat dari spesialisasi pekerjaan: semakin besar kohesi sosial, semakin berhasil pembagian kerja yang kompleks, maka ekonomi akan tumbuh semakin besar. Dia juga mencatat bahwa pembangunan memberikan stimulasi positif baik untuk supply dan demand dan ini adalah penentu dari harga barang dan jasa. Ibnu Khaldun juga mencatat kekuatan makro-ekonomi dari pertumbuhan populasi, pengembangan SDM dan perkembangan teknologi. Ibnu Khaldun berpikir bahwa pertumbuhan populasi adalah fungsi dari kemakmuran.
Dari hasil penelitiannya atas sejarah bangsa-bangsa terdahulu, Ibnu Khaldun menyimpulkan ada lima fase peradaban yang dialami oleh hampir setiap bangsa. Era pertama adalah era perintis, saat bangsa tersebut masih memiliki visi serta rela berjuang dan berkorban demi masa depan anak cucunya. “Investasi” di era perintis ini adalah yang terbesar. Era kedua adalah era pembangun, saat kesolidan bangsa tersebut telah menjadi modal untuk mengembangkan “asset”, baik dari segi cakupan pengaruh (wilayah, penduduk) maupun ekonominya. Era ketiga adalah era konservasi, saat mereka menjaga apa yang telah diraih, namun “investasi” yang dilakukan hanya sekedar untuk menggantikan yang hilang. Era keempat adalah era penikmat, saat “total asset” bangsa mulai berkurang dan “total investasi” negatif. Dan era kelima adalah era penghancur, saat bangsa itu praktis kembali mundur dan tak diperhitungkan lagi.
Era Rasulullah dan para shahabat dapat dianggap era perintis. Era khilafah hingga awal dinasti Abbassiyah adalah contoh era pembangun, dengan ditandai berbagai capaian-capaian besar dalam politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Masa yang panjang setelah itu adalah era taqlid. Tak banyak lagi futuhat maupun prestasi ilmu yang dapat dilihat. Abad terakhir Abassiyah adalah era penikmat, yang diikuti era kehancuran oleh datangnya pasukan Tartar ke Baghdad. Setelah itu kepemimpinan dunia berpindah ke bangsa Turki (Utsmaniyah). Mereka juga mengalami fase-fase yang sama. Dan apa yang diramalkan oleh Ibnu Khaldun yang hidup di awal dinasti Utsmaniyah ini, kemudian benar-benar terjadi.