Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘SosPol’ Category

Memberantas Korupsi dengan Data Spasial

Monday, October 8th, 2012
Spasial

Data Spasial

Data Spasial

Data Spasial adalah data yang posisi atau lokasinya berperan penting dalam pengambilan keputusan.  Sebagai contoh: setiap orang pasti memiliki data.  Ada data nama, nama orang tua, tanggal lahir, tempat lahir, sekolah, pekerjaan, hingga alamatnya sekarang. Dari data tersebut, tempat lahir, sekolah dan alamat adalah data spasial, sedang selain itu bukan data spasial.  Dengan data tempat lahir dan sekolah, dapat dilacak lingkungan tempat orang itu tumbuh dewasa.  Bagi sebuah institusi, informasi ini sedikit banyak dapat digunakan misalnya, untuk memberi penugasan bagi orang tersebut (misalnya survei atau pemasaran) pada lingkungan yang dia kenal baik.  Sedang dengan data alamat sekarang, dapat diprediksi tingkat efisiensi perjalanan dari rumah ke kantornya.

Data spasial dapat tersimpan dalam berbagai bentuk.  Yang paling sederhana adalah daftar alamat.  Data tabular semacam ini, selama dapat dihubungkan dengan dunia nyata yang dikenali, adalah data spasial yang berguna.  Pada level yang lebih tinggi, data spasial tersimpan dalam bentuk peta, citra satelit, hingga database geografis berformat digital.

Cerdas Spasial

Kegunaan data spasial sangat tergantung kepada kecerdasan spasial seseorang.  Bagi orang yang cerdas spasial, data spasial sekecil apapun dapat dikaitkan dengan upaya optimasi aktivitasnya.  Seorang atlet sepakbola yang cerdas spasial selalu memikirkan posisi bola, gawang, kawan maupun lawan mainnya.  Seorang turis, selalu memikirkan lokasi perhentian angkutan umum, hotel, tempat makan dan objek yang akan dikunjunginya.  Dengan itu dia merancang rute perjalanannya. Kalau tidak cerdas spasial, maka seluruh data posisi tadi tidak dia hiraukan.  Bahkan tanpa cerdas spasial, data spasial secanggih apapun tidak akan berperan dalam pengambilan keputusan.

Dalam pemberantasan korupsi, cerdas spasial diperlukan baik untuk mencegah (preventif) maupun memberantas korupsi yang telah terjadi.  Secara preventif misalnya, pemasangan alat GPS di tiap kendaraan suatu armada taxi, akan membuat sopir taxi tak bisa seenaknya, karena pusat taxi (call center) jadi tahu persis posisi tiap taxi.  Namun pada saat yang sama sopir taxi juga diuntungkan karena dengan sistem itu order langsung diberikan ke taxi terdekat yang kosong.  Seandainya ada aturan bahwa dalam tiap LPJ kepala daerah wajib dilampiri peta / citra satelit yang menunjukkan kondisi lingkungan sebelum dan sesudah masa jabatan, tentu juga para kepala daerah tidak bisa seenaknya menguras kekayaan daerahnya.  Rakyat yang cerdas spasial juga terbantu dalam ikut mengontrol jalannya pemerintahan.

Memberantas Korupsi dengan Data Spasial

Pepatah bilang, “tidak ada kejahatan yang sempurna”.  Suatu pelanggaran hukum pasti meninggalan jejak.  Di antara jejak itu adalah yang menyangkut posisinya dalam ruang. Itu data spasial. Tak terkecuali kejahatan luar biasa seperti korupsi.  Oleh karena itu, dapat dikembangkan berbagai teknologi informasi spasial dalam membantu memberantas korupsi.  Di sisi lain, potensi teknologi ini sekaligus dapat mencegah orang untuk melakukan korupsi, karena dia sadar ada teknologi yang mampu mengungkapkannya.

Dalam tulisan singkat ini, akan ditunjukkan tiga jenis teknologi informasi spasial untuk mengungkap korupsi: (1) korupsi di kehutanan; (2) korupsi di perpajakan; (3) korupsi di sektor property.

(1) Setiap pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH) diwajibkan menyetor foto / citra Landsat setiap tahun.  Pemerintah ingin menilai berapa persen hutan yang benar-benar ditebang dan sejauh mana penanaman kembali.  Praktek yang terjadi saat ini, foto atau citra itu sering dimanipulasi.  Sepintas memang tampak mudah mengambil suatu bagian citra atas lahan yang masih berpohon untuk dicopy di bagian lain yang sudah gundul.  Penebangan berlebih jadi tersembunyi.  Hanya saja, teknik ini mustahil dilakukan sempurna untuk semua kanal Landsat.  Dengan analisis spektrum di semua kanal akan ditemukan discontinuity.  Gambar akan tampak aneh di kanal yang lain.  Hanya gambar yang natural (asli) yang tidak menunjukkan efek itu.  Korupsi pajak HPH dan pelanggaran konsesi yang amat membahayakan lingkungan dapat terdeteksi.

(2) Sistem perpajakan di Indonesia menganut asas self-assesment.  Sayangnya, berbagai hal membuat tingkat kejujuran wajib pajak sangat rendah.  Bahkan jumlah orang kaya ber-NPWP masih di bawah 20%.  Namun dengan citra resolusi tinggi (misal Quickbird) dapat diidentifikasi dengan cepat asset-asset yang ada di suatu tempat (rumah, kolam renang, lapangan golf) untuk diuji silang dengan status kepemilikan dan perpajakannya.  Tentunya akan janggal bila seseorang yang memiliki rumah mewah dengan kolam renang, namun belum punya NPWP.  Akan janggal pula bila sebuah pabrik yang sangat besar (tampak di citra), ternyata melaporkan jumlah produksi yang kecil – dan tentunya besaran PPN atau PPh yang kecil.  Dengan ini, upaya main mata pemeriksa pajak dengan wajib pajak (dan ini korupsi “sektor hulu” terbesar) dapat dideteksi lebih awal – untuk kemudian dicegah!

(3) Di sektor property (misal pembangunan gedung, pembukaan lahan, penyiapan infrastruktur), laporan “ABS” suatu proyek property yang belum selesai – namun sudah dilaporan selesai, juga dapat lebih mudah terdeteksi.  Tinggal dilakukan komparasi atas foto sebelum dan sesudah dibangun.

Teknologi Mudik Negara Khilafah

Friday, September 21st, 2012

Oleh: Dr. Fahmi Amhar

Tentara Utsmani membangun rel Istanbul - Makkah

Tentara Utsmani membangun rel Istanbul – Makkah

Masalah transportasi seputar ritual mudik lebaran yang terjadi setiap tahun, semakin hari semakin kronis.  Kalau sepuluh tahun yang lalu, perjalanan Jakarta-Cirebon selama arus mudik dapat ditempuh dalam 16 jam, kini sudah hampir 24 jam.  Mulai tahun ini, pihak kereta api tidak lagi menyediakan tiket tanpa kursi.  Sementara angkutan bus, kapal maupun pesawat juga tidak meningkat signifikan.  Akibatnya, makin banyak orang mudik dengan mengendarai sepeda motor, meski moda ini sebenarnya sama sekali tidak layak untuk jarak di atas 2 jam.  Namun penggunaan motor juga dipicu oleh kenyataan bahwa di kota tujuan, banyak angkutan umum yang sudah tidak berfungsi, seiring dengan makin mudahnya orang mendapatkan sepeda motor dengan cara kredit.  Akibatnya dapat ditebak: angka kecelakaan sepeda motor selama mudik meroket!

Bagaimana dulu negara khilafah mengatur arus mudik?  Adakah teknologi mudik saat itu?

Persoalan transportasi sepertinya lebih banyak persoalan teknis, dan di zaman dulu teknologinya masih amat berbeda.  Jumlah penduduk saat itu juga masih relatif sedikit, sehingga problema kemacetan yang parah seperti saat ini mungkin belum pernah ada.

Tetapi, bagi seorang Muslim pejuang syariah, pertanyaan apapun justru melecutnya untuk lebih mendalami syariat Islam beserta realitas empiris yang ada.  Maka dalam persoalan infrastruktur mudik (transportasi), kita akan mendapati setidaknya tiga prinsip:

Pertama, prinsip bahwa pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara, bukan cuma karena sifatnya yang menjadi tempat lalu lalang manusia, tetapi juga terlalu mahal dan rumit untuk diserahkan ke investor swasta.  Di Jakarta, karena inginnya diserahkan ke swasta, pembangunan monorel jadi tidak pernah terlaksana.

Kedua, prinsip bahwa perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi.  Ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, setiap bagian kota direncanakan hanya untuk jumlah penduduk tertentu, dan di situ dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.  Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan.  Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.

Ketiga, negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki.  Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasinya itu sendiri.

Navigasi mutlak diperlukan agar perjalanan menjadi aman, tidak tersesat, dan bila ada masalah, dapat ditolong oleh patroli khilafah.  Untuk itulah kaum Muslimin belajar astronomi dan teknik membuat kompas sampai ke Cina, dan mengembangkan ilmu pemetaan dari astronomi yang teliti.  Ratusan geografer menjelajah seluruh penjuru dunia dan membuat reportase negeri-negeri yang unik.  Hasilnya, perjalanan haji maupun dagang baik di darat maupun di lautan menjadi semakin aman.

Telekomunikasi dalam wujud yang sederhana juga makin berkembang.  Pesan yang dikirim lewat merpati pos, atau sinyal cahaya atau asap dari pos-pos patroli semakin canggih.  Para matematikawan bekerja keras membuat kode yang makin efisien dan aman dari penyadapan.

Teknologi & manajemen fisik jalan juga tidak ketinggalan.  Sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak.  Baru dua ratus tahun kemudian, yakni 1185, baru Paris yang memutuskan sebagai kota pertama Eropa yang meniru Cordoba.

Sedang untuk kendaraannya sendiri, sesuai teknologi saat itu, kaum Muslimin telah memuliakan jenis kuda dan unta yang makin kuat menempuh perjalanan.  Untuk di laut mereka juga banyak mengembangkan teknologi kapal. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik kecil hingga kapal dagang berkapasitas di atas 1.000 ton dan kapal perang untuk 1.500 orang.  Pada abad 10 M, al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya.

Bahkan untuk transportasi udarapun ilmuwan Muslim sudah memikirkan.  Abbas Ibnu Firnas (810-887 M) dari Spanyol melakukan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara, sampai Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arabs, “Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying.”

Yang menarik, hingga abad 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini.  Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji.  Musim haji adalah musim ritual terbesar pergerakan manusia, baik yang untuk pergi haji ke Makkah maupun mudik ke kampung halaman.  Di negeri-negeri timur tengah, libur saat lebaran haji lebih lama dan lebih meriah dari Idul Fitri (karena ada hari Tasyrik).  Karena itu situasi mudik terjadi pada musim ini.

Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”.  Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul ibu kota khilafah hingga Makkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah.  Di Damaskus jalur ini terhubung dengan “Baghdad Railway”, yang rencananya akan terus ke timur menghubungkan seluruh negeri Islam lainnya.  Proyek ini diumumkan ke seluruh dunia Islam, dan umat berduyun-duyun berwakaf.  Kalau ini selesai, pergerakan pasukan khilafah untuk mempertahankan berbagai negeri Islam yang terancam penjajah juga sangat menghemat waktu.  Dari Istanbul ke Makkah yang semula 40 hari perjalanan tinggal menjadi 5 hari!

Rel kereta ini mencapai Madinah pada 1 September 1908.  Pada 1913, stasiun “Hejaz Train” di Damaskus telah dibuka dengan perjalanan perdana ke Madinah sepanjang 1300 Km.  Namun penguasa Arab yang saat itu sudah memberontak terhadap khilafah karena provokasi Inggris melihat keberadaan jalur kereta ini sebagai ancaman.  Maka jalur ini sering disabotase, dan pasukan Khilafah tidak benar-benar sanggup menjaga keamanannya.

Perang Dunia I mengakhiri semuanya.  Tak cuma khilafah yang bubar, jalur kereta itupun juga berakhir.  Kini KA itu tinggal beroperasi sampai perbatasan Jordania – Saudi.

Untuk mengatasi arus mudik, Daulah Khilafah sudah memberi contoh lebih dari seabad yang lalu.  Apakah kita memang malas belajar?[]

Ketika Keterbatasan Energi menjadi Berkah

Sunday, June 10th, 2012

Oleh: Dr. Fahmi Amhar

Harga Bahan Bakar Minyak memang tidak jadi naik per tanggal 1 April 2012 ini.  Bagi sebagian kalangan, itu dianggap bukti keberhasilan berbagai demonstrasi di seluruh antero negeri.  Bagi sebagian yang lain, itu bukti bahwa masyarakat tidak lagi dapat dibodohi dengan argumentasi ngawur bin tidak akurat, yang diboncengi oleh agenda liberalisasi energi.   Tapi ada sebagian yang tetap kritis, apakah dengan ini berarti ada “hikmah” yang juga tak jadi diraih?

Dalam sejarah, respon manusia terhadap kesulitan selalu ada dua macam: pertama marah, kedua mengambil hikmah – bahkan “berkah”.  Dalam sejarah umat Islam yang panjang, ternyata mereka lebih sering mengambil hikmah.

Krisis energi sebenarnya sudah terjadi berkali-kali.  Di zaman purba, ketika manusia masih hidup dari berburu, dan energi paling banyak didapatkan dari tenaga manusia, pertumbuhan jumlah manusia berakibat cadangan hewan buruan di sekitarnya terus menipis sehingga akhirnya terjadi krisis pangan yang berarti juga krisis energi.  Namun krisis ini kemudian dijawab dengan beralihnya budaya berburu menjadi budaya pertanian dan peternakan, dan ketika tenaga manusia lalu digantikan dengan tenaga hewan yang telah dijinakkan.

Ketika jumlah manusia berikut kebutuhannya semakin meningkat, terjadilah krisis energi lagi.  Tenaga hewan tidak cukup lagi untuk menggerakkan industri yang makin menjamur di sekitar perkotaan.  Di situlah daya kreatifitas manusia ditantang lagi.  Muncullah penggunaan energi non hayati.  Rentang masa ini cukup panjang.  Dimulai dari penggunaan energi air sejak zaman Romawi kuno, hingga penggunaan energi fosil (batubara, minyak) di awal revolusi industri (abad 17-18 M).

Umat Islam bukanlah pengguna energi air yang pertama, tetapi mereka memberikan kontribusi yang luar biasa bagi penemuan mesin-mesin energi yang lebih efisien.  Dan meski umat Islam bukan penikmat revolusi industri, mereka telah memberikan kontribusi yang besar pada dunia pertambangan, sehingga membuka jalan untuk exploitasi dan pengolahan energi fosil.

Banu Musa bersaudara (abad 9 M) dan al Jazari (abad 12) adalah orang-orang yang mewariskan mesin-mesin yang sangat inovatif, baik dalam penggunaan energi air maupun untuk pertambangan.

Banu Musa terdiri dari tiga bersaudara, yang saat masih kecil ditinggal mati ayahnya, Musa bin Syakir, yang tewas ketika sedang menyamun!  Namun Khalifah al-Ma’mun yang melihat bakat kecerdasan anak-anak itu justru memerintahkan agar mereka diasuh oleh Yahya bin Abi Mansur, astronom Khalifah dan Mas’ul Baitul Hikmah (Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Khilafah).  Muhammad bin Musa tumbuh menjadi astronom, matematikawan dan meteorolog.  Adiknya, Ahmad bin Musa menjadi insinyur pencipta mesin.  Sedang si bungsu Hasan bin Musa besar di geometri dan ilmu konstruksi.

Sinergi tiga bersaudara itu antara lain menemukan desain lampu minyak yang tahan tiupan angin sehingga cocok dipakai di udara terbuka.  Mereka juga membuat alat ventilasi dan mesin keruk yang dirancang secara cerdas dan dimuat dalam buku mereka “Kitab al-Hiyal”.

Saat itu (bahkan di Indonesia hingga saat ini), banyak pertambangan liar yang tidak begitu peduli aspek-aspek keselamatan.  Orang berebutan untuk sampai ke posisi tambang yang diharapkan, sehingga dapat saja orang memulai harinya dengan kekayaan dan menjelang malam dia tak lagi memiliki apa-apa, akibat keduluan orang lain.  Atau dia memulai dengan kemiskinan di pagi hari, dan malamnya menjadi pemilik sumber kekayaaan yang tak terhingga besarnya.  Lokasi tambang bisa menjadi kuburan massal akibat gas beracun atau air bah yang memancar tiba-tiba dari sungai di dalam tanah.

Namun pada penambangan-penambangan yang dikelola pemerintah, sudah digunakan ventilator karya Banu Musa dan pompa air karya Taqiyuddin.

Dengan alat-alat itu tak heran, ketika geografer al-Idrisi (abad 12 M) mengunjungi tambang air raksa di utara Cordoba Spanyol, ia diberitahu bahwa kedalaman lubang tambang dari permukaan tanah tidak kurang dari 250 fanthom (sekitar 457 meter).  Itu tidak mungkin tanpa ventilator, pompa air dan drainase yang memadai.

Tentang pengolahan tambang, Al-Biruni menulis: “Pencarian batu la’l (sejenis rubi) dilakukan dengan dua cara.  Pertama dengan menggali tambang di bawah gunung, dan yang lain dengan mencarinya di antara kerikil dan tanah yang berasal dari reruntuhan gunung akibat gempa bumi atau erosi karena banjir”.  Dalam kitabnya al-Jamahir, al-Biruni membahas tentang berbagai mesin pengolah mineral.  Mesin-mesin itu mirip penggiling kertas, tetapi yang dihancurkannya adalah batuan.  Setelah dihancurkan sampai halus, batuan itu kemudian dapat dipisahkan, misalnya emas dari tembaga.  Seluruh mesin-mesin ini pada abad ke-4 H (atau abad-10 M) telah digerakkan dengan tenaga air.

Meski pada saat itu batubara atau minyak bumi belum banyak diketahui manfaatnya, sehingga teknologinya pun belum berkembang, namun tanpa alat-alat pertambangan yang dikembangkan kaum muslimin saat itu, eksploitasi batubara dan minyak bumi saat ini tidak bisa dibayangkan.

Yang jelas, teknologi bagaimanapun hanyalah alat.  Tanpa tata energi dan sumberdaya mineral yang adil, teknologi itu hanya makin memperkaya mereka yang kuat dan bermodal yang umumnya konsorsium asing, dengan mengabaikan hak-hak pemilik sesungguhnya yaitu umat.  Hanya negara yang benar-benar merdeka, yang berani melawan tekanan asing, sehingga menerapkan syariat, mengembangkan teknologi dengan bersemangat dan menggunakannya sehingga bermanfaat bagi seluruh umat. Hanya dengan itu, keterbatasan energi benar-benar justru mendatangkan berkah![]