Dr. Fahmi Amhar
Pernahkah anda bertemu seorang Polymath? Polymath adalah orang yang sangat kompeten tidak hanya dalam satu bidang ilmu, namun dalam beberapa bidang ilmu sekaligus. Mungkin orang akan mengatakan bahwa fokus di satu bidang akan membuatnya lebih hebat lagi, namun itu tidak berlaku bagi seorang Polymath. Mereka memang sangat hebat dalam beberapa bidang sekaligus. Sejarah keemasan Islam mencatat cukup banyak polymath, salah satu di antaranya adalah Abu Rayhan Muhammad ibn Ahmad al Biruni, yang hidup antara 973 M sampai 1048 M.
Sebagaimana lazimnya anak-anak di masa itu, al-Biruni sudah hafal Qur’an sebelum baligh. Tentu saja dia juga belajar ilmu fiqih dasar dan dia mempelajarinya dengan serius sehingga pada saat berusia baligh dia sudah mengenal semua syariat Islam yang wajib diketahui dalam kehidupan sehari-hari. Dia memiliki kualitas seorang alim. Dia lalu menekuni berbagai cabang ilmu sesuai minatnya.
Pada usia 17 al-Biruni sudah menghitung posisi lintang bujur dari Kath, Khwarizm, dengan metode tinggi matahari. Al-Biruni memecahkan persamaan geodesi kompleks untuk menghitung jari-jari bumi. Dan dia mendapatkan angka sekitar 6339,9 Km, hanya berselisih 16,8 Km dari nilai modern yaitu 6356,7 Km. Berbeda dengan pendahulunya yang menghitung jari-jari bumi dengan pengamatan simultan matahari dari dua tempat yang berbeda, al-Biruni mengembangkan metode trigonometris yang dapat dikerjakan satu orang dari satu lokasi. Dengan cara itu dia juga dapat mengukur tinggi gunung tanpa harus mendakinya.
Pada usia 22 tahun, al-Biruni sudah menulis sejumlah karya ilmiah, termasuk tentang proyeksi peta, penggunaan sistem koordinat 3D – Cartesian (waktu itu tentu saja belum disebut Cartesian) dan transformasinya ke sistem koordinat polar.
Ketika membahas geografi, al-Biruni menggabungkan pemetaan dengan sejarah bangsa-bangsa terdahulu. Ketika membahas geologi India, dari data-data tanah dia berhipotesa bahwa wilayah itu dulunya adalah laut – apa yang dia abad modern semakin diperkuat oleh bukti-bukti fossil binatang laut di Himalaya.
Metode ilmiah al-Biruni hampir sama dengan metode ilmiah modern, terutama dengan perhatiannya pada eksperimen yang berulang. Al-Biruni sangat peduli pada kesalahan sistematis dan kesalahan acak (random), seperti kesalahan yang mungkin disebabkan oleh penggunaan alat yang renik dan kesalahan yang timbul oleh pengamat. Dia mengatakan bahwa alat memproduksi kesalahan karena kualitasnya tidak sempurna, sehingga pengamatan mesti dilakukan berulang, dan setelah itu dilakukan rata-rata aritmetis untuk mendapatkan perkiraan yang masuk akal.
Untuk pengamatan astronomi, Al-Biruni banyak membuat berbagai instrumen astronomi, seperti alat untuk mencari kiblat atau mengukur saat-saat sholat di semua tempat di dunia. Dia juga membangun prototype sextant, yaitu alat dasar survey. Dia juga membuat prototype hodometer, semacam komputer mekanik untuk membuat kalender, mirip yang kini ada pada jam mekanik.
Al-Biruni secara tegas membedakan astrologi dari astronomi . Dia menolak astrologi karena tidak empiris tetapi hanya menghubung-hubungkan dengan cara yang tidak logis.
Setelah membaca banyak data hasil pengamatannya, al-Biruni meyakini bahwa bumi ini bulat, berputar pada porosnya sehari sekali, dan beredar mengelilingi matahari setahun sekali. Ini hal yang bertentangan dengan pendapat umum saat itu, namun diyakini al-Biruni paling dekat dengan data-data empiris.
Al-Biruni juga memulai suatu tradisi baru dalam astronomi, yang disebut “astronomi- experimental”. Dia mulai memprediksi gerhana matahari total pada 8 April 1019 dan gerhana bulan pada 17 september 1019 secara detil, bahkan pada lokasi mana gerhana itu dapat disaksikan. Dan berbeda dengan Ptolomeus, yang hanya memilih data yang sesuai teorinya, al-Biruni memperlakukan “error” dengan perlakuan yang lebih ilmiah, termasuk memperbaiki teorinya. Inilah yang kemudian melahirkan dukungannya pada teori heliosentris, dan meninggalkan teori geosentris Ptolomeus. Dia juga mengatakan bahwa orbit planet-planet itu bukan lingkaran tetapi ellips.
Karya al-Biruni berjumlah total 146. Ini mencakup 35 buku tentang astronomi, 4 tentang astrolab (alat navigasi), 23 tentang astrologi, 5 tentang kronologi (cara pendataan temporal), 2 tentang pengukuran waktu, 9 tentang geografi, 10 tentang geodesi dan teori pemetaan, 8 tentang aritmetika, 5 tentang geometri, 2 tentang trigonometri, 2 tentang mekanika, 2 tentang kedokteran dan farmakologi, 1 tentang meteorologi, 2 tentang mineralogi, 4 tentang sejarah, 2 tentang India, 3 tentang agama dan filsafat, 16 tentang karya sastra, 2 tentang sihir, dan 9 tidak terklasifikasi. Dari semua karyanya ini tinggal 22 yang bertahan hingga kini dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Yang paling terkenal adalah:
Pakar sejarah ilmu George Sarton menyebutkan bahwa al Biruni adalah “one of the very greatest scientist of Islam, and, all considered, one of the greatest of all times”. Namanya telah diabadikan untuk sebuah kawah di bulan dan sebuah universitas teknologi di Tashkent Uzbekistan.
Bagaimana perasaan Anda jika bisa berada di dua tempat yang sangat berjauhan pada hari, tanggal dan jam yang sama? Itulah yang saya rasakan pada Sabtu 7 November 2009 pukul 10 pagi. Saya tercatat berada di Manila (Filipina) dan di Honolulu Hawaii (Amerika Serikat), pada hari, tanggal dan jam yang sama. Padahal keduanya terpisah hampir 8.000 kilometer.
Ketika saya Sabtu sore 7 November terbang Manila – Honolulu, saya melintasi garis batas tanggal internasional, sehingga tanggal saya dimundurkan satu hari sebelumnya. Akhirnya meski saya baru esok paginya sampai di Honolulu, tapi di sana masih Sabtu pagi, 7 November. Jadi saya menjalani hari Sabtu itu dua kali! Tentu saja, saat perjalanan pulang, yang terjadi sebaliknya. Meski berangkat Sabtu pagi, dan tidak menyaksikan malam, ketika sore sampai di Manila, di sana sudah Ahad sore.
Manila terletak pada zona waktu GMT+9 (sama dengan Waktu Indonesia Timur). Sedang Honolulu pada GMT-10. Jadi bedanya 19 jam! Ini menjadi persoalan tersendiri kalau pada akhir bulan Ramadhan, Muslim di Manila mengabarkan melihat hilal pada Sabtu sore dan mengumumkan ke seluruh dunia agar merayakan Ied esoknya, yaitu Ahad. Maka, “esoknya” itu bagi Muslim di Hawai masih Sabtu, bukan Ahad! Sebaliknya, bila yang melihat hilal ini adalah Muslim di Honolulu, misal pada Sabtu sore, maka “esoknya” itu di Manila sudah Senin!
Apakah memang ada Muslim di kedua tempat itu? Ada. Filipina bahkan punya pahlawan Muslim (baca MU no. 35). Di Honolulu saya sempat shalat Jumat di Islamic Center.
Penduduk asli Hawaii adalah bangsa Polynesia yang serumpun dengan suku-suku di Nusantara. Menurut penelitian sebaran bahasa, rumpun Polynesia ini tersebar dari Madagaskar hingga Hawaii. Mungkin karena mereka umumnya pelaut. Baru tahun 1778 Hawaii dikunjungi orang Eropa. Bersama kedatangan mereka, datang pula penyakit yang sebelumnya tak ada di pulau terisolasi itu.
Penjajah mulai melakukan adu domba antar para raja di Hawaii. Raja yang merasa dibantu lalu memberi konsesi untuk membangun perkebunan dan memasukkan pekerja dari luar. Namun sejarah lalu mencatat bahwa para pengusaha inilah yang kemudian membiayai kudeta untuk menghapus kerajaan dan berupaya agar Hawaii jadi bagian Amerika Serikat. Setelah berstatus “Teritori” (yakni wilayah perlindungan AS namun tidak berhak pemerintahan negara bagian), akhirnya tahun 1959 dalam referendum, penduduk setuju Hawaii menjadi negara bagian AS ke-50.
Sejak penyerangan Pearl Harbour oleh Jepang tahun 1941, AS menganggap Hawaii adalah tempat yang strategis. Perang Dunia-II di Lautan Pacific bermula dan ditentukan jalannya dari Hawaii. Maka AS kini menempatkan markas armada lautnya di Hawaii. Dari 1,3 juta penduduk Hawaii, sekitar 2 persennya adalah anggota militer.
Dari sisi keagamaan, 29 persen penduduk Hawaii mengaku Kristen, 9 persen Budha (pada umumnya keturunan Jepang), 1 persen Yahudi, dan sisanya (61 persen) bervariasi dari berbagai jenis kepercayaan animisme sampai Islam.
Warga Islam di Hawaii terpusat di Oahu, yakni pulau yang terpadat penduduknya, di mana Honolulu berada. Mereka umumnya imigran Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Jumlahnya masih di kisaran ribuan dan sering berganti (karena faktor mahasiswa yang lulus dan pulang). Meski demikian mereka berhasil membentuk Muslim Association of Hawai’i dan membangun Islamic Center di alamat “1935 Aleo Place – Honolulu, HI 96822” dekat Manoa Road. Saya menemukan alamat ini di internet. Namun ternyata tak mudah menemukan alamat itu bagi sopir taksi sekalipun dibantu GPS. Taksi sempat nyasar dan sopirnya harus konsultasi beberapa kali dengan sentralnya. Namun ketika tampak bangunan berfasade lekukan-lekukan yang lazim ada pada masjid saya yakin bahwa itu pastilah Islamic Center yang dimaksud.
Meski awalnya saya khawatir terlambat (karena nyasar), ternyata masjid masih sepi. Jumatan baru dimulai pukul 13:30, dan akhirnya masjid penuh juga. Selesai Jumatan ada bazaar. Dijual makan siang seharga 5 dollar. Harga yang murah untuk ukuran Hawaii. Di supermarket, uang 5 dollar hanya bisa untuk membeli roti tawar isi ikan tuna 2 potong yang tidak mengenyangkan. Sebagai pulau terisolasi, nyaris semua kebutuhan pokok di Hawaii harus didatangkan sehingga harganya amat mahal. Di tempat simposium, harga makan siang mencapai 25 dollar.
Aktivitas Islamic Center ini cukup beragam. Ada penerbitan buletin, training calon muallaf (umumnya karena pernikahan), presentasi Islam untuk sekolah (pelajaran IPS), Islam Day untuk memperkenalkan Islam di masyarakat, sampai polling pendapat atas suatu isu yang terkait Islam atau umat Islam.
Masyarakat Indonesia di Hawaii yang Muslim lumayan banyak, walaupun yang dominan masih non Muslim. Salah satu dari mereka yang dituakan adalah Bapak Haji Djunaidi. Bapak ini bahkan ikut menyaksikan ketika Barack Obama masih kecil. Ayah biologis maupun ayah tiri Obama adalah Muslim. []
Cina, negeri dengan penduduk terbanyak di dunia. Kalau mendengar Cina, kita ingat komunisme, yang konon pada tahun 1965 berada di belakang Partai Komunis Indonesia. Namun komunis di Cina kini tinggal berada di bidang politik. Sejak tahun 1990-an, kehidupan ekonomi di Cina adalah kapitalis. Dan Cina tumbuh menjadi raksasa ekonomi yang ditakuti oleh Amerika Serikat.
Namun mendengar kata Cina, kita juga ingat akan suatu riwayat di mana Nabi Muhammad memerintahkan umatnya untuk mencari ilmu sampai negeri Cina. Tentu saja ilmu yang dimaksud bukan ilmu aqidah, ilmu fiqih atau ilmu tafsir. Yang dimaksud adalah teknologi, karena di zaman Nabi, Cina sudah dikenal memiliki beberapa teknologi yang belum dikuasai oleh bangsa-bangsa Persia atau Romawi sekalipun, misalnya teknologi pembuatan kertas, kompas atau mesiu. Saat itu tembok Cina juga sudah terbangun beberapa ratus kilometer, sebuah mahakarya yang tak ada duanya di dunia.
Tak heran di masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq sudah ada kafilah dagang yang pergi ke Cina, dengan berbagai tujuan sekaligus: mencari ilmu, berdagang untuk hidup dan berdakwah. Tentu saja mereka mengalami banyak kesukaran seperti antara lain wajib mempelajari berbagai bahasa yang diperlukan agar dapat berkomunikasi di Cina.
Hasilnya tidak sia-sia. Di zaman Utsman bin Affan, para alumni Cina ini sudah dapat membuat sendiri kertas, yang dengan itu Mushaf Utsmani ditulis. Namun mereka juga meninggalkan cikal bakal Islam di Cina. Bahkan pernah ada seorang Laksamana Cina yang seorang Muslim, yaitu Cheng Ho.
Tahukah Anda, bahwa masjid di Beijing lebih tua usianya dari semua masjid yang ada di Nusantara? Masjid ini didirikan tahun 996 M. Tidak terlalu sulit untuk menemukan Masjid Niu Jie di Beijing ini, meski tidak banyak sopir taksi yang mengetahuinya. Dengan menunjukkan ke peta yang ada aksara Cina-nya, dibantu sedikit bahasa Tarzan, akhirnya sampai juga saya ke masjid Niu Jie, dengan nyasar dulu ke sebuah kelenteng yang tidak jauh dari masjid. Kelenteng ini jauh lebih kecil, tapi ternyata buat orang Cina lebih dikenal.
Dari segi bangunan, masjid Niu Jie ini tidak berbeda jauh dengan arsitektur sebuah kelenteng. Warna-warna merah mendominasi. Yang membedakan hanya kaligrafi Arab di atas pintu-pintunya. Di seputar masjid ada beberapa bangunan lain. Kaum wanita dan anak menempati bangunan terpisah, sehingga saat bapak-bapak shalat Jumat mereka dapat shalat Dzuhur sendiri. Ruang terbuka di antara bangunan itu mengingatkan pada lapangan latihan kungfu di padepokan Shaolin. Mungkin memang pernah difungsikan demikian.
Khutbah Jumat dan shalatnya sendiri alhamdulillah masih tetap dalam bahasa Arab. Hanya saja saat shalat akan dimulai, dan jamaah diminta merapikan shaf, ada perintah Imam dalam bahasa Cina, yang tentu saja terdengar agak menggelikan bagi kita: ada bahasa Cina di masjid!
Masjid Niu Jie memang terletak di kawasan Muslim. Di sekitarnya berdiri beberapa supermarket dan restoran halal. Perempuan Cina yang berkerudung banyak terlihat. Anak-anak muda Cina di situ juga lebih familier bahasa Arab daripada bahasa Inggris. Di Cina, ditaksir ada sekitar 10 persen penduduk Muslim. Karena penduduk Cina 1,4 milyar manusia, maka 10 persen ini banyak juga. Bagi pemerintah Cina, keberadaan Muslim di Beijing sebagai minoritas tidak menjadi masalah. Lain halnya dengan Muslim Uighur di Xin Jiang yang mayoritas dan menginginkan otonomi khusus. Mereka ditekan dan bahkan kadang-kadang dibantai. []