Dr. Fahmi Amhar
Hizbut Tahrir (“Partai Pembebasan”) adalah sebuah fenomena politik Indonesia
yang unik. Dari seratus lebih parpol yang mewarnai pentas nasional sejak reformasi 1998, HT
adalah “partai” yang barangkali tertua. Didirikan 1953 di Jordania, HT dari
awal menyebut dirinya partai politik, bukan sekedar gerakan dakwah.
Sifatnya yang kosmopolit dan internasional, membuat HT berada di mana-mana.
Di Indonesia HT eksis dengan legalitas sebagai organisasi massa dengan nama HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Untuk memahaminya, berikut sekilas “yang unik” dari HT.
1. Da’wah Group – but also Political Party
HT adalah kelompok dakwah, yang diperintahkan menasehati siapa saja (QS
3:104), sedang yang paling berhak dinasehati itu adalah penguasa, yang
mengurusi segala masalah ummat (tanpa dibatasi). Maka dakwah seperti ini
bisa disebut aktivitas politik, dan kelompoknya bisa disebut partai politik.
2. Politics – but smart & make the people smart
Namun aktivitas politik HT adalah “high-politics” atau “smart and smarting
politics”. HT mendidik masyarakat agar sadar hak dan kewajiban islaminya,
sehingga mereka bisa mengawasi penguasanya, agar memerintah sesuai dengan
Islam. Bagi HT sudah cukup bahwa masyarakat bersama penguasanya berjalan
islami, tanpa harus berkuasa sendiri.
3. Political party – but extra parlementary
Meski HT adalah partai politik, namun HT memilih berjalan di luar parlemen.
Karena itu HT juga tidak berminat turut dalam Pemilu, sekalipun memiliki
massa yang banyak. Ini karena HT memandang, parlemen dalam sistem demokrasi
tidak sepenuhnya kompatibel dengan Islam, dan tidak akan mampu memberi jalan bagi
tegaknya Islam di manapun. Dan fakta sejarah di berbagai negara menunjukkan
bahwa perubahan yang revolusioner tidak pernah, tidak bisa dan tidak perlu
melalui jalan parlemen. Meski demikian HT membolehkan seorang muslim yang memperjuangkan Islam via parlemen untuk muhasabatul hukkam (menasehati penguasa) atau untuk menguak hukum-hukum atau perilaku penguasa yang bertentangan dengan Islam.
4. Revolutionary – but start in the mind
Meski HT mengidamkan perubahan revolusioner, namun itu bukan revolusi (ala)
sosialis. Revolusi yang dicitakan adalah revolusi pemikiran.
Pemikiran-pemikiran busuk di masyarakatlah yang menjadi sebab busuknya
sistem dan rusaknya para penguasa. Karena itu pemikiran busuk ini harus
digantikan dengan pemikiran Islam yang cemerlang, yang pada saatnya akan
mencerahkan masyarakat, sehingga mereka mampu memilih penguasa yang
tercerahkan. Pemikiranlah yang akan menggerakkan perubahan – bahkan
revolusi – di segala bidang (QS 13:11).
5. Social Change – but not forget Individu
Meski HT memperjuangkan perubahan masyarakat, namun ini tidak didrop dari
atas, ataupun didongkrak dari bawah (individu-individu). Masyarakat tidak
sekedar himpunan individu, namun individu-individu yang berinteraksi dan
diikat pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama. Karena itu HT mendidik
secara individual para kadernya, seraya bersama-sama melakukan interaksi ke
masyarakat untuk merubah opini umumnya. Bila kader-kader itu kebetulan
memiliki power, sementara opini umum juga sudah kondusif untuk Islam, maka
perubahan sistem akan berjalan mulus. Selanjutnya sistem baru yang islami
ini akan memacu islamisasi lagi, tanpa harus membuat semua orang menjadi
kader.
6. Fundamental – but not dogmatic
Sebagai gerakan yang merindukan tegaknya syariat Islam yang diyakini
satu-satunya alternatif mengatasi krisis multi dimensi, HT dapat dibilang
ada di kubu “fundamentalis”, atau “revivialis”. Namun demikian, HT bukan
gerakan dogmatis. Bahkan untuk masalah aqidah saja (untuk pertanyaan:
mengapa mesti percaya pada Islam?), HT menggunakan metode rasional semata.
Karena itu oleh sebagian gerakan lain -juga di kubu fundamentalis – HT
pernah disalahpersepsikan sebagai neo-mu’tazilah. Dalam fiqh, HT menelusuri
dalil secara mendalam, tanpa terbelenggu keharusan mengikuti madzhab
tertentu.
7. Syariat Islam – but not just “Jakarta Charter”
Meski menyerukan penerapan syariat Islam, namun berbeda dengan lainnya, HT
tidak terjebak pada sekedar usaha memasukkan Piagam Jakarta ke amandemen UUD
45, atau pada jargon piagam Madinah. HT justru mengusulkan suatu rancangan
konstitusi baru yang seluruh pasalnya diambil dari Islam, dan memandang
piagam Jakarta maupun piagam Madinah baru sebagian kecil dari syariat itu
sendiri. HT memandang syariat Islam sebagai solusi integral
(politik-ekonomi-sosial-budaya-hankam). Karena itu syariat tidaklah sekedar
hukum (=sanksi) Islam, seperti hukum potong tangan bagi pencuri atau rajam
bagi pezina. Dalam masalah ekonomipun, ekonomi syariat tidak sekedar ekonomi
anti riba plus zakat, namun lebih jauh mulai dari paradigma, teori
kepemilikan, teori harga, peran negara dsb.
8. Islamic State – but not theocracy
HT memandang, suatu negara yang menjalankan syariat Islam, dan keamanannya
dijamin oleh kaum muslim, adalah negara Islam. Namun negara itu bukanlah
theokrasi yang dikuasai para padri yang memerintah atas nama Tuhan. Negara
Islam adalah negara dunia, yang dihuni orang sholeh maupun orang jahat,
muslim maupun bukan. Dalam negara Islam, meski kedaulatan ada pada syara’,
namun kekuasaan ada pada rakyat, sedang manfaatnya ditujukan ke seluruh
alam.
9. Unity of Umma – but not unity of party
Negara hanya tegak bila kaum muslim bersatu. Namun menurut HT, persatuan
ummat tidak berarti harus menyatukan partai. Keberadaan banyak partai itu
sunnatullah, karena memang ada banyak dalil yang bisa ditafsirkan beraneka.
Ketika ada khalifah, dialah yang memutuskan pendapat mana yang akan
dilegislasi dan mengikat semua orang, termasuk yang berbeda pendapat. Namun
ini hanya untuk persoalan kemasyarakatan. Dan pendapat yang berbedapun
boleh dipelajari. Inilah mengapa mazhab-mazhab fiqh tetap hidup, sekalipun
khalifah saat itu melegislasi pendapat satu mazhab saja.
10. Khilafah – but not just group leader
Dan tentang figur khalifah, HT memandang khalifah bukan sekedar pemimpin
jama’ah semacam yang ada pada Ahmadiyah atau Laskar Hizbullah. Namun
khalifah adalah kepala negara dan pemerintahan. Khalifah juga bukan jabatan
yang bisa diwariskan, karena ia semacam kontrak sosial. Adapun yang terjadi
di masa lalu, harus dikaji secara jernih, dan pula sejarah bukanlah dalil
hukum yang mengikat.
11. Orthodox – but with ijtihad
HT sangat teguh memegang dalil syara’. Namun demikian HT juga sangat peduli
pada ijtihad asal memenuhi syarat. Termasuk arena ijtihad yang subur adalah
konsep pembentukan dan kebangkitan masyarakat. Ini karena ulama terdahulu
tidak mewariskan sedikitpun kajian di sini, sebab saat itu tak ada yang
membayangkan bahwa khilafah Islam yang besar dan berperadaban tinggi bisa
runtuh.
12. Syura’ – but not democracy
HT membedakan syura’ dengan demokrasi. Proses pengambilan keputusan dibagi
tiga: (1) Untuk masalah hukum, syura dilakukan untuk memilih pendapat yang
terkuat argumentasinya – bukan terbanyak pendukungnya. (2) Untuk masalah
teknis, serahkan pada ahlinya, bukan pendapat mayoritas. (3) Yang
diserahkan pendapat mayoritas adalah hal-hal optional yang sama-sama mubah,
misalnya memilih pejabat yang paling akseptabel, setelah semua sama-sama
memenuhi syarat.
13. Radical – but not exclusive
Sebagai gerakan yang memperjuangkan perubahan yang mendasar, HT dapat
disebut gerakan radikal (radix = akar, mendasar). Namun HT jauh dari kesan
eksklusif. HT berbaur di masyarakat dan tidak berpretensi membentuk
perkampungan sendiri. Maka aktivis HT hanya bisa dikenali dari
pemikirannya, tidak dari lahiriahnya. Kalaupun wanita aktivis HT berjilbab,
itu bukan karena HT-nya, namun memang itu kewajiban Islam. Bahkan HT tidak
punya bendera. Bendera hitam bertulisan kalimat tahlil putih yang sering
dibawanya adalah bendera Islam. Dan ini boleh dibawa setiap muslim!
14. Substantive – but take also the symbols
HT memandang segalanya dari sudut hukum syara’, dan tidak dari dikotomi
substansi – simbol. Maka tak perlu menonjolkan satu dan mengabaikan
lainnya. Pengentasan kemiskinan atau pemberantasan KKN sama wajibnya dengan
menutup aurat atau sholat lima waktu. Keduanya harus didukung baik di
tingkat individu dan – bila perlu – di tingkat negara.
15. Jihad – but peaceful
HT mengakui bahwa jihad memiliki makna bahasa “usaha sungguh-sungguh”.
Namun syara’ telah memberi definisi spesifik, bahwa jihad adalah segenap
usaha mengatasi kekuasaan tirani asing yang merintangi dakwah secara fisik.
Jadi jihad tak hanya untuk mempertahankan diri, apalagi sekedar melawan hawa
nafsu. Sedang usaha mengoreksi penguasa / melenyapkan kemungkaran di negeri
Islam, tidaklah disebut jihad, melainkan dakwah atau nahi mungkar – dan ini
tidak dengan kekerasan, kecuali penguasa daulah Islam mengkhianati baiat
rakyatnya, yang mewajibkannya menerapkan Islam. Sedang usaha mendirikan
daulah Islam itu sendiri, sama sekali harus tanpa kekerasan. Rasulullahpun
saat di Mekkah, berjuang tanpa kekerasan, meski banyak pengikutnya disiksa.
Revolusi pemikiran tak bisa tidak selain dengan pemikiran juga, melalui
dialog, diskusi publik, media massa dsb.
16. Uncompromising – but no violence
Dalam aktivitasnya, HT tidak mengenal kompromi dalam masalah syara’,
sekalipun bagi gerakan lain itu adalah manuver politik. Namun sikap anti
kompromi ini tidak berarti HT pro kekerasan. Bahkan di Jakarta, HT mendapat
penghargaan Polda, sebagai penggelar demo paling tertib di Jakarta. Hal ini
karena HT memandang jalan raya sebagai milik publik dan haram menghalangi
orang untuk lewat. Selain itu HT melihat polisi hanya sebagai alat negara.
Dan preman, bahkan pelacur sekalipun bukanlah musuh, karena hakekatnya
mereka juga korban dari sistem yang tidak islami.
17. Liberating – but not liberal
Meski memperjuangkan syariat Islam, HT memilih nama universal “Hizbut
Tahrir” (Partai Pembebasan) – tanpa label “Islam”, karena ini mubah. Namun
pembebasan itu bukanlah liberalisme (bebas dari batasan apapun kecuali yang
bermanfaat baginya), melainkan pembebasan dari penghambaan pada sesama
manusia menjadi pada Allah saja.
18. Tolerance – but not pluralism
Dari pemahaman bahwa ada dalil-dalil syara’ yang bisa ditafsirkan berbeda,
HT toleran pada mereka yang masih punya “syubhatud dalil” (dalil tipis) yang
masih islami. Atas pemikiran dan aktivitas gerakan lain, HT berpendapat
bahwa gerakan lain itu islami, meski pendapatnya berseberangan dengan HT.
Namun tidak berarti HT setuju dengan doktrin yang mengharuskan kekuasaan
di-share ke kelompok dengan pemikiran yang berbeda-beda. Karena dalam
masyarakat tetap harus ada suatu pemikiran tunggal yang mempersatukan.
Untuk hukum yang menyangkut masyarakat luas (bukan soal Qunut atau rokaat
tarawih), mau tidak mau HT harus dan akan mengambil sikap untuk
memperjuangkan pendapat yang terkuat hujjahnya saja. Terhadap pendukung
pendapat islami lainnya, dikembangkan iklim dialog dan toleransi.
19. International – but work local
Sedari awal HT sadar bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Karena
itu, seluruh manusia pantas dijadikan sasaran dakwah. Maka HT ada di seluruh
dunia, juga di negara-negara Barat.
Dakwah memang harus dimulai dari entitas yang bisa diakses. Karena itu
prioritas dakwah tetap pada kaum muslim dulu. Dan karena bangsa Arab adalah
komponen muslim terbesar dengan ikatan emosional tertinggi, maka pada mereka
dakwah lebih intensif
20. Local – but not nationalism
Namun meski bekerja secara lokal, tidak berarti HT setuju dengan
nasionalisme atau patriotisme. Bahwa HT akan berdiri di garis depan bila
negerinya diserang orang-orang kafir, itu pasti. Namun ini bukan karena
merasa pengabdian tertinggi adalah pada bangsa dan negara, melainkan karena
HT yakin membela negeri Islam dari serangan orang-orang kafir adalah
kewajiban syara’.
HT berpikir lebih kosmopolit dan globalisasi, karena syara’ setiap bicara
tentang ummat Islam, tidaklah spesifik hanya untuk muslim di negeri tertentu
saja. Demikian juga, cita-cita mendirikan khilafah Islam sebagai cikal
bakal suatu “superstate” tidak tertuju hanya di wilayah teritorial tertentu
saja, melainkan di mana saja yang memang paling kondusif untuk itu, di
sanalah cita-cita itu akan mulai direalisasi. Tidak oleh HT, namun oleh
ummat yang telah berubah cara berpikirnya.
Referensi:
Abdul Qadim Zallum: Nizhamul Hukum
Hizbut Tahrir: Ta’rif Hizbut Tahrir
Taqiyyudin An-Nabhani: Mafahim Hizbut Tahrir
Ust. Dr. Ing. Fahmi Amhar (Professor)
Pertama kali saya berdiskusi dengan HT, saya cenderung menolak, karena saya mendapat kesan, “ini orang kok ngomong Negara Islam seperti semudah membalik tangan,…
Saya Fahmi Amhar. Lahir tahun 1968 di Magelang. Berasal dari keluarga besar Nahdliyyin. Pakdhe saya itu murid KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU, dan sempat 6 tahun mengajar di Tebu Ireng. Ayah saya secara politis Masyumi. Namun beberapa kakak saya ikut Muhammadiyah. Di SMP saya dapat mentor seorang aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Waktu SMA saya ikut bergabung dengan PII, Pelajar Islam Indonesia, hingga menamatkan sekolah tersebut pada 1986. Saya kemudian melanjutkan di Jurusan Fisika Institut Teknologi Bandung. Saya suka ikut kajian-kajian di Masjid Salman ITB. Namun hanya berjalan satu semester karena saya mendapat beasiswa dari Overseas Fellowship Program (OFP) Ristek yang dikenal dengan “Program Habibie” untuk menempuh studi di Austria.
Pertama Kontak
Di Eropa saya tetap perhatian terhadap permasalahan Islam dan umatnya. Saat itu, saya suka dengan khutbah Jum’at yang khatibnya orang Ikhwanul Muslimin. Saya pernah mengagumi banyak pemikiran dari al-Maududi sampai Yusuf Qardhawi. Saya juga pernah tertarik ikut khuruj bersama teman-teman Jama’ah Tabligh. Di sana pulalah pertama kali saya kontak dengan orang-orang HT, tepatnya di Kota Wina, Austria tahun 1990.
Tentu saja saat itu saya belum tahu bahwa mereka aktivis HT. Yang jelas mereka membicarakan topik-topik Negara Islam atau Khilafah. Pada saat pertama kali saya berdiskusi dengan HT, saya cenderung menolak, karena mendapat kesan, “ini orang kok ngomong Negara Islam seperti semudah membalik tangan? Padahal kan prosesnya pasti panjang, rumit dan berliku”.
Namun mereka tetap sabar melayani dan mengajak saya mengikuti kajian umum tentang berbagai hal, seperti bagaimana memahami dan menyikapi perbedaan mazhab, tentang fiqih perempuan, lalu tentang kasus Bosnia yang tahun 1991 itu sedang marak, dan isu hangat lainnya. Para peserta diberikan kebebasan bertanya dan bahkan mendebat. Lama-lama saya tertarik ketika mereka menjelaskan bagaimana umat Islam itu kini bisa terpuruk, padahal dulu pernah menjadi mercusuar peradaban dunia. Sepertinya penjelasan HT dalam masalah ini adalah yang paling logis, komprehensif, runtut dan mendalam yang pernah saya temui. Tidak sekadar simplifikasi seperti “Umat terpuruk karena meninggalkan Alquran dan Sunnah” atau “Umat terpuruk akibat penjajahan”. Jawaban-jawaban mereka bisa memuaskan seperti pertanyaan “Bagaimana ya umat yang dulu dibangkitkan oleh Rasulullah itu bisa berangsur-angsur meninggalkan apa yang membuat mereka bangkit? Mengapa mereka jadi bisa dijajah?”.
Saya juga sangat terkesan dengan tingkat kecerdasan politis-spiritual yang tinggi para aktivis HT. Tentu saja aktivis HT juga ada bermacam-macam sebagaimana di semua komunitas. Namun saya pikir, tingkat kecerdasan politis-spiritual aktivis HT memang ada di atas rata-rata. Yang dimaksud dengan tingkat kecerdasan politis-spiritual adalah bahwa mereka memiliki sikap kritis yang tinggi atas segala fenomena sosial, baik di tingkat lokal maupun di dunia internasional, dan itu selalu dihubungkan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para Shahabat ra (hubungan spiritual). Masalah shalat misalnya, pada awalnya adalah masalah ibadah, bukan politik. Tapi bagaimana mengupayakan agar orang-orang bisa shalat, baik di pabrik maupun di mall, itu pasti memerlukan upaya-upaya politik. Demikian juga untuk kewajiban Islam yang lain.
Terpanggil
Saya pernah dua tahun terpaksa sekamar dengan orang Nasrani, bahkan juga dengan orang komunis. Mau tak mau pernah bergulat dengan pemikiran: mengapa saya harus percaya dengan Islam.
Di sinilah saya kemudian melihat kajian thariqul Iman yang diberikan HT sangat memuaskan secara rasional dan menenangkan jiwa. Di samping itu, yang semakin membuat terkesan, mereka berdakwah sebagai panggilan, bukan sebagai profesi untuk mencari penghidupan. Jadi aktivis HT biasanya memiliki profesi yang dengan itu mereka menghidupi dakwahnya.
Mereka pun begitu unik. Karena hanya dapat dikenali dari pemikiran atau sikapnya, bukan dari wujud fisik seperti bentuk pakaian atau tempat pertemuan yang eksklusif. Saya kemudian berfikir, inilah wadah yang pas untuk berjuang. Akhirnya pada 1995 saya pun memutuskan untuk bergabung dengan HT Austria.
Dr. Fahmi Amhar
Indonesia bukan hanya negeri yang kaya dengan sumber daya alam dan manusianya yang ramah, tetapi juga negeri dengan potensi bencana alam yang berlimpah. Kita berada tepat di batas-batas lempeng Eurasia, Hindia, Australia dan Pasifik. Kita punya 129 gunung api aktif. Semua ini berpotensi gempa, longsor, tsunami dan erupsi yang mampu menghancurkan kehidupan dalam seketika, sebagaimana baru saja terjadi di Sumatera Barat dan Jambi tahun 2009 ini. Kita juga berada di persimpangan angin dan arus laut antara Asia – Australia dan antara Hindia – Pasifik. Maka bencana banjir, abrasi gelombang pasang, puting beliung, kekeringan hingga kebakaran hutan juga rajin berkunjung. Namun, kenyataannya bangsa ini masih belum banyak belajar. Seharusnya mereka adalah maestro-maestro dunia dalam menghadapi bencana. Seharusnya bangsa-bangsa sedunia banyak belajar ke Indonesia. Namun yang terjadi, bala bencana baru dihadapi dan diratapi sebatas dengan doa?
Apakah demikian juga yang terjadi di masa lalu, ketika Daulah Islam masih tegak?
Sebenarnyalah wilayah Daulah Islam yang amat luas juga tak cuma kaya sumber daya alam tetapi juga bersentuhan dengan berbagai potensi bencana alam. Wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara tak pelak lagi rawan kekeringan. Banyak sahara yang setiap saat dapat mengirimkan badai gurun yang menyebabkan gagal panen dan berarti paceklik dan kelaparan. Wilayah lembah sungai Nil di Mesir atau sungai Efrat-Tigris di Irak adalah wilayah rawan banjir. Wilayah Turki, Iran dan Afghanistan sampai sekarang juga wilayah yang sangat rawan gempa. Selain itu kadang-kadang wabah penyakit yang hingga abad 18 belum diketahui pasti baik penyebab maupun obatnya datang menghantam, misalnya penyakit cacar atau pes. Namun toh Daulah Islam tetap berdiri tegak lebih dari 12 abad. Kalaupun Daulah ini kemudian sirna, itu bukan karena kelaparan, penyakit, atau bencana alam, tetapi karena kelemahan di antara mereka sendiri, terutama elit politisnya, sehingga dapat diperalat oleh para penjajah untuk saling bertengkar, membunuh dan memusnahkan.
Untuk mengantisipasi kekeringan (yang penyebabnya kini telah ditemukan para ahli dengan istilah siklus el-Niño) para penguasa muslim di masa itu telah membangun bunker gudang makanan. Bunker ini biasanya berupa ruangan di bawah tanah yang dijaga agar tetap kering. Di situ disimpan bahan makanan seperti gandum, kurma, minyak goreng dan sebagainya yang cukup untuk persediaan selama dua musim. Bunker ini tak cuma berguna sebagai cadangan logistik bila ada bencana tetapi juga untuk antisipasi bila ada serangan musuh yang mengepung kota. Saat Perang Dunia ke-2, tentara Jerman di Libya menemukan beberapa bunker di sebuah kota yang telah ditinggalkan penghuninya beberapa puluh tahun. Yang luar biasa, hampir semua bahan makanan di bunker itu masih bisa dikonsumsi.
Sementara itu untuk mengantisipasi banjir, para penguasa muslim berusaha keras untuk membangun bendungan, terusan dan alat peringatan dini. Astronom dan Insinyur Al-Farghani (abad 9 M) telah mengkonstruksi sebuah alat yang disebut Nilometer untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil secara otomatis di berbagai tempat. Setelah bertahun-tahun melakukan pengukuran, al-Farghani berhasil memberikan prediksi banjir sungai Nil baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Namun seorang Sultan di Mesir pada abad 10 M tidak cukup puas dengan early warning system ala al-Farghani. Dia ingin sungai Nil dapat dikendalikan sepenuhnya dengan sebuah bendungan. Dia umumkan sayembara untuk insinyur yang siap membangun bendungan itu. Adalah Ibn al-Haitsam, yang semula tinggal di Irak yang berminat dengan sayembara itu, dan dia memenangkan kontrak pembangunannya. Namun tatkala dia berjalan ke arah hulu sungai Nil guna menentukan lokasi yang tepat untuk bendungan, dia tertegun menyaksikan pyramid-pyramid raksasa yang dibangun Fir’aun di sana. Dia berpikir, “Fir’aun yang sanggup membangun pyramid saja tak mampu membendung sungai Nil, apalah artinya aku?” Karena malu atau takut menanggung konsekuensi hukumnya karena membatalkan kontrak, Ibn al-Haitsam kemudian pura-pura gila, sehingga oleh penguasa Mesir dia dijatuhi tahanan rumah dan seluruh hartanya diawasi negara. Dalam tahanan rumahnya itulah Ibn al-Haitsam mendapat waktu untuk melakukan berbagai eksperimen optika, sehingga dia lalu menjadi Bapak fisika optika. Dia baru dilepas beberapa tahun kemudian setelah penguasa Mesir ganti dan orang sudah mulai melupakan kasusnya. Meski Ibn al-Haitsam tak berhasil membangun bendungan pada masanya, namun fisika optikanya adalah dasar bagi Galileo dan Newton dalam menemukan mekanika lanjut dari pengamatan planet melalui teleskop. Dengan fisika Newton inilah pada abad-20 orang berhasil membendung sungai Nil dengan bendungan Aswan.
Di Turki, untuk mengantisipasi gempa, yang dilakukan adalah membangun gedung-gedung tahan gempa. Sinan, seorang arsitek yang dibayar Sultan Ahmet untuk membangun masjidnya yang terletak berseberangan dengan Aya Sofia, membangun masjidnya itu dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh dan pola-pola lengkung berjenjang yang dapat membagi dan menyalurkan beban secara merata. Masjid itu, dan juga masjid-masjid lainnya juga diletakkan pada tanah-tanah yang menurut penelitiannya pada saat itu cukup stabil. Gempa-gempa besar di atas 8 Skala Richter yang terjadi di kemudian hari terbukti tidak menimbulkan dampak yang serius pada masjid itu, sekalipun banyak gedung modern di Istanbul yang justru roboh.
Jadi bencana-bencana alam selalu diantisipasi terlebih dulu dengan ikhtiar. Penguasa Daulah Islam menaruh perhatian yang besar agar tersedia fasilitas umum yang mampu melindungi rakyat dari berbagai jenis bencana. Mereka membayar para insinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan yang tahan bencana, membangun bunker cadangan logistik, hingga menyiapkan masyarakat untuk selalu tanggap darurat. Aktivitas jihad adalah cara yang efektif agar masyarakat selalu siap menghadapi situasi yang terburuk. Mereka tahu bagaimana harus mengevakuasi diri dengan cepat, bagaimana menyiapkan barang-barang yang vital selama evakuasi, bagaimana mengurus jenazah yang bertebaran, dan bagaimana merehabilitasi diri pasca kedaruratan.
Para pemimpin dalam Daulah Islam juga orang-orang yang terlatih dalam tanggap darurat. Mereka orang-orang yang tahu apa yang harus dikerjakan dalam situasi normal maupun genting, bukan orang-orang yang hanya pandai menjaga image dalam acara seremonial atau ikut meratap dalam doa bersama.