Dr. Fahmi Amhar
Pada saat ini perumahan bernuansa Islam sedang naik daun, nge-trend dan “selling”. Orang-orang berduit tidak merasa sayang untuk invest bagi anak-anaknya sesuatu yang bisa membuat mereka lebih sholeh. Namun kalau ditelisik mendalam, isu perumahan dan arsitektur Islam ini rupanya baru sebatas pada sesuatu yang “masjid sentris” atau Arab sentris. Di daerah Bogor ada perumahan kelas menengah ke atas yang icon utamanya adalah sebuah masjid sangat megah, yang sanggup menampung hampir 30 ribu jama’ah zikir. Pada saat ini, yang sholat di situ sehari-hari belum ada hitungan satu shaf.
Tentu saja tidak ada yang salah pada minat (ghirah) yang meningkat pada Islam. Namun alangkah baiknya bila ini diisi dengan pemahaman yang tepat. Dengan demikian pengembangan arsitektur Islam tidak terhenti pada telah berdirinya suatu perumahan yang bermasjid di tengahnya (masjid tak lagi di lahan marginal) atau bentuk arsitektur dengan bentuk-bentuk geometris lengkung dan ornamen kaligrafi khas Arab, tetapi jauh lebih dari itu.
Kalau berkaca pada sejarah, akan kita temukan bahwa arsitek-arsitek muslim terbesar telah melakukan banyak inovasi teknis. Yang paling terkenal tentu saja Sinan!
Koca Mimar Sinan Ağa (15 April 1489 – 17 July 1588) adalah arsitek ketua dan insinyur untuk Sultan Sulaiman I, Salim II dan Murad III. Selama periode 50 tahun, dia bertanggungjawab pada konstruksi dan supervisi 476 bangunan. Puncak hasil karyanya adalah Masjid Selimiye di Edirne, meski karyanya yang paling top adalah Masjid Sulaiman di Istanbul. Ada sejumlah departemen di bawah perintahnya, dan dia melatih banyak asisten, termasuk Sedefhar Mehmet Ağa, arsitek sebenarnya masjid Sultan Ahmet. Sinan dianggap arsitek terbesar dari periode klasik arsitektur, setara dengan Michelangelo di Eropa.
Sinan terlahir dengan nama Joseph sebagai anak Armenia pada 1489 di Anatolia. Hanya sedikit masa kecilnya yang diketahui. Suatu dokumen menyebut bahwa dirinya adalah anak dari “Abdülmenan” (istilah untuk ayah Nasrani tak dikenal yang anaknya menjadi muslim). Pada 1512 dia direkrut pada korps Janissari, yaitu pasukan khusus Utsmaniyah, setelah masuk Islam. Karena usianya sudah 23 tahun, dia tidak diijinkan masuk sekolah tinggi kesultanan di istana Topkapi, tapi dikirim ke sebuah kursus ketrampilan. Semula dia belajar menukang kayu dan matematika, tapi kecerdasannya membuatnya segera menjadi asisten arsitek dan dilatih sebagai arsitek. Tiga tahun kemudian dia menjadi arsitek ahli dan insinyur. Dia juga beberapa kali terjun ke medan jihad sebagai anggota Janissari. Sebagai arsitek dia mempelajari titik-titik kelemahan suatu struktur bangunan bila ditembak. Dia mendapat kewenangan untuk merobohkan bangunan-bangunan di tiap kota yang ditaklukkan yang tidak sesuai perencanaan kota. Dia juga membantu membangun benteng dan jembatan-jembatan, antara lain di atas Sungai Donau. Dia banyak mengkonversi gereja menjadi masjid di kota-kota Eropa yang ikut ditaklukannya.
Pengalamannya sebagai insinyur militer memberikan Sinan pengalaman praktis daripada sekedar teori. Pada awal karirnya, arsitektur Utsmaniyah sangat pragmatis. Bangunan hanya pengulangan dari bentuk yang telah ada sebelumnya. Mereka hanya menggabung elemen-elemen yang ada dan tidak memiliki konsep utuh. Tak ada ide baru. Lebih dari itu arsitek sering agak boros dalam menggunakan material dan tenaga. Sinan merubah secara perlahan ini semua. Dia mentransformasi praktek arsitektur yang telah mapan, memperkuatnya, dan menambahnya dengan inovasi demi kesempurnaan.
Dia mulai bereksperimen dengan desain dan rekayasa struktur kubah tunggal dan kubah banyak. Lalu mencoba suatu struktur geometri yang benar-benar baru, yang rasional dan menyatu secara spasial. Dia memvariasi kubahnya, mengelilingnya dengan berbagai variasi semi-kubah, pilar serta galeri yang beraneka. Kubahnya berkurva, tapi dia menghindari elemen-elemen kurva pada sisa desainnya, mengubah lingkaran kubah menjadi segiempat, segienam atau segidelapan. Dia mencoba harmoni berbagai geometri. Kejeniusannya terletak pada penataan ruang dan pemecahan ketegangan desainnya. Dia menggabungkan masjidnya dalam suatu cara yang efisien dalam suatu komplek yang melayani masyarakat sebagai pusat intelektual, komunitas dan kebutuhan sosial serta kesehatan.
Pada 1550 Sultan Sulaiman al Qanuni sedang di puncak kekuasaannya. Maka dia menugaskan ke arsitek khilafah Sinan, untuk membangun masjid khilafah, sebuah monumen abadi yang lebih besar dari lainnya, dan mendominasi kawasan Tanduk Emas (Istanbul). Masjid itu akan dikelilingi empat sekolah tinggi, dapur umum, rumah sakit, rumah singgah, pemandian, dan rest area untuk para musafir. Sinan yang telah memimpin suatu departemen menyelesaikan tugas ini dalam tujuh tahun.
Menjelang akhir hayatnya, Sinan masih bereksperimen dengan menciptakan interior-interior yang elegan. Dia menghilangkan beberapa ruang yang dianggap tak perlu di atas tiang-tiang di bawah kubah utama. Ini dapat dilihat di masjid Selimiye di Edirne. Pada saat membangunnya, dia tertantang oleh celoteh arsitek lain, bahwa “kamu tak akan dapat membangun kubah lebih besar dari Aya Sofia, apalagi sebagai muslim”. Ketika kubah masjid Selimiye selesai, Sinan menunjukkan bahwa kubahnya adalah yang terbesar di dunia, meninggalkan Aya Sofia yang telah berusia hampir seribu tahun. Sinan telah berusia 80 tahun ketika bangunan itu selesai.
Di “luar negeri” dia membangun masjid di Damaskus yang hingga sekarang tetap menjadi salah satu monumen terpenting kota, juga masjid Banya Basyi di Sofia, Bulgaria, yang saat ini merupakan satu-satunya masjid yang masih berfungsi. Dia juga membangun jembatan Mehmed Paša Sokolović di atas Sungai Višegrad di Bosnia Herzegovina yang sekarang masuk daftar Warisan Dunia UNESCO.
Saat wafat pada usia hampir 100 tahun, Sinan telah membangun 94 masjid besar, 52 masjid kecil, 57 sekolah tinggi, 48 pemandian umum (hamam), 35 istana, 20 rest area (caravanserai), 17 dapur umum (imaret), 8 jembatan besar, 8 gudang logistik (granisaries), 7 sekolah Qur’an, 6 saluran air (aquaduct), dan 3 rumahsakit.
Nama Sinan diabadikan sebagai nama universitas negeri di Turki Mimar Sinan University of Fine Arts in Istanbul, dan nama kawah di planet Merkurius.
Sayang, setelahnya wafatnya, tak ada lagi muridnya yang seberbakat dan seberani Sinan dalam “ijtihad arsitektur”. Dunia Islam tidak lagi menelurkan ide-ide baru arsitektur. Setelah jihad redup, arsitektur Islam kembali ke kubangan teori. Apalagi setelah negara khilafah tidak tegak lagi. Tak ada lagi “vitamin” yang mendorong agar muncul arsitek-arsitek yang inovatif dalam membantu melayani masyarakat.
Dr. Fahmi Amhar
Apa yang anda pikirkan tentang kincir angin? Energi alternatif, yang bersih dan terbarukan? Negeri Belanda nan elok yang dijuluki Negeri Kincir Angin, karena sejak berabad-abad telah secara massif menggunakan kincir angin baik untuk menggiling gandum maupun untuk memompa air demi mengeringkan negerinya yang lebih rendah dari laut? Apapun yang anda pilih, bila anda menyangka Negeri Belanda adalah negeri kincir angin pertama, boleh jadi anda keliru.
Yang benar, negeri kincir angin pertama-tama pastilah suatu wilayah dalam Daulah Khilafah. Daulah Khilafah memiliki banyak wilayah yang kering, di mana air saja cukup langka, apalagi sungai yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Karena itu, di daerah yang kekurangan air tetapi memiliki angin yang stabil, kincir angin dapat dikembangkan sebagai alternatif sumber energi untuk industri. Pengembangan teknologi kincir angin dimuat jelas dalam Kitab al-Hiyal karya Banu Musa bersaudara. Dan kincir angin pertama kali digunakan di propinsi Sistan, Iran timur sebagaimana dicatat oleh geografer Istakhri pada abad ke-9 M. Jadi masuk akal bila Sejarawan Joseph Needham menulis, “sejarah kincir angin benar-benar diawali oleh kebudayaan Islam” (Joseph Needham, 1986. Science and Civilization in China: Volume 4, Physics and Physical Technology, Part 2, Mechanical Engineering. Taipei: Caves Books Ltd. Vol 4).
Kincir angin pertama memiliki sumbu vertikal dan terbuat dari enam hingga duabelas layar yang terbuat dari textil dan dipakai untuk menggiling biji-bijian atau menaikkan air, dan bentuknya agak berbeda dari yang belakangan dipakai di Eropa. Deskripsi rinci alat ini terdapat pada Kitab Nukhbat al-Dahr karya Al-Dimasyqi, ditulis sekitar 700 H / 1300 M. Dari sini dapat diketahui bahwa pada saat itu sudah terdapat kincir angin bersumbu horizontal yang dikelilingi dinding-dinding penahan angin kecuali pada satu sisi. Kincir angin ini mulai dipakai di Mesir untuk menggiling tebu dan akhirnya dipakai meluas di seluruh wilayah khilafah pada abad ke-12 M dan mencapai Eropa melalui Spanyol (Kaveh Farrokh, 2007, Shadows in the Desert, Osprey Publishing)
Di Eropa, bentuk kincir angin lambat laun dimodifikasi sehingga memungkinkan kincir untuk menyesuaikan arah hadapnya dengan arah angin yang di Eropa Utara sering berubah-ubah sehingga dapat beroperasi lebih ekonomis. Rancangan dasarnya digambarkan besar-besar di buku Machinae Novae (Mesin-mesin Baru) dari tahun 1615 karya uskup sekaligus insinyur Fauntus Verantius. Needham berpikir bahwa “hal ini jelas merupakan penyebaran ke arah barat dari kebudayaan Iberia yang dulunya berasal dari Spanyol Muslim”.
Adanya kincir angin di Tarrragona, Spanyol selama masa pemerintahan Islam dituliskan oleh para penulis Muslim, misalnya dalam Kitab al-Rawd al Mi’tar (Kitab Taman yang Haram) karya al-Himyari pada tahun 661 H / 1262 M.
Beberapa pihak mengasumsikan bahwa kincir-kincir angin di Eropa adalah temuan asli Eropa. Namun yang jelas kemunculan kincir angin di Eropa adalah lebih lambat beberapa abad dari pada di dunia Islam.
Dengan datangnya revolusi industri, nilai penting kincir angin sebagai sumber energi primer untuk industri lambat laun tergeser oleh mesin uap atau mesin berbahan bakar fosil, kecuali di tempat-tempat yang memang terisolasi atau terpencil.
Namun demikian, krisis energi akhir-akhir ini menjadi momentum kebangkitan kembali kincir angin. Kincir angin modern dihubungkan dengan generator dan disebut “generator angin”. Satu generator angin terbesar sanggup menghasilkan listrik 6 MW (bandingkan dengan satu generator uap besar yang mampu menghasilkan listrik antara 500 sampai 1300 MW). Kebangkitan energi angin ini seharusnya juga terjadi di wilayah Daulah Khilafah yang dulu pernah memiliki kincir angin terbanyak di dunia.
Dr. Fahmi Amhar
Kira-kira apakah yang akan dipamerkan dalam suatu pameran perdagangan atau industri Islam? Beberapa waktu yang lalu ada pameran seperti itu di Jakarta, tidak tanggung-tanggung, judulnya “islamic world trade fair”, pekan raya perdagangan dunia islam.
Jawabannya seperti telah diduga: perangkat ibadat seperti busana muslim / muslimah, sajadah, tasbih, minyak wangi non alkohol, halal-food, hiasan Islami seperti kaligrafi dan sejenisnya, serta biro jasa umrah dan haji plus. Padahal banyak orang berharap acara itu akan menjadi ajang pertemuan para industriawan dari negeri-negeri Islam. Mungkin dari Indonesia tampil industri agro, garmen, semen hingga industri pesawat; dari negara-negara Timur Tengah industri petrokimia, dari Malaysia industri otomotif dan dari Iran industri pertahanan. Tapi entahlah, mungkin para industriawan masih merasa acara itu bukan ajang mereka, atau sebaliknya, penyelenggara memang hanya membidik segmen sempit, yakni muslim yang sedang memenuhi hasrat spiritualnya.
Padahal kalau kita buka lembaran-lembaran sejarah, industri di masa khilafah Islam ternyata memiliki spektrum yang sangat luas. Donald R. Hill dalam bukunya Islamic Technology: an Illustrated History (Unesco & The Press Syndicate of the University of Cambridge, 1986) membuat sebuah daftar yang lumayan panjang dari industri yang pernah ada dalam sejarah Islam, yakni dari industri mesin, bahan bangunan, pesenjataan, perkapalan, kimia, tekstil, kertas, kulit, pangan, hingga pertambangan dan metalurgi.
Alih teknologi dalam Islam berlangsung sejak abad pertama hingga abad ke-10 Hijriah. Dapat dilihat bahwa basis kemajuan dan perkembangan teknologi dalam peradaban Islam diperoleh dari peradaban Timur dekat pra Islam (Persia) dan Mediteranian Timur (Romawi), dan diketahui pula bahwa alih teknologi di daerah itu serta di bagian dunia lainnya telah berlangsung sejak sebelum kehadiran Islam. Namun terlihat bahwa selama periode tertentu, sebagian besar alih teknologi berlangsung dari Islam ke Eropa dan bukan sebaliknya. Dalam banyak hal, penemuan-penemuan Barat hanya dapat dipakai di Eropa Utara saja. Bajak beroda berat misalnya, hanya cocok untuk jenis tanah liat yang basah di daerah Eropa. Bandingkan misalnya dengan penemuan yang lebih universal dari al-Muradi pada abad ke-5 H tentang rangkaian roda gigi penggerak yang rumit dengan gir-gir bersegmen dan episiklus pada beberapa mesin.
Industri kertas yang menggabungkan pengetahuan kimia, material dan mesin bermunculan di dunia Islam setelah ada kontak budaya dengan Cina. Pada tahun 134 H / 751 M, pasukan Islam memperoleh kemenangan yang menentukan atas Cina sehingga Cina menarik diri dari seluruh daerah Turkistan (daerah Xin Jiang sekarang). Beberapa buruh Cina yang ditawan dalam pertempuran itu dikirim ke Samarkand dan kota-kota Islam lainnya.
Sementara itu penerimaan teknik Islam oleh Eropa tercermin dari banyaknya kata-kata bahasa Arab yang diturunkan menjadi kosakata bahasa-bahasa Eropa. Dalam bahasa Inggris kata-kata tersebut seringkali, tetapi tidak selalu, masuk melalui bahasa Italia dan Spanyol. Beberapa contoh: di bidang tekstil – muslin, sarsanet, damask, taffeta, tabby; di bidang kelautan: admiral, arsenal; di bidang kimia: alembic, alcohol, alkali; di bidang kertas: ream; dalam hal makanan: alfalfa, sugar, syrup, sherbet; di bidang penyamakan kulit: saffron, kermes; dsb. Dapat diduga bahwa khususnya bahasa Spanyol sangat kaya dengan kata-kata yang berasal dari bahasa Arab, terutama yang berkaitan dengan pertanian dan irigasi. Contoh: tahona untuk penggilingan, acena untuk kincir air dan acequia untuk kanal irigasi.
Suatu ketika, industri permesinan yang paling maju adalah pembuatan alat-alat irigasi, yakni kincir-kincir otomatis bertenaga air. Namun industri ini juga menarik tumbuhnya industri konstruksi seperti pembuatan semen untuk konstruksi dam dan kanal, serta industri pertanian untuk mengolah hasil panen yang kemudian melimpah.
Industri irigasi menjadi perhatian utama di negeri-negeri Islam, baik untuk air minum, wudhu, kebutuhan rumah tangga maupun pertanian pada umumnya. Ini berbeda dengan Eropa Utara yang relatif memiliki curah hujan yang tinggi dan banyak sungai. Alat irigasi yang pertama-tama dikembangkan adalah shaduf, yaitu semacam katrol pemberat dengan ember pada ujungnya untuk menaikkan air dengan mudah. Katrol ini masih digerakkan dengan tenaga manusia. Alat yang lain adalah saqiya dan noria (atau na’ura). Saqiya digerakkan dengan tenaga hewan (seperti keledai), sedang noria dengan tenaga air. Kedua alat ini sudah menggunakan roda gigi yang cukup rumit. Meski alat-alat ini sudah dikenal sejak sebelum kelahiran Islam, namun para ilmuwan Islam telah menaikkan tingkat efisiensinya hingga lebih dari 60 persen. Al-Jazari, insinyur muslim abad-5 H, mengembangkan lima jenis pompa air yang berbeda dari rancangan tradisional. Saat ini, sisa-sisa saqiya maupun noria masih bisa ditemui di beberapa desa di Syria maupun Mesir, meski pompa listrik telah banyak menggantikannya.
Umat Islam benar-benar tekun mengembangkan industri bertenaga alam yang terbarukan seperti air atau angin. Mereka bahkan mengukur aliran sungai berdasarkan jumlah penggilingan yang dapat diputarnya. Sebuah sungai biasanyanya dinyatakan dalam sekian daya giling (mill-power). Penggilingan pasang surut digunakan di Basrah abad ke-4 H (11 M), sementara catatan pertama penggunaannya di Eropa adalah seratus tahun kemudian. Penggilingan biasanya didirikan di pinggir sungai dan terkadang pada penyangga jembatan memanfaatkan kecepatan aliran di tempat itu. Setiap provinsi Khilafah sejak dari Spanyol dan Afrika Utara hingga Turkestan di batas Cina mempunyai sejumlah penggilingan. Untuk melayani kota-kota besar bahkan diperlukan penggilingan gandum berskala besar. Di kota Naishabur Khorasan misalnya, didirikan tujuh puluh penggilingan. Demikian juga di Palermo Sizilia, ketika kota itu di bawah pemerintahan Islam. Di dekat Baghdad, setiap industri penggilingan ini mampu menghasilkan sepuluh ton per hari. Padahal sepanjang sungai Efrat dan Tigris sejak dari kota Mosul dan al-Raqqah hingga Bagdad berdiri ratusan penggilingan yang bekerja siang malam. Penggilingan bertenaga air juga dilaporkan al-Biruni dipakai untuk industri kertas, industri gula tebu dan pengolahan batuan yang mengandung emas.
Sementara itu di daerah yang kekurangan air tetapi memiliki angin yang stabil, kincir angin menyebar menjadi sumber energi untuk industri. Pengembangan teknologi kincir angin dimuat jelas dalam Kitab al-Hiyal karya Banu Musa bersaudara pada abad ke-3 H (9 M). Tidak heran bahwa sejarawan Joseph Needham menulis, “sejarah kincir angin benar-benar diawali oleh kebudayaan Islam”.