oleh Fahmi Amhar
Science (from Latin scientia, meaning “knowledge”) is a systematic enterprise that builds and organizes knowledge in the form of testable explanations and predictions about the universe.
Sains didefinisikan sebagai sebuah usaha yang sistematis untuk membangun dan mengorganisasikan pengetahuan dalam sebuah bentuk penjelasan atau prediksi yang bisa diuji tentang alam semesta.
Sebagian sains sudah ada sejak sebelum Islam datang. Sains tentang panjang sisi miring sebuah segi tiga siku-siku sudah ditemukan Phytagoras, matematikawan Yunani (wafat 495 SM). Sains tentang hidrolika sudah ditemukan Archimedes (wafat 212 SM). Sains tentang Astronomi sudah ditulis oleh Ptolemeus (wafat 168 SM). Sains tentang banyak hal dicoba dirumuskan oleh Aristoteles (wafat 322 SM).
Beberapa jenis sains ini masih dicampuri berbagai mitos, filsafat, kecenderungan spiritual tertentu, aksioma yang tidak berdasar, atau harapan-harapan palsu. Astronomi masih dicampuri dengan ramalan nasib, dan ilmu kimia masih dicampuri dengan pembuatan ramuan sihir.
Ketika Islam datang, Islam memberikan sejumlah hal, yang kemudian generasi selanjutnya mereview hubungan antara iman-Islam dengan sains. Dalam perkembangannya, teramati ada lima macam paradigma hubungan Islam & Sains.
1. SAINS – ISLAM
Adalah Rasulullah sendiri yang ditunjukkan dalam hadits tentang kasus penyerbukan kurma, yang menunjukkan bahwa urusan sains & teknologi adalah “urusan kalian”. Nabi datang dengan membawa wahyu adalah untuk mengatur pandangan, sikap atau perilaku manusia yang tidak bisa ditemukannya sendiri dengan sains. Qur’an bicara hal-hal ghaib tentang masa lalu yang sangat jauh saat penciptaan bumi & langit, saat penciptaan manusia, atau masa depan yang juga sangat jauh, saat bumi & langit digulung lalu semuanya dibangkitkan kembali untuk menghadapi pengadilan. Ini adalah hal-hal yang tidak mungkin diuji dengan sains, tetapi hanya dapat diketahui dari kabar di dalam Qur’an. “When the science end, begin the faith”. Islam memberikan kepada manusia berberapa norma perilaku yang halal dan haram, bukan atas dasar pembuktian sains, tetapi atas dasar kepatuhan kepada Tuhan selaku pencipta manusia. Bahwa di balik halal – haram itu bakal ada hikmah pada jangka panjang, bisa saja, tetapi itu bukan dasar diberlakukannya norma tersebut. Seorang muslim mematuhi norma itu karena keimanannya, bahwa Allah yang Maha Tahu, pasti tidak akan memberikan perintah yang tidak memberikan manfaat pada jangka panjang, sekalipun kita belum tahu secara saintifik.
Karena itu, para ilmuwan generasi salaf, menjadikan Islam sebagai motivator mereka mencari ilmu – bahkan sampai ke Cina, atau inspirator dalam menggali objek-objek yang hanya disinggung selintas di dalam Qur’an. Mereka mendalami astronomi berawal dari buku Almagest karya Ptolemeus, lalu dikembangkannya sendiri dengan membangun banyak observatorium, karena dorongan ayat surat Al-Ghasiyah “Apakah mereka tidak memperhatikan, bagaimana langit ditinggikan?”. Mereka menjadikan syariat Islam sebagai pagar tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh selama mencari ilmu itu. Maka mereka yakin bahwa ilmu sihir tidak boleh dipelajari, meski ada rasa ingin tahu yang besar, karena ilmu itu menuntut dipelajari dengan praktikum yang melanggar syariat dan penuh kesyirikan. Dan mereka juga menjadikan Islam sebagai arah bagaimana ilmu itu diamalkan. Para ilmuwan muslim selalu berusaha keras agar setiap rumus hukum alam yang mereka temukan, atau setiap senyawa kimia yang berhasil direkayasa, dapat menjadi berkah dan investasi pahala yang mengalir terus meski ditinggal mati. Sains dan teknologi tidak dikembangkan untuk menjajah manusia, tetapi untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Inilah hubungan model SAINS – ISLAM ala Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu al-Haitsam, Muhammad al-Khawarizmi, Ibnu Khaldun, dan sebagainya.
2. ISLAMISASI SAINS
Pola islamisasi sains sebenarnya baru muncul abad 20, ketika dunia Islam sudah tidak lagi memiliki ilmuwan-ilmuwan atau saintis-saintis handal kelas dunia. Islamisasi Sains berusaha menjadikan penemuan-penemuan sains besar abad-20 yang mayoritas terjadi di Barat, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keimanan umat Islam. Misalnya, penemuan ultrasonografi yang dapat melihat proses terbentuknya janin di dalam perut, atau penemuan kecepatan cahaya, diklaim sebagai telah disebutkan di dalam Qur’an, sehingga diharapkan makin mempertebal iman seorang muslim bahwa Qur’an telah mendahului sains, karena diturunkan oleh Allah Yang Maha Tahu. Inilah hubungan yang dikembangkan banyak muslim saat ini, dan yang menonjol adalah Harun Yahya. Hubungan ini mendapat banyak kritik, bahwa hubungan ini hanya sekedar menghubung-hubungkan hal-hal yang semula tidak berhubungan (othak-athik-gathuk), karena para ilmuwan muslim masa lalu pun tidak berpikir ke sana, dan hubungan ini belum berhasil mendorong kreatifitas muslim dalam meneliti atau mendapatkan fakta sains baru. Hubungan ini juga bisa berdampak negatif, ketika fakta sains yang dimaksud ternyata di masa depan harus dikoreksi secara signifikan, karena ada data atau model analisis yang baru.
Di luar paradigma ini ada usaha-usaha untuk “menggantikan” asumsi-asumsi dasar yang ada pada “sains-sekuler” saat ini dengan Islam. Misalnya mengganti “teori-kekekalan-massa-energi” di fisika, dengan alasan yang kekal hanya Allah. Tetapi sebenarnya penggantian asumsi ini tidak relevan dengan sains itu sendiri, karena yang dimaksud “kekekalan massa-energi” dalam fisika adalah “kekekalan pada skala laboratorium”. Fisika tidak membahas dunia di saat penciptaan ataupun di saat kiamat nanti, karena tidak bisa diuji. Kita memang mengasumsikan bahwa hukum-hukum fisika yang kita kenal itu berlaku di seluruh jagad raya dan kapanpun. Mengapa? Karena kita tidak bisa mendapatkan hukum-hukum fisika lain di sesuatu yang tidak bisa kita hadirkan untuk diuji. Jadi asumsi dasar apakah dunia diciptakan Allah (sebagaimana keimanan seorang muslim) atau muncul dengan sendirinya (seperti keyakinan seorang atheis), tidak akan berpengeraruh pada rumusan hubungan antar fenomena alam semesta di dalam sains itu sendiri.
3. SAINTIFIKASI ISLAM
Saintifikasi Islam juga baru muncul abad-20. Idenya adalah bagaimana agar perintah-perintah Islam dapat dipahami secara ilmiah. Misalnya bahwa tata cara sholat memang akan menghasilkan dampak positif secara fisiologis/psikologis, atau bahwa penerapan mata uang tunggal berupa dinar-emas/dirham-perak akan menghasilkan kondisi ekonomi yang terbaik. Contoh ilmuwan yang beberapa kali menggunakan paradigma hubungan ini adalah Prof. Dadang Hawari. Beliau melakukan riset yang mendalam dengan alat-alat pencatat denyut jantung (EKG) atau sinyal otak (EEG), juga mengambil sampel darah dan menganalisisnya, pada orang-orang yang rajin melakukan sholat (khususnya tahajud) dan puasa. Secara umum sebagai upaya memuaskan rasa ingin tahu, hal ini sah-sah saja, dan juga diakui sebagai aktivitas saintifik. Hanya saja, hasil riset seperti ini tidak akan menambah atau mengurangi norma perintah/larangan yang diberikan oleh Islam. Aktivitas saintiifikasi Islam juga tidak produktif pada aspek-aspek yang didiamkan (tidak diatur secara tegas) oleh agama.
4. SAINS TA’WILI
Sains Ta’wili juga baru mengalami “kebangkitan” di abad-20. Bentuknya adalah menggali ayat-ayat Qur’an atau hadits Nabi, lalu mencoba membuat postulat yang dianggap ilmiah, dengan mengabaikan uji teori secara empiris atau eksperimen. Contohnya adalah, ketika ada ayat tentang “Matahari beredar …” lalu “Bulan dan Bintang beredar …”, sedang tidak ada ayat yang berbunyi bahwa “Bumi beredar …”, maka mereka berkesimpulan bahwa pastilah Bumi ini pusat alam semesta. Kesimpulan ini jelas bertentangan dengan fakta-fakta keras yang menjadi dasar teknologi ruang angkasa saat ini. Tetapi para penganut sains ta’wili bersikukuh bahwa “Qur’an lah yang benar”. Mereka mengabaikan kenyataan bahwa pendapat mereka itu hanyalah ta’wil, bukan Qur’an itu sendiri. Banyak hal yang tidak disebutkan di dalam Qur’an, dan itu tidak berarti tidak ada atau tidak akan pernah ada. Existensi es di kutub-kutub bumi tidak disebutkan di dalam Qur’an, tetapi faktanya kan ada. Demikian juga bahwa suatu ketika mahluk hidup bisa dikembangbiakkan dengan teknik “cloning”, itu tidak berarti melawan ayat suci, karena sebenarnya Qur’an tidak pernah membicarakan hal itu. Sementara itu, di sisi sains juga banyak juga teori yang sebenarnya juga hanya ta’wil, bukan sains itu sendiri. Charles Darwin sebenarnya hanya mendapatkan fosil-fosil yang berbeda-beda dengan usia berbeda-beda, sehingga dia menyimpulkan adanya evolusi. Tetapi bahwa evolusi itu akan mengantarkan monyet menjadi manusia, tentu itu adalah ta’wil, karena tidak mungkin ada uji experimen untuk evolusi manusia. Waktu yang dibutuhkan akan sangat lama (ratusan ribu tahun). Di dunia Kristen, sains ta’wili atas Bibel mengantarkan mereka untuk menghukum para ilmuwan seperti Galileo atau Copernicus karena dianggap melawan ajaran gereja. Di dunia Islam, hal yang sama terulang sejak abad-20, ketika beberapa tokoh ulama di Saudi menggunakan sains ta’wili untuk menganggap kafir ilmuwan yang tidak percaya pada “teori Geosentris ala Islam”.
Contoh lain sains ta’wili banyak ditemui di dunia kesehatan. Ketika ada hadits shahih “Habatussaudah itu obat segala penyakit selain maut”, maka pendukung sains ta’wili dengan serta merta yakin bahwa habatussaudah itu dapat mengobati penyakit yang sekarang belum ketemu obatnya, seperti HIV/AIDS, dan ketika penderita tersebut akhirnya mati juga (karena tidak sembuh), mereka berkilah, “ya itu karena maut memang tidak bisa diobati”. Kalau seperti ini halnya, tentunya penyakit apapun bisa diklaim begitu saja. Yang jelas, perjalanan sejarah ilmuwan kedokteran salaf justru tidak seperti itu. Ibnu Sina, Abu Qasim az-Zahrawi atau Ibnu an-Nafs tidak berhenti dengan obat segala penyakit seperti habatussaudah. Mereka mengembangkan banyak hal, sampai ke pembedahan dsb, untuk menemukan metode pengobatan yang paling efektif, dan tidak membiarkan maut menjemput pasien, kecuali seluruh ikhtiar yang ilmiah sudah dikerjakan.
5. SAINS SEKULER
Sains sekuler adalah sains yang mendominasi dunia saat ini, ketika sains sama sekali menolak untuk menerima keberadaan Tuhan. Akibatnya, Tuhan tidak boleh dibawa-bawa ketika menggeluti sains, dalam bentuk apapun, baik itu sekedar sebagai inspirator, pagar yang mengatur metode ilmiahnya, hingga aplikasi penemuannya. Ilmuwan yang masih melibatkan Tuhan dalam kajian ilmiahnya dianggap sebagai saintis yang tidak serius. Tuhan biarlah berada di tempat terhomat, yang tidak diganggu oleh rumus dan falsifikasi. Tuhan biarlah tetap di ujung lorong sana di tempat-tempat yang tidak bisa dikunjungi sains. Yang menyedihkan, sains sekuler ini diajarkan pada anak-anak kita di semua mata pelajaran, termasuk di pelajaran agama, dan termasuk di sekolah-sekolah Islam.
Sebagian orang mengalami kesulitan membedakan paradigma-1 (SAINS ISLAM) dengan paradigma-5 (SAINS SEKULER). Sebagian penganut paradigma-4 (SAINS TA’WILI) bahkan menuduh praktisi paradigma-1 telah terjebak dalam sekulerisme, karena dianggap menolak dalil wahyu yang pasti benar, padahal yang disangka dalil itu masih mutasyabihat. SAINS ISLAM sangat berbeda dengan SAINS SEKULER di tiga hal, yaitu (1) inspirasi/motivasi mengembangkan sains, (2) metode mengembangkan sains, (3) pembatasan dalam aplikasi sains, yaitu teknologi/inovasi. Hasilnya: SAINS ISLAM akan jauh lebih berkah, karena didorong oleh semangat mensyukuri kebesaran Allah dan semangat menjadikan umat Islam umat terbaik bagi manusia, bukan semangat exploitasi manusia atas manusia lain; dikembangkan dengan mematuhi hukum syara’, bukan mengabaikannya; dan diterapkan untuk merahmati seluruh alam, bukan untuk menjajah.
(tentang hal ini lihat http://www.hidayatullah.com/read/21275/21/02/2012/antara-ilmuwan-islam-dan-sekuler.html)
Lantas kita akan memilih paradigma yang mana?
Dr. Fahmi Amhar
Pemerintah SBY jilid II ini konon meletakkan Reformasi Birokrasi sebagai prioritas pertama program-programnya. Ini karena aparat birokrasi pemerintahan adalah ujung tombak jalan tidaknya semua kebijakan politik. Mungkin orang sudah capai dengan janji-janji, apalagi terkait pemberantasan korupsi dan pengentasan kemiskinan. Birokrasi yang tidak proaktif jemput bola melayani rakyat, tidak transparan cara kerjanya serta tidak terukur prestasinya, menjadi sandungan yang serius bagi suatu negara, siapapun pemimpinnya, apapun ideologinya.
Seorang pemimpin – apalagi pemimpin tertinggi sebuah negara – memiliki tugas mulia untuk memberi arah yang jelas bagi birokrasi di bawahnya, mengoptimasi segala sumberdayanya (dan negara adalah pemilik terbesar sumberdaya, baik itu SDM, organisasi, alat, asset maupun keuangan), menerapkan SOP sekaligus memberi teladan, hingga mengawasi bahwa semua berjalan “on the track”. Tugas terakhir itu adalah tugas pengawasan (audit). Yang diaudit tentu saja cukup komprehensif, yaitu mutu layanan, biaya layanan (agar tidak mahal atau boros) dan kecepatan layanan (agar rakyat tak hilang kepercayaan yang biasa terjadi bila layanan tidak memuaskan).
Ternyata tugas terakhir ini sangat penting, sebab ini mirip muara sebuah “sungai birokrasi”. Dunia industri sepertinya bahkan sudah “mengenali” lebih awal dengan menerapkan standar ISO-9000 untuk manajemen mutu. Banyak juga peneliti yang lalu usul agar reformasi birokrasi mengacu juga ke ISO-9000.
Apakah orang percaya, bahwa sebuah negara dapat bertahan berabad-abad tanpa pengawasan yang baik? Tentu tidak. Demikian juga dengan Daulah Khilafah yang pernah jaya berabad-abad.
Kalau kita meneliti fragmen-fragmen sejarah, ternyata audit sudah dikerjakan oleh Rasulullah sendiri. Sebelum mengangkat para pejabatnya, Rasulullah pernah menguji sejauh mana hafalan Qur’an mereka. Kandidat yang hafal surat Al-Baqarah dan Ali-Imran mendapat score lebih tinggi, mungkin karena kedua surat ini sarat berisi hukum, sehingga ada jaminan bahwa pejabat tersebut mengerti benar “SOP” yang akan diterapkannya. Nabi juga pernah mengaudit kualitas tepung di pasar. Ternyata tepung itu kering di atas, tetapi basah di bawah. Dan itu menurut Nabi bisa jatuh ke delik penipuan konsumen.
Abu Bakar juga mengaudit sendiri pelaksanaan syariat zakat. Dan ketika ada suatu kaum berkilah untuk menolak membayar zakat, Abu Bakar menindaknya dengan tegas. Umar bin Khattab lebih ketat lagi dalam soal pengawasan. Dia sering menyamar lalu berkeliling negeri melihat apakah masih ada warga yang belum terlayani aparat birokrasinya. Umar juga kadang-kadang menguji integritas seseorang dengan pura-pura mengajak kolusi, seperti ketika beliau pura-pura ingin membeli domba dari seorang gembala. Dan dia juga benar-benar menghitung harta seluruh pejabatnya di awal dan akhir periode jabatannya. Setiap kelebihan yang tidak bisa dijelaskan secara syar’i, akan disita. Umar bahkan memberi sanksi pada seorang gubernur Mesir, ketika anak si gubernur menzhalimi rakyat kecil. Alasan Umar: si anak ini tidak berani zhalim bila ayahnya bukan pejabat, dan sayang ayahnya ini tidak mengawasi anaknya.
Khilafah juga menjamin pendidikan bagi seluruh rakyat, sehingga rakyat yang cerdas akan selalu mengawasi penguasa. Sejak masa Khulafaur Rasyidin, para sahabat tak pernah canggung dan takut mengkritik para Khalifah. Umar yang terkenal kesederhanaan dan keadilannya pun tak luput dari sikap kritis sahabat yang tak mau mendengarnya sebelum menjelaskan, darimana bajunya yang tampak lebih panjang dari rata-rata. Sampai Umar menjelaskan, bahwa bajunya disambung dengan milik anaknya, yang dikasihkan kepadanya.
Pada masa selanjutnya, audit seperti ini tidak lagi sekedar mengandalkan intuisi seorang pemimpin, tetapi sudah melibatkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, serta diterapkan di hampir semua bidang pelayanan publik.
Mungkin cabang ilmu yang paling cepat dipakai untuk audit adalah matematika. Kitab al-Jabar wal Muqobalah dari al-Khawarizmi (780-850 M), bukanlah buku ilmiah yang berat, tetapi buku praktis bagi banyak orang. Pedagang, petani, staf baitul maal, bahkan para hakim bisa dengan cepat menguji hitung-hitungannya menggunakan cara yang terjamin akurasinya. Lahirlah cikal bakal akuntansi. Maka pedagang bisa dengan cepat mengaudit para pegawainya yang bertransaksi di Syams atau Yaman. Petani bisa mengaudit klaim penggunaan air atau pupuk. Staf baitul maal lebih mudah menguji proposal pembagian zakat dari suatu kaum. Dan para hakim bisa cepat menghitung waris secara adil.
Cabang ilmu kedua yang terpakai untuk audit adalah geografi. Peta-peta yang mulai mendapatkan bentuk standar sejak masa Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934 M), Abu Rayhan al-Biruni (973-1048 M), Muhammad al-Idrisi (1100–1165 M) dan seterusnya, memudahkan para kepala daerah untuk mengawasi perkembangan wilayah di daerahnya. Posisi, distribusi dan kondisi wilayah yang dihuni lebih mudah dilihat, sehingga berapa jumlah aparat yang ditempatkan, hingga berapa jumlah zakat yang dapat ditarik, lebih mudah diperkirakan dengan akurat.
Cabang ketiga, mungkin ilmu kimia. Sejak Jabir ibn Hayyan (715-815 M) memperkenalkan metode ilmiah dalam percobaan material, menjadi semakin mudah bagi para pandai besi untuk menguji kemurnian logam mulia, atau bagi insinyur sipil untuk menguji apakah semen yang dipakai untuk membangun jembatan memang pada kualitas kekuatan yang ditetapkan. Metode analisis dalam ilmu kimia juga berguna untuk mengetahui apakah sebuah makanan memiliki resiko kesehatan, atau apakah sebuah lahan layak ditanami tanaman tertentu, atau cocok untuk dibangun hunian atau bahkan rumah sakit.
Tidak cuma prosesnya. Sumber Daya Manusianyapun diuji untuk menjamin kualitas layanan. Di bidang kesehatan, para tabib di masa khalifah Harun al-Rasyid secara teratur diuji kompetensinya. Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya. Mereka juga harus membuat rekam medis, sehingga setiap ada kejadian yang serius bisa dilacak bagaimana awal mulanya.
Bahkan pada saat peperangan, beberapa panglima muslim mengaudit sendiri kualitas persenjataan serta kesiapan pasukan. Sebelum merebut Konstantinopel, Sultan Mehmet II yang kemudian bergelar al-Fatih bahkan menanyai langsung intensitas dan kualitas ibadah anggota pasukannya, karena Rasulullah telah mengatakan bahwa Allah hanya akan membuka kota itu bagi pasukan yang terbaik – tentu tidak hanya yang terbaik senjata fisiknya, tetapi juga kualitas spiritualnya.
Ilmuwan Kimia mengaudit mutu barang di lab
Akhir-akhir ini publik diramaikan dengan isu mobil nasional, hasil karya perusahaan keluarga Kiat Motors dengan anak-anak sebuah SMK di Solo, sehingga dinamai “Kiat Esemka”. Mampukah mobil nasional benar-benar akan menjadi tuan di negeri yang sudah di-“kunci” secara regulasi oleh WTO (perdagangan bebas), secara faktual oleh agen-agen tunggal pemegang merek dari Jepang, Korea dan Eropa, dan secara kultural oleh mindset “inlander”? Sepertinya jalan panjang masih harus ditempuh. Untuk benar-benar sampai menjadi produk nasional yang membanggakan dan menjadi tuan di negeri sendiri, hasil karya akademis itu harus bersinergi dengan dunia pengusaha dan dunia penguasa.
Adalah Dr. Kusmayanto Kadiman, mantan rektor ITB yang pernah menjadi Menristek, yang mempopulerkan istilah “triple helix” untuk menggambarkan konstruksi ideal sinergi antara kalangan akademisi (yang memproduksi riset dan SDM dalam bidang sains & teknologi), kalangan bisnis (yang menggunakan hasil riset dan SDM tersebut), dan kalangan government / pemerintah (yang membuat regulasi agar semua berjalan lancar, sinergis, konstruktif dan bermartabat). Pak KK suka menyingkat triple helix ini menjadi “ABG”. Pada saat dia menjabat, kemanapun beliau pergi, beliau selalu promosi agar semua entitas ABG ini berpikir triple helix. Kalau disederhanakan, kira-kira bahasanya akan begini:”Percuma saja jadi peneliti senior, kalau risetnya tidak dipakai di dunia bisnis atau tidak dipedulikan birokrasi”.”Percuma saja jadi profesor, kalau anak didiknya gagal di dunia bisnis atau di birokrasi malah korupsi”.”Percuma saja jadi boss perusahaan besar, kalau tidak bisa memanfaatkan hasil riset dalam negeri”.”Percuma saja jadi birokrat, kalau tidak bisa memberi iklim yang kondusif untuk tumbuhnya riset ataupun bisnis berbasis riset dalam negeri”.
Kalau melihat sejarah bangsa lain, ternyata triple helix ini mencapai titik optimal kalau ketiganya melebur pada satu orang. Contohnya: Thomas Alva Edison, sang penemu lebih dari 1000 paten terkait penggunaan listrik, ternyata juga seorang pebisnis ulung (pendiri General Electric), dan terkenal lobby-lobby-nya dengan penguasa birokrasi di AS saat itu. Penemu lain di masanya, tapi kurang memiliki kemampuan triple helix ini – misal Nikola Tesla – cenderung kurang memiliki dampak seperti Edison. Hal yang sama juga terjadi pada Henry Ford, Seichiro Honda, Steve Jobs dan Bill Gates. Perkecualian mungkin pada Albert Einstein, karena beliau dikenal hanya memiliki “dual-helix”, yaitu sebagai saintis top peraih hadiah Nobel Fisika (akademisi) dan politisi (government) karena surat-suratnya ke Presiden AS saat itu agar mengembangkan bom atom. Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan, salah satu hal yang menarik di dunia teknologi abad 20-21 adalah “pribadi triple helix”. Merekalah yang membuat dunia memiliki bentuk seperti saat ini.
Pada masa Islam memiliki peradaban emas di masa khilafah, pribadi triple helix ini sangat banyak. Dimensinya juga tidak hanya di bidang sains dan bisnis, tetapi juga bisa ke arah seni, siyasah (politik) ataupun petualangan.
Coba lihat beberapa contoh:
Umar Khayyam adalah mujtahid, tetapi juga matematikawan dan sastrawan. Triple helixnya dapat disingkat “3S” : Syariah – Sains – Seni. Hebatnya, di helix sains, Umar Khayyam menghasilkan penemuan di berbagai disiplin ilmu.
Muhammad al-Fatih adalah pemimpin pembebasan Konstantinopel (yang diramalkan Rasulullah sebagai sebaik-baik panglima), tetapi ternyata beliau juga seorang teknokrat ulung yang memahami dengan detil berbagai sains teknologi peperangan (beliau merancang konstruksi super-gun, dan juga memberikan metode memindahkan kapal melewati perbukitan) dan seorang eksekutif yang sangat paham hukum syariah. Triple helixnya adalah juga “3S” : Siyasah (strategi) – Sains – Syariah.
Ibnu Batutah adalah traveller yang berkelana lebih dari 75000 Km (sebuah jarak hampir 2x mengelilingi bumi), di beberapa tempat ditunjuk sebagai hakim, dan kemudian menuliskan seluruh pengalamannya secara sistematik dalam beberapa buku yang menjadi rujukan ilmiah geografi, politik, antropologi dll selama berabad-abad. Triple Helix Ibnu Batutah adalah “3S” juga: Spatialist (traveller) – Syariah – Sains.
Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi adalah faqih, matematikawan top (penemu aljabar), dan juga pedagang (dia mengenal angka India – yang kemudian diadopsi dalam bukunya dan menjadi “angka Arab” – karena interaksinya dengan para pedagang). Kitab Aljabar wal Muqobalah menjadi populer salah satunya karena dipakai dalam akuntansi perdagangan!
Triple Helix al-Khwarizmi adalah “3S” juga: Syariah – Sains – bisniS. 🙂
Ternyata, helix yang sangat dominan di sejarah Islam dan selalu ada adalah: Syariah!
Sekarang kembali kepada kita: akan mengambil triple helix yang mana?