Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu bagaimana menaruh fokus pada perjuangannya (konsentrasi).
Konsentrasi akan berpengaruh pada perhatian, pada energi, juga pada waktu. Sinar matahari biasa tidak mungkin membakar kertas. Tetapi bila ia dikonsentrasikan dengan sebuah lensa pada sebuah titik, maka kertas itu pasti akan terbakar. Tenaga tangan seorang anak kecil tidak akan sanggup memecahkan batu. Tetapi bila pukulan itu dilakukan dengan palu dan difokuskan dengan sebuah paku, batu itu akan pecah juga.
Demikian juga hidup kita. Mayoritas manusia bukanlah mahluk dengan bakat super, baik kekuatannya, kecepatan geraknya, kecerdasannya maupun ketajaman nalurinya. Tetapi, konsentrasi yang terlatih dapat mengubah segalanya.
Kita dapat melatih konsentrasi pikiran kita, agar ilmu yang sulitpun akhirnya dapat dikuasai. Air yang cuma menetes pun dapat melubangi batu di bawahnya, ketika air itu fokus melakukan hal itu selama bertahun-tahun. Jadi tidak ada ilmu manusia yang mustahil dikuasai, selama kita fokus. Yang sering terjadi, ketika kita belajar, kesungguhan kita tidak cukup untuk benar-benar mencurahkan perhatian sepenuh hati ke apa yang kita pelajari. Pikiran kita melayang-layang, sibuk berimajinasi atas hal-hal yang tidak prioritas, atau sibuk teralihkan dengan hal-hal remeh temeh, seperti mengintip berita selebriti, atau sekedar berulang-ulang update status 🙂
Kita juga harus fokus ke masa depan, agar tidak terus terbebani masa lalu, baik masa lalu itu dirasakan indah atau tidak. Kita juga harus fokus ke solusi atas persoalan, dengan memberikan empati yang dibutuhkan, dan bukan hanya menghakimi persoalan tanpa memberi solusi. Kita juga harus fokus pada proses, bukan pada hasil, karena segala sesuatu itu membutuhkan proses transisi yang perlu kesabaran. (more…)
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu bagaimana mereka menaksir diri, lingkungan maupun masa depannya.
Setiap saat sebenarnya kita selalu melakukan estimasi. Estimasi adalah pengukuran secara taksiran. Setidaknya ada tiga macam estimasi:
Pertama: estimasi diri. Kita menaksir apakah kita ini sesungguhnya mampu melakukan sesuatu, atau butuh sesuatu, benda atau pertolongan misalnya. Kalau kita menaksir diri terlalu tinggi, lebih hebat dari kenyataan, maka kita disebut “over confidence” (terlalu percaya diri). Orang yang over confidence memang jadi pemberani atau optimist tetapi juga kadang malas untuk meningkatkan kapasitas dirinya. Sebaliknya orang yang under-confidence jadi rendah diri, penakut, pesimist, akibatnya malas menghadapi tantangan. Padahal dia hanya akan berubah nasibnya bila tantangan itu telah ditaklukkan.
Kedua: estimasi lingkungan. Kita hidup di dunia berhadapan dengan lingkungan maupun orang lain. Lingkungan kadang tidak bersahabat. Orang lain tidak selalu sepakat dengan kita. Karena itu, kita mesti menaksir, apakah lingkungan yang ganas, atau orang yang tidak sepaham itu bisa kita “taklukkan”. Kalau kita menaksir mereka terlalu tinggi, disebut “over estimate” – kita jadi terlalu khawatir. Sedang kalau kita menaksir mereka terlalu rendah, disebut “under estimate” – kita bisa jadi takabur. Jadi kuncinya, kita harus dapat mengestimasi lingkungan seakurat mungkin.
Ketiga: estimasi masa depan. Masa depan adalah sesuatu yang pasti akan kita datangi, suka ataupun tidak. Apakah semua yang tersedia di masa depan bakal sesuai dengan harapan kita, atau justru mengancam kita, tergantung pengukuran kita saat ini. Kalau taksiran kita mengatakan, masa depan harus dihadapi lebih serius, sehingga nanti kita pasti dapat mengatasinya, maka boleh jadi apa yang kita raih malah “beyond expectation”. Tetapi bila kita tidak menganggap serius, maka hasil yang kita raih semua akan “below expectation”. (more…)
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu cara mereka memperbaiki keadaan (koreksi).
“Setiap manusia di dunia, pasti punya kesalahan, hanya yang pemberani yang mau mengakui …”
Betul. Yang pemberani itu adalah mereka yang mau melakukan introspeksi. Dan yang lebih pemberani adalah mereka yang setelah mengakui itu, mau melakukan koreksi diri. Jangan sudah mengakui salah, tapi diteruskan, dengan alasan “sudah terlanjur basah”, sudah melewati “the point of no return”.
Bagi seorang muslim, tidak ada kesalahan yang lebih berat dari syirik. Tetapi syirik pun masih bisa bertaubat, selama belum sekarat. Point of no return-nya adalah sakaratul maut. Selama belum sampai kesana, siapapun bisa bertaubat.
Di dalam hadits, diceritakan ada 2 wanita pezina yang ahli surga. Yang satu adalah dari bani Israel. Dia bahkan pelacur. Dia ingin bertaubat. Dalam perjalanannya menuju kampung orang shaleh (tentu saja dia harus meninggalkan “lokalisasi”), dia melihat seekor anjing yang kehausan. Dia berusaha memberi minum anjing tersebut. Allah ridha atas perbuatannya, jadilah dia ahli surga. Kemudian di zaman Nabi ada wanita al-Ghamidiyah yang mengaku berzina dan minta dihukum. Baru setelah wanita itu mengaku berkali-kali, hingga anak zina yang dilahirkannya disapih, hukum rajam dijalankan. Ketika Khalid bin Walid yang melontarkan batu kecipratan darah wanita itu, dan Khalid memakinya, Rasul menegur Khalid seraya mengatakan, “Janganlah kau katakan seperti itu wahai Khalid. Sungguh wanita itu telah bertaubat, dan dia adalah ahli surga”. (more…)