Dr. Fahmi Amhar
Apa yang anda bayangkan mendengar kata “Vietnam”? Perang? Pengungsi? Benar, tapi itu masa lalu. Perang Vietnam pernah menjadi perang yang paling mengerikan di awal tahun 1970-an. Tentara Amerika yang sombong karena senjata modernnya ternyata menjadi bulan-bulanan kekejaman gerilyawan Vietcong, sampai-sampai saat itu ada plesetan “Fitnah lebih kejam dari Vietnam”.
Tetapi Vietnam kini sudah banyak berubah. Meski menang secara militer, Vietnam kalah secara ideologi, dan sejak tahun 1991, Vietnam mau tak mau harus mengikuti arus dunia yang meninggalkan komunisme, apalagi setelah negara panutannya, yaitu Uni Soviet, bubar.
Kini Vietnam adalah negeri yang gegap gempita dalam dua sistem: komunis untuk politik, dan kapitalis untuk ekonomi. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi, ditunjukkan dengan lautan sepeda motor di jalan-jalan dan pembangunan gedung-gedung tinggi di sepanjang jalan utama. Vietnam dengan 86 juta penduduknya telah menjadi alternatif investasi yang menarik di Asia Tenggara, melebihi Indonesia.
Namun bagaimana nasib umat Islam di sana?
Tidak mudah menemukan umat Islam di Vietnam. Berdasarkan sensus, hanya 20% penduduk Vietnam yang mengaku menganut suatu agama. Di ibu kota Vietnam Hanoi bahkan hanya 2% yang mengaku beragama. Jadi umat Islam berebut yang 2% ini dengan agama lain seperti Budha, Katolik, Protestan, Cao Dai atau Hoa Hao – yakni aliran kepercayaan asli Vietnam. Mungkin ini dampak dari sistem komunis yang masih berkuasa di pemerintahan hingga kini.
Karena itu tak heran, di Hanoi, hanya ada satu masjid bernama “Al-Noor”, tetapi lebih dikenal dengan julukan “Indian-Pagoda”. Masjid yang terletak di 12 Hang Luoc street, Kim Ma commune, Hoan Kiem district Hanoi dibangun sebelum era komunis, yakni tahun 1890 oleh imigran dari India.
Namun masjid ini terutama dipakai oleh orang asing, terutama dari staf kedutaan besar negeri Islam. Mungkin staf kedutaan ini merupakan 90% muslim di Hanoi sendiri. Menurut sensus hanya ada 62-an orang asli Vietnam di Hanoi yang muslim, sebagian besar tinggal di dekat masjid. Karena itu, di dekat masjid juga berdiri Sekolah Dasar Islam al-Fath, dan imam masjid tersebut, yang keturunan Afghani-Arab, menjadi salah satu gurunya.
Menurut sensus, di seluruh Vietnam, jumlah muslim hanya 63.147 orang, dan sebagian besar ada di Saigon (Ho Chi Minh City). Jadi Vietnam memang sebuah lahan besar untuk dakwah! Kata Pak Ben, orang Malaysia yang memiliki satu-satunya restoran halal (“Nisa Restaurant”) di Hanoi, Vietnam juga lahan subur untuk bisnis. Jadi tentu amat tepat kalau ada pengemban dakwah yang datang ke Vietnam untuk dakwah sekaligus bisnis, seperti dulu para mubaligh Islam datang ke Nusantara juga sekaligus bisnis, dengan dakwah tetap pada porosnya.
Dr. Fahmi Amhar
Pernahkah anda mendengar kisah tentang jama’ah haji Indonesia yang tersesat di Makkah, lalu bertanya kepada orang Arab di pinggir jalan. Sambil menunjukkan kartu identitas dengan alamat pondokannya, dia mengucapkan satu ayat al-Fatihah “Ihdinas shiraathal mustaqim” (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus / benar). Semula orang Arabnya tertegun, tetapi lalu tersenyum setelah menangkap apa yang dimaksud, dan lalu mengantar si orang tadi ke pondokannya yang ternyata tidak jauh.
Istilah “jalan yang benar” memang bisa memiliki makna mendalam seperti jalan hidup, tetapi dapat juga makna langsung seperti mengetahui arah. Dan bicara tentang arah, kita sekarang mengandalkan kompas.
Di Barat, yang dianggap penemu kompas adalah Flavio Gioja dari Amalfi, Italia. Namun sejarahwan Sigrid Hunke menyebut bahwa Flavio mengenal kompas dari orang Arab, bahkan dia bukan orang Barat pertama yang belajar kompas!
Bahwa jarum magnetik menunjuk ke utara, sudah diketahui orang Cina berabad sebelum Rasulullah. Anehnya, orang Cina justru baru mengamati penggunaan kompas dalam perjalanan di lautan pada orang asing di abad-11 M. Dan siapa lagi orang-orang asing pada saat itu, yang berdagang dengan kapal-kapalnya di samudra Hindia hingga ke Cina, kalau bukan orang Arab!
Sementara itu sumber-sumber Arab pada kurun waktu yang sama memang menyebutkan penggunaan kompas.
Orang Barat pertama yang mengenal kompas adalah Petrus dari Maricourt, Perancis, yang sepulang dari perang Salib menjadi guru Roger Bacon. Roger Bacon adalah tokoh filosof pra zaman Rennaisance. Petrus mengajar tentang magnetisme dan kompas dan pada tahun 1269 menulis makalah “Epistola de magnete”. Baru 33 tahun setelah itu, Flavio Gioja dari Amalfi sibuk dengan kompas.
Amalfi adalah tempat yang terletak di dekat Venezia, sebuah kota pelabuhan, di mana banyak perwakilan dagang Arab di sana. Maka sangat masuk akal kalau kemudian Flavio mendapatkan pengetahuan kompas ini dan meneruskannya di Barat.
Keberadaan kompas untuk mengetahui arah adalah kemajuan yang signifikan dalam navigasi. Semula, arah diketahui dengan melihat matahari atau konstelasi bintang. Namun metode ini selain membutuhkan waktu yang lama juga tak dapat dilakukan saat langit berawan.
Meski demikian, dalam bernavigasi di lautan, keberadaan kompas tidak berdiri sendiri, melainkan harus dikombinasi dengan keberadaan jam dan peta yang baik. Dengan mengetahui lama perjalanan, kecepatan rata-rata, dan arah, maka navigator kapal dapat memperkirakan lokasi kapal yang aktual di atas peta. Tentu saja akurasi metode ini sangat tergantung pada asumsi kecepatan kapal, yang boleh jadi tergantung arus laut dan angin. Biasanya mereka tetap mengkalibrasi lokasinya dengan astronomi (mengukur sudut posisi matahari atau bintang) pada saat langit cerah. Dengan metode semacam itu kaum muslimin pada masa itu menjadi pelaut yang paling handal di samudra, yang berani berlayar sampai ke Cina, dan di laut Tengah hampir tidak lagi memiliki lawan.
Tidak banyak catatan yang menceritakan, siapa ilmuwan muslim yang berada di balik pengembangan kompas. Namun dengan melihat prestasi beberapa ilmuwan besar, kita dapat menduga bahwa ketiga anak Musa bin Syakir yang hidup di zaman khalifah al-Ma’mun sudah berkutat dengan benda ini, mengingat banyaknya penemuan yang mereka lakukan terkait dengan mekanika dan astronomi. Muhammad bin Musa – si anak tertua – bahkan pernah membuatkan jam untuk Kaisar Karl der Grosse dari Aachen Jerman.
Pada abad-21 ini, peran kompas untuk navigasi masih besar, walaupun pelan-pelan digeser oleh keberadaan piranti GPS, yang sekarang sudah banyak menjadi bonus pada peralatan komunikasi. Namun demikian, diyakini bahwa kompas masih akan bertahan berabad-abad lagi, mengingat dia tidak tergantung pada sistem satelit GPS yang dikuasai negara-negara adidaya. Apalagi sistem satelit ini ternyata juga rentan pada gangguan angin partikel dari matahari, yang konon bakal meningkat pada tahun-tahun mendatang.
Dan tahukah anda, bahwa ada seorang anak kecil di akhir abad-19 yang semula malas belajar, lalu tiba-tiba dia terpesona oleh hadiah dari ayahnya. Anak kecil itu kemudian berkembang menjadi fisikawan besar. Dialah Albert Einstein. Dan hadiah dari sang ayah itu adalah: sebuah kompas !
http://www.maiwanews.com/berita/tulisan-lengkap-adjie-suradji-di-harian-kompas/