Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Spiritual’ Category

Mencari Ilmu yang Paling Utama

Thursday, December 27th, 2012

Dr. Fahmi Amhar

di publish Mediaumat.com (19/12/2012)

Apakah ilmu yang paling utama untuk dipelajari umat Islam?  Dalam beberapa kali seminar tentang peradaban Islam, di mana disampaikan berbagai prestasi sains dan teknologi umat Islam di masa Khilafah, sering muncul pertanyaan, “apakah itu ilmu-ilmu yang paling utama, yang akan mendekatkan kita kepada Allah?”

Mencari Ilmu Paling utama

Mencari Ilmu Paling utama

Di sisi lain ada fenomena di antara calon mahasiswa (Muslim) yang galau ketika memilih program studi di perguruan tinggi.  Ada di antara mereka yang bertanya, “Ustadz, keahlian apa yang paling utama jika nanti Khilafah tegak kembali, saya ingin mengambil program studi itu saja”.  Sementara itu ada fenomena, sebagian mahasiswa Muslim di universitas favorit –  justru mereka yang berprestasi – telah memilih berhenti kuliah dengan alasan mereka merasa telah “tersesat”, karena belajar ilmu-ilmu “sekuler” (seperti kedokteran atau teknik), sementara ilmu-ilmu yang terkait kebahagiaan dunia dan akhirat (yaitu ilmu-ilmu agama) belum cukup mereka teguk.

Di dunia pendidikan sendiri rupanya, soal ilmu apa yang paling utama diajarkan ke anak didik ini, masih terus diperdebatkan.  Anak-anak sekolah dasar kita tampak kelebihan beban, bahkan dalam arti harfiah.  Di beberapa sekolah dasar Islam, tas ransel yang dibawa siswa SD itu sangat berat.  Untuk pelajaran bahasa saja, mereka harus belajar empat bahasa: Indonesia, Inggris, Arab dan bahasa daerah.  Kementerian Pendidikan bermaksud memangkas sejumlah pelajaran, bahkan termasuk IPA yang akan dimasukkan ke pelajaran Matematika, dan IPS akan dimasukkan ke pelajaran Bahasa Indonesia.

Maka seperti apakah para ulama terdahulu itu mencari ilmu dan mengetahui ilmu yang paling utama itu, sehingga kemudian mereka mampu menguasai sains dan teknologi pada usia yang sangat muda dan sangat produktif menghasilkan kreasi-kreasi baru pada zamannya?

Kita harus melihat bahwa keadaan masyarakat zaman Khilafah masih tegak dengan sekarang sangatlah berbeda.

Pada masa itu, pendidikan masih memiliki visi dan misi yang sangat jelas.  Mereka ingin mencetak generasi hamba Allah yang taat, menjadi umat terbaik untuk dihadirkan ke tengah manusia, dan cakap memberi rahmat ke seluruh alam.  Oleh sebab itu, seluruh pelajaran dan bidang ilmu dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi diarahkan ke sana.

Dari segi prioritas juga sangat jelas: amal yang fardhu ‘ain bagi seseorang, maka mempelajari ilmunya juga fardhu ’ain.  Amal yang fardhu kifayah, ilmunya juga fardhu kifayah.  Amalan sunnah, ilmunya juga sunnah.  Demikian seterusnya untuk yang mubah, makruh dan haram.  Karena itu, belajar cara membuat khamr atau ilmu tenung, hukumnya jelas haram.

Adapun ilmu yang fardhu ‘ain itu cukup banyak.  Ilmu tentang tatacara ibadah mahdhoh (thaharah, shalat, puasa) atau tentang akidah dasar, mengetahui halal-haram sehari-hari, membaca Alquran, bahasa Arab dasar, itu fardhu dipelajari sebelum seseorang baligh. Untuk wanita hamil, adalah fardhu ‘ain belajar soal tatacara merawat dan menyusui bayi.  Orang yang akan diangkat dalam suatu jabatan atau memangku sebuah profesi, maka fardhu ‘ain baginya mempelajari segala sesuatu yang terkait jabatan atau profesi itu.  Tidak bisa diterima orang yang diangkat sebagai sekretaris tapi belum mampu membaca atau menulis.  Atau orang diangkat sebagai kepala daerah tapi buta soal geografi, hukum, seluk beluk birokrasi atau wawasan politik.

Di sisi lain, sebagian besar ilmu sesungguhnya masuk kategori fardhu kifayah.  Ilmu akidah dalam kedalamannya, ilmu fiqih dan ushul fiqih dalam kedalamannya, ilmu tafsir dan hadits, ilmu mengurus jenazah, bahasa dan sastra Arab, dan juga sains dan teknologi dalam kedalamannya, mulai dari teknik membuat sumur hingga merancang pesawat, dari menjahit baju hingga menjahit luka sebagai dokter bedah, adalah ilmu-ilmu yang bila di suatu wilayah tidak cukup jumlahnya untuk memenuhi kebutuhan umat, maka semua yang belum terlibat masih berdosa.

Oleh sebab itu menjadi jelas, bahwa ilmu yang paling utama untuk diajarkan di pendidikan dasar adalah ilmu-ilmu fardhu ‘ain untuk menyambut akil baligh.  Termasuk yang ditanamkan sejak dini adalah kecintaannya pada ilmu, pada para ilmuwan, dan pada proses pembelajaran.  Wahyu pertama adalah soal membaca, bagian paling penting dalam belajar.

Dan itu pula yang terjadi dengan para ilmuwan di masa lalu.  Nyaris seluruhnya bahkan telah hafal Alquran sebelum 10  tahun. Sedang bahasa Arab telah menjadi bahasa sehari-hari sejak Negara Khilafah melayani daerah kelahirannya. Sedang minat mereka dalam mencari ilmu telah menyala-nyala.  Sebagian mereka bahkan sudah menuntaskan ilmu fardhu ‘ain-nya jauh sebelum baligh (yang paling lambat usia 15 tahun), sehingga mereka sudah bisa fokus pada berbagai ilmu fardhu kifayah yang dibutuhkan umat.

Maka bisa dipahami bahwa tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina (980-1037), al-Idrisi (1100–1165), Ibn Battutah (1305-1368) dan Mimar Sinan (1489-1588), itu jumlahnya saat itu tidak sedikit.

Ibnu Sina di usia 10 sudah hafal Alquran dan kitab-kitab kuno.  Setelah ia menamatkan fiqih pada seorang faqih dan aritmatika pada seorang pedagang, ayahnya memanggil Abu Abdullah an-Natsibi, yang terkenal sebagai filosof dan matematikawan.  Tapi tak lama kemudian terbukti sang murid lebih pandai dari gurunya.  Baru saja gurunya mengajari 5-6 gambar dari kitab geometri karya Euklides, Ibnu Sina melanjutkan sendiri dengan bantuan kitab syarah.  Selesai kitab Euklid, dia teruskan dengan Almagest dari Ptolomeus, yakni kitab astronomi termasyhur saat itu.  Itupun tidak lama.  Dia kemudian pindah ke fisika, lalu di bawah bimbingan Isa bin Yahya al Masihi, ke kedokteran.  Dia diminta membaca buku yang tersulit.  Belakangan dia katakan kedokteran tidak sulit, karena dia hanya butuh waktu singkat.  Saat menamatkan semua ini, usianya baru 16!  Maka Sultan memanggilnya untuk menjadi ilmuwan istana.  Dia menambah ilmunya lagi dengan belajar di perpustakaan sultan dan di rumah sakit.  Di usia 18, dia benar-benar menamatkan semua yang dapat dipelajarinya.

Al-Idrisi pada usia muda dia sudah gemar bepergian ke tempat-tempat yang jauh, ke Eropa, Asia dan Afrika, untuk mengumpulkan sendiri data dan fakta geografi.  Walhasil, pada usia di bawah 30 tahun, dia sudah menulis kitab geografi berjudul “Nuzhat al Mushtaq fi Ikhtiraq al-Afat” (Tempat Orang yang Rindu Menembus Cakrawala). Kitab ini berpengaruh di Barat sehingga diterjemahkan menjadi  “Geographia Nubiensis”.

Sedang Ibn Battutah adalah ulama, qadhi, penjelajah dan geografer. Hingga wafatnya dia telah melawat sejauh 117.000 km, meliputi seluruh dunia Islam yang telah dikenal dan selebihnya, sejak dari Afrika Barat, Afrika Utara, Eropa Selatan, Eropa Timur, Timur Tengah, India, Asia Tengah, hingga Cina.  Total 44 negara modern telah dia jelajahi, jauh melampaui penjelajah paling top hingga saat itu yaitu Marco Polo.  Dan dia memulainya pada usia 20 tahun!

Kemudian Mimar Sinan, arsitek Daulah Utsmaniyah ketika wafat pada usia hampir 100 tahun, ternyata telah membangun 94 masjid besar, 52 masjid kecil, 57 sekolah tinggi, 48 pemandian umum (hamam), 35 istana, 20 rest area (caravanserai), 17 dapur umum (imaret), 8 jembatan besar, 8 gudang logistik (granisaries), 7 sekolah Alquran, 6 saluran air (aquaduct), dan 3 rumah sakit.

Orang-orang ini telah berhasil mempelajari ilmu dari yang paling utama, di negeri yang menerapkan politik yang utama.

Matematika Ramah Keluarga

Thursday, December 27th, 2012

Oleh: Dr. Fahmi Amhar

di publish Mediaumat.com (19/11/2012)

Setelah baca tulis, tingkat kecerdasan seseorang diukur dengan matematika. Ini berlaku juga untuk skala keluarga maupun skala bangsa.  Berapa kira-kira skala matematika keluarga Anda?  Apakah Anda puas dengan matematika yang pernah diperoleh di bangku sekolah?  Apakah matematika yang Anda lihat sudah “ramah keluarga”, sehingga Anda merasakan gunanya di kehidupan sehari-hari, dan anak-anak Anda bersemangat mempelajarinya?

Islam tidak hanya mengangkat peradaban di tingkat elite, tetapi juga untuk tingkat rumah tangga rakyat jelata.  Seperti membaca dan menulis, matematika juga di bawah Islam menjadi ilmu yang dikuasai nyaris oleh semua anak-anak yang menuntut ilmu, di mana akses sekolah telah dibuka selebar-lebarnya.

Namun salah seorang matematikawan yang paling berjasa menjadikan matematika “ramah keluarga” ini adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780 – 850 M).

Masa remaja Al-Khawarizmi di Khurasan (Iran) tidak banyak diketahui.  Yang jelas dia kemudian berkarier sebagai matematikawan di Baitul Hikmah (Akademi Ilmu Pengetahuan) di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah al-Mansur yang berkuasa dari 754 – 775 M.  Semua orang tahu bahwa al-Makmun adalah politisi yang sangat antusias dengan logika dan matematika.  Dan al-Makmun tidak salah.  Al-Khawarizmi membuktikan diri sebagai orang pertama yang berhasil “mengawinkan” geometri Yunani dengan arimetika India, baik di kecanggihannya sehingga mampu memecahkan berbagai persoalan rumit, maupun di kesederhanaan bahasanya, sehingga dapat dipelajari oleh anak sekolah dasar.

Karya Al-Khawarizmi yang mengubah sejarah matematika sehingga dapat diterapkan di setiap rumah tangga, bukanlah karyanya canggih secara ilmiah, melainkan dua buah buku yang isinya terhitung ringan, meskipun yang satu memiliki judul yang menggetarkan: “Kitab Aljabar wa al-Muqobalah”, sedang satunya lagi sebuah buku tentang teknik berhitung dengan angka India, tentang bagaimana menjumlah, mengurangi, mengalikan dan membagi.  Pada abad-12 buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin dan tersebar di Eropa.  Lambat laun, teknik berhitung ala al-Khawarizmi disebut algorizmus, atau algoritma.

Algoritma akhirnya menggusur cara berhitung Yunani dengan abakus (seperti sempoa).  Abakus memang lebih cepat untuk menghitung angka-angka besar, namun hanya terbatas untuk operasi aritmetika sederhana (misalnya menjumlah harga dagangan).  Pada hitungan yang kompleks (seperti menghitung pembagian waris atau menghitung titik berat kapal), algoritma jauh lebih praktis, cepat dan akurat.

Anehnya bangsa Eropa sendiri kemudian sempat lupa asal-usul kata algoritma.  Ada yang menyangka algoritma berasal dari kata “alleos” (asing) dan “goros” (cara pandang), karena teknik ini memerlukan cara pandang yang baru.  Ada lagi yang menduga algoritma dari “algos” (pasir) dan “ritmos” (angka), atau teknik dengan angka-angka yang mampu menghitung obyek sebanyak pasir di pantai.  Ada juga yang menyangka bahwa algoritma adalah judul buku Mesir kuno seperti Almagest karya Ptolomeus.  Demikian puluhan teori muncul, sampai akhirnya pada 1845, Franzose Reinand menemukan kembali al-Khawarizmi dalam algoritma.  Salah satu buktinya adalah bahwa dalam perhitungan aritmetika, selalu dihitung satuan dulu yang ditaruh paling kanan, lalu ke kiri dengan puluhan dan seterusnya.  Sebagaimana huruf Arab ditulis dan dibaca dari kanan ke kiri.

Ilustrasi adu cepat berhitung antara kaum Abacist (yang menggunakan abakus) vs Algoritmiker (pengikut metode al-Khawarizmi), dan dimenangkan oleh kaum Algoritmiker.

Ilustrasi adu cepat berhitung antara kaum Abacist (yang menggunakan abakus) vs Algoritmiker (pengikut metode al-Khawarizmi), dan dimenangkan oleh kaum Algoritmiker.

Pada tahun 773 Masehi, seorang astronom India bernama Kankah mengunjungi al-Mansur.  Lelaki itu membawa buku berjudul Sindhind tentang aritmetika, yang dengannya dia terbukti mampu menghitung bintang dengan sangat baik.  Al-Mansur lalu memerintahkan agar buku itu diterjemahkan ke bahasa Arab, kemudian agar dibuat sebuah pedoman untuk menghitung gerakan-gerakan planet.  Muhammad bin Ibrahim al-Fasari lalu membuat pedoman ini, yang di kalangan astronom kemudian disebut “Sindhind besar”.  Belakangan karya ini diedit ulang oleh Al-Khawarizmi.

Dengan karya ini, angka India menjadi populer.  Ketika Khalifah al-Walid I (668 – 715 M) menguasai Spanyol dan segera melarang penggunaan bahasa Yunani atau Latin dalam urusan resmi untuk diganti bahasa Arab, dia masih mengecualikan penggunaan angka Yunani, karena angka ini belum ada penggantinya.  Namun ketika buku al-Fasari dan al-Khawarizmi keluar, dengan segera “angka India” diadopsi tak hanya oleh birokrasi, tetapi juga kalangan pebisnis dan surveyor, bahkan akhirnya oleh ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak mereka. Bagi orang-orang Spanyol, angka yang dibawa oleh para matematikawan Muslim yang berbahasa Arab ini lalu disebut “Angka Arab”.  Matematika akhirnya bisa menjadi cabang ilmu yang ramah keluarga.

Pada masa Yunani kuno, para matematikawan lebih asyik berfilosofi tentang geometri daripada memikirkan aplikasi praktis capaian geometri mereka.  Contoh: mereka telah berhasil menghitung hubungan jari-jari lingkaran dengan keliling lingkaran, yaitu bilangan pi (π).  Karena nilai pi ini saat dihitung “tidak mau selesai”, maka bilangan ini disebut “trancendental”, artinya: hanya Tuhan yang tahu.

Kalau sebuah bidang memotong kerucut dan membentuk suatu bangun geometri (ellips, parabola atau hiperbola) lalu pertanyaannya berapa luas atau keliling bangun tersebut, maka geometri Yunani tak lagi bisa memberi jawaban.  Pada saat yang sama, seni berhitung ala India juga tak pernah dipakai menghitung persoalan serumit ini.  Di sinilah Al-Khawarizmi “mengawinkan” aritmetika dan geometri. Potongan kerucut dengan bidang menghasilkan beberapa unknown (yang nilainya dicari), yang akan ditemukan kalau rumus bidang datar, kerucut dan kemiringan perpotongan disatukan lalu diselesaikan.  Inilah aljabar.

Salah satu halaman di Kitab Al-Khawarizmi.

Salah satu halaman di Kitab Al-Khawarizmi.

Hitungan ini lalu dipakai untuk membuat berbagai benda teknis yang dipasang di depan masjid hingga di dalam rumah, dari jam matahari hingga wajan penggorengan, dan di zaman modern dari desain bendungan hingga antena TV.  Model hitungan “perpotongan kerucut” ini belakangan dipakai untuk menghitung lintasan peluru manjaniq di medan jihad, dan beberapa ratus tahun kemudian dipakai oleh NASA untuk memprediksikan gerakan pesawat ruang angkasa.

Pencarian Antara Dua Extrema

Saturday, December 15th, 2012

Oleh: Fahmi Amhar

Pencarian dua extrema

Pencarian antara dua extrema

Seseorang datang ke dunia tanpa bisa memilih pada keluarga mana ia dilahirkan, pada lingkungan apa ia tumbuh, dan oleh (guru) siapa ia dididik. Maka pada umumnya seorang anak kecil tidak bisa memilih sejak awal, apa agama yang akan dianutnya. Bila ia dilahirkan pada sebuah suku di rimba di Afrika, bisa jadi ia akan menjadi pemeluk paganisme yang kolot. Bila ia dibesarkan oleh seorang kader partei komunis di Uni Soviet, ia akan menjadi komunis yang fanatik. Bila ia dididik terus pada sebuah sekolah katholik di Irlandia Utara, dia akan menjadi pejuang katholik yang berani mati. Dan bila dia tumbuh di Makkah Al Mukarramah, serta setiap tahun menyaksikan jutaan muslim dari seluruh dunia datang berhaji, ia bisa berkembang menjadi muslim yang kosmopolit.

Sebagian besar manusia terbentuk oleh lingkungan. Pemikiran, perasaan dan perbuatan mereka akan ditentukan oleh apa yang menjadi norma kolektif dalam lingkungan tersebut. Jarang seorang anak kecil yang berpikir seperti Ibrahim a.s., yang mempertanyakan “Benarkah yang dianut orang-orang ini?”. Lingkungan pada umumnya kurang menghendaki pemikiran yang bertentangan dengan mainstream. Di Barat ini akan “aneh” sekali bila ada orang yang mempersoalkan kebenaran prinsip sekularisme atau demokrasi. Seperti anehnya masyarakat Quraisy di Makkah abad 7 Masehi, ketika Muhammad Saw membawa ajaran Tauhid. Mereka menuduh Muhammad telah melecehkan nenek moyang mereka, melecehkan agama dan adat istiadat mereka, bahkan mengganggu keharmonisan hidup masyarakat Makkah (lihat Sirah Nabawiyah, Ibnu Ishaq). (more…)