Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Sejarah’ Category

Orang yang menyambungkan nafas

Sunday, November 7th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Apakah anda termasuk tipe orang yang sehat, yaitu yang berpandangan hidup positif, cukup gizi, dan cukup gerak?  Dewasa ini makin banyak orang yang kurang gerak.  Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di atas kursi atau kendaraan.  Bahkan untuk jarak tak sampai seratus meter saja, ada yang memilih naik kendaraan bermotor.  Walhasil mereka lebih mudah tersengal-sengal ketika harus berjalan kaki saat tak ada kendaraan, apalagi berlari-lari mengejar pesawat.  Karena itu makin banyak pula yang mengalami keluhan pada organ pernafasannya, baik yang ringan seperti tenggorokan, maupun yang berat seperti jantung.  Serangan jantung menjadi pembunuh nomor satu.  Dan operasi jantung menjadi rutinitas.

Namun jarang orang tahu, bahwa tanpa seorang ilmuwan muslim abad 13 M, operasi jantung itu mungkin masih jadi angan-angan.  Orang itu adalah Alauddin Abu al Hassan Ali ibn Abi Hazm al-Quraisyi al Dimashqi atau lebih dikenal dengan nama Ibn an-Nafis, yang lahir 1213 M di Damaskus dan kemudian bekerja di Cairo.

Ibn an-Nafis, seperti banyak ilmuwan di masa Daulah Khilafah, adalah seorang polymath (pakar berbagai ilmu), yaitu ahli hadits, faqih madzhab Syafi’i, ahli bahasa, astronom, dokter bedah, ahli mata, dan ahli jantung.

Ibn an-Nafis adalah orang pertama yang menggambarkan sirkulasi darah di jantung dengan benar.  Penemuannya ini membatalkan teori yang telah berusia 1000 tahun dari Galen, sang filsuf Yunani.  Ibn an-Nafis menyatakan bahwa darah di jantung bilik kanan akan menuju bilik kiri hanya melalui paru-paru, dan bukan lewat pori-pori antar bilik sebagaimana diteorikan Galen.  Teori Ibn an-Nafis ini menurut sejarawan ilmu George Sarton, jauh mendahului William Harvey, yang dianggap penemu peredaran darah dari abad 17.

Namun tidak hanya soal peredaran darah di jantung.  Ibn an-Nafis juga memberikan kontribusi yang signifikan dalam memahami peredaran darah ke otak, cara kerja otot, syaraf dan mata.  Kaitan antara peredaran darah, otak dan syaraf sangat penting dalam penanggulangan serangan stroke.

Dalam kaitan dengan syaraf ini, dia membedakan antara jiwa (soul) dan ruh (spirit) seraya menolak ide Ibnu Sina maupun Aristoteles yang menganggap bahwa jiwa berada di jantung.  Ibn an-Nafis berargumentasi bahwa jiwa terkait dengan keseluruhan, bukan satu atau beberapa organ.  Kesimpulannya “jiwa berhubungan dengan segala zat yang temperamennya disiapkan untuk menerima jiwa”, dan “jiwa tidak lain adalah kemampuan manusia untuk menyadari dirinya”.  Sedang tubuh adalah terkait kemampuan pengenalan (cognition), perasaan (sensation), khayalan (imagination) dan naluri (animal locomotion), dan ini bukan berasal dari jantung melainkan dari otak.

Selain itu Ibn an-Nafis mengkritik habis teori embriyologi (pembentukan janin) baik dari Galen, Aristoteles maupun Ibnu Sina.  Dia berpendapat bahwa sperma laki-laki maupun sel telur perempuan memiliki peluang yang sama untuk mendominasi sifat-sifat janin, tidak selalu laki-laki selalu mendominasi seperti teori sebelumnya.

Pengetahuan Ibn an-Nafis yang luar biasa tak lain juga karena dia adalah pelopor kedokteran eksperimental, termasuk dari bedah mayat.  Dengan itu dia berhasil mengembangkan pemahaman yang lebih akurat atas berbagai proses metabolisme, sistem anatomi, fisiologi, psikologi dan pulsology, yang sebagian menggantikan teori penduhulunya, termasuk dari Ibnu Sina.

Pada 1242 M, saat usianya baru 29 tahun, Ibn an-Nafis mempublikasikan karyanya yang paling terkenal, yaitu Syarah Tasyrih al-Qanun Ibn Sina atau komentar atas buku Ensiklopedi Kedokteran Ibnu Sina.  Setelah itu dia praktis menulis buku tandingan, The Comprehensive Book of Medicine, yang mencapai 43 jilid saat usianya 31 tahun.  Sepanjang hidupnya, dia menulis sekitar 300 jilid, meski hanya 80 yang sempat dipublikasikan sebelum wafatnya.  Inilah ensiklopedi kedokteran terbesar hingga saat itu.

Pada jilid 33, 42 dan 43 dari ensiklopedi ini, dia merinci tatacara operasi bedah yang untuk kuliahnya dibagi dalam tiga “ta’lim”.  Ta’lim pertama tentang prinsip-prinsip bedah.  Di sini dia merinci tahapan-tahapan operasi dan peran serta dari pasien, dokter maupun perawat di setiap tahap.  Ta’lim kedua tentang peralatan bedah.  Sedang ta’lim ketiga membahas segala jenis operasi yang telah dikenal hingga saat itu.

Selain yang bersifat pengobatan, Ibn an-Nafis juga menulis kitab diet untuk membantu penyembuhan dan mencegah sakit.  Kitab ini berjudul Mukhtar fil-Aghdhiya (The Choice of Foodstuffs).  Dia lebih suka bila pasien mengontrol makanannya daripada memberi resep obat.

Selain di profesi keilmuwannya ini, Ibn an-Nafis juga menulis beberapa novel sastra.  Salah satu karyanya berjudul Al-Risalah al-Kamiliyyah fil Sirah an-Nabawiyyah (Kehadiran Kamil pada Sejarah Nabi).  Ini adalah novel pertama yang tergolong “novel-teologis” dan sekaligus ber-genre “fiksi ilmiah”.  Novel ini telah diterjemahkan ke bahasa latin dengan judul “Theologus Autodidactus”.  Novel ini bercerita tentang protagonis bernama Kamil, seorang pembelajar autodidak yang tiba-tiba hidup di sebuah pulau terpencil.  Dia baru kontak dengan dunia luar setelah kedatangan kapal yang terdampar di pulau itu dan membawanya kembali ke dunia berperadaban.  Plot cerita ini berkembang menjadi fiksi ilmiah ketika klimaksnya adalah bencana dahsyat yang mendekati hari kiamat (idenya mirip film 2012).  Melalui novelnya ini Ibn an-Nafis menyampaikan berbagai pemikiran filosofisnya terkait keharusan adanya Tuhan, kehidupan, peran para Nabi, asal usul manusia, prediksi masa depan, hari kebangkitan dan sebagainya.   Penguasaannya yang baik atas bahasa dan pengetahuannya yang luas tentang biologi, astronomi dan geologi membuat novel ini ramuan yang sangat menarik antara agama, sastra dan sains.

Ibn an-Nafis hidup di masa kemelut politik yang melanda Daulah, terutama Perang Salib dan Serangan Tartar atas Baghdad yang mencapai Suriah.  Inilah yang membuat dia hijrah ke Mesir.  Kehancuran Baghdad yang juga memusnahkan jutaan buku mendorong Ibn An-Nafis dan banyak ilmuwan Islam lainnya untuk menulis kembali semua pengetahuan mereka untuk menyelamatkan khazanah pengetahuan dunia Islam.  Mereka telah “menyambungkan nafas” ilmiah dunia Islam, hingga kejayaannya masih bertahan enam abad kemudian.

Jerman, Mantan Sekutu Sultan

Wednesday, October 27th, 2010
masjid di muenchen

masjid di muenchen

Tahukah Anda bangsa pengonsumsi bir terbanyak di dunia?  Itulah Jerman!  Di Munich bahkan setiap bulan Oktober ada Festival Minum Bir (Oktober Fest). Anehnya, meski gemar mabuk, produk industri teknologi Jerman termasuk yang terbaik di dunia. Siapapun tahu kualitas mobil Mercedes atau elektronik dari Siemens.  Bayangkan andaikata mereka Muslim dan tidak pernah mabuk, tentu produk mereka tak akan tertandingi.

Lantas apakah di Jerman ada Muslim!  Oh banyak.  Mereka datang pertama-tama sebagai bagian diplomasi atau hubungan ekonomi antara Jerman dengan Sultan-sultan Utsmani di abad-18.  Pada tahun 1745, Frederick II dari Prussia mendirikan suatu korps kaveleri Muslim di tentaranya.  Pada tahun 1760 korps yang mayoritas etnis Bosnia ini mencapai 1.000 laki-laki.

Pada 1798 sudah ada kuburan Islam di Berlin. Pada tahun 1900, sudah ada 10.000 Muslim di Jerman.  Dalam Perang Dunia I, lebih dari 15.000 Muslim memenuhi penjara-penjara perang di Berlin.  Masjid pertama didirikan di Berlin tahun 1915 untuk para tahanan Muslim itu, meskipun kemudian ditutup tahun 1930.  Tahun 1932 sudah ada Islam Colloquium sebagai institusi pendidikan untuk anak-anak Muslim Jerman.  Ketika Nazi mulai berkuasa, mereka tidak menjadikan Muslim sebagai target, namun Muslim Jerman hidup dalam atmosfer xenofobia dan rasis sebagai non-Arian.  Pada akhir Perang Dunia II tinggal ada beberapa ratus Muslim saja di Jerman.

Pasca perang, pemerintah Jerman Barat mengundang pekerja migran (“Gastarbeiter”) untuk ikut membangun lagi Jerman.  Dalam dua dekade, jumlah mereka beserta keluarganya menjadi 4,3 juta orang.  Dengan populasi Jerman sekitar 83 juta jiwa, maka ini baru sekitar 5 persen. Belum signifikan.  Namun menurut TV Jerman, pada tahun 2006 ada lebih dari 4.000 muallaf di Jerman, atau lebih dari 10 orang per hari. Trennya meningkat.  Apalagi masyarakat Jerman semakin banyak yang atheis dan malas memiliki anak.

Sementara itu komunitas Muslim seperti membentuk “masyarakat paralel” di Jerman dengan pusat di masjid.  Hampir di tiap kota industri di Jerman ada masjid.  Sebagian besar sudah berupa masjid utuh dengan menara.  Masjid-masjid ini selain untuk tempat ibadah, kantin halal, toko informasi, tempat pendidikan anak-anak, juga asrama sementara bagi Muslim yang belum memiliki tempat tinggal tetap.  Kalau Anda bertekad keliling Jerman dan bekalnya dirasa kurang untuk menginap di hotel, anda dapat “mabit” dari masjid ke masjid, insya Allah diterima dengan tangan terbuka.  Penulis pernah menginap di masjid Munchen.  Masya Allah, yang menginap di situ ternyata lebih dari 100 orang!

Persoalan pelik yang kadang menghantui Muslim di Jerman ada dua: (1) Daerah-daerah yang sangat otonom dalam menerapkan peraturan terhadap minoritas Muslim.  Ada beberapa daerah yang melarang menggunakan jilbab di sekolah publik, menyembelih ternak secara Islam atau bahkan mendirikan masjid.  (2) Ada Undang-undang yang sangat sensitif terhadap isu anti semit atau anti Yahudi, sehingga setiap khatib atau ustadz yang membacakan ayat yang terkait Yahudi (misalnya QS 2:120, 5:82, dll), di tempat publik bisa-bisa tersandung hukum.  Aturan inilah yang membuat HT di Jerman dilarang.

Kondisi ini agak sulit diatasi, karena Muslim di Jerman tidak punya wadah yang satu seperti halnya di Austria. []

Austria, Tanah yang Sudah Diinjak Kuda Sultan

Thursday, September 30th, 2010
Islamic Centre di Vienna dengan latar belakang UN-City (Kantor PBB di Wina)

Islamic Centre di Vienna dengan latar belakang UN-City (Kantor PBB di Wina)

Memasuki Ramadhan kali ini membuat saya terkenang kembali pada puasa amat lama yang pernah saya alami 22 tahun yang lalu.  Di Innsbruck, sebuah kota kecil yang indah di tengah-tengah pegunungan Alpen Austria, puasa. Ya, Ramadhan 1408 H masuk bertepatan dengan pertengahan April 1988 M.  Itu di Innsbruck artinya, fajar menyingsing pukul 4:26 dan maghrib pukul 20:05. Di akhir Ramadhan yang sama dengan pertengahan Mei, fajar pukul 03:16 dan maghrib 20:44.

Apakah di Innsbruck ada Muslim?  Alhamdu-lillah banyak! Jumat pertama di Innsbruck saya langsung mencari informasi tentang masjid.  Alham-dulillah ketemu, walau mencarinya agak lama.  Bayangan semula masjidnya seperti lazimnya masjid di kita.  Ada bangunan tersendiri.  Ternyata masjid itu ada ruang bawah tanah. Di atasnya sebuah cafe.  Jadinya hawa masjid cukup lembab karena kurang sinar matahari. Ini ternyata hal yang wajar di kota-kota di Eropa, di mana harga sewa gedung sangat tinggi.

Sewa? Ya, sebagian besar masjid di Eropa itu statusnya sewa. Maka jangan heran kalau suatu saat bisa pindah. Termasuk masjid yang nama resminya adalah Türkischer Kultur Verein in Innsbruck – atau perkumpulan kebudayaan Turki. Ya, untuk secara resmi menyebut diri “masjid” atau dalam bahasa Jerman “Moschee” kadang-kadang mendapatkan perlawanan dari masyarakat atau pemerintah setem-pat. Alasan utamanya biasanya soal tata ruang.  Daerah itu tidak diperuntukkan untuk tempat ibadah, begitu katanya. Mungkin bayangan mereka tempat ibadah itu ya seperti gereja. Namun kalau “kebu-dayaan”, orang biasanya “willkomen”.  Padahal dalam Islam, istilah kebudayaan (culture, hadharah) itu menyangkut padangan hidup berikut segala hal yang muncul dari situ. Maka di masjid yang terletak di Meinhardstrasse 8a Innsbruck itu juga ada kantin, kursus bahasa Arab, kursus bahasa Turki, taman kanak-kanak Turki (semacam TPA/TPQ) dan sebagainya.  Jadi walaupun letaknya di bawah tanah dan kurang representatif, tapi output-nya maksimal.

Mayoritas jamaah masjid di Austria adalah komunitas Turki yang pasca Perang Dunia ke-2 didatangkan ke Austria terutama untuk bekerja sektor konstruksi.  Kini mereka telah memasuki generasi ke-2 atau bahkan ke-3.  Anak dan cucu mereka lahir di Austria, lebih fasih bahasa Jerman daripada Turki, bahkan sudah berwarga negara Austria, namun menghadapi kenyataan bahwa mereka tetap tidak diterima 100 persen sebagai orang Austria.  Setiap hari nasional Austria (26 Oktober) ada pameran militer, di dada seragam tentara nasional Austria itu banyak ditemukan nama-nama khas Muslim Turki seperti “Mehmet”, “Osman”, “Salim” atau “Fahmy”.

Belakangan saya tahu bahwa di kota Innsbruck yang penduduknya cuma 120.000 orang itu ada dua masjid lagi. Uniknya, dalam satu hari Jumat kita bisa sholat Jumat 3 kali, karena waktu memulai khut-bahnya berbeda.  Masjid pertama tepat pukul 13.  Masjid kedua pukul 13:20, dan masjid ketiga konsisten pukul 13:40. Mungkin ini untuk memu-dahkan jamaah yang jam istirahatnya berbeda-beda.  Biasanya, khutbah sangat pendek, sehingga khutbah dan shalat selesai dalam 15 menit. Kalau ingin mendapat banyak ilmu, datanglah 30 menit sebelum khutbah dimulai.  Di situ ada taklim.  Ketika pertama kali datang ke masjid di Innsbruck, saya sudah khawatir telat karena sepertinya khutbah telah dimulai.  Tetapi saya lalu bingung karena khatibnya duduk, dan jamaah duduknya tidak teratur, bahkan kemudian ada tanya jawab segala.  Baru kemudian pukul 13:40, muazzin adzan, jamaah merapikan shaf duduknya, lalu orang yang saya duga khatib tadi baru berdiri dan khutbah sangat singkat. Ini mungkin uslub yang baik juga. Jadi mereka yang waktunya sempit cukup menghadiri bagian ibadah jumat yang wajib saja.  Sedang yang waktunya lapang dapat ilmu dengan puas, tidak cuma ngantuk karena khutbah yang membosankan.

Bagaimana mereka mendanai operasional masjidnya? Tidak ada keropak seperti di masjid-masjid Indonesia. Mereka mengedarkan “Erlags-chein”, jamaah langsung transfer via rekening masjid di bank.  Ada juga pilihan autodebet, sehingga orang tidak perlu lupa lagi dalam mengisi kas masjid dan masjid selalu optimis ada dana.

Sementara itu, di ibu kota Austria yaitu Wina, yang penduduknya 1,7 juta, ada lebih dari 30 masjid.  Kondisi umumnya hampir sama di lantai basemen yang lembab. Tapi ada juga Islamic Center yang megah di tepi sungai Donau.  Hanya saja, kalau musim panas, untuk ke masjid ini perlu kuat iman karena di dekat masjid adalah pantai sungai Donau yang orang banyak berjemur nir busana.

Di Austria Islam cukup bebas.  Guru-guru agama Islam yang mengajar di sekolah-sekolah umum digaji oleh negara. Setiap siswa yang beragama Islam berhak mendapatkan pendidikan agama Islam.  Kadang-kadang kalau di sekolah itu cuma satu-dua orang, digabung dengan sekolah lain. Ini berkat upaya Austrian Moslem Society, yang dalam Undang-Undang di Austria dianggap mewakili masyarakat Muslim Austria.  Kedudukan organisasi ini cukup kuat, sampai-sampai bisa intervensi ke militer dan penjara, agar semua tentara atau napi yang muslim men-dapatkan hak-haknya seperti makanan yang halal atau waktu untuk shalat.

Berbagai harakah Islam juga bebas bergerak di Austria.  Siaran televisi publik ORF juga kerap meliput aktivitas atau mengadakan wawancara dalam ber-bagai tema. Seorang syabab Hizbut Tahrir di Austria bahkan mengelola sebuah mushala di kampus dan sering menjadi rujukan kalau siswa-siswi sekolah menengah di Wina ingin mengenal Islam lebih dekat.

Memang tidak semua orang Austria bahagia dengan pertumbuhan Islam di Austria. Meski jumlahnya ditaksir masih di bawah 300.000 orang (4,2 persen jumlah penduduk), tapi di tengah masyarakat Katholik yang makin banyak menjadi atheis serta gereja-gereja yang kosong, tren Muslim ini dianggap mengkhawatirkan.

Apalagi ketika ada isu seperti di Timur Tengah lalu komunitas Muslim Austria melakukan aksi turun ke jalan. Gema takbir di jalan-jalan Austria membang-kitkan rasa gentar di dada penduduk asli yang mengenal sejarah Austria di masa lalu.  Tahun 1525 dan 1683 pasukan Khilafah Utsmani sudah menge-pung di luar benteng kota Wina.  Dan apa kata-kata Sultan Sulaiman al-Qanuni saat itu: “Tanah yang sudah diinjak oleh kuda Sultan, adalah bumi Islam!”.[]