Dr. Fahmi Amhar
Apa yang ada di benak para pelajar kita ketika mereka wajib mempelajari bahasa asing di sekolah? Setelah matematika, Bahasa Inggris adalah pelajaran momok di sekolah-sekolah umum. Sebagian besar sekolah memberi pelajaran Bahasa Inggris di level SMP dan SMA atau total selama enam tahun. Sebagian lagi bahkan memberi pelajaran ini sejak kelas 1 SD. Hasilnya? Sekedar cukup untuk Ujian Nasional? Cukup untuk menebak makna di balik judul film atau lagu Barat? Untuk isinya nanti dulu. Kalau buat kerja, bahasa Inggris di sekolah tersebut juga jelas belum cukup. Bagaimana kalau untuk belajar ke luar negeri? Atau untuk jadi diplomat? Makanya TKI kita di luar negeri mayoritas hanya mendapat pekerjaan kasar yang murah, salah satunya karena keterbatasan bahasa.
Itu baru untuk bahasa Inggris. Konon, di dunia ini kalau mau maju ya harus pandai berbahasa Inggris. Ini adalah mitos yang tak sepenuhnya benar. Maju tanpa berbahasa Inggris bisa, tetapi harus pandai berbahasa Perancis, atau Jerman, atau Jepang atau Rusia. Pendek kata, bahasa negara-negara juara sains dan teknologi saat ini.
Yang jelas motivasi belajar bahasa di dunia Islam saat ini sangat memprihatinkan. Kalaupun ada, mayoritas karena motivasi materialistik (“Biar mudah cari kerja”). Walhasil Bahasa Inggris tidak dikuasai, Bahasa Arab tidak bunyi, dan Bahasa Nasional tidak peduli, tidak digunakan dengan baik dan benar. Orang menggunakan bahasa amburadul, karena menguasainya juga cuma setengah-setengah. Mempelajarinya hanya bermodal semangat, tanpa kesabaran, padahal tanpa kesabaran, belajar bahasa tidak akan pernah jadi.
Ini berbeda dengan masa ketika Daulah Islam masih menjadi negara adidaya, atau terobsesi menjadi negara adidaya. Generasi awal Islam masih sangat terobsesi oleh beberapa sabda Rasulullah, bahwa orang-orang mukmin adalah umat terbaik yang dikirim Allah ketengah manusia, kemudian bahwa mereka diperintahkan untuk untuk mencari ilmu sekalipun sampai negeri Cina.
Maka kita bisa amati berbagai fenomena bahasa di dunia Islam generasi awal:
(1) kegandrungan para ilmuwan – terutama dari non native speaker – untuk menyusun struktur bahasa Arab, sehingga dari bahasa Arab ke bahasa yang lain dan sebaliknya dapat disusun rumusan sederhana yang memudahkan pembelajaran dan penerjemahan.
(2) upaya sistematis mendidik seluruh warga negara agar menguasai bahasa Arab sebagai bahasa Islam, bahasa persatuan, dan bahasa ilmu pengetahuan dengan baik dan benar, lisan maupun tulisan.
(3) kegandrungan para pemuda untuk belajar bahasa asing, agar dapat mencari ilmu dan sekaligus berdakwah ke luar negeri, demi keagungan islam dan kaum muslim;
Ilmu tata bahasa (gramatik) sudah muncul dari India sejak abad 4 SM. Tata Bahasa Arab muncul dari abad 8 M dengan karya Abdullah Ibn Abi Ishaq (wafat 735 M) dan para muridnya. Usaha ini memuncak pada tiga generasi sesudahnya, terutama pada buku karya ulama Basrah, Sibawayhi (sekitar 760-793).
Dengan kodifikasi tata bahasa ini, maka bahasa Arab menjadi lebih mudah diajarkan dan disebarkan ke rakyat negeri-negeri yang telah dibebaskan, seperti ke Iraq, Syams, Mesir, hingga Afrika Utara. Dengan kodifikasi ini pula bahasa Arab terpelihara, tidak timbul jurang perbedaan yang sangat jauh antara bahasa yang diucapkan sehari-hari dengan yang tertulis (yang di sini distandarkan pada Qur’an), dan juga antara bahasa yang digunakan di Hejaz, yang diyakini sebagai bahasa Arab termurni, dengan bahasa Arab yang digunakan di wilayah-wilayah Islam yang jauh. Bahasa Arab bahkan kemudian menjadi lingua franca – bahasa bagi pergaulan antar bangsa di dunia saat itu, digunakan pula oleh orang Eropa yang akan berdagang ke Cina! Ada ratusan kosa kata Jerman, Perancis atau Spanyol yang sejatinya berasal dari kosa kata Arab.
Namun meski bahasa Arab telah jadi bahasa internasional, kaum muslimin tetap bersemangat mempelajari bahasa asing guna merebut ilmu pengetahuan dan teknologi di luar negeri, yang tidak cukup hanya dipahami dengan small-talk. Dan itu bukan perkara gampang. Ketika orang Islam berangkat ke Cina untuk belajar membuat kertas, kompas atau mesiu, mereka setidaknya harus mempelajari empat bahasa asing secara berurutan (sequensial). Ini karena menurut riwayat tidak ada orang Cina di Hejaz. Mungkin pertama-tama mereka harus belajar bahasa Persia. Sebulan kemudian mereka pergi ke Persia. Di Persia masih belum ditemukan orang Cina, yang ada orang Uzbekistan. Maka mereka belajar bahasa Uzbek, dengan pengantar bahasa Persia. Sebulan kemudian mereka pergi Tashkent, Uzbekistan. Di sana masih belum ditemukan orang Cina, yang ada hanya orang Xinjiang – sekarang wilayah Cina bagian Barat yang mayoritas penduduknya muslim. Orang Xinjiang ini bicara bahasa Uighur. Maka belajarlah orang-orang muslim ini bahasa Uighur, dengan pengantar bahasa Uzbek. Sebulan kemudian mereka berangkat ke Urumqi, ibukota Xinjiang. Baru di sana mereka bertemu orang Cina. Maka belajarlah mereka bahasa Mandarin, dengan pengantar bahasa Uighur. Ingat bahasa-bahasa ini memiliki bunyi, tulisan dan tata bahasa yang sangat berbeda. Barulah setelah sebulan belajar bahasa Mandarin, mereka datang ke Xian, ibu kota kekaisaran Tiongkok saat itu. Hanya orang-orang bersemangat baja dan sabar luar biasa, yang sanggup bertahan dalam perjalanan perburuan ilmu semacam itu.
Hingga masa dinasti Abbasiyah, bahasa Arab diajarkan secara sistematis ke setiap tempat yang telah dibebaskan oleh kaum muslimin. Akibatnya, secara sistematis pula terjadi arabisasi bahasa di seluruh wilayah Islam. Bangsa Iraq misalnya, akhirnya melupakan bahasa Mesopotamia mereka. Demikian juga orang Mesir akhirnya melupakan Hieroglyph. Bangsa-bangsa itu kini menggunakan bahasa Arab dalam lisan dan tulisan seperti orang Quraisy di Hejaz, bahkan terkadang lebih fashih.
Pada masa-masa akhir Abbasiyah, perang Salib dan lalu serbuan Tartar ke Baghdad membuat pendidikan bahasa Arab nyaris terhenti. Dinasti Utsmaniyah penerusnya lebih berkonsentrasi menghadapi tantangan militer dan kurang mendorong ilmu pengetahuan, termasuk bahasa. Akibatnya, bahasa yang digunakan oleh negara Utsmani adalah campuran dari kosa kata Arab, Turki dan Persi, disusun dalam struktur tata bahasa Turki, dan ditulis pakai huruf Arab. Pada masa itu ada sejumlah wilayah Islam yang separatis, seperti Persia (Dinasti Safawid) dan India (Dinasti Mogul). Kedua negara ini juga tidak lagi istiqomah dalam bahasa. Walhasil sekarang ini kita mendapatkan di Iran, yang dipakai adalah tulisan Arab, tetapi bahasanya Persia. Hal yang sama di India atau Pakistan dengan bahasa Urdu dan di Nusantara dengan Arab-Melayu. Tulisan Arab di bahasa Melayu ini baru dihapus tahun 1905 dengan dipaksakannya huruf latin (ejaan Van Ophuizen) oleh penjajah Belanda. Sedang huruf Arab di bahasa Turki baru dihapus dan digantikan huruf Latin tahun 1926 oleh Attaturk.
Kini, di masa kemunduran, di negeri non Arab, orang yang lancar membaca huruf Arab sudah dipanggil “Ustadz”. Bisa sedikit berbahasa Arab dan mampu membaca “kitab gundul” sudah disebut Kyai. Padahal di masa Islam menjadi Negara Adidaya, itu semua baru modall awal. Mereka yang sudah lancar berbahasa Arab tidak henti-hentinya memperdalam ilmunya, termasuk mempelajari bahasa asing lain guna mempelancar dakwah ke luar negeri, dan memburu ilmu pengetahuan dan teknologi dari manapun.
Dr. Fahmi Amhar
Indonesia konon adalah negara yang “bukan-bukan”. Negara ini bukan negara sekuler, bukan pula negara Islam. Jadi bukan-bukan. Jaman Orde Baru dulu negara kita bukan demokrasi liberal, bukan pula diktator. Jadi bukan-bukan. Sistem republik kita juga bukan presidensil murni, bukan pula parlementer. Jadi bukan-bukan.
Kebingungan ini barangkali berhubungan dengan pola pendidikan tentang ketatanegaraan yang membosankan. Pada masa Orde Baru, ihwal tata negara dimasukkan dalam pelajaran Pendidikan Moral Pancasila atau Penataran P4. Kesan yang muncul: siapapun yang masih kurang sreg dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku akan di-stigma “tidak bermoral Pancasila”. Padahal siapakah moralis Pancasila sejati? Pada akhirnya sejarah melihat, Soeharto Sang Penggagas P4 tumbang setelah KKN-nya makin memuakkan rakyat.
Reformasi kemudian mengaduk-aduk tata negara. UUD 45 yang semula dianggap “suci” diamandemen beberapa kali. Hak-hak asasi manusia dipertegas. Otonomi daerah diperluas. Presiden dan Kepala Daerah dipilih langsung. Masa jabatan presiden dibatasi dua kali. DPR diperkuat. Komisi-komisi dibentuk. Dan Mahkamah Konstitusi dijadikan pemutus perbedaan tafsir konstitusional.
Meski demikian, proses ini sepertinya masih lama belum akan berakhir. Hak-hak asasi manusia membuat arus liberalisme menjadi-jadi. Hanya sedikit daerah yang terbukti sanggup memanfaatkan otonomi untuk menaikkan taraf hidup rakyatnya. Pemilu yang terlalu sering juga malah membuat rakyat jenuh, sehingga angka golput meningkat. DPR yang kuat justru membuat pemerintah gerah, karena tanpa dukungan DPR (misalnya dalam hal anggaran), agenda pemerintah akan macet. Dan Mahkamah Konstitusi dianggap tirani baru, karena 5 dari 9 hakim MK sudah cukup untuk membatalkan suatu Undang-undang yang disepakati 550 anggota DPR.
Jadi, dalam dua puluh tahun terakhir ini kita menyaksikan tata negara yang “membosankan” ala Orde Baru dan lalu “membingungkan” ala Reformasi. Mungkin persoalannya akan berbeda kalau kita gali ilmu ini seperti nenek moyang kaum muslimin melakukannya.
Tata negara sebagai amalan praktis – tak sekedar sebagai teori filsafat – sudah dipraktekkan sejak zaman sahabat. Mereka ditugaskan dalam berbagai pos, seperti sebagai gubernur, panglima, qadhi, bendahara baitul maal, penarik zakat, dan sebagainya. Para imam mujtahid juga pasti memasukkan bab siyasah dalam kitab-kitab fiqihnya.
Namun tata negara sebagai sebuah ilmu yang utuh dan sistematik adalah hasil tangan dingin Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi (972-1058 M). Beliau dikenal sebagai ahli tafsir dan fiqh madzhab Syafi’i; serta mendalami sastra, naskah kuno dan etika. Dia pernah bekerja sebagai qadhi di berbagai daerah di Iraq, juga sebagai utusan Khalifah ke berbagai penjuru negeri Islam.
Karya al-Mawardi yang paling monumental dan sudah menjadi klasik adalah kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyya w’al-Wilayat al-Diniyya (Kitab tentang sistem pemerintahan, wilayah dan agama). Selain itu ada juga menulis Qanun al-Wazarah (Hukum tentang para Menteri), Kitab Nasihat al-Mulk (Buku tentang Nasehat untuk Para Penguasa), dan Kitab Aadab al-Dunya w’al-Din (Buku tentang Etika Dunia dan Agama).
Al-Mawardi menulis bukunya berdasarkan realitas empiris pengalaman praktik pemerintahan yang beliau hadapi sebagai qadhi dan utusan khalifah, yang lalu dianalisis dan dikaitkannya sesuai persepsinya sebagai ahli fiqh. Dia termotivasi untuk menulis buku-bukunya itu agar para penguasa muslim di wilayah yang semakin luas itu, juga generasi sesudahnya, dapat semakin efektif menjalankan roda pemerintahan berdasarkan syariat Islam. Dalam banyak aspek al-Mawardi melakukan ijtihad sendiri atas persoalan yang memang di masa Nabi atau generasi sahabat belum ditemui, dan di sisi lain, dia juga melakukan adopsi atas hal-hal yang sifatnya teknis administratif pemerintahan – yang sejak masa Khalifah Umar bin Khattab – banyak ditiru dari Persia atau Romawi.
Dibandingkan misalnya pendapat Plato (360 SM) tentang “Republik” dalam bukunya Πολιτεία (Politea), pendapat-pendapat al-Mawardi terasa sangat revolusioner.
Al-Mawardi membahas rinci tata cara pengangkatan para pejabat dari khalifah hingga panglima, hakim dan petugas zakat; juga tentang jihad, pembagian harta negara (termasuk ghanimah dan fai); tentang status daerah, pertanahan, dokumen, pidana hingga hisbah. Banyak sekali apa yang ditulis al-Mawardi tetap dijadikan prinsip umum administrasi negara hingga zaman modern.
Sezaman dengan al-Mawardi adalah Abu Ya’la Muhammad bin al-Hasan bin Muhammad bin Khalaf bin al-Farra’ yang menariknya juga menulis buku dengan judul yang sama. Hanya saja, al-Mawardi ternyata lebih tua dari Abu Ya’la, dan bukunya terbit lebih dulu. Selain itu buku al-Mawardi juga menggunakan metode muqaranah (komparatif) antar pendapat fiqh berbagai mazhab yang dikenalnya, dan tidak hanya mengacu kepada satu mazhab tertentu, sementara Abu Ya’la hanya mengacu ke mazhab Hanbali.
Setelah al-Mawardi, ilmuwan besar yang menekuni tata negara adalah Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Bakr al-Ansari al-Qurtubi (1214 – 1273 M), seorang imam mazhab Maliki dengan karyanya yang terkenal Tafsir al-Qurtubi Al-Jami’ li Ahkam il-Qur’an, sebuah tafsir 10 jilid tebal dengan fokus tentang masalah hukum, termasuk hukum-hukum tata negara.
Kemudian kajian tata negara ini diteruskan Taqī ad-Dīn Abu ‘l Abbās Ahmad ibn ‘Abd al-Halīm ibn ‘Abd as-Salām Ibn Taymiyah al-Harrānī (1263 – 1328 M), yang antara lain menulis kitab al-Siyasa al-shar’iyya.
Seabad kemudian Jalaluddin as-Suyuti (1445-1505 M) menulis hampir 500 kitab, dan yang paling terkenal adalah Tarikh al-Khulafa yang mempelajari tata negara secara historis serta Al-Khulafah Ar-Rashidun tentang praktek kenegaraan ala empat khalifah pertama.
Selama mengacu kepada Islam, tata negara berdasarkan syara’, tidak akan membosankan. Negara khilafah baru redup ketika fiqh tata negara makin jarang dibicarakan, dan rakyat awam yang tahu makin sedikit. Ini berdampak makin memburuknya penerapan sejumlah hukum Islam. Zakat, kharaj atau jizyah memang terus dipungut, tetapi negara tidak lagi serius mendistribusikan pungutan itu kepada mereka yang berhak. Negara makin mengabaikan tanggung jawabnya terhadap rakyat. Akibatnya rakyat yang terdhalimi jadi mudah terprovokasi untuk disintegrasi. Mereka akhirnya jatuh ke pelukan penjajah.
Sekarang ketika khilafah sudah tiada, saatnyalah fiqh tata negara digali lagi dan diaktualisasi, untuk modal kebangkitan hakiki, agar kita tidak jalan di tempat, bingung menjadi bangsa dengan negara bukan-bukan.
Dr. Fahmi Amhar
Setelah Pemilu Legislatif lalu diperkirakan ada satu profesi yang “panen”, yang sayang hal ini tidak membanggakan, yaitu: ahli jiwa berikut rumah sakit jiwa. Ya ribuan caleg stress bertebaran di mana-mana. Mereka semula sudah menggadaikan rumah, utang bank ratusan juta, bahkan utang ke pengusaha sablon dan alat-alat pesta, sambil bermimpi hidup enak jadi anggota dewan berikut pensiun seumur hidup. Tiba-tiba kini menghadapi kenyataan pahit, perolehan suaranya cuma nol koma Insya Allah. Ada caleg yang langsung kena serangan jantung dan tewas, ada yang bunuh diri, ada yang keluar hanya bercelana kolor, ada yang merampas kembali barang-barang yang sudah dibagikan ke konstituennya, ada yang mengusir orang-orang yang bertahun mengontrak rumahnya, dan masih banyak lagi tanda-tanda gangguan jiwa lainnya.
Setiap bicara gangguan jiwa, orang teringat pada ilmu jiwa. Psikologi atau ilmu jiwa termasuk ilmu sosial yang banyak dipengaruhi oleh pandangan hidup. Ilmu jiwa dirasa penting ketika ada fenomena orang sakit jiwa (gila). Pada masa lalu, di hampir semua kebudayaan, orang gila sering dianggap orang yang jiwanya goyah karena kurang iman, kena sihir atau kerasukan setan. Akibatnya, terapi atas orang gila adalah terapi keagamaan atau ritual pengusiran setan (ruqyah). Terapi ini kadang berhasil, tetapi sering juga gagal. Pandangan bahwa orang bisa gila karena kurang iman juga tidak cocok dengan kenyataan bahwa Rasulullah sendiri tidak memandang semua orang kafir itu sebagai orang gila, meski jelas mereka tidak punya iman.
Namun pandangan semacam itu di Barat ternyata masih bercokol hingga zaman modern, bahkan sebagian hingga kini. Sigmund Freud, orang Austria yang dianggap Bapak psikologi modern – disebut modern karena mempelajari ilmu jiwa secara eksperimental – pun menganggap bahwa gangguan jiwa terjadi karena ada “gap” (perbedaan) antara ide (rasio), ego (nafsu), dan superego (hati nurani), dan gap ini harus dijembatani. Dalam bukunya yang berbahasa Jerman berjudul “Die Deutung der Traumen” (Arti Mimpi-Mimpi) dia menyatakan bahwa beberapa kasus kejiwaan disebabkan oleh keinginan seks yang tidak terpenuhi, sehingga saran terapinya adalah dengan memberi pasien kesempatan melakukan hubungan seks.
Saran dari Sigmund Freud ini tentu saja mendapat reaksi keras, tidak cuma di dunia Islam, tetapi juga di kalangan konservatif Eropa. Sayangnya mereka tidak punya alternatif, karena Freud-lah perintis psikologi di Eropa.
Namun bagi kaum muslim, psikologi tidak harus mengacu kepada Sigmund Freud. Sejarah sains Islam ternyata juga mencatat prestasi-prestasi di bidang psikologi. Ini karena Islam menjadikan aqil (sehat akal, lawan dari gila) sebagai syarat seseorang menjadi subjek hukum. Orang yang terbukti gila tidak boleh menjadi pejabat publik, dan seorang Khalifah yang terbukti gila dengan serta merta akan dipecat. Tapi bagaimana mendefinisikan gila, bagaimana cara mengukurnya, lantas bagaimana mengobatinya? Ini adalah bahasan-bahasan psikologi.
Dalam dunia psikologi, karya pertama tentang psikologi dan komunikasi dalam dunia hewan telah ditulis oleh Al-Jahiz (766–868 M). Sedang Abū Naṣr Muḥammad al-Fārābi (872–951 M), dikenal sebagai pendiri psikologi sosial dan psikologi perkotaan. Dia menyatakan bahwa untuk meraih kesempurnaan, seorang manusia perlu untuk tinggal di suatu lingkungan bertetangga dengan yang lain dan bekerja bersama mereka.
Konsep kesehatan mental pertama kali diajukan oleh Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934 M) dalam kitabnya Masalih al-Abdan wa al-Anfus. Bersama Muhammad ibn Zakarīya Rāzi (Rhazes), al-Balkhi dikenal sebagai ahli-ahli pertama yang mempelajari psikoterapi. Ar-Razi bahkan telah membangun bagian jiwa di rumah sakit Bagdad, hal yang saat itu tak mungkin ada di Eropa karena kepercayaan bahwa penyakit jiwa adalah akibat kerasukan setan.
Ibnu Sina adalah perintis psikologi fisis dan psikosomatis. Dia mendapatkan bahwa dalam mengobati suatu penyakit mesti melibatkan emosi dan dia mendapatkan juga bahwa denyut jantung terkait dengan perasaan. Dia adalah orang pertama yang menggambarkan berbagai kondisi neuropsikiatri termasuk halusinasi, insomnia (kesulitan tidur), mania (gila atas sesuatu), nightmare (mimpi buruk), epilepsi (ayan), stroke, vertigo dan sebagainya.
Dalam dunia medis, psikologi secara umum terkait dalam tiga hal: (1) psikiatri – yakni terapi medis bagi orang yang hilang ingatan atau berpersepsi abnormal (schizophrenia); (2) psikoterapi – dialog psikologis untuk membantu orang menyadari kondisi yang lebih menenteramkannya dan menurunkan perasaan ketidaknyamanan yang subjektif. (3) psikosomatis – kaitan kesehatan mental dengan fisis, atau disebut juga psycho-physiologis.
Dalam ketiga aspek ini para ilmuwan muslim memberikan kontribusi yang signifikan. Ibnu Sina dan Ar-Razi adalah perintis-perintis psikiatri dan psikosomatis. Sedang al-Balkhi dan al-Farabi adalah sumber ide psikoterapi, yang tidak hanya berlaku individual tetapi juga untuk masyarakat (psikologi pendidikan, psikologi sosial, dan psikologi massa).
Tokoh Al-Farabi ini bahkan cukup unik. Beliau menekuni bagaimana memberikan kondisi yang nyaman bagi kebanyakan orang, dan menemukan bahwa bunyi yang ritmis namun lembut mampu menciptakan hal itu. Karena itu kemudian dia mempelajari irama musik hingga ke alat-alatnya dan menemukan hubungan matematika antara tangga nada. Al-Farabi menulis buku Kitab-al-Musiqa (Buku tentang musik), dan menemukan beberapa jenis instrumen, termasuk di dalamnya yang zaman sekarang berkembang menjadi piano.
Berbeda dengan instrumen musik rebana yang sudah ada di tanah Arab sejak zaman pra-Islam, dan umumnya dipakai untuk mengiringi acara pesta gembira, dentang piano yang lembut dan menenangkan justru semula diciptakan al-Farabi sebagai alat menciptakan efek terapi pada kondisi mental, yang seterusnya juga akan berefek positif pada kondisi kesehatan fisik.