Oleh: Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Badan Informasi Geospasial
POSISI HIZBUT TAHRIR DI TENGAH-TENGAH UMAT
Hizbut Tahrir adalah salah satu gerakan politik di antara kelompok-kelompok Islam yang tergabung dalam Islahi-Salafi-Sunni. Ajaran Islam itu sendiri mempunyai beberapa level. Level paling rendah secara umum dapat dipahami oleh seluruh kaum Muslim. Namun, level tertinggi merupakan segmentasi khusus yang hanya diajarkan oleh Hizbut Tahrir.
Sebagai gerakan Sunni, Hizbut Tahrir percaya bahwa kepemimpinan politik tidak didasarkan pada penunjukan yang ditetapkan di dalam wahyu (petunjuk langsung dari Allah) yang diterima oleh seorang imam ma‘shûm yang suci, namun berdasarkan pemilihan umat Islam itu sendiri.
Sebagai gerakan Sunni-Salafi, gerakan ini mengacu pada pemaknaan secara langsung dari ayat-ayat al-Quran dan Hadis Nabi saw. tanpa mengacu pada mazhab-mazhab Sunni yang telah terlebih dulu ada (seperti Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali).
Sebagai gerakan Sunni-Salafi-Islahi, gerakan ini menolak segala bentuk gagasan sosial-politik yang berasal dari luar Islam—tetapi murni sebagaimana yang diajarkan oleh para Salaf Salih (para generasi salih terdahulu)—baik nilai-nilai tradisional dari masa pra-Islam yang bertentangan dengan Islam maupun konsep modern dari Barat, sebagai dasar ideologis dari perubahan.
Aspek Sunni dari gerakan ini bisa dipahami bersama oleh seluruh kaum Muslim Sunni, kecuali oleh Muslim Syiah. Aspek Salafi dari gerakan ini diikuti oleh seluruh Muslim Salafi, namun tidak oleh Muslim yang mengikuti mazhab atau Muslim “tradisional”. Aspek Salafi dan Islahi dari gerakan ini dilakukan secara simultan oleh seluruh gerakan Salafi Islahi, namun tidak oleh kalangan non-politis dan pro-status quo dari golongan Muslim Salafi. (more…)
Dr. Fahmi Amhar
Ada obrolan di warung kopi yang mengatakan bahwa dunia pertanian di Indonesia itu penuh “kutukan”. Ada kampus pertanian terkenal yang menghasilkan sarjana yang ahli dalam banyak hal, kecuali pertanian. Alumni kampus itu banyak yang menjadi wartawan terkenal, ekonom terkenal, politisi terkenal, bahkan ustadz terkenal, tetapi tidak ada karya pertanian mereka yang fenomenal seperti halnya inovasi pertanian dari Thailand.
Dan dalam beberapa tahun terakhir ini, Kementerian Pertanian ternyata memang belum mampu menjadikan negeri ini berswasembada pangan. Tahun lalu harga kedelai meroket, sampai tahu-tempe yang merupakan makanan rakyat kecil ikut jadi mahal. Kemudian harga daging sapi ikut meroket, konon karena permainan kuota impor sapi, yang bahkan lalu menyeret beberapa tokoh sebagai tersangka KPK. Dan hari-hari ini, harga bawang pun demikian. Niatan mendorong produksi lokal dengan pembatasan impor ternyata malah menjadi masalah baru, karena akar masalah seperti akurasi data kebutuhan, problem skala produksi dan rantai distribusi (transportasi, gudang, pasar) tidak teratasi. Yang terjadi malah harga naik karena pasokan berkurang, dan importir yang sudah kolusi dengan otoritas pengatur kuota justru menikmati untung besar karena kenaikan harga.
Antara penguasaan teknologi dan swasembada pangan memang terkait erat. Andaikata umat Islam memiliki ahli-ahli pertanian yang andal, maka kita akan relatif lebih mudah untuk mewujudkan sistem swasembada pangan, yang akan menjaga kita dari pusaran impor pangan yang penuh dengan “kutukan”.
Sayangnya, saat ini bila kita bicara pertanian Islam, orang cenderung hanya terpikir soal kurma. Padahal Nabi datang ke dunia tidak untuk mengajarkan ilmu pertanian. Semua ini masuk dalam teknologi yang menurut Nabi “kalian lebih tahu urusan dunia kalian”. Hanya saja, masih banyak kaum Muslimin yang belum memahami perbedaan antara “sistem” dan “ilmu”. Dunia kapitalisme memang telah mencampuradukkan antara sistem yang dipengaruhi pandangan hidup (“hadharah”) dan cara-cara teknis hasil eksperimen ilmiah (“madaniyah”). (more…)