Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Sejarah’ Category

Islam Pernah Merevolusi Pertanian

Wednesday, April 1st, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Bila ada soal, “sebutkan contoh produk pertanian Islam!”, dapat diduga jawaban mayoritasnya adalah kurma.  Sama seperti pertanyaan tentang “pengobatan ala Nabi” atau “Thibbun Nabawy” yang diasosiasikan dengan madu, habatussaudah dan bekam.  Padahal Nabi datang ke dunia tidak untuk mengajarkan ilmu pertanian ataupun teknik pengobatan.  Semua ini masuk dalam ilmu-ilmu yang menurut Nabi “kalian lebih tahu urusan dunia kalian”.  Hanya saja, masih banyak kaum muslimin yang belum memahami perbedaan antara “sistem” dan “ilmu”.  Namun ini bukan semata-mata kesalahan mereka.  Dunia kapitalisme telah mencampur-adukkan antara sistem yang dipengaruhi pandangan hidup (“hadharah”) dan cara-cara teknis hasil eksperimen ilmiah (“madaniyah”).

Dunia ilmu ekonomi mungkin termasuk bidang yang “tingkat ketercampuradukannya” tinggi, sedang ilmu kedokteran dan pertanian relatif netral.  Bila Ibnu Sina meletakkan tujuh aturan dasar uji klinis atau Ishaq bin Ali Rahawi menulis kode etik kedokteran, maka di dunia pertanian ada Al-Asma’i (740-828 M) yang mengabadikan namanya sebagai ahli hewan (zoologist) dengan bukunya, seperti Kitab tentang Hewan Liar, Kitab tentang Kuda, kitab tentang Domba, dan Ābu Ḥanīfah Āḥmad ibn Dawūd Dīnawarī(828-896), sang pendiri ilmu tumbuh-tumbuhan (botani), yang menulis Kitâb al-nabâtdan mendeskripsikan sedikitnya 637 tanaman sejak dari “lahir” hingga matinya.  Dia juga mengkaji aplikasi astronomi dan meteorologi untuk pertanian, seperti soal posisi matahari, angin, hujan, petir, sungai, mata air.  Dia juga mengkaji geografi dalam konteks pertanian, seperti tentang batuan, pasir dan tipe-tipe tanah yang lebih cocok untuk tanaman tertentu.

Pada abad 9/10 M, Abu Bakr Ahmed ibn ‘Ali ibn Qays al-Wahsyiyah (sekitar tahun 904 M) menulis Kitab al-falaha al-nabatiya. Kitab ini mengandung 8 juz yang kelak merevolusi pertanian di dunia, antara lain tentang teknik mencari sumber air, menggalinya,  menaikkannya ke atas hinga meningkatkan kualitasnya.  Di Barat teknik ibn al-Wahsyiyah ini disebut “Nabatean Agriculture”.

Para insinyur muslim merintis berbagai teknologi terkait dengan air, baik untuk menaikkannya ke sistem irigasi, atau menggunakannya untuk menjalankan mesin giling.  Dengan mesin ini, setiap penggilingan di Baghdad abad 10 sudah mampu menghasilkan 10 ton gandum setiap hari.   Pada 1206 al-Jazari menemukan berbagai variasi mesin air yang bekerja otomatis.  Berbagai elemen mesin buatannya ini tetap aktual hingga sekarang, ketika mesin digerakkan dengan uap atau listrik.

Di Andalusia, pada abad-12, Ibn Al-‘Awwam al Ishbili menulis Kitab al-Filaha yang merupakan sintesa semua ilmu pertanian hingga zamannya, termasuk 585 kultur mikrobiologi, 55 di antaranya tentang pohon buah.  Buku ini sangat berpengaruh di Eropa hingga abad-19.

Pada awal abad 13, Abu al-Abbas al-Nabati dari Andalusia mengembangkan metode ilmiah untuk botani, mengantar metode eksperimental dalam menguji, mendeskripsikan, dan mengidentifikasi berbagai materi hidup dan memisahkan laporan observasi yang tidak bisa diverifikasi.

Muridnya Ibnu al-Baitar (wafat 1248) mempublikasikan Kitab al-Jami fi al-Adwiya al-Mufrada, yang merupakan kompilasi botani terbesar selama berabad-abad.  Kitab itu memuat sedikitnya 1400 tanaman yang berbeda, makanan, dan obat, yang 300 di antaranya penemuannya sendiri.  Ibnu al-Baitar juga meneliti anatomi hewan dan merupakan bapak ilmu kedokteran hewan, sampai-sampai istilah Arab untuk ilmu ini menggunakan namanya.

Kemajuan pemikiran Islam tergambar pada realitas bahwa mereka sudah memikirkan ekologi dan rantai makanan.  Al-Jāḥiẓ atau nama aslinya Abu Utsman Amr ibn Bahr al-Kinani al-Fuqaimi al-Basri (781-869) dalam bukunya Kitab al-Hayawansudah berteori akan adanya perubahan berangsur pada mahluk hidup akibat seleksi alam dan lingkungan.  Meski ada perbedaan, pemikiran ini 1000 tahun mendahului Alfred Wallace atau Charles Darwin.

Ini adalah fakta-fakta yang terkait langsung dengan ilmu pertanian dalam arti sempit.  Namun revolusi pertanian yang sesungguhnya terjadi dengan berbagai penemuan lain.  Alat-alat untuk memprediksi cuaca, peralatan untuk mempersiapkan lahan, teknologi irigasi, pemumpukan, pengendalian hama, teknologi pengolahan pasca panen, hingga manajemen perusahaan pertanian.  Kombinasi sinergik dari semua teknologi ini selalu menghasilkan akselerasi dan pada moment tertentu cukup besar untuk disebut “revolusi pertanian muslim”.

Revolusi ini menaikkan panenan hingga 100% pada tanah yang sama.  Kaum muslim mengembangkan pendekatan ilmiah yang berbasis tiga unsur: sistem rotasi tanaman, irigasi yang canggih, dan kajian jenis-jenis tanaman yang cocok dengan tipe tanah, musim, serta jumlah air yang tersedia.  Ini adalah cikal bakal “precission agriculture”.

Revolusi ini ditunjang juga dengan berbagai hukum pertanahan Islam, sehingga orang yang memproduktifkan tanah mendapat insentif.  Tanah tidak lagi dimonopoli kaum feodal dan tak ada lagi petani yang merasa dizalimi sehingga malas-malasan mengolah tanah.  Negara juga menyebarkan informasi teknologi pertanian sampai ke para petani di pelosok-pelosok.

Mungkin ada pertanyaan: kalau kita pernah merevolusi pertanian, mengapa kita tidak ikut merevolusi industri?  Penjelasannya adalah: siapapun yang tetap melakukan riset hingga abad-19 akan memiliki peluang lebih besar untuk mengkombinasikan lebih banyak teknologi dasar.

Kalau kita punya 2 benda, dengan kreativitas kita 2 benda itu dapat dikombinasikan menjadi satu benda yang baru.  Misalnya kita punya teknologi ponsel dan camera, maka kita lalu terpikir ponsel berkamera.  Kalau ada satu benda dasar lagi, misalnya GPS (alat navigasi global), maka dapat dibuat 3 benda baru lagi: ponsel ber-GPS, camera ber-GPS, dan ponsel camera dan ber-GPS.

Inilah kombinatorik, yang di matematika memiliki rumus n!/(k! * (n-k)!) atau kombinasi kelas k dari n benda dasar akan menghasilkan n faktorial dibagi perkalian dari k faktorial dan (n-k) faktorial.  Kalau kita punya 2 benda (a,b), maka kombinatoriknya ada 1 (ab).  Sedang kalau 3 benda (a,b,c), maka kombinatorik kelas 2-nya ada 3 (ab, ac, bc), dan kelas 3-nya ada 1 (abc), atau semuanya 4 benda baru.  Dan kalau kita punya 4 benda, bisa dibuat 11 benda baru, dan kalau kita punya 10 benda, maka total dapat dibuat 1013 benda baru.

Itulah mengapa teknologi selalu makin lama makin cepat berkembang dan meletupkan revolusi demi revolusi.  Ini karena bahan dasar yang bisa dikombinasikan semakin banyak.  Tinggal pada sistem seperti apa para ilmuwan masih sempat bekerja secara ilmiah sehingga dapat mengembangkan penemuan baru bahkan revolusi baru.

Ketika geografi induk segala ilmu

Sunday, February 22nd, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Siapakah yang lebih berhak disebut induk segala ilmu?  Orang Barat menyebut: filsafat.  Ini karena filsafat dianggap kajian yang sangat mendasar, menyangkut eksistensi, pengetahuan, kebenaran, keelokan, keadilan, kepatutan, pikiran dan bahasa.  Filsafat berasal dari Bahasa Yunani kuno φιλοσοφία (philosophía), yang berarti “kecintakan pada kebijaksanaan.”

Namun tak semua ilmuwan dan orang bijak sepakat dengan itu.  Ketika filsafat semakin sering lepas dari dunia empiris, serta disinyalir justru digunakan untuk mengacau keimanan, orang mencoba mencari “induk” yang baru.  Dan salah satu induk baru itu ternyata adalah: geografi.  Geografi dianggap ilmu yang menghubungkan langit (yakni pengamatan astronomi dan meteorologi) dan bumi (geodesi dan geologi).  Juga ilmu yang menghubungkan dunia hidup (biotik) dan mati (abiotik).  Yang hiduppun mencakup flora, fauna dan manusia beserta interaksinya.

Dan yang lebih penting: geografi tidak cuma ilmu untuk memetakan dan memahami alam semesta di sekitar kita, namun juga untuk merubahnya sesuai kebutuhan kita.  Berbeda dengan filsafat, geografi memiliki kegunaan praktis, baik di masa damai maupun di masa perang.  Sampai hari ini, geografi mutlak diperlukan baik oleh wisatawan, perencana kota hingga panglima militer.

Dari sisi sejarah, para geografer pertama muncul hampir bersamaan dengan mereka yang dianggap filosof pertama.  Anaximander dari Miletus (610 – 545 SM) dikenal sebagai pendiri geografi.  Dia menemukan gnomon, alat sederhana untuk menentukan posisi lintang.  Ada perdebatan tentang siapa penggagas mula bentuk bulat bumi: Parmenides atau Phytagoras.  Anaxagoras berhasil membuktikan bentuk bulat bumi dari bayangan bumi saat gerhana bulan.  Namun dia masih percaya bahwa bumi seperti cakram.  Yang pertama mencoba menghitung radius bumi sebagai bola adalah Eratosthenes.  Sedang Hipparchus menggagas lintang dan bujur serta membaginya dalam 60 unit (sexagesimal) sesuai matematika Babylonia saat itu.  Pada awal milenia, penguasa Romawi-Mesir Jenderal Ptolomeus (83-168) membuat atlas yang pertama.

Selama zaman pertengahan dan kejatuhan Romawi, terjadi evolusi dari geografi Eropa ke dunia Islam.  Tidak syak lagi, Qur’an memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan penjelajahan demi penjalajahan (QS 30-ar Ruum : 9).  Para geografer muslim ternama dari Abu Zaid Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934), Abu Rayhan al-Biruni (973-1048), Ibnu Sina (980-1037), Muhammad al-Idrisi (1100–1165), Yaqut al-Hamawi (1179-1229), Muhammad Ibn Abdullah Al Lawati Al Tanji Ibn Battutah (1305-1368) dan Abū Zayd ‘Abdu r-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami, (1332-1406), menyediakan laporan-laporan detail dari penjelajahan mereka.

Namun tentu saja selembar peta sering berbicara lebih banyak dari jutaan kata-kata.  Fenomena juga harus ditafsirkan dengan teori atau informasi yang dikenal sebelumnya.  Untuk itulah para ilmuwan Islam menafsirkan ulang karya-karya sebelumnya baik dari Romawi, Yunani maupun India dan mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad untuk tujuan itu.  Al-Balkhi bahkan mendirikan “Mazhab Balkhi” untuk pemetaan di Baghdad.

Al-Biruni menyediakan kerangka referensi dunia pemetaan.  Dialah yang pertama kali menjelaskan tentang proyeksi polar-equi-azimutal equidistant, yang di Barat baru dipelajari lima abad setelahnya oleh Gerardus Mercator (1512-1594).   Al-Biruni dikenal sebagai sosok yang paling terampil dalam soal pemetaan kota dan pengukuran jarak antar kota, yang dia lakukan untuk banyak kota di Timur Tengah dan anak benua India.  Dia mengkombinasikan antara kemampuan astronomis dan matematika untuk mengembangkan berbagai cara menentukan posisi lintang dan bujur.  Dia juga mengembangkan teknik untuk mengukur tingginya gunung maupun dalamnya lembah.  Dia juga mendiskusikan tentang geografi manusia dan habitabilitas planet (syarat-syarat planet yang dapat dididami).  Dia berhipotesa bahwa seperempat dari permukaan bumi dapat didiami oleh manusia.

Dia juga menghitung letak bujur dari kota Khwarizm dengan menggunakan tinggi maksimum matahari dan memecahkan persamaan geodetis kompleks untuk menghitung secara akurat jari-jari bumi yang sangat dekat dengan nilai modern.  Metode al-Biruni ini berbeda dengan pendahulunya yang biasanya mengukur jari-jari bumi dengan mengamati matahari secara simultan dari dua lokasi yang berbeda.  Al-Biruni mengembangkan metode kalkulasi trigronometri berbasis sudut antara dataran dan puncak gunung yang dapat dilakukan secara akurat oleh satu orang dari satu lokasi saja.

John J. O’Connor dan Edmund F. Robertson menulis dalam MacTutor History of Mathematics archive: “Important contributions to geodesy and geography were also made by Biruni. He introduced techniques to measure the earth and distances on it using triangulation. He found the radius of the earth to be 6339.6 km, a value not obtained in the West until the 16th century. His Masudic canon contains a table giving the coordinates of six hundred places, almost all of which he had direct knowledge.”

Seiring dengan al-Biruni, Suhrab pada abad-10 membuat buku berisi koordinat-koordinat geografis serta instruksi untuk membuat peta dunia segi empat dengan proyeksi equi-rectangular atau cylindrical-equidistant.  Sedang Ibnu Sina berhipotesa tentang sebab-sebab munculnya pegunungan secara geologis, apa yang sekarang disebut ilmu geomorfologi.

Dengan kerangka tersebut Al-Idrisi membuat peta dunia yang detail atas permintaan raja Roger di Sicilia, yang waktu itu dikuasai Islam.  Peta al-Idrisi ini disebut di Barat “Tabula Rogeriana”.  Peta ini masih berorientasi ke Selatan.  Al-Hamawi menulis Kitab Mu’jam al-Buldan yang merupakan ensiklopedi geografi dunia yang dikenal hingga saat itu.  Ibn Battutah membuat laporan geografi hingga pulau-pulau di Nusantara, yang Majapahit atau Sriwijayapun tidak meninggalkan catatan.  Sementara itu Ibnu Khaldun menulis dalam kitab monumentalnya “Muqadimah” suatu bab khusus tentang berbagai aspek geografi, termasuk klimatologi dan geografi manusia.

Geografer muslim dari Turki Mahmud al-Kasygari (1005-1102) menggambar peta dunia berbasiskan bahasa, dan ini pula yang dilakukan oleh Laksamana Utsmani Piri Rais (1465–1555) agar Sultan Sulayman I (al-Qanuni) dapat memerintah daulah khilafah dengan efisien.

Geografi di kalangan kaum muslimin masih bertahan ketika Khilafah masih menegakkan jihad.  Begitu era jihad mengendur, antusiasme pada geografi pun mengendur.  Kaum muslimin jadi kehilangan “kompas” dan wawasan mereka dalam peta geopolitik dunia.  Akibatnya satu demi satu tanah air mereka lepas atau sumber dayanya diperas penjajah kafir.

Ketika Kimiawan tak lagi Tukang Sihir

Monday, February 16th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

 

Sekarangpun, seni sulap yang mengubah bunga yang dilempar ke dalam topi menjadi kelinci, atau air di dalam kelapa menjadi berasa jeruk tetaplah sesuatu yang menakjubkan.  Pada masa lalu, ada orang-orang yang melakukan hal-hal seperti itu sebagai profesi sehari-hari.  Merekalah para tukang sihir pembuat ramuan.

Mereka biasanya digambarkan sehari-harinya bergelut dengan kuali berisi air di atas api, yang ke dalamnya dimasukkan segala benda yang dianggap memiliki kekuatan magis.  Benda berkekuatan magis ini mulai dari cula badak, telur ular kobra, sampai batu meteor.  Hasilnya adalah ramuan atau benda-benda yang juga dianggap berkhasiat.  Ramuan paling diminati orang tentunya berbagai jenis obat-obatan.  Namun ada juga “ramuan cinta” yang dipercaya dapat menarik lawan jenis, “ramuan keberuntungan” untuk memenangkan pertandingan, hingga benda-benda sakti seperti cincin yang dapat membuat pemiliknya kebal atau keris pusaka yang dapat mengantar pemiliknya berkuasa.  Berabad-abad para tukang sihir dari segala penjuru juga mencari “batu bertuah” yang konon berkhasiat dari untuk membuat ramuan yang dapat memperpanjang umur sampai untuk mengubah (men-transmutasi) bongkahan besi atau belerang menjadi emas.  Andaikata para alkimiawan (demikian julukan ahli kimia berbau sihir pada masa itu) berhasil, niscaya dinar emas tidak berharga lagi, karena mudah dibuat dari benda-benda lain.

Namun pada masyarakat Islam, profesi tukang sihir semacam itu lambat laun tersingkir.  Muncullah para kimiawan yang bekerja dengan cara-cara ilmiah dan dapat dirunut segala langkahnya dalam menciptakan material yang baru.

Jabir ibn Hayyan (Geber, 715-815) diakui oleh banyak orang sebagai “Bapak Ilmu Kimia”, karena jasanya memperkenalkan metode ilmiah eksperimental dan juga lebih dari 20 macam peralatan laboratorium seperti alat destilasi, kristalisasi, purifikasi, oksidasi, evaporasi, filtrasi dan kristalografi, seperti dalam bukunya Kitab al-Istitmam.

Jabir adalah juga orang pertama yang menemukan berbagai jenis asam, ketika sebelumnya orang hanya mengenal cuka.  Jabir menemukan asam nitrat, asam sulfat, asam klorida, asam asetat, asam citrat dan sebagainya.  Beberapa unsur juga ditemukan oleh Jabir, seperti Arsen, Antimon dan Bismuth.  Dialah orang pertama yang menggolongkan belerang dan air raksa sebagai unsur kimia.

Dalam Buku tentang Mutiara yang tersembunyi, Jabir menuliskan 46 resep untuk membuat gelas berwarna, juga 12 resep tentang produksi mutiara buatan dan penghilangan warna dari batu mulia.

Pada 864-925 Muhammab bin Zakariya ar-Razi (Rhazes) menulis berbagai alat yang ditemukan olehnya dan pendahulunya (Calid, Geber, al-Kindi) seperti pembakar, tabung reaksi, pelebur substansi dan sebagainya.  Dialah yang pertama kali menuliskan rincian berbagai proses kimia seperti kalsinasi (al-tasywiya). Pelarutan atau solusi (al-tahlil), sublimasi (al-tas’id), amalgamasi (al-talghim), cerasi (al-tasymi), dan metode untuk mengubah substansi menjadi pasta atau padatan lunak.

Ar-Razi menggolongkan bahan kimia dalam: empat-spirits (air raksa, sal-amoniak, arsenik dan belerang), empat logam (emas, perak, tembaga, besi, timah, timbal dan air raksa), tiga belas batuan, tujuh borates dan tiga belas garam-garaman.  Dia juga menulis berbagai substansi buatan seperti timbal-oksida, tembaga-asetat, tembaga-oksida, besi-asetat (bahan baja), sodium-hydroksida, dan sebagainya.  Dalam bukunya Kitab sirr al-asrar (Buku tentang rahasia dari rahasia) Ar-Razi juga menulis tentang nafta atau minyak bumi dan cara menyulingnya menjadi minyak bakar atau minyak lampu.

Ar Razi juga seorang dokter.  Ketika memilih tempat untuk membangun rumah sakit di Baghdad, dia meletakkan beberapa potong daging di berbagai lokasi.  Lokasi di mana daging itu paling lambat membusuk adalah lokasi ideal untuk dipilih sebagai tempat rumah sakit.  Dalam bukunya itu ia juga menulis tentang teknik membuat antiseptik dan sabun.

Pada tahun 1000-1037 dunia kimia diwarnai oleh Ibnu Sina (Avicenna) yang menemukan proses kimia untuk mengekstrak esensi dari zat wangi (fragrances) atau dari minyak.  Teknik ini digunakan di pabrik parfum dan minuman.  Dia juga menemukan termometer udara yang dipakai dalam laboratoriumnya.

Sementara itu teori transmutasi logam (yang berabad-abad dipercaya para penyihir sehingga mereka mencari batu bertuah untuk mengubah besi menjadi emas), ditolak oleh Al-Kindi, juga Al-Biruni, Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun.  Teori transmutasi itu memang tidak ilmiah.

Pada abad-13, Nasiruddin al-Tusi memaparkan versi awal dari hukum konservasi massa (sering salah disebut hukum kekekalan massa), dengan menuliskan bahwa materi mungkin berubah wujud, tetapi tidak akan musnah.

Will Durant menulis dalam The Story of Civilization IV: The Age of Faith: “Chemistry as a science was almost created by the Moslems; for in this field, where the Greeks (so far as we know) were confined to industrial experience and vague hypothesis, the Saracens introduced precise observation, controlled experiment, and careful records. They invented and named the alembic (al-anbiq), chemically analyzed innumerable substances, composed lapidaries, distinguished alkalis and acids, investigated their affinities, studied and manufactured hundreds of drugs. Alchemy, which the Moslems inherited from Egypt, contributed to chemistry by a thousand incidental discoveries, and by its method, which was the most scientific of all medieval operations.”

(Kimia adalah ilmu yang hampir seluruhnya diciptakan oleh kaum muslim; ketika untuk bidang ini orang-orang Yunani tidak memiliki pengalaman industri dan hanya memberikan hipotesis yang meragukan, sementara itu para ilmuwan muslim mengantar pada pengamatan teliti, eksperimen terkontrol, dan catatan yang hati-hati.  Mereka menemukan dan memberi nama alembic (al-anbiq), menganalisis substansi yang tak terhitung banyaknya, membedakan alkali dan asam, menyelidiki kemiripannya, mempelajari dan memproduksi ratusan jenis obat.  Alkimia yang diwarisi kaum Muslim dari Mesir, menyumbangkan untuk kimia ribuan penemuan insidental, dari metodenya, yang paling ilmiah dari seluruh kegiatan di zaman pertengahan).