Filipina, negeri dengan 7.107 pulau di sebelah utara Indonesia. Kalau mendengar Filipina, kita ingat revolusi menggulingkan Marcos tahun 1986, ingat ketegasan Presiden Gloria Macapagal-Aroyyo kalau sedang membela para migrant worker asal Filipina jika dizalimi di luar negeri, tapi juga ingat penindasan atas kaum muslim di Mindanao Selatan yang tak kunjung usai.
Dari 92 juta penduduk Filipina, hanya 5-10 persen yang Muslim dan mayoritas tinggal di Mindanao, Palawan dan Sulu dan dikenal sebagai Bangsa Moro. Pasti ada suatu sejarah sehingga saat ini selain Tagalog dan Inggris sebagai bahasa resmi, Filipina memiliki bahasa asing pilihan yaitu Spanyol dan Arab! Selain itu masih ada sekitar 10 bahasa daerah yang diakui.
Nama “Phillipines” diturunkan dari nama raja Spayol Philip II pada abad-16 yang para pelautnya menemukan kepulauan itu lalu secara sewenang-wenang menyatakan sebagai kepulauan milik Raja Phillip. Padahal siapakah sebenarnya pemilik sah dari kepulauan itu?
Sejarah Filipina sebelum kedatangan orang-orang Spanyol adalah mirip dengan Nusantara sebelum kedatangan Belanda. Banyak negara-negara kota atau pulau dengan penguasa para Datu (Datuk), Rajah (Raja) atau Sultan. Sebagian wilayah pernah dikuasai oleh Raja atau Sultan dari wilayah yang sekarang di luar Filipina, seperti dari Sriwijaya, Majapahit, atau Brunei.
Pada 1380, Karim al Makdum dan Syarif al Hasyim Syed Abu Bakar, pedagang Arab kelahiran Johor datang ke Sulu dan mendirikan Sultanat Sulu dan menghasilkan kemakmuran yang besar dari perdagangan mutiara.
Akhir abad-15 Syarif Muhammad Kabungsuwan dari Johor mendakwahkan Islam di Mindanao dan menikahi puteri Parmisuli dari Mindanao dan mendirikan kesultanan Maguindanao. Pada abad 15 Islam telah tersebar hingga Visayas dan Luzon, pulau terbesar Filipina.
Antara 1485-1521, Sultan Bolkiah dari Brunei mengalahkan dinasti Tondo dan mendirikan Kesultanan Seluron (sekarang Manila) sebagai negara satelit Brunei.
Tahun 1521 penjelajah Spanyol kelahiran Portugis Ferdinand Magellan mendarat di Samar dan Leyte dan mengklaim kedua pulau itu milik Spanyol, tapi kemudian dibunuh oleh tentara dari pulau Mactan yang dipimpin Datu Lapu-lapu. Sisa pasukan Magellan kabur ke Spanyol dan mempersiapkan armada yang lebih kuat untuk menjajah Filipina.
Tahun 1565 penjelajah Spanyol Miguel Lopez de Legazpi datang dan membentuk permukiman Eropa pertama di pulau Cebu. Tahun 1571 mereka menyerbu Kesultanan Maynila dan Tondo, dan menyatakan Manila sebagai ibukota “Spanish-East Indies”. Rajah Sulaiman yang memimpin kesultanan Maynilla mempertahankan kota itu bersama 300 pasukan setianya sampai titik darah penghabisan.
Spanyol lalu memasukkan unsur-unsur Barat seperti hukum Barat, aksara latin, kalender Gregorian dan agama Katholik. Filipina kemudian menjadi ajang perebutan antara Spanyol, Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang.
Tahun 1872 Jose Rizal dan kawan-kawan membuat gerakan kemerdekaan Filipina. Karena tulisan-tulisannya dianggap subversif, Rizal dihukum mati pada 30 Desember 1896. Eksekusi Rizal ini menyulut revolusi yang mengusir Spanyol dari Filipina. Proklamasi kemerdekaan Filipina dilakukan pada 12 Juni 1898.
Spanyol tidak mampu mempertahankan Filipina karena sedang kewalahan melawan Amerika Serikat dalam perang di Cuba. Perang ini berakhir dengan perjanjian Paris di mana Spanyol menjual Filipina, bersama Cuba, Puerto Rico dan Guam ke Amerika Serikat dengan harga US$ 20 juta. Kelanjutannya adalah perang antara Filipina melawan Amerika Serikat hingga 1913. Kemelut dua Perang Dunia membuat Filipina akhirnya baru diakui kemerdekaannya oleh Amerika Serikat pada 4 Juli 1946 setelah Manila hancur dan Amerika mendapat tekanan internasional. Namun secara politik, Filipina tetap “dikunci” oleh Amerika Serikat hingga hari ini.
Saat ini, penghasilan perkapita Filipina adalah US$ 3.515 per tahun, tetapi melihat kenyataan kehidupan sehari-hari di Manila tidak berbeda jauh dengan Jakarta. Suasana kumuh, kesemrawutan lalu lintas dan gap kaya – miskinnya nyaris sama.
Di tengah kota Manila terdapat lapangan besar Jose Rizal Memorial Park untuk mengenang pahlawan Filipina terbesar itu. Di arena itu terdapat patung para pahlawan Islam, seperti Datu Lapu-lapu dan Rajah Sulaiman. []
Dr. Fahmi Amhar
Pernahkah anda berlomba untuk memperebutkan posisi sebagai muadzin di masjid? Muadzin mungkin bukan orang nomor satu di sebuah masjid. Kedudukan itu barangkali lebih tepat diberikan kepada imam. Namun Rasulullah pernah bersabda, “Andaikata umatku tahu besarnya pahala mengumandangkan adzan, barangkali setiap saat aku harus mengundinya di antara mereka”.
Untuk menjadi muadzin biasanya diperlukan sejumlah syarat, antara lain: memiliki suara yang lantang tetapi indah – sehingga orang suka mendengarnya, untuk kemudian datang ke masjid; tidak dikenal sebagai orang yang fasik; dan tentu saja bersedia datang lebih awal. Kalau orang biasa baru berangkat ke masjid setelah mendengar suara adzan, tentunya bukan dia yang akan mengumandangkan adzan. Ini artinya, muadzin harus hafal kapan saat-saat sholat, yang setiap harinya bisa bergeser beberapa menit.
Untuk syarat yang terakhir ini sekarang tergolong mudah. Di mana-mana ada jam, dan di setiap masjid ada jadwal shalat abadi. Kalau untuk adzan maghrib, orang dapat pula mendengar dari radio atau televisi – yang biasanya hanya mengacu pada kota tertentu dan sekitarnya. Tetapi dulu, seorang muadzin wajib mengetahui sendiri saat-saat sholat. Karena saat-saat sholat ditentukan oleh posisi matahari, maka seorang muadzin harus sedikit banyak tahu tentang astronomi. Bahkan karena ilmu ini juga dibutuhkan untuk mengetahui arah kiblat dan awal/akhir puasa, maka praktis seorang muadzin harus seorang astronom! Untuk itulah, di masa lalu, semua muadzin wajib memiliki sertifikasi (ijazah) ilmu falak dasar, yakni astronomi dasar untuk persoalan jadwal sholat, puasa dan arah kiblat.
Untunglah, banyak ulama Islam yang mencurahkan hidupnya untuk memudahkan pekerjaan ini. Mereka membangun dasar-dasar ilmu falak dan lebih dari itu juga astronomi untuk navigasi di medan jihad. Walhasil, banyak juga muadzin yang karena kemampuan astronomi ini lalu direkrut untuk jihad fi sabilillah. Jadi di belakang predikat seorang muadzin, tidak cuma tersembunyi kemampuan mengumandangkan adzan dengan indah, tetapi juga ilmu astronomi dan pengalaman jihad. Subhanallah.
Kaum muslim telah berburu ilmu ke Barat (Mesir, Yunani) maupun ke timur (Persia, India), mengintegrasikannya, memperkuat dasar-dasarnya dan mengembangkan jauh di atas para gurunya. Pusat penelitian astronomi Islam yang paling tua bermula di kota Maragha. Maka dalam sejarah ilmu pengetahuan muncullah “Madzhab Maragha” atau bahkan “Revolusi Maragha” – sebuah revolusi saintifik sebelum Rennaisance.
Ini berawal ketika Khalifah al-Ma’mun memerintahkan untuk mendirikan sebuah observatorium dan merekrut para astronom untuk melakukan pengumpulan data yang teliti guna mengoreksi data yang telah ada hingga saat itu. Untuk itu para astronom meminta bantuan ahli-ahli mekanik untuk membuatkan sebuah alat pengamatan langit yang disebut astrolabs. Hasil-hasil pengamatan langit yang lebih teliti ini menyelesaikan problem yang signifikan yang selalu timbul dalam model langit geosentris Ptolomeus. Saat-saat tertentu, planet Mars tampak seperti bergerak mundur (retrograde motion). Kalau saja model ini diubah menjadi heliosentris, maka gerak mundur planet Mars itu mudah sekali dipahami, yaitu tatkala bumi yang beredar mengelilingi matahari lebih cepat dari Mars, sedang “menyalip” Mars. Tapi waktu itu, Ptolomeus yang percaya pada teori geosentris, mencoba memecahkan problema itu dengan lingkaran-lingkaran tambahan yang disebut episiklus. Tetapi episiklus-episiklus ini makin lama menjadi makin rumit.
Maka sejumlah astronom muslim seperti Ibnu al-Haytsam dan Ibnu al-Syatir menekuni kemungkinan bahwa bumi berputar pada porosnya serta kemungkinan adanya sistem tata surya yang berpusat di matahari. Mereka membuat model planet non Ptolomeus. Sedang Muayyaduddin Urdi secara total menolak model Ptolomeus karena dasar empiris, tak hanya filosofis. Ini pendapat yang luar biasa maju. Nicolaus Copernicus baru berani mengemukakan pendapat ini di Eropa 500 tahun kemudian. Buka Copernicus yang berjudul De Revolutionibus ternyata banyak mengadaptasi model langit dari Ibnu al-Syatir dan at-Tusi dari madzhab Maragha. Argumentasi Copernicus tentang rotasi bumi juga senada dengan karya Ali al-Qusyji.
Pada abad-21 ini, fenomena langit seputar tata surya sudah bukan teori lagi, tetapi sudah menjadi fakta keras yang tidak dapat dibantah lagi. Manusia berbagai bangsa sudah meluncurkan ribuan pesawat ruang angkasa dan satelit yang mengorbit bumi. Terakhir, tahun 2009 para astronom dan insinyur aeronautika Iran sudah berhasil membuat satelit dan meluncurkannya dengan roket yang dibuat sendiri tanpa pertolongan negara lain. Semua hasil eksperimen ini terus membuktikan bahwa bumi memang berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari.
Anehnya, di abad ini pula, justru ada sejumlah orang yang ghirah Islamnya tinggi kembali meragukan pendapat bahwa bumi itu berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari. Mereka berpendapat, bumi itu diam, dan matahari, bulan dan seluruh bintang-bintang beredar mengelilingi bumi. Mereka menganggap pendapat ini didukung Al-Qur’an (antara lain QS 35:41, dan QS 21:33).
Padahal kebenaran sebuah fenomena alam yang dapat diamati atau diukur sama sekali tidak memerlukan dalil kitab suci manapun. Rupanya para astronom seribu tahun yang lalu justru lebih jernih dalam memahami ayat Al-Qur’an sekaligus memahami fenomena alam. Dengan itulah mereka dapat menjadikan astronomi sebagai modal untuk memuliakan Islam dan kaum muslim. Itu karena para astronom itu berangkat dari seorang muadzin!
Abu ar-Raihan al-Biruni menegaskan perbedaan antara astronomi dengan astrologi, sehingga menekankan pengamatan empiris yang akurat dan eksperimen untuk membuktikan kebenaran perhitungan astronomi. Akurasi data itu juga membuat astrofisika dimulai. Adalah Ja’far Muhammad bin Musa bin Syakir yang dari ribuan pengamatannya memastikan bahwa benda-benda langit mengalami hukum fisika yang sama seperti bumi. Sedang Ibnu al-Haytsam, sang penemu fisika optika – yang menjadi dasar pembuatan lensa untuk teropong bintang – dari pengamatannya memastikan, bahwa apa yang hingga saat itu diyakini sebagai “lapisan-lapisan langit” ternyata bukanlah sesuatu yang padat, melainkan bahkan kurang rapat dibanding udara. Jadi kalau di Qur’an disebut “lapis langit pertama sampai ketujuh”, maka itu pasti terletak di alam ghaib yang tidak dapat diamati manusia. Di situlah, ketika sains berakhir, dimulailah keimanan.
Dr. Fahmi Amhar
Apakah yang anda bayangkan tentang porselin? Boneka yang cantik, atau guci yang indah? Sama saja? Kalau begitu, dari mana porselin yang anda nilai mahal? Atau dari zaman apa? Pada umumnya kolektor benda antik amat menghargai porselin dari zaman dinasti Ming yang memerintah Cina dari 1368-1644 atau bahkan yang lebih tua dari dinasti Tang ((618-907 M).
Anda tidak sama sekali salah. Cina memang mata air ilmu pembuatan porselin di dunia. Ke sana pula Rasulullah memerintahkan kaum muslim untuk berburu ilmu. Tetapi tahukah anda, bahwa di abad pertengahan banyak porselin lain yang sama indahnya beredar di pasaran, namun bukan made in Cina? Di banyak museum di dunia masih disimpan porselin-porselin dari era keemasan Islam.
Sejarah keramik kaum muslim tidak terbatas hanya pada kaligrafi di atas keramik. Sisi teknologi di bidang ini memang termasuk yang jarang diketahui kecuali oleh para sejarahwan. Padahal umat Islam melakukan banyak inovasi keramik dan porselin untuk berbagai kebutuhan. Ada yang menjadi lantai dan dinding masjid, toilet dan bak mandi, tungku pemasak, hiasan di istana sultan, hingga alat-alat makan. Proses pembuatannya pun beraneka ragam. Teknologi ini terkait erat dengan pembuatan tembikar atau keramik dari tanah liat dan pembuatan gelas dari pasir kuarsa.
Para sejarahwan membagi keramik zaman Islam ke dalam tiga periode: periode awal (mulai abad-1 H sampai dengan abad-4 H, era pemerintahan bani Umayyah dan awal Abbasiyah), periode pertengahan (abad-5 H sampai abad-10 H) dan periode setelah abad-10 H (era bani Utsmaniyah).
Barang pecah belah dari awal dinasti Abbasiyah yang ditemukan di Samarra dapat digolongkan menjagi 6 tipe: (1) Tembikar tanpa glazur; (2) Tembikar berlapis monokrom alkalin; (3) Tembikar berlapis timah berhiasan relief; (4) Tembikar berlapis timah berhiasan bintik-bintik atau gambar abstrak warna-warni; (5) Tembikar berlapis aluminium; dan (6) Tembikar berlukis di bawah lapisan gelas.
Salah satu prestasi besar orang-orang Islam di periode ini adalah penemuan pelapisan dengan alumnimum. Jika glazur aluminium oksida ditambahkan pada glazur timah, akan didapatkan porselin krem ala dinasti Tang. Keunggulan aluminium oksida selain memungkinkan pengecatan permukaan bergelombang yang belum dibakar, juga karena cat tersebut tidak memudar ketika tembikar dibakar seperti halnya yang terjadi pada pemakaian glazur timah secara langsung.
Sepanjang periode Islam pertengahan, prestasi penting yang lain adalah penciptaan tembikar warna putih. Ini diperoleh dari bahan-bahan baru dari pasir kuarsa, lempung putih dan potasium. Produk ini tercipta dari keinginan pengrajin muslim untuk menyaingi porselin Cina. Jika dibakar, bahan-bahan baru ini menghasilkan tembikar semi-transparan yang sangat keras, yang di Eropa setelah abad 18 M dikenal sebagai “porselin pasta lunak”.
Pusat yang paling masyhur dalam pembuatan porselin adalah Kasyan di Iran. Pada tahun 700 H / 1301 M, Muhammad Abu Al-Qassim al Kasyani menulis sebuah buku penting yang memberikan rincian teknik keramik Islam.
Beberapa jenis inovasi keramik dan porselin yang terkenal adalah:
(1) Abarello: ini adalah semacam poci yang didesain untuk menyimpan obat-obatan dari abad 15.
(2) Fritware: ini adalah alat dapur untuk memanggang atau menggoreng dari abad 11. Sebuah resep cara membuatnya ditulis Abu al-Qassim pada tahun 1300 yang memuat perbandingan bahan-bahannya yaitu kuarsa : gelas frit : lempung putih = 10 : 1 : 1.
(3) Hispano-Moresqueware: ini adalah keramik yang dibuat di Spanyol Islam setelah bangsa Moor (Maroko) mengenalkan teknik pembuatan keramik ke Eropa dengan pelapisan timah dan gambar warna. Teknik ini sangat berbeda dengan keramik yang dikenal di kalangan Kristen dari karaketer Islam dalam dekorasinya yang bermotif kaligrafi.
(4) Iznik: ini adalah keramik dari era Turki Utsmani pada awal abad-15 M. Keunggulannya adalah ramuan bahan-bahannya yang membuat koefisien muainya turun sehingga tahan panas.
(5) Lusterware: lapisan gilap untuk keramik jenis ini semula dipakai di Mesopotamia (Irak) sejak abad-9 M lalu sangat terkenal di Persia dan Syria, dan berikutnya diproduksi massal di Mesir selama era Fatimiyah (abad-10 hingga abad-12 M). Teknik inilah yang pada abad-16 M menyeberang ke Itali di masa rennaisance lalu menyebar ke Belanda, Perancis dan negeri Eropa lainnya.
Sebuah porselin yang berlapis timah dari Spanyol-Mor di era Islam (disebut Hispano-Moresque), tahun 1475.
Di abad-20, teknologi keramik sempat terdesak oleh teknologi plastik yang membuat alat-alat yang sama dari bahan baku hidrokarbon (minyak) karena alasan lebih murah, lebih ringan dan tahan pecah. Namun belakangan disadari bahwa limbah plastik tidak bisa hancur secara alami dan menjadi masalah lingkungan yang serius. Proses pembuatan plastik juga tidak ramah lingkungan karena melepaskan dioxyn yang menyebabkan kanker. Maka kini orang kembali menengok ke keramik. Perkembangan di fisika nano membuat kini mampu dibuat keramik yang juga murah, ringan, tahan pecah dan juga bahkan anti kotor! Ini suatu perkembangan yang menarik. Mungkinkan para ilmuwan muslim kembali berperan dalam mengembangakan keramik seperti seribu tahun yang silam?