Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Sejarah’ Category

Kota Terrencana Kota Islami

Wednesday, January 20th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Apa yang terpikir oleh orang akan kota Jakarta?  Survei membuktikan bahwa jawaban terbanyak adalah: macet!

Macet adalah dampak dari sebuah kota yang kurang terrencana.  Setiap hari, tiga juta orang harus bergerak dari luar Jakarta untuk bekerja di Jakarta.  Mereka harus tinggal di luar Jakarta, karena di Jakarta tidak lagi tersedia permukiman yang layak dan terjangkau oleh mereka.  Sementara itu, penciptaan lapangan kerja masih tetap berpusat di Jakarta.  Akibatnya timbul pergerakan massal.  Celakanya, untuk pergerakan massal ini tidak tersedia sarana transportasi massal yang memadai.  Jalur kereta api kita sangat terbatas, kumuh dan tidak aman.  Konsentrasi penduduk yang sangat tinggi ini juga kurang ditopang dengan sarana dan prasarana yang memadai, seperti air bersih, pengolahan sampah, taman bermain apalagi fasilitas penanggulangan bencana.  Kata Gubernur DKI Fauzi Bowo, Ruang Terbuka Hijau di DKI tinggal 9,1 persen, padahal menurut Undang-Undang no 26/2007 tentang Penataan Ruang mestinya 30 persen.  Makanya setelah macet, Jakarta juga langganan banjir.  Kalau dikatakan itu karena letak geografisnya yang lebih rendah dari muka air laut pasang, maka Amsterdam di Belanda sebenarnya lebih rendah lagi, yakni rata-rata tujuh meter di bawah muka laut), tetapi kota itu sudah sekian puluh tahun tidak pernah kebanjiran.   Sedang kalau dikatakan bahwa Jakarta seperti itu karena populasi yang sangat tinggi, maka sebenarnya populasi Jakarta dan sekitarnya belum ada setengahnya Tokyo Jepang yang saat ini berpenduduk 39 juta jiwa.  Saat ini Tokyo adalah kota terbesar dan terpadat di dunia, yang juga menghadapi ancaman bencana seperti gempa dan taifun.  Namun siapapun yang pernah ke Tokyo tidak mendapati masalah seperti yang dihadapi Jakarta kecuali masalah itu teratasi.

Kuncinya adalah usaha tak pernah henti untuk merencanakan kota dengan baik, melaksanakan rencana dan mengawasinya supaya tidak ada pelanggaran.  Ada banyak teknologi yang dapat dilibatkan agar penataan kota itu berjalan optimal.  Dan ini pernah dilakukan di kota-kota besar Khilafah Islam seribu tahun yang lalu!

Seribu tahun yang lalu, tidak banyak kota besar di dunia dengan penduduk di atas 100.000 jiwa.  Menurut para sejarahwan perkotaan Modelski maupun Chandler, Baghdad di Iraq memegang rekor kota terbesar di dunia dari abad-8 M sampai abad-13 M.  Penduduk Baghdad pada tahun 1000 M ditaksir sudah 1.500.000 jiwa.  Peringkat kedua diduduki oleh Cordoba di Spanyol yang saat itu juga wilayah Islam dengan 500.000 jiwa dan baru Konstantinopel yang saat itu masih ibu kota Romawi-Byzantium dengan 300.000 jiwa.

Namun sebagaimana laporan para pengelana Barat, baik Baghdad maupun Cordoba adalah kota-kota yang tertata rapi, dengan saluran sanitasi pembuang najis di bawah tanah serta jalan-jalan luas yang bersih dan diberi penerangan pada malam hari.  Ini kontras dengan kota-kota di Eropa pada masa itu, yang kumuh, kotor dan di malam hari gelap gulita, sehingga rawan kejahatan.

Pada 30 Juli 762 M Khalifah al-Mansur mendirikan kota Baghdad.  Al-Mansur percaya bahwa Baghdad adalah kota yang akan sempurna untuk menjadi ibu kota Khilafah.  Al-Mansur sangat mencintai lokasi itu sehingga konon dia berucap, “Kota yang akan kudirikan ini adalah tempat aku tinggal dan para penerusku akan memerintah”.

Modal dasar kota ini adalah lokasinya yang strategis dan memberikan kontrol atas rute perdagangan sepanjang sungai Tigris ke laut dan dari Timur Tengah ke Asia.  Tersedianya air sepanjang tahun dan iklimnya yang kering juga membuat kota ini lebih beruntung daripada ibu kota khilafah sebelumnya yakni Madinah atau Damaskus.

Namun modal dasar tadi tentu tak akan efektif tanpa perencanaan yang luar biasa.  Empat tahun sebelum dibangun, tahun 758 M al-Mansur mengumpulkan para surveyor, insinyur dan arsitek dari seluruh dunia untuk datang dan membuat perencanaan kota.  Lebih dari 100.000 pekerja konstruksi datang untuk mensurvei rencana-rencana, banyak dari mereka disebar dan diberi gaji untuk langsung memulai pembangunan kota.  Kota dibangun dalam dua semi-lingkaran dengan diameter sekitar 19 Kilometer.  Bulan Juli dipilih sebagai waktu mulai karena dua astronom, Naubakht Ahvaz dan Masyallah percaya bahwa itu saat yang tepat, karena air Tigris sedang tinggi, sehingga kota dijamin aman dari banjir.  Memang ada sedikit astrologi di situ, tetapi itu bukan pertimbangan utama.  Batu bata yang dipakai untuk membangun berukuran sekitar 45 centimeter pada seluruh seginya.  Abu Hanifah adalah penghitung batu bata dan dia mengembangkan sistem kanalisasi untuk membawa air baik untuk pembuatan batu bata maupun untuk kebutuhan manusia.

Setiap bagian kota yang direncanakan untuk jumlah penduduk tertentu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.  Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan.  Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.  Negara dengan tegas mengatur kepemilikan tanah berdasarkan syariat Islam. Tanah pribadi yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun akan ditarik kembali oleh negara, sehingga selalu tersedia dengan cukup tanah-tanah yang dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum.

Namun perencanaan kota juga memperhatikan aspek pertahanan terhadap ancaman serangan.  Ada empat benteng yang mengelilingi Baghad, masing-masing diberi nama Kufah, Basrah, Khurasan dan Damaskus, sesuai dengan arah gerbang untuk perjalanan menuju kota-kota tersebut.  Setiap gerbang memiliki pintu rangkap yang terbuat dari besi tebal, yang memerlukan beberapa lelaki dewasa untuk membukanya.

Tak heran bahwa kemudian Baghdad dengan cepat menutupi kemegahan Ctesiphon, ibu kota Kekaisaran Persia yang terletak 30 Kilometer di tenggara Baghdad, yang telah dikalahkan pada perang al-Qadisiyah pada tahun 637.  Baghdad meraih zaman keemasannya saat era Harun al Rasyid pada awal abad 9 M.

Kejayaan Baghdad baru surut pasca serangan tentara Tartar pada tahun 1258 M, yang terjadi setelah ada pengkhianatan di antara pejabat Khilafah.  Serangan ini berakibat terbantainya sekitar 1,6 juta penduduk Baghdad dan musnahnya khazanah ilmu yang luar biasa setelah buku-buku di perpustakaan Baghdad dibuang ke sungai Tigris, sampai airnya menghitam.

Teknologi Kelautan untuk Negara Adidaya

Wednesday, December 16th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Indonesia adalah negara kepulauan.  Konon ada lebih dari 13.000 pulau di sana.  Garis pantainya lebih dari 90.000 kilometer.  Luasnya hampir delapan juta kilometer persegi.  Namun hasil laut kita cuma sepersepuluh Cina yang negara benua.  Demikian juga Angkatan Laut kita teramat kecil, jauh lebih kecil dari Angkatan Darat.  Kapal perang hanya 148 dari jumlah ideal 500 untuk menjaga seluruh batas perairan.  Dan itupun tidak semua berlayar.  Ada yang tidak lengkap suku cadangnya atau tidak punya solar.  Kita cuma punya dua kapal selam, padahal Singapura yang hanya sebuah pulau kecil saja punya 20 kapal selam.  Tak heran jika hasil laut kita lebih banyak dijarah kapal-kapal asing (illegal fishing).  Dan kita tidak mampu berbuat banyak.  Bagaimana mau mengejar kalau kapal-kapal asing itu dapat berenang lebih cepat?

Mungkin semua ini karena kita tidak punya visi negara adidaya.  Sebuah negara adidaya, atau yang bervisi menjadi adidaya, pasti membangun kekuatan lautnya.  Amerika Serikat contohnya.  Angkatan laut AS jauh lebih besar dari angkatan daratnya.  Juga Cina yang galangan kapalnya mampu membangun 400 kapal setiap tahun!  Dan jangan lupa: Daulah Islam pun ternyata demikian.

Adalah Umar bin Khattab yang memutuskan membangun armada muslim demi menghadapi Romawi.  Romawi memiliki jajahan-jajahan di seberang lautan seperti Afrika Utara dan Timur Tengah.  Mencapai negeri-negeri itu lewat darat sangat tidak efisien.  Karena itu, untuk mematahkan Romawi, kaum muslim harus membangun angkatan laut.

Suatu angkatan laut terbangun dari beberapa bagian.  Ada pelaut yang mengoperasikan kapal.  Ada marinir yang akan diturunkan dari kapal untuk masuk ke daratan dan bertempur menaklukkan sebuah wilayah.  Ada navigator yang memberi orientasi di mana posisi kapal berada dan kemana mereka harus menuju.  Ada petugas isyarat yang melakukan komunikasi ke segala pihak yang dianggap perlu baik di laut maupun di darat.  Ada teknisi mekanik yang menjaga agar kapal tetap berfungsi.  Ada bagian logistik yang menjamin bahwa kapal tetap memiliki kemampuan dayung atau layar yang cukup.  Kalau sekarang berarti pasokan bahan bakar, makanan dan air tawar.  Dan ada bagian administrasi yang menjaga agar seluruh perbekalan di laut tertata dan digunakan optimal.  Seluruh hal-hal di atas telah dan tetap dipelajari di semua akademi angkatan laut dari zaman Romawi hingga kini.

Ketika angkatan laut muslim pertama dibangun, modal pertamanya jelas keimanan.  Mereka termotivasi oleh berbagai seruan Qur’an ataupun Hadits Rasulullah, bahwa kaum muslim adalah umat yang terbaik dan bahwa sebaik-baik pasukan adalah yang masuk Konstantinopel atau Roma.  Motivasi mabda’i ini yang menjaga semangat mereka mempelajari dan mengembangkan berbagai teknologi yang dibutuhkan.  Maka sebagian kaum muslim pergi ke Mesir untuk belajar astronomi.  Mereka mengkaji kitab Almagest karangan Ptolomeus agar dapat mengetahui posisi lintang bujur suatu tempat hanya dengan membaca jam dan mengukur sudut tinggi matahari, bulan atau bintang.  Ada juga yang pergi ke Cina untuk belajar membuat kompas.  Sebagian lagi mempelajari buku-buku Euclides sang geografer Yunani untuk dapat menggambar peta.  Jadilah mereka orang-orang yang dapat menentukan posisi dan arah di lautan.

Kemudian pembuatan kapal menjadi industri besar di negeri-negeri Islam, baik dalam konstruksi kapal dagang maupun kapal perang.  Selain galangan kapal utama, terdapat galangan-galangan pribadi di pingir sungai-sungai besar dan di sepanjang pantai di daerah Teluk dan Laut Merah.  Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik yang kecil hingga kapal dagang besar dengan kapasitas lebih dari 1000 ton dan kapal perang yang mampu menampung 1500 orang.  Menulis pada abad-4 H (abad 10M), al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya.

Semua kapal muslim mencerminkan karakteristik tertentu.  Kapal dagang biasanya berupa kapal layar dengan rentangan yang lebar relatif terhadap anjangnya untuk memberi ruang penyimpanan (cargo) yang lapang.  Kapal perang agak lebih ramping dan menggunakan dayung atau layar tergantung fungsinya.  Semua kapal dan perahu itu dibangun dengan bentuk papan luar rata (carvel-built), yaitu kayu-kayu diikatkan satu sama lain pada sisi-sisinya, tidak saling menindih sebagaimana lazimnya kapal dengan bangun berkampuh (clinker-built) di Eropa Utara.  Kemudian kayu-kayu itu didempul dengan aspal atau ter.  Tali untuk menambatkan kapal dan tali jangkar terbuat dari bahan rami, sedangkan salah satu pembeda dari kapal-kapal muslim adalah layar lateen yang dipasangkan pada sebuah tiang berat dan digantung dengan membentuk sudut terhadap tiang kapal.  Layar lateen tidak mudah ditangani, tetapi jika telah dikuasai dengan baik, layar ini memungkinkan kapal berlayar lebih lincah daripada layar persegi.  Dengan demikian kapal muslim tidak terlalu banyak mensyaratkan rute memutar saat menghindari karang atau badai, sehingga total perjalanan lebih singkat.

Begitu banyaknya kapal perang yang dibangun kaum muslim di Laut Tengah, sehingga kata Arab untuk galangan kapal, dar al-sina’a, menjadi kosa kata bahasa Eropa, arsenal.  Perhatian para penguasa muslim atas teknologi kelautan juga sangat tinggi.  Sebagai contoh, Sultan Salahuddin al Ayubi (1170 M) membuat elemen-elemen kapal di galangan kapal Mesir, lalu membawanya dengan onta ke pantai Syria untuk dirakit.  Dermaga perakitan kapal ini terus beroperasi untuk memasok kapal-kapal dalam pertempuran melawan pasukan Salib.

Uji kualitas atas bahan-bahan pembuat kapal seperti kayu sant (Acacia Nilotica), juga rami untuk bahan tali dan tekstil terpal untuk layar, dilakukan dengan ketat agar kapal yang dihasilkan juga bermutu tinggi.

Di sisi lain, para pujangga menulis kisah-kisah para pelaut dengan menawan, seperti hikayat Sinbad yang populer di masyarakat.  Di luar sisi-sisi magis yang sesungguhnya hanya bumbu cerita, kisah itu mampu menggambarkan kehidupan pelaut secara real sehingga menarik jutaan pemuda untuk terjun ke dalam berbagai profesi yang terkait kelautan.

Tanpa teknologi kelautan yang handal, mustahil daulah Islam yang sangat luas itu mampu terhubungkan secara efektif, mampu berbagi sumberdayanya secara adil, dan terus memperluas cakupan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia, termasuk hingga ke Nusantara.  Dengan teknologi kelautan, negara khilafah mampu bertahan beberapa abad sebagai negara adidaya.

 

 

Kapal dengan type layar lateen

 

 

Kapal khas arab

Krisis Energi bagi sebuah Negara Merdeka

Wednesday, December 16th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

 

Hari-hari ini sebagian kota-kota di Indonesia mengalami pemadaman listrik bergilir.  Sebagian orang langsung menuduh bahwa PLN memang tidak becus mengurus listrik.  Dan itu menjadi dalih bahwa sudah saatnya urusan listrik diserahkan kepada swasta, agar timbul iklim kompetisi, sehingga efisien dan optimal.  PLN menjawab bahwa persoalannya terletak pada energi primer yaitu gas yang tidak diberikan ke PLN.  Mayoritas pembangkit PLN dapat menggunakan dua jenis energi primer: BBM dan gas.  Gas jauh lebih murah.  Namun produsen gas di Indonesia tidak mau menjual gas ke PLN.  Gas mereka sudah dikontrak ekspor ke Cina, sehingga industri di Cina lebih berdaya saing.  Demikian juga dengan sejumlah daerah di Kalimantan yang beberapa tahun terakhir ini pemadaman listrik menjadi agenda mingguan.  Meski mereka penghasil batubara, namun hanya sedikit yang boleh digunakan di sana.  Selebihnya adalah untuk membuat kota-kota di Korea Selatan terang benderang.

Ketersediaan energi bagi sebuah negara memang suatu hal yang vital.  Energi digunakan untuk industri, menggerakkan roda transportasi, menyalakan penerangan, memanaskan rumah dan alat dapur, menghidupkan peralatan elektronik, hingga intensifikasi pertanian, karena pada hakekatnya pemberian pupuk adalah subsidi energi ke produk tanaman.

Tidak heran bahwa setiap kali pasokan energi berkurang, terjadilah krisis.  Namun dalam sejarah manusia, krisis energi sebenarnya sudah terjadi berkali-kali.  Di zaman purba, ketika manusia masih hidup dari berburu, dan energi paling banyak didapatkan dari tenaga manusia, pertumbuhan jumlah manusia berakibat cadangan hewan buruan di sekitarnya terus menipis sehingga akhirnya terjadi krisis pangan yang berarti juga krisis energi.  Namun krisis ini kemudian dijawab dengan beralihnya budaya berburu menjadi budaya pertanian dan peternakan, dan ketika tenaga manusia lalu digantikan dengan tenaga hewan yang telah dijinakkan.

Ketika jumlah manusia berikut kebutuhannya semakin meningkat, terjadilah krisis energi lagi.  Tenaga hewan tidak cukup lagi untuk menggerakkan industri yang makin menjamur di sekitar perkotaan.  Di situlah daya kreatifitas manusia ditantang lagi.  Muncullah penggunaan energi non hayati.  Rentang masa ini cukup panjang.  Dimulai dari penggunaan energi air sejak zaman Romawi kuno, hingga penggunaan energi fosil (batubara, minyak) di awal revolusi industri (abad 17-18 M).

Umat Islam bukanlah pengguna energi air yang pertama, tetapi mereka memberikan kontribusi yang luar biasa bagi penemuan mesin-mesin energi yang lebih efisien.  Dan meski umat Islam bukan penikmat revolusi industri, mereka telah memberikan kontribusi yang besar pada dunia pertambangan, sehingga membuka jalan untuk exploitasi dan pengolahan energi fosil.

Banu Musa bersaudara (abad 9 M) dan al Jazari (abad 12) adalah orang-orang yang mewariskan mesin-mesin yang sangat inovatif, baik dalam penggunaan energi air maupun untuk pertambangan.

Banu Musa terdiri dari tiga bersaudara, yang saat masih kecil ditinggal mati ayahnya, Musa bin Syakir, yang tewas ketika sedang menyamun!  Namun khalifah al-Ma’mun yang melihat bakat kecerdasan anak-anak itu justru memerintahkan agar mereka diasuh oleh Yahya bin Abi Mansur, astronom khalifah dan Mas’ul Baitul Hikmah (ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Khilafah).  Muhammad bin Musa tumbuh menjadi astronom, matematikawan dan meteorolog.  Adiknya, Ahmad bin Musa menjadi insinyur pencipta mesin.  Sedang si bungsu Hasan bin Musa besar di geometri dan ilmu konstruksi.

Sinergi tiga bersaudara itu antara lain menemukan desain lampu minyak yang tahan tiupan angin sehingga cocok dipakai di udara terbuka.  Mereka juga membuat alat ventilasi dan mesin keruk yang dirancang secara cerdas dan dimuat dalam buku mereka “Kitab al-Hiyal”.

 

Lampu tambang karya Banu Musa dengan pelindung yang dirancang agar diputar oleh angin ke arah yang melindungi lampu dari tiupan angin.

 

Mesin keruk dalam manuskrip Banu Musa,
dari koleksi Staatsbibliothek Berlin.

Saat itu (bahkan di Indonesia hingga saat ini), banyak pertambangan liar yang tidak begitu peduli aspek-aspek keselamatan.  Orang berebutan untuk sampai ke posisi tambang yang diharapkan, sehingga dapat saja orang memulai harinya dengan kekayaan dan menjelang malam dia tak lagi memiliki apa-apa, akibat keduluan orang lain.  Atau dia memulai dengan kemiskinan di pagi hari, dan malamnya menjadi pemilik sumber kekayaaan yang tak terhingga besarnya.  Lokasi tambang bisa menjadi kuburan massal akibat gas beracun atau air bah yang memancar tiba-tiba dari sungai di dalam tanah.

Namun pada penambangan-penambangan yang dikelola pemerintah, sudah digunakan ventilator karya Banu Musa dan pompa air karya Taqiyuddin.

 

Alat ventilasi pertambangan karya Banu Musa, terdiri dari buluh peniup dan pipa-pipa yang memompa udara segar ke dalam untuk mengusir gas-gas beracun.

 

Ilustrasi pompa dan rantai untuk mengangkat air di lokasi pertambangan, karya Taqiyuddin (abad 10M).

 

Dengan alat-alat itu tak heran, ketika geografer al-Idrisi (abad 12 M) mengunjungi tambang air raksa di utara Cordoba Spanyol, ia diberitahu bahwa kedalaman lubang tambang dari permukaan tanah tidak kurang dari 250 fanthom (sekitar 457 meter).  Itu tidak mungkin tanpa ventilator, pompa air dan drainase yang memadai.

Tentang pengolahan tambang, Al-Biruni menulis: “Pencarian batu la’l (sejenis rubi) dilakukan dengan dua cara.  Pertama dengan menggali tambang di bawah gunung, dan yang lain dengan mencarinya di antara kerikil dan tanah yang berasal dari reruntuhan gunung akibat gempa bumi atau erosi karena banjir”.  Dalam kitabnya al-Jamahir, al-Biruni membahas tentang berbagai mesin pengolah mineral.  Mesin-mesin itu mirip penggiling kertas, tetapi yang dihancurkannya adalah batuan.  Setelah dihancurkan sampai halus, batuan itu kemudian dapat dipisahkan, misalnya emas dari tembaga.  Seluruh mesin-mesin ini pada abad ke-4 H (atau abad-10 M) telah digerakkan dengan tenaga air.

Meski pada saat itu batu bara atau minyak bumi belum banyak diketahui manfaatnya, sehingga teknologinyapun belum berkembang, namun tanpa alat-alat pertambangan yang dikembangkan kaum muslimin saat itu, exploitasi batu bara dan minyak bumi saat ini tidak bisa dibayangkan.

Yang jelas, teknologi bagaimanapun hanyalah alat.  Tanpa tata energi dan sumberdaya mineral yang adil, teknologi itu hanya makin memperkaya mereka yang kuat dan bermodal yang umumnya konsorsium asing, dengan mengabaikan hak-hak pemilik sesungguhnya yaitu umat.  Hanya negara yang benar-benar merdeka, yang berani melawan tekanan asing, sehingga menerapkan syariat, mengembangkan teknologi dengan bersemangat dan menggunakannya sehingga bermanfaat bagi seluruh umat.