Dr. Fahmi Amhar
Pernahkah anda berlomba untuk memperebutkan posisi sebagai muadzin di masjid? Muadzin mungkin bukan orang nomor satu di sebuah masjid. Kedudukan itu barangkali lebih tepat diberikan kepada imam. Namun Rasulullah pernah bersabda, “Andaikata umatku tahu besarnya pahala mengumandangkan adzan, barangkali setiap saat aku harus mengundinya di antara mereka”.
Untuk menjadi muadzin biasanya diperlukan sejumlah syarat, antara lain: memiliki suara yang lantang tetapi indah – sehingga orang suka mendengarnya, untuk kemudian datang ke masjid; tidak dikenal sebagai orang yang fasik; dan tentu saja bersedia datang lebih awal. Kalau orang biasa baru berangkat ke masjid setelah mendengar suara adzan, tentunya bukan dia yang akan mengumandangkan adzan. Ini artinya, muadzin harus hafal kapan saat-saat sholat, yang setiap harinya bisa bergeser beberapa menit.
Untuk syarat yang terakhir ini sekarang tergolong mudah. Di mana-mana ada jam, dan di setiap masjid ada jadwal shalat abadi. Kalau untuk adzan maghrib, orang dapat pula mendengar dari radio atau televisi – yang biasanya hanya mengacu pada kota tertentu dan sekitarnya. Tetapi dulu, seorang muadzin wajib mengetahui sendiri saat-saat sholat. Karena saat-saat sholat ditentukan oleh posisi matahari, maka seorang muadzin harus sedikit banyak tahu tentang astronomi. Bahkan karena ilmu ini juga dibutuhkan untuk mengetahui arah kiblat dan awal/akhir puasa, maka praktis seorang muadzin harus seorang astronom! Untuk itulah, di masa lalu, semua muadzin wajib memiliki sertifikasi (ijazah) ilmu falak dasar, yakni astronomi dasar untuk persoalan jadwal sholat, puasa dan arah kiblat.
Untunglah, banyak ulama Islam yang mencurahkan hidupnya untuk memudahkan pekerjaan ini. Mereka membangun dasar-dasar ilmu falak dan lebih dari itu juga astronomi untuk navigasi di medan jihad. Walhasil, banyak juga muadzin yang karena kemampuan astronomi ini lalu direkrut untuk jihad fi sabilillah. Jadi di belakang predikat seorang muadzin, tidak cuma tersembunyi kemampuan mengumandangkan adzan dengan indah, tetapi juga ilmu astronomi dan pengalaman jihad. Subhanallah.
Kaum muslim telah berburu ilmu ke Barat (Mesir, Yunani) maupun ke timur (Persia, India), mengintegrasikannya, memperkuat dasar-dasarnya dan mengembangkan jauh di atas para gurunya. Pusat penelitian astronomi Islam yang paling tua bermula di kota Maragha. Maka dalam sejarah ilmu pengetahuan muncullah “Madzhab Maragha” atau bahkan “Revolusi Maragha” – sebuah revolusi saintifik sebelum Rennaisance.
Ini berawal ketika Khalifah al-Ma’mun memerintahkan untuk mendirikan sebuah observatorium dan merekrut para astronom untuk melakukan pengumpulan data yang teliti guna mengoreksi data yang telah ada hingga saat itu. Untuk itu para astronom meminta bantuan ahli-ahli mekanik untuk membuatkan sebuah alat pengamatan langit yang disebut astrolabs. Hasil-hasil pengamatan langit yang lebih teliti ini menyelesaikan problem yang signifikan yang selalu timbul dalam model langit geosentris Ptolomeus. Saat-saat tertentu, planet Mars tampak seperti bergerak mundur (retrograde motion). Kalau saja model ini diubah menjadi heliosentris, maka gerak mundur planet Mars itu mudah sekali dipahami, yaitu tatkala bumi yang beredar mengelilingi matahari lebih cepat dari Mars, sedang “menyalip” Mars. Tapi waktu itu, Ptolomeus yang percaya pada teori geosentris, mencoba memecahkan problema itu dengan lingkaran-lingkaran tambahan yang disebut episiklus. Tetapi episiklus-episiklus ini makin lama menjadi makin rumit.
Maka sejumlah astronom muslim seperti Ibnu al-Haytsam dan Ibnu al-Syatir menekuni kemungkinan bahwa bumi berputar pada porosnya serta kemungkinan adanya sistem tata surya yang berpusat di matahari. Mereka membuat model planet non Ptolomeus. Sedang Muayyaduddin Urdi secara total menolak model Ptolomeus karena dasar empiris, tak hanya filosofis. Ini pendapat yang luar biasa maju. Nicolaus Copernicus baru berani mengemukakan pendapat ini di Eropa 500 tahun kemudian. Buka Copernicus yang berjudul De Revolutionibus ternyata banyak mengadaptasi model langit dari Ibnu al-Syatir dan at-Tusi dari madzhab Maragha. Argumentasi Copernicus tentang rotasi bumi juga senada dengan karya Ali al-Qusyji.
Pada abad-21 ini, fenomena langit seputar tata surya sudah bukan teori lagi, tetapi sudah menjadi fakta keras yang tidak dapat dibantah lagi. Manusia berbagai bangsa sudah meluncurkan ribuan pesawat ruang angkasa dan satelit yang mengorbit bumi. Terakhir, tahun 2009 para astronom dan insinyur aeronautika Iran sudah berhasil membuat satelit dan meluncurkannya dengan roket yang dibuat sendiri tanpa pertolongan negara lain. Semua hasil eksperimen ini terus membuktikan bahwa bumi memang berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari.
Anehnya, di abad ini pula, justru ada sejumlah orang yang ghirah Islamnya tinggi kembali meragukan pendapat bahwa bumi itu berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari. Mereka berpendapat, bumi itu diam, dan matahari, bulan dan seluruh bintang-bintang beredar mengelilingi bumi. Mereka menganggap pendapat ini didukung Al-Qur’an (antara lain QS 35:41, dan QS 21:33).
Padahal kebenaran sebuah fenomena alam yang dapat diamati atau diukur sama sekali tidak memerlukan dalil kitab suci manapun. Rupanya para astronom seribu tahun yang lalu justru lebih jernih dalam memahami ayat Al-Qur’an sekaligus memahami fenomena alam. Dengan itulah mereka dapat menjadikan astronomi sebagai modal untuk memuliakan Islam dan kaum muslim. Itu karena para astronom itu berangkat dari seorang muadzin!
Abu ar-Raihan al-Biruni menegaskan perbedaan antara astronomi dengan astrologi, sehingga menekankan pengamatan empiris yang akurat dan eksperimen untuk membuktikan kebenaran perhitungan astronomi. Akurasi data itu juga membuat astrofisika dimulai. Adalah Ja’far Muhammad bin Musa bin Syakir yang dari ribuan pengamatannya memastikan bahwa benda-benda langit mengalami hukum fisika yang sama seperti bumi. Sedang Ibnu al-Haytsam, sang penemu fisika optika – yang menjadi dasar pembuatan lensa untuk teropong bintang – dari pengamatannya memastikan, bahwa apa yang hingga saat itu diyakini sebagai “lapisan-lapisan langit” ternyata bukanlah sesuatu yang padat, melainkan bahkan kurang rapat dibanding udara. Jadi kalau di Qur’an disebut “lapis langit pertama sampai ketujuh”, maka itu pasti terletak di alam ghaib yang tidak dapat diamati manusia. Di situlah, ketika sains berakhir, dimulailah keimanan.
Dr. Fahmi Amhar
Musim liburan sekolah segera tiba. Apakah anda suka jalan-jalan dan akan memanfaatkaan waktu liburan untuk pergi melancong? Ke luar negeri? Umrah? Orang yang sedang jalan-jalan disebut pelancong atau turis. Profesinya boleh macam-macam. Tidak hanya pedagang ekspor-impor, diplomat atau pramugari saja yang bisa ke luar negeri. Di negara maju, berprofesi sebagai penjual es krim saja bisa nabung untuk jalan-jalan ke luar negeri. Tetapi ada orang yang profesinya melancong, bahkan sebagian besar usianya dihabiskan di perjalanan, itulah para penjelajah.
Dahulu, alat transportasi belum canggih. Perjalanan masih harus dilakukan dengan naik kuda, unta atau kapal laut. Sehari kuda atau sehari kapal layar paling hanya menempuh jarak 80-100 kilometer. Selain itu satelit pemantau bumi maupun satelit navigasi juga belum ada. Alat telekomunikasi untuk bertukar kabar dengan orang di kampung halaman juga belum ada. Sehingga orang yang nekad berprofesi menjadi penjelajah amat sangat langka. Merekalah yang kemudian mengabarkan tentang dunia negeri antah berantah. Setelah itu terserah kepada para penguasa ataupun pedagang, untuk apa pengetahuan itu akan dimanfaatkan.
Ketika para penjelajah ini didominasi orang-orang Barat, penjelajahan membuahkan penjajahan. Dengan kaki tangan yang biasanya orang-orang lokal yang bisa dibeli, negeri-negeri baru itu dikuasai, rakyatnya diperbudak, kebudayaannya dimanipulasi dan sumber daya alamnya dikuras. Tetapi lain halnya ketika para penjelajah ini didominasi orang-orang Islam. Salah satu contoh yang paling besar adalah Ibnu Battutah.
Abu Abdullah Muhammad Ibn Abdullah al-Lawati al Tanji ibn Battutah lahir di Tanger Maroko, 24 Februari 1305 M (tahun 703 H) adalah ulama dari madzhab Maliki dan pernah menjabat sebagai qadhi (hakim).
Hingga wafatnya pada tahun 1368 (sumber lain menulis 1377 M) dia telah melawat sejauh 117.000 Km, meliputi seluruh dunia Islam yang telah dikenal dan selebihnya, sejak dari Afrika Barat, Afrika Utara, Eropa Selatan, Eropa Timur, Timur Tengah, India, Asia Tengah, hingga China. Total 44 negara modern telah dia jelajahi. Dia jauh melampaui penjelajah paling top hingga saat itu yaitu Marco Polo.
Atas undangan Sultan Maroko Abu Inan Faris, beberapa tahun setelah kepulangannya, Ibnu Battutah mendiktekan sejumlah perjalanannya kepada seorang penulis bernama Ibnu Juzayi. Kitab yang kemudian secara singkat dijuluki “Ar-Rihlah” inilah sumber utama info petualangannya. Hampir seluruh isi kitab ini – juga tentang kehidupannya – berasal dari satu sumber, yaitu Ibnu Battutah sendiri. Mungkin apa yang dia klaim dilihat atau dilakukannya agak sedikit diwarnai fantasi, tetapi untuk sebagian besar memang tidak ada cara lain untuk memverifikasinya. Namun dengan kompleksitas masalah yang diceritakan, serta dengan posisi dia sebelumnya sebagai seorang qadhi yang faqih, kita dapat mengasumsikan bahwa dia jujur, dan apa yang diceritakannya itu fakta.
Awal dari penjelajahan Ibnu Battutah adalah perjalanan haji yang ia lakukan pada usia 20 tahun. Perjalanan ini melalui Kairo, Damaskus, Palestina dan Madinah. Setelah haji dia tidak langsung pulang, melainkan melanjutkannya ke negeri yang dikuasai pemerintah Mongol Il-Khanate yang kini dikenal sebagai Iraq dan Iran.
Setelah itu dia ke ujung semenanjung Arabia, terus ke Afrika. Dia telah mengunjungi Mogadishu, Mombassa, Zanzibar dan Kilwa. Kemudian dia balik ke Mekkah lagi.
Ibnu Battutah mengalami banyak gegar budaya (culture schock) di daerah yang dia kunjungi, yang memiliki budaya sangat berbeda dengan latar belakangnya. Dia menyaksikan orang-orang Turki dan Mongol yang masuk Islam. Dia melihat pakaian wanita yang lebih bebas di Maladewa dan sub-Sahara. Dia banyak menerima bernaeka souvenir dari penduduk lokal, yang tentu saja akan membebaninya sepanjang sisa perjalanannya, karena saat itu belum ada jasa paket internasional.
Dalam setiap routenya, Ibnu Battutah sering bergabung dengan suatu kafilah dagang. Bahkan dia sendiri sering mencoba peruntungannya sebagai pedagang. Di tahun yang lain, karena menguasai beberapa bahasa internasional (Arab, Persia, Romawi) dia mencari pekerjaan sebagai guide dan penerjemah.
Ibnu Battutah melampaui batas negara Islam ketika dia sampai ke Konstantinopel dan China. Pada akhir 1332 M, dia bertemu Kaisar Andronicus III Palaeologus dan melihat katedral Hagia Sophia dari luar. Kemudian dia melanjutkan ke laut Caspia, laut Aral, Bukhara dan Samarkhand. Kemudian dia melanjutkan ke Afghanistan, dan melintasi pegunungan ke India.
Sultanat Delhi, salah satu ex negara Mongol yang masuk Islam dan sedang banyak mengimpor sebanyak mungkin ulama Islam untuk mengajar, menggajinya untuk menjadi qadhi. Namun kehidupan istana tidak menurunkan jiwa petualangan Ibnu Battutah. Ketika dia berniat naik haji lagi, Sultan Tughlaq dari Sultanat Delhi malah menawarinya jadi duta besar ke Cina. Karena ini kesempatan untuk menjelajahi dunia baru, Ibnu Battutah menerima tawaran ini. Pada perjalanan ke Cina via laut inilah dia sempat singgah di Samudera Pasai atau Aceh sekarang ini, yang penduduknya sudah masuk Islam.
Tetapi penugasannya ke Cina ini dinilai kurang sukses. Dia sempat kembali ke India di bawah perlindungan Sultan Jamaluddin. Namun ketika pemerintahan ini digulingkan, Ibnu Battutah pindah ke Maladewa. Di pulau yang semula mayoritas Budha ini, Ibnu Battutah terpaksa tinggal lebih lama. Semula dia memang setengah disandera untuk tinggal di situ. Namun keahliannya sebagai qadhi kemudian dibutuhkan, bahkan dia dinikahkan dengan puteri keluarga istana. Namun dia schock mendapati wanita non muslim di pulau itu terbiasa telanjang dada di area publik. Kritiknya atas kebiasaan ini membuatnya dilecehkan oleh penduduk lokal. Maka kemudian dia meninggalkan pulau itu menuju Srilangka. Namun di tengah lautan kapalnya tenggelam oleh badai, dan kapal yang menolongnya dibajak oleh bajak laut. Dia akhirnya terdampar di India kembali.
Ketika dia hampir memutuskan balik ke Maladewa, dia bertemu dengan pelaut Cina, yang mengajaknya kembali ke Cina (dinasti Yuan). Kali ini dia sukses. Selain mengunjungi banyak kota di Cina, juga mengunjungi Vietnam, Filipina dan Sumatra.
Setelah merasa cukup di Cina, Ibnu Battutah memutuskan pulang ke kampung halaman, walaupun agak sulit dia mendefinisikan mana kampung halamannya (India, Maladewa, Iraq, Damaskus ?).
Ketika sampai di Damaskus, dia mendengar berita bahwa ayahnya telah wafat oleh wabah yang sedang menjadi tema dunia saat itu, yaitu penyakit pes (black death). Akhirnya setelah naik haji kembali ke Mekkah, Ibnu Battutah kembali ke Maroko, nyaris seperempat abad setelah dia tinggalkan!
Namun sesampai di kampung halamannya, tak lama kemudian dia berangkat lagi ke Andalusia. Kali ini sekaligus untuk mempertahankan beberapa wilayah Islam dari ancaman serangan Kristen Spanyol. Namun kemudian dia kembali ke Maroko dan menjelajahi Afrika Barat ke daerah-daerah yang tidak banyak dikenal orang. Dia mencapai beberapa negeri di Gurun Sahara. Tahun 1351 (pada usia 46 tahun) dia sampai ke Timbuktu, sebuah negeri yang hingga abad-21 pun masih terdengar amat eksotis.
Di perjalanan ke negeri yang amat asing ini, tiba-tiba pemandu dan kafilahnya hilang tanpa jejak. Ini merupakan tragedi bagi Ibnu Battutah, dan dia menulis kesulitan yang teramat besar untuk bernavigasi tanpa tanda-tanda jalan (landmark).
Setelah publikasi ar-Rihlah, dia dipilih sebagai qadhi di Maroko. Sampai tahun 1800-an, bukunya tetap dianggap aneh sekalipun di dunia Islam. Sama seperti buku Marcopolo di Eropa. Baru tahun 1800-an, bukunya mulai diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa, dan bukunya menunjukkan relevansi dengan hasil penjelajahan bangsa Barat terbaru. Sejak itu, Ibnu Battutah makin terkenal, tidak hanya sebagai penjelajah dan penulis, tetapi juga membantu dalam proses perubahan banyak sekali bangsa sepanjang rute perdagangan yang dia lakukan.
Untuk menghormatinya, para astronom telah menamai sebuah kawah di bulan dengan namanya. Demikian juga sebuah mall di Dubai (yang kini telah menempatkan diri sebagai kota di dunia yang paling banyak dikunjungi turis) telah dinamai Ibnu Battutah Mall, dengan display dari penemuannya yang disebar di sepanjang koridornya.
Al-Azhar Press
isbn: 979-3118-80-6
Buku ini saya sebut “TSQ-stories”, karena berisi kisah-kisah tentang kecerdasan ilmiah dan kreativitas teknologi yang berbasis spiritual (technoscience-spiritual-quotient). Kisah-kisah ini digali dari sejarah keemasan peradaban Islam, era di mana diyakini ada keseimbangan yang luar biasa antara budaya rasional dan transendental, antara dunia “aqli” dan “naqli”, dan antara kemajuan dunia dan keselamatan akherat.
Kisah-kisah ini “dipulung” dari banyak sekali sumber. Saya amat berhutang budi kepada Wikipedia, Sigrid Hunke (“Allahs Sonne ueber dem Abendland”), Ahmad Y Al-Hassan & Donald R. Hill (“Islamic Technology: An Illustrated History”), suami istri Ismail Roji & Lois Lamya al-Faruqi (“The Cultural Atlas of Islam”), Francis Robinson (“Atlas of the Islamic World since 1500”), Geoffrey Barraclough (“The Times Atlas of World History”), dan masih banyak lagi sumber-sumber yang berserakan. Meski akurasinya dijaga, buku ini tidak dimaksudkan sebagai karya ilmiah yang harus mencantumkan sumber referensi di setiap pernyataan, namun buku ini ditulis lebih untuk dijadikan inspirasi.
Dengan kisah-kisah ini kita tidak ingin bernostalgia dan selalu menengok masa lalu. Apalah artinya uang segudang tapi adanya di masa lalu dan sekarang dengan kantong kosong dan perut lapar kita menjadi pengemis pada rentenir-rentenir dunia? Namun dengan kisah-kisah ini kita ingin menunjukkan, bahwa kita pernah memiliki kakek dan nenek orang-orang hebat nan mulia. Di dalam tubuh kita mengalir darah mereka. Dan kita juga masih memiliki apa yang pernah membuat mereka hebat dan mulia, yakni ajaran Islam, yang bila dipraktekkan secara sinergis baik di level individual, level sosial-kultural, maupun level sistemik-struktural pasti akan memberikan “ledakan peradaban” yang sama. Dalam bahasa yang lebih gamblang, pada masa keemasan Islam itu tak cuma ada kesalehan individual, tetapi juga ada kesalehan kolektif, dan kesalehan negara. Untuk itulah pada awal setiap kisah selalu diberikan refleksi untuk menghubungkan masa kini dengan dengan masa lalu.
Tentunya akan muncul pertanyaan lanjutan yang sangat absah: mengapa peradaban tinggi yang pernah membuat generasi hebat nan mulia itu kemudian tenggelam? Lalu apa saja yang dapat kita perbuat untuk menarik peradaban itu dari dasar samudra agar dapat tegak kembali berlayar menuju tanah impian? Untuk pertanyaan-pertanyaan ini sudah tersedia jawabannya, namun bukan di buku ini.
Buku ini didesain agar ringan, dapat dibawa ke sekolah di level apapun, dijadikan materi diskusi oleh guru pelajaran apapun. Sengaja, hampir seluruh pelajaran yang ada di SD hingga SMA dapat dicarikan contohnya di satu atau lebih judul tulisan dalam buku ini. Kita ingin, Islam tidak cuma dikenal dan diinternalisasi oleh guru agama saja, tetapi juga oleh guru-guru dari segala mata pelajaran. Guru matematika mengetahui kisah-kisah matematikawan muslim di masa lalu, sebagaimana guru olahraga atau guru kesenian juga mendapatkan perkenalan yang serupa. Bahkan lulusan SMA yang ingin meneruskan ke perguruan tinggi dapat mendapatkan inspirasi – dan juga motivasi – tentang jurusan apa di perguruan tinggi yang dapat mengikat emosinya dengan kehebatan dan kemuliaan nenek moyang kaum muslim.
Tentu saja, sebagai perkenalan, buku ini teramat singkat. Sesungguhnya tulisan-tulisan ini pernah dipublikasikan di tabloid Media Umat dari tahun 2008 hingga 2010. Setelah mengarungi nyaris seluruh jenis ilmu, tiba saatnya bahasan di tabloid tersebut diperdalam. Kalau tidak, niscaya kisah-kisah singkat yang bersifat overview semacam ini lekas kehabisan bahan.
Sebagai catatan terakhir, kalau di buku ini disebut “ilmuwan Islam”, maka maksudnya adalah “ilmuwan negara Khilafah”. Ilmuwan yang bersangkutan boleh jadi non muslim, atau kemurnian aqidahnya diragukan oleh sejumlah ulama ushuluddin. Kita tidak perlu berdebat tentang itu. Yang penting, selama seorang ilmuwan mengabdikan hidupnya dalam negara Khilafah dan karyanya memuliakan Islam dan kaum muslim, maka dia adalah “ilmuwan Islam”. Ini karena Islam adalah suatu tatanan atau suatu ideologi yang khas. Masyarakat Islam dibangun di atas tatanan itu, mulai dari cara pandangnya atas kehidupan dan metode mereka menyelesaikan segala persoalan kehidupan itu, yang semuanya khas.
Hal ini sebenarnya mirip dengan kalau kita menyebut “ilmuwan Amerika” untuk para saintis atau teknolog di Amerika, mulai yang bekerja di NASA atau di Microsoft hingga yang membangun Disneyland atau membuat animasi untuk Hollywood. Mereka tak semuanya warga negara Amerika dan secara individual juga tidak semua setuju dengan ideologi ataupun politik luar negeri Amerika. Tetapi kita tidak salah menyebut mereka “ilmuwan Amerika”, karena mereka, meski berasal dari Cina, India ataupun Timur Tengah, bekerja di Amerika, dan ikut memakmurkan, membuat jaya, dan mengharumkan citra Amerika di dunia.
Saya memohon kepada Allah, semoga langkah yang kecil ini dapat mendorong ribuan langkah kecil lainnya, hingga menjadi langkah-langkah raksasa yang cukup demi menarik peradaban Islam keluar dari dasar samudra, kembali memimpin zaman, merahmati seluruh alam.
Saya memohon kepada Allah, agar mempertemukan kita dengan orang-orang yang amat kita rindukan, yaitu baginda Nabi dan para sahabatnya, serta para ilmuwan Islam yang shaleh, yang perjalanannya mencari ilmu adalah jihad fii sabilillah, dan goresan tintanya lebih mulia dari darah para syuhada.
Daftar Isi:
1. Ketika Agama bukan sekedar Dogma dan Busana
2. Belajar Bahasa untuk Negara Adidaya
3. Olahraga Para Mujahid
4. Ketika para Seniman Orang-orang Beriman
5. Matematika Islam bukan Numerologi
6. Astronomi Islam tak sekedar Hisab & Ru’yat
7. Fisikawan Islam Mendahului Zaman
8. Terbang tanpa karpet ajaib
9. Ketika Kimiawan tak lagi Tukang Sihir
10. Teknologi Militer Islam
11. Kedokteran Islam pakai Uji Klinis
12. Ketika Sehat bukan Misteri
13. Islam Pernah Merevolusi Pertanian
14. Ketika geografi induk segala ilmu
15. Ilmu Sosial bukan Anak Tiri
16. Psikologi tak harus ikut Freud
17. Tata Negara yang tidak membosankan
18. Ekonomi Umat tak hanya Zakat
19. Industri Islam tak hanya Perangkat Ibadat
20. Negeri Kincir Angin pertama bukan Belanda
21. Arsitektur Islam tak hanya Masjid Sentris
22. Kota Islami Kota Terrencana
23. Ketika Bencana tak hanya diratapi dengan doa
24. Krisis Energi bagi sebuah Negara Merdeka
25. Ketika Jarak bukan Penghalang Komunikasi
26. Teknologi Kelautan untuk Negara Adidaya
27. Teknologi untuk Menutup Aurat
28. Menjadi Cerdas dengan Kertas
29. Ketika Perpustakaan Jadi Identitas
30. Manajemen Riset para Mujtahid
Total 204 halaman.