Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Spiritual’ Category

Financial-Spiritual-Revolution

Saturday, September 1st, 2012

Prof. Dr. Fahmi Amhar

Kecerdasan finansial adalah kecerdasan unik.  Dia bukan termasuk kecerdasan elementer yang menurut pakar multiple-intelligence Howard Gardner terdiri dari kecerdasan logika-matematika, linguistik (bahasa), spasial (keruangan), musikal, kinestetik (gerak), interpersonal, intrapersonal, naturalis dan eksistensial.

Kecerdasan finansial sedikit banyak merupakan “senyawa” dari beberapa kecerdasan elementer.  Tentu kita sepakat bahwa ada logika-matematika di sana.  Seorang yang cerdas finansial tentu harus cepat berhitung bahwa meski cuma jualan cendol, kalau rata-rata punya dua gerai di setiap kabupaten/kota se Indonesia, maka omzetnya bisa satu milyar sehari.  Dia juga harus cepat menguasai “bahasa-bahasa gaul” di dunia bisnis.  Dia harus cepat tahu lokasi-lokasi strategis untuk mengembangkan pasar.  Bahkan pengenalan atas selera musik juga bisa menguntungkan, karena banyak warung yang menjadi berkelas hanya karena iringan musik, baik dari tape recorder maupun live dari musisi jalanan.  Dia harus cepat tanggap atas berbagai persoalan stakeholder, terutama SDM-nya.  Dia juga harus punya kemampuan introspeksi yang cepat, selain tahan banting walau ancaman terus menghadang.  Dia harus cepat menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi alam, misal kalau sekiranya beberapa hari ke depan hujan turun lebih sering, lebih baik dia switch dari jualan es-cendol menjadi bubur cendol (hangat).  Dan tentu saja dia harus cerdas menyandarkan eksistensinya di dunia ini kepada Sumber Segala Eksistensi, juga Sumber Segala Rizki, yaitu Allah swt.  Kecerdasan yang terakhir ini sering juga disebut kecerdasan spiritual (SQ).

Sayangnya, meski setiap orang cepat atau lambat akan berurusan dengan dunia finansial, kecerdasan finansial nyaris tidak pernah diajarkan di sekolah.  Bahkan hanya sedikit pengusaha yang mengasah kecerdasan finansialnya.  Padahal, kecerdasan ini seharusnya melekat baik pada anak sekolah, buruh, karyawan, PNS, ibu rumah tangga, pengusaha, hingga para birokrat yang menjalankan negara.

Kecerdasan finansial (Financial Quotient, FQ) sebenarnya dapat diukur dengan sederhana.  Bayi yang baru lahir akan memiliki FQ=0.  Ketika seseorang mulai bekerja sehingga mendapatkan penghasilan sendiri yang mencukupi kebutuhannya, maka FQ=1 atau disebut telah meraih kemandirian finansial.   Kalau punya penghasilannya tapi belum mencukupi, maka FQ terletak di antara 0 dan 1.  Jika gajinya sudah melebihi kebutuhannya, FQ nya tetap = 1, karena bila dia mengalami sakit sehingga tidak bisa bekerja, atau bahkan di-PHK, dia masih akan terguncang.

Lain halnya bila dia memiliki sumber penghasilan pasif, yang tetap mengalir sekalipun dia karena suatu alasan tidak bekerja lagi.  Pada saat itu FQ beranjak lebih dari 1.  Ketika dari penghasilan pasif ini saja sudah mencukupi kebutuhannya, maka dikatakan FQ=2.  Pada titik ini dia benar-benar memiliki kebebasan finansial.  Kalau penghasilan pasif ini dua kali lipat dari kebutuhannya, maka FQ=3.  FQ ini ke atas tidak terbatas.  Orang seperti Bill Gates yang penghasilannya sebagai pemilik saham Microsoft barangkali sejuta kali kebutuhannya, dapat dikatakan memiliki FQ=1000001.  Memang itulah, rizki dari passive income bisa tak terbatas, selama kita cerdas meyiapkannya.

Seorang pengusaha tidak otomatis memiliki penghasilan pasif, kecuali dia benar-benar bisa bebas dalam aktivitasnya sehari-hari.  Dia tidak habis waktu mengurusi bisnisnya, karena sebagian besar telah dapat dikerjakan oleh sarana (mesin), ilmu (sistem) yang diciptakannya, dan SDM yang mendukungnya.  Tak heran bila Rasulullah mengatakan bahwa, “Bila mati anak Adam, maka terputuslah amalnya, kecuali shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak yang shaleh”.

Dalam dunia finansial, shadaqah jariyah adalah peralatan atau sarana fisik seperti sawah, pabrik, komputer atau kendaraan usaha.  Tentu saja semua tidak otomatis berproduksi menghasilkan passive income, tetapi juga perlu suatu ilmu atau sistem untuk menciptakan nilai tambah, dan SDM yang mampu menggerakkan semuanya dalam operasional sehari-hari.  Bila tiga komponen ini sudah jalan, maka bila orang itu sakit, pergi haji, tidur, bahkan mati sekalipun, uang tetap terus mengalir!

 

Bila seperti ini halnya, maka kecerdasan finansial memang tidak hanya perlu dimiliki kalangan pengusaha saja.  Pelajar atau karyawanpun perlu, agar mereka mempersiapkan diri, tidak makin tua makin terbelit dengan hutang yang akan merampas kemerdekaan mereka.  Para PNS perlu cerdas finansial, agar tidak terkaget-kaget dengan masa pensiun yang menyebabkan penghasilannya turun drastis.  Sedang para birokrat perlu agar tidak menjerumuskan daerah atau negerinya ke jebakan hutang, malah sukur-sukur bisa menciptakan passive-income bagi seluruh rakyatnya, sehingga negeri itu makin lama justru makin sejahtera.  Rakyatnya jadi punya waktu luang yang cukup untuk belajar Islam dan berjuang berdakwah menegakkan syariah dan khilafah.

Adapun dimensi spiritual dari kecerdasan finansial terletak pada tiga hal.  Pertama adalah dari motivasi finansial.  Seorang muslim tidak seharusnya hanya mencari uang demi hidup yang enak dan hari tua yang aman.  Seharusnyalah motivasinya yang utama adalah semangat mensukseskan ibadah yang perlu banyak uang, seperti naik haji, banyak shadaqah, wakaf atau menanggung anak yatim.  Kedua, caranya meraih kebebasan finansial itu juga dengan cara-cara yang berkah, yang dipagari oleh syariah.  Dan ketiga, kebebasan finansial yang diraihnya digunakan untuk tujuan-tujuan mulia yang lebih besar lagi, menyebarkan keberkahan ke dunia yang lebih luas!

Kalau sumbu kecerdasan finansial (FQ) adalah mendatar, maka sumbu kecerdasan spiritual (SQ) adalah ke atas.  Kombinasinya adalah vektor kecerdasan finansial-spiritual (FSQ).  Maka kita akan melihat bahwa untuk menaikkan besaran vektor itu, kita bisa menarik dimensi finansial, namun bisa juga dimensi spiritual.  Banyak shadaqah, banyak wakaf, banyak berdakwah terbukti sering memberi hasil yang lebih besar daripada sekedar investasi mesin baru, membeli ilmu baru, atau merekrut expert baru.  Ini terjadi karena dunia ini tidak sepenuhnya terletak pada garis yang bisa kita kendalikan atau kita pengaruhi.  Kondisi cuaca, selera pasar, perubahan politik dan ekonomi global kadang berjalan liar, dan di situlah upaya pada dimensi spiritual sering menghasilkan keajaiban-keajaiban yang makin membuktikan kehadiran Tuhan.

Kita mesti melatih anak-anak kita kecerdasan finansial yang sekaligus spiritual.  Permainan monopoli klasik yang hanya menyentuh dimensi finansial – sehingga cenderung sangat kapitalistik – perlu kita kembangkan sehingga juga memiliki dimensi spiritual.  Mungkin dengan itu, suatu saat kita bisa berharap muncul revolusi keberlimpahan finansial sekaligus keberkahan spiritual (Financial-Spritiual Revolution).

Beyond 5-Stars-preneur

Saturday, July 28th, 2012

Prof. Dr. Fahmi Amhar

Bagaimana menjadi pengusaha sukses, itu sebenarnya sangat sulit ditularkan melalui pendidikan ataupun training.  Kata orang-orang “sakti”, ilmu pengusaha itu adalah salah satu dari ilmu-ilmu yang tidak bisa diajarkan, tetapi harus diraih sendiri dengan sebuah “laku prihatin” di “rimba- ekonomi”.  Konon hanya dua dari sepuluh orang yang melintasi rimba tersebut yang selamat dan hanya satu di antara seratus mereka yang benar-benar menjadi “sakti”.

Karena itu, setelah seseorang akhirnya berhasil mengatasi berbagai kesulitan seperti marketing, memperoleh pemasok, mendapat SDM yang amanah dan kafaah, menjaga cash-flow, membuat sistem dan lika-liku administrasi lainnya, akhirnya berhak diberi bintang.  Mereka yang akhirnya usahanya bisa running sendiri, menghasilkan passive-income yang cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya, tanpa dia habis waktu di dalamnya, itu kecerdasan finansialnya (FQ) sudah di atas 2.  Dia telah terangkat dari sekedar posisi “kemandirian finansial” (FQ=1) menjadi “kebebasan finansial” (FQ >= 2).  Tetapi bintang yang pantas diberikan baru satu!  Dia baru menjadi “1-Star-preneur” – berapapun omzet atau laba yang diterimanya!

Kenapa?  Karena dengan perjalanan waktu, perkembangan teknologi dan perubahan sosial-politik, apa yang semula tampak bisnis yang menguntungkan, suatu saat bisa berubah drastis.  Karena itu, seorang pengusaha harus mampu terus menghasilkan inovasi.  Inovasi ini bisa pada jenis produknya, kualitasnya, kemasannya, bisa pula pada teknik pemasarannya, sasaran konsumennya, model bisnisnya, dan sebagainya.  Inovasi harus menjadi budaya usaha.  Hanya dengan inovasi ini, perusahaan akan terus berlayar di “samudra biru”, dan terhindar memasuki arena “samudra merah” yang berdarah-darah.  Hanya pengusaha yang inovatiflah yang pantas mendapat 2 bintang, “2-Stars-preneur”.

Namun inovator manapun suatu saat akan tua dan mati.  Di negeri ini, masih sedikit usaha yang mampu bertahan hingga generasi ketiga.  Anak-anak pengusaha biasanya tidak memiliki semangat juang dan passion seperti orang tua mereka.  Demikian juga para tokoh-tokoh kunci di usaha itu.  Karena itu merupakan kehebatan tersendiri bagi pengusaha yang terus menginspirasi orang lain, mulai dari keluarganya, anak-buahnya, stakeholdernya, sampai orang-orang yang tidak mengenalnya secara langsung.  Mereka semua terus terinspirasi, bahkan melahirkan pengusaha baru.  Inilah pengusaha yang pantas mendapat 3 bintang, “3-Stars-preneur”.

Tadi dikatakan bahwa terkadang landscape sosial-politik di masa depan bisa berubah drastis, dan itu mau tak mau akan berpengaruh di dunia usaha.  Tak ada yang bisa meramal masa depan, tapi kita bisa berusaha agar masa depan ada dalam pengaruh kendali kita – setidaknya sebagiannya.  Caranya adalah dengan mengintegrasikan berbagai aspek dalam dunia bisnis kita.  Kita terlibat dalam aktivitas kenegarawanan.  Bisnis memang suatu aktivitas ekonomi, tetapi ikut terlibat dalam upaya agar iklim bisnis di negeri ini ke depan makin kondusif, itu adalah aktivitas politik.  Karena itu seorang pengusaha harus melek berbagai isu nasional, seperti isu-isu green-business, isu-isu good-corporate governance, hingga isu-isu shariah-business.  Kalau dia lalu melakukan pengembangan usaha yang mengintegrasikan ini semua, apalagi aktivitasnya memang berskala nasional, maka tiba saatnya dia mendapat 4 bintang, “4-Stars-preneur”.

Tapi, yang namanya dunia kini sudah menjadi desa global.  Krisis finansial di Amerika dan Eropa, ancaman perang di Teluk Persia, hingga memanasnya semenanjung Korea, cepat atau lambat akan berpengaruh pada dunia bisnis di tanah air.  Memahami konteks politik internasional kini, dan mengambil sikap sebagai warga negara yang semestinya independen, akan menjadikan kita pengusaha yang pantas diperhitungkan di kancah internasional, apalagi bila bisnis kita memang tidak lagi disekat-sekat oleh batas-batas negara.  Untuk pengusaha seperti ini kita pantas memberikannya 5 bintang, “5-Stars-preneur”.

Apakah masih ada yang lebih tinggi lagi?  Ternyata ada!

Seorang yang telah mendapatkan 5 bintang pun, sedikit banyak masih menjadikan profit atau pertumbuhan asset sebagai indikator kemajuan usahanya.  Fakta juga menunjukkan bahwa baik di Timur maupun Barat, banyak 5-Stars-preneur yang tidak tergantung pada jenis usaha, lokasi usaha, agama maupun orientasi politiknya.

Tetapi ada memang pengusaha yang sedari awal memiliki agenda tertentu.  Dia tidak sekedar ingin menjadi pengusaha sukses dengan keuntungan berlimpah, tetapi dia ingin membawa agenda perubahan yang mendasar pada masyarakat.  Misalnya, dia ingin melihat masyarakat yang bebas atau demokratis, yang menjadikan selera publik sebagai acuan tanpa harus “terbelenggu” agama tertentu.  Pengusaha yang seperti ini dikatakan pengusaha yang ideologis – lepas dari soal kita setuju atau tidak dengan ideologi yang diyakininya.  Mereka ini adalah pengusaha dengan 6 bintang.  Pengusaha kelas dunia seperti John-Rockefeller adalah contoh legendaris seorang 6-Stars-preneur.

Tetapi di atas itu masih ada satu tingkatan lagi.  Seorang pengusaha yang tidak hanya menatap dunia yang dapat terlihat dengan matanya, tetapi juga dunia yang tidak kasat mata.  Mereka meyakini apa-apa yang berasal dari sebuah sumber yang hanya terjangkau dengan iman.  Itulah pengusaha muslim sejati.  Iman seorang pengusaha muslim mewajibkannya untuk berpikir rasional dan menjauhi segala syirik dan mitos.  Sebagai muslim, dia tidak akan menggunakan cara-cara irrasional, seperti mengenakan jimat atau percaya kepada hari-hari baik/sial.  Dia semata-mata menggunakan cara-cara yang ilmiah, sebelum menyerahkan hasilnya kepada Allah swt.  Dia tahu bahwa Allah akan memberikan yang terbaik baginya, mungkin tidak sekarang, mungkin tidak berujud manfaat material, tetapi juga intelektual, emosional, sosial, dan spiritual.  Pada saat yang sama, dia akan memotivasi diri dengan ajaran-ajaran Islam untuk memberi manfaat kepada orang ramai, juga terinspirasi oleh berbagai ayat yang akan membuatnya inovatif.  Ajaran Islam tentang “amal yang tak terputus ketika mati” akan mendorongnya untuk memaksimalkan wakaf berbagai fasilitas umum, berbagi ilmu ke orang banyak, juga menginspirasi sebanyak mungkin manusia agar mengikuti langkah suksesnya.  Dia juga terlibat dalam aktivitas politik agar syariah Islam bisa tegak di negeri ini, agar tak cuma iklim bisnis semakin kondusif, tetapi juga konsumen makin cerdas, terlindungi serta meraih berbagai kemuliaan.  Pandangannya juga tak hanya berhenti di batas negara, tetapi mendunia.  Islam sedari awal adalah sebuah ajaran global untuk rahmat seluruh alam.  Dan untuk itulah, dia terlibat dalam sebuah perjuangan yang ideologis untuk menegakkan Khilafah.  Inilah pengusaha muslim yang pantas mendapat 7 bintang “7-Stars-preneur”.  Semoga Anda salah satu di antara merreka!

Saat Hidup Menguji Siswa

Monday, June 4th, 2012
Dr. Fahmi AmharBerapakah angka kelulusan Ujian Nasional (UN) di daerah Anda?  Di atas 90%?  Percayakah Anda bahwa semuanya didapat dengan kejujuran?  Prof. Dr. Ir. Indra Djati Sidi, mantan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah pernah di suatu acara di Direktorat Pembinaan SMP tahun 2009 menyampaikan bahwa indeks objektivitas UN SMA bidang Matematika IPA hanya 0,383 (dari maksimum 1), sedang untuk Bahasa Inggris cuma 0,411.  Jadi meski angka lulus nasional waktu itu mencapai 93,5%, dan dengan rerata nilai 7,31, tetapi sudah rahasia umum, bahwa itu hasil bohong-bohongan, yang sayangnya dilakukan sistemik oleh pemerintah daerah, dinas pendidikan setempat dan para guru !  Hasilnya adalah “lulusan dodol”, hasil didikan “guru dodol” yang diurus oleh “penguasa dodol”.

Semula, UN diadakan untuk memetakan kualitas sekolah.  Sekolah yang hasil UN-nya masih rendah, perlu lebih diperhatikan kelengkapan sarananya, mungkin gurunya perlu diberikan diklat penyegaran, bahkan ekonomi orang tua siswa perlu ditingkatkan.  Namun ketika UN dijadikan alat ukur kelulusan siswa dan alat ukur keberhasilan daerah, maka penguasa daerah menghalalkan segala cara agar daerahnya tampak kinclong, minimal pada nilai UN.

Padahal sekalipun UN didapatkan dengan jujur dan bermartabat, tetap saja UN baru mengukur sedikit dari kompetensi anak didik.  Terlalu banyak hal yang masih belum terukur dengan UN, misalnya kreativitas, integritas, kemampuan menaklukkan tantangan dan sebagainya.

Jika pendidikan terus dengan sistem yang membiarkan terjadinya “kedodolan” ini, maka tak perlu heran bahwa 25 tahun mendatang, boleh jadi tingkat butu huruf sekunder di Indonesia mencapai 30-40%.  Seperti apa negara seperti itu?  Seperti Eropa!

Eropa abad 9 – 12 M memiliki tingkat buta huruf 95%! Bahkan Kaisar Karl dari Aachen di usia tuanya konon masih berusaha mempelajari “keterampilan yang sulit dan langka” itu!  Di biara-biara hanya sedikit pendeta yang mampu membaca.  Di biara St Gallen Swiss pada 1291 bahkan tak ada seorangpun dapat membaca dan menulis.  Pada saat yang sama, jutaan anak-anak di desa dan kota Daulah Khilafah duduk di atas karpet dan mengeja huruf-huruf Qur’an, menulisnya, hingga menghafal surat-surat itu, lalu memulai mempelajari dasar-dasar gramatika bahasa Arab (nahwu dan shorof).

Keinginan seorang muslim untuk menjadi muslim yang baik, adalah awal semua ini.  Karena setiap muslim mesti mampu membaca Qur’an.  Di sinilah jurang antara Timur dan Barat.  Untuk kitab suci Nasrani, hanya pendeta yang memiliki akses, membaca dan mengerti bahasa kitab suci.  Namun sejak 800 M, para pengkhutbah dalam bahasa Latin sudah susah dimengerti orang kebanyakan, sampai-sampai sinode gereja memerintahkan menggunakan idiom awam, karena yang menikmati sekolah (berbahasa Latin) hanya selapis tipis rohaniwan.

Ini berbeda dengan Daulah Khilafah yang sangat berkepentingan agar rakyatnya cerdas.  Pendidikan benar-benar menjadi urusannya.  Anak-anak semua kelas sosial mengunjungi pendidikan dasar, dengan biaya yang terjangkau semua orang.  Karena negara membayar para gurunya, orang-orang miskin mendapat tempat cuma-cuma.  Di banyak tempat malah sekolah sama sekali gratis, misalnya di Spanyol.  Selain 80 sekolah umum Cordoba yang didirikan al-Hakam-II pada 965 M, masih ada 27 sekolah khusus untuk anak-anak miskin.  Di Kairo, al-Mansur Qalawun mendirikan sekolah untuk anak yatim, dan menganggarkan setiap hari ransum makanan yang cukup dan satu stel baju untuk musim dingin dan satu stel baju untuk musim panas.  Bahkan untuk orang-orang Badui yang berpindah-pindah, dikirim guru yang juga siap berpindah-pindah mengikuti tempat tinggal muridnya.  Tak ada lagi celah dalam jejaring sekolah seperti ini.

Namun pendidikan di Daulah Khilafah tidak terbatas pada pendidikan dasar.  Yang “salah” adalah politik. Kompetisi antara oposisi dan pemerintah dalam melayani rakyat menyebabkan tingkat pendidikan cepat terangkat.  Pada abad-10 M, oposisi meluncurkan konsep berbagai program pendidikan untuk lebih menarik dukungan masyarakat dalam mengkritisi pemerintah.  Para oposisi ini merencanakan membangun universitas, tentunya juga bebas biaya.  Maka segera pemerintah mengambil ide ini, agar oposisi batal mendapat dukungan.  Hasilnya rakyat di seluruh kota besar menikmati pendidikan tinggi!

Para mahasiswa tinggal di kamar-kamar lantai atas gedung kampus.  Mereka juga mendapat makanan lengkap cuma-cuma, bahkan uang saku.  Di bawah tanah terdapat dapur, gudang dan tempat mandi.  Di lantai dasar ada ruang-ruang belajar dan perpustakaan.  Di situlah dipelajari Quran, Hadits, Bahasa Arab, Sejarah, Sosiologi, Geografi, Logika, Matematika dan Astronomi.  Melalui pertanyaan dan debat, mahasiswa dilibatkan dalam proses pembelajaran.  Para mahasiswa tingkat lanjut dan alumni membantu mereka belajar.  Mereka seperti “lebah yang sedang meracik madu ilmu dari ribuan bunga pengetahuan”, tulis Sigrid Hunke, sejarawan Jerman dalam Allah Sonne ueber dem Abendland.

Sebagian petani dari desa menitipkan anak mereka ke seorang guru di kota, bersama uang atau hasil bumi untuk biaya hidupnya.  Mereka berharap anaknya akan tumbuh menjadi seorang faqih yang kelak diterima sebagai qadhi atau bahkan syukur-syukur menjadi mujtahid Khalifah.  Anak-anak titipan ini akan menjadi “ajudan” dari sang guru.  Sebagai balas jasa, sang guru akan merawatnya jika si anak sakit, bahkan siap menjual keledai satu-satunya jika dia perlu membeli obat.

Namun jalan umum untuk belajar adalah di masjid-masjid.  Siapa saja boleh datang dan pergi, laki ataupun perempuan.  Dan siapa saja boleh menginterupsi para guru untuk bertanya atau membantah.  Ini memaksa para guru untuk mempersiapkan materinya dengan seksama.  Sebenarnya, siapapun yang merasa mampu boleh mengajar.  Namun audiensnya yang selalu siap mengkritik, mencegah orang-orang yang belum matang atau baru setengah matang dalam ilmu untuk memimpin kalimat.

Di masjid-masjid juga biasa didengarkan kalimat dari para ulama yang sedang dalam perjalanan yang singgah di kota itu, terutama ketika musim haji.  Dengan demikian para mahasiswa selalu mendapatkan masukan.  Bahkan juga cepat tahu bila ada karya yang “dicuri” mentah-mentah (plagiarism).  Untuk mengungkap karya orang lain, sanad atau rawi wajib disebutkan.  Dan untuk itu perlu ada ijazah (lisensi) tertulis dari gurunya, bahwa dia layak untuk menjadi sanad dari pengetahuan tersebut.  Inilah mengapa gelar sarjana di timur tengah adalah Lc. dari kata Licentiate – berlisensi untuk menyampaikan.

Dunia Islam memberi inspirasi seluruh manusia untuk belajar, karena belajar adalah satu-satunya jalan untuk mengenal Tuhan dan mendapatkan hikmah kehidupan.