Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Sejarah’ Category

Negeri dengan Islamic Center Terbesar

Friday, January 14th, 2011
Islamic center Roma, terbesar di Eropa

Islamic center Roma, terbesar di Eropa

Italia? Pizza, Spaghetti, Capuccino dan Sepakbola!  Itu mungkin yang pertama terlintas di benak banyak orang. Tahukah anda, bahwa Roma dan Konstantinopel adalah dua metropolitan Eropa yang diramalkan Rasulullah akan dibuka oleh kaum Muslimin dengan sebaik-baik pasukan?  Konstantinopel telah berhasil ditaklukkan oleh Muhammad Murad yang bergelar al-Fatih pada tahun 1453 M, atau lebih dari 800 tahun setelah wafatnya Nabi.  Hampir saja Roma ditaklukkan juga oleh al-Fatih kalau dia tidak keburu wafat karena sakit.  Pada saat itu, Paus yang berkedudukan di Roma sampai melarikan diri ke Perancis.  Pada abad ke-15 M, tidak ada orang di Eropa yang meragukan kemampuan tentara Daulah Utsmaniyah untuk memasuki Roma.  Mereka adalah tentara yang teruji mampu merebut Konstan-tinopel, kota yang tidak mampu ditaklukkan siapapun lebih dari 1000 tahun.

Kini Roma adalah ibu kota Republik Italia, anggota pakta pertahanan Atlantik Utara (NATO), sehingga upaya menaklukkan Roma tentu saja harus dilakukan oleh pasukan yang mampu mengungguli kekuatan NATO, yang didalamnya ada Amerika Serikat, Inggris dan Perancis, lengkap dengan senjata-senjata nuklirnya.

Menurut laporan statistik resmi, di Italia hingga 2005, jumlah Muslim ditaksir antara 0,96 – 1,03 juta orang atau 1,4 persen dari populasi Italia.  Dari jumlah itu orang Itali yang muallaf diperkirakan kurang dari 10.000. Selebihnya adalah warga keturunan asing.  Sekitar 34 persen dari 2,4 juta penduduk keturunan asing adalah Muslim.

Jumlah Muslim ini jauh lebih rendah dari rata-rata negeri anggota EU, bahkan lebih rendah dari jumlah Muslim di pulau Sizilia (yang kini wilayah Italia) pada abad 9 M.  Pada abad 9 hingga 13 M, Pulau Sizilia diperintah Islam.

Salah satu poin gesekan antara warga asli Italia dengan imigran Muslim di Italia adalah kehadiran tanda salib gedung-gedung pemerintah, seperti di sekolah-sekolah.  Namun pada tahun 2006, The Italian Council of State mengumumkan untuk mencabut tanda-tanda salib itu.

Masjid di Milan, di sini tidak boleh lagi ada masjid baru

Masjid di Milan, di sini tidak boleh lagi ada masjid baru

Di sisi lain, ada sejumlah kelompok politik di Italia seperti The Northern League yang memperjuangkan pelarangan pembangunan masjid.  Pemba-ngunan masjid baru telah dila-rang di Milan. Pemerintah daerah berargumentasi bahwa “umat Muslim bisa beribadah di mana saja, jadi tidak memer-lukan masjid”. Padahal bagi Muslim di negeri di mana mere-ka minoritas, masjid tidak sekedar tempat ibadah, tetapi juga pusat budaya.  Kalau mencari masjid di Italia, paling mudah adalah mencarinya di bawah kata kunci “Centro Islamico”.

Kenyataannya, beberapa masjid di Italia memang cukup besar.  Pembangunan masjid ini banyak yang disponsori pemerintah negeri-negeri Islam, seperti Saudi Arabia, Kuwait atau Libya.  Di Roma bahkan telah berdiri Islamic Center terbesar di Eropa.  Di masjid ini konon setiap hari rata-rata ada 10 orang yang minta diislamkan.  Hal yang menggembirakan ini membuat sejumlah orang berpikir bahwa “memasuki kota Roma” yang diramalkan Nabi sudah semakin dekat.

Namun bila dihitung serius, maka dalam setahun jumlah muallaf baru itu cuma 3650 orang.  Jadi meski angka ini semula tampak menggem-birakan, namun sebenarnya tidak signifikan dibandingkan dengan jumlah penduduk Roma atau Italia.  Apalagi ada informasi bahwa lebih dari separo yang diislamkan itu kemudian balik lagi ke agama lamanya karena berbagai hal.  Jadi memang cara satu-satunya memasuki Roma adalah dengan pasukan Daulah Khilafah untuk kemudian menerapkan syariah Islam sebagai cara dakwah yang paling efektif ![]

Bila Belanda Menerima Syariah?

Thursday, January 6th, 2011
Masjid id Den Haag

Masjid id Den Haag

Apa yang Ada bayangkan mendengar kata “Belanda”?  Tulip?  Kincir Angin?  Sepak bola?  Atau bekas penjajah dan tokoh “Party for Freedom” Geert Wilders yang membuat film “Fitna” yang menyerang Islam?
Tahukah anda bahwa menurut Statistics Netherlands, 5 persen populasi Belanda (atau lebih dari sejuta orang) adalah Muslim.  Dari 850.000 warga negara Belanda yang Muslim, 38 persen berasal dari etnis Turki, 31 persen Maroko, 26 persen Asia/Afrika lain, 4 persen Eropa lain, dan hanya 1 persen yang etnis Belanda.  Di Belanda terdapat sekitar 400 masjid, di antaranya 200 masjid Turki, 140 masjid Maroko dan 50 masjid Suriname. Selain itu juga terdapat 45 sekolah dasar dan 2 SMA Islam.
Sebagian besar Muslim tinggal di empat kota terpenting Belanda, yaitu Amsterdam, Rotterdam, Den Haag dan Utrecht.  Mereka terkonsentrasi di komunitas rendah penghasilan dengan kualitas perumahan yang rendah, pengangguran kronis dan tingkat kriminalitas yang tinggi.  Mereka biasa bergabung dalam organisasi-organisasi yang satu etnis, sehingga wajar bila etnis Turki memiliki organisasi terbanyak, diikuti Maroko, namun ada jejaring di antara organisasi ini seperti The Contact Body for Muslims and Government (CMO), yang menaungi sekitar 80 persen komunitas Muslim dan Contact Group Islam (CGI).
Menarik untuk melihat, bahwa kondisi Muslim migran di Belanda yang secara umum tetap terpinggirkan (marjinal) membuat generasi kedua yang lahir di Belanda (sehingga kurang menguasai bahasa asli etnisnya) akhirnya lebih mengidentifikasi diri dengan agamanya (yaitu Islam) daripada asal usul nasionalitasnya.
Pada pemilu 2003, sedikitnya 10 dari 150 legislator yang berlatarbelakang Muslim, meskipun hanya 3 dari mereka yang masih menjalankan Islam, sedang dua orang malah eksplisit menyatakan diri sebagai “ex-Muslim”.  Nehayat Al-Bayrak (Menteri Negara Hukum) dan Ahmed Aboutaleb (Menteri Negara Urusan Sosial dan Pekerjaan) yang kini walikota Rotterdam adalah Muslim-Muslim pertama yang duduk di kabinet pemerintah Belanda.
Sejarah Islam di Belanda dimulai awal abad-17 ketika terjadi perjanjian antara Belanda dengan Maroko untuk bekerja sama membendung kekuatan Spanyol.  Sejak abad-19, Belanda mulai mengalami migrasi sporadis dari Indonesia yang menjadi jajahannya.  Sedang booming ekonomi dari 1960-1973 mendorong Belanda merekrut banyak sekali tenaga kerja dari Turki dan Maroko, dan migrasi mereka berlanjut sebagai cara penyatuan kembali keluarga.  Kemudian tahun 1975 berdatangan Muslim dari Suriname menyusul kemerdekaan Suriname.  Sedang era 1980-1990an, berdatangan Muslim dari beberapa negeri yang dilanda konflik seperti Bosnia, Somalia, Iran, Pakistan dan Afghanistan.
Isu-isu Islam terakhir yang masih hangat di Belanda adalah pembunuhan Theo van Gogh oleh Mohammed Bouyeri, pada 2 November 2004.  Theo van Gogh adalah tokoh di balik pelecehan terhadap Nabi Muhammad, antara lain berupa kartun Nabi.  Karena Belanda sudah menghapuskan hukuman mati, Bouyeri saat ini dijatuhi hukuman seumur hidup dengan dakwaan terorisme.  Bouyeri sama sekali tidak menyesali perbuatannya.  Namun sejak itu, bermunculan website yang mendukung Bouyeri, dan pada saat yang sama kekerasan terhadap umat Islam pun makin sering terjadi.  Anne Frank Foundation dan University of Leiden menghitung total 174 kekerasan, dengan masjid sebagai target 47 kali dan gereja 13 kali.

Mevlana Mosque di Rotterdam

Mevlana Mosque di Rotterdam

Mei 2006, sebuah polling pada 1.200 warga Belanda menemukan, bahwa 63 persen merasakan bahwa Islam tidak sesuai dengan kehidupan Eropa modern.  Polling sejenis menemukan bahwa 68 persen merasa terancam oleh imigran atau pemuda Muslim, dan 47 persen khawatir bahwa suatu saat mereka harus hidup dengan aturan Islam di Belanda.  Ketakutan ini wajar karena kehidupan budaya yang nyaris terpisah.  Sebagian besar Muslim hidup pada komunitas etnisnya sendiri, dan sebaliknya sebagian besar orang Belanda asli hanya punya sangat sedikit kontak atau bahkan tidak sama sekali dengan immigran atau Muslim.
Pada 2006, Menteri Kehakiman Piet Hein Donner mengeluarkan pernyataan bahwa Negeri Belanda kemungkinan menerima syariah sebagai sumber konstitusi.  “It is a sure certainty for me: if two thirds of all Netherlanders tomorrow would want to introduce Sharia, then this possibility must exist. Could you block this legally? It would also be a scandal to say ‘this isn’t allowed! The majority counts. That is the essence of democracy.” [Algemeen Nederlands Persbureau (Expatica), 2006-08-13, archived from the original on 2006-08-13, http://web.archive.org/web/ 20070929120452/ http://www.expatica.com/actual/ article.asp?subchannel_id=1&story_id=33017, retrie ved 2008 03-15].  Pernyataan ini langsung ditolak seluruh partai, termasuk oleh seorang tokoh Muslim.[]

Prancis Setelah Jihad Tertahan di Tours

Thursday, December 23rd, 2010
Masjid di Trappes, Yvelines

Masjid di Trappes, Yvelines

Apa yang Anda bayangkan mendengar kata “Prancis”.  Parfum?  Mode?  Menara Eiffel?  Liberté (Kebebasan)?  Ya, Prancis memang sering diidentikkan dengan itu.  Namun siapa yang menduga bahwa di Prancis ada 8 juta Muslim, dan Islam adalah agama kedua terbesar? Angka ini sebenarnya taksiran belaka, boleh jadi lebih besar, karena Undang-undang Prancis melarang sensus yang mendata penduduk berdasarkan ras atau agama.  Pada tahun 2000, Kementerian Dalam Negeri Prancis menaksir jumlah mualaf Prancis sekitar 40.000 orang. Pada tahun 2008, telah ada 2.125 masjid di Prancis.
Islam sebenarnya sudah datang ke Prancis sejak para mujahidin di bawah pimpinan Thariq bin Ziad abad 8 M menaklukkan Spanyol hingga setengah Prancis.  Pada perang di Tours (dekat Paris) pada 732, gerak jihad ini tertahan oleh tentara kerajaan Franka dan Burgund.  Pada musim dingin 1543-1544, setelah kemenangan tentara Utsmani pada pertempuran di Nice (dekat Monaco sekarang), kota Toulon dijadikan basis armada laut Utsmani di bawah pimpinan Laksamana Barbarosa.  Untuk memfasilitasi kru Turki, penduduk Kristen di situ telah dievakuasi, dan Katedral Toulon sempat diubah menjadi masjid.  Namun hal ini ternyata tidak bertahan lama.  Setelah armada Turki terusir, Prancis kemudian sama sekali terpisah dari Islam hingga abad-20.

Pasca Perang Dunia ke-2, Prancis mendatang-kan banyak pekerja migran dari negeri-negeri Afrika Barat seperti Aljazair, Maroko, dan Tunisia, yang pernah dijajahnya.  Mereka mendapat keuntungan sudah terbiasa dengan bahasa dan budaya Prancis (Francophonie).  Mereka memilih menetap di Prancis dan berkewarganegaraan Prancis ketika diberikan kesempatan untuk membawa serta keluarganya.  Generasi kedua mereka otomatis menjadi warga negara Prancis sebab negara ini menganut asas Ius Soli (kewarganegaraan ditentukan oleh tempat kelahiran).  Kedatangan pekerja migran yang notabene Muslim ini membawa pertumbuhan ekonomi yang cukup besar bagi Prancis, terutama di sektor konstruksi dan manufaktur.

Meski negara Prancis ingin menjaga kemurnian sekulerisme dengan tidak melakukan apapun terhadap agama apapun, pada tahun-tahun terakhir ini, pemerintah telah berusaha mengorganisasikan perwakilan dari Muslim Prancis.  Pada tahun 2002, Nicolas Sarkozy yang saat itu masih menjadi Menteri Dalam Negeri mendirikan “French Council of the Muslim Faith” (Conseil Français du Culte Musulman – CFCM), meski dikritik karena ini dianggap hanya akan menciptakan communitarianisme (fanatisme kelompok).  Meski CFCM ini secara informal diakui oleh pemerintah, ia tetap semacam LSM tanpa status hukum.  Pada tahun 2004, CFCM dipimpin oleh Dalil Boubakeur, imam masjid Paris  yang banyak mengecam Union of Islamic Organisations of France (UOIF) karena dianggap melibatkan diri pada persoalan politik saat kerusuhan 2005.  Nicolas Sarkozy sendiri juga dikecam oleh sayap kiri maupun kanan dari parlemen, bahwa sikapnya menciptakan CFCM justru mendorong kelompok Muslim yang lebih ekstrim lagi, terutama UOIF yang banyak dipengaruhi oleh gerakan Ikhwanul Muslimin.

Karena negara menerapkan sekulerisme murni, maka orang tua yang menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan Islam harus mengirim anaknya ke sekolah swasta yang berbayar. Sebagian besar warga Muslim di Prancis mempercayakan pendidikan Islam pada anak-anaknya ini secara informal di masjid-masjid, sementara sekolahnya tetap di sekolah negeri yang sekuler. Jadilah masjid-masjid itu jalur utama pewarisan Islam di Prancis.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa di antara negeri-negeri di Eropa, Prancis adalah tempat di mana umat Muslim paling baik terintegrasi dan merasa negeri itu adalah negerinya. Mereka juga memiliki sikap yang terbaik terhadap pemeluk agama lain.  Banyak Muslim menjadi selebritas olahraga, seni ataupun sains di Prancis. Contohnya adalah tokoh pesepakbola Zinedine Zidan.

Meski demikian, pada tahun 2010 sebuah penelitian bertajuk “Are French Muslims Discrimina-ted Against in Their Own Country?”, menunjukkan bahwa dalam mencari pekerjaan seorang Muslim memiliki harapan 2,5 kali lebih rendah daripada seorang Kristen.  Menurut “European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia” perusakan masjid dan makam Islam (vandalism) juga kadang-kadang masih terjadi.  Dan terakhir adalah pelarangan cadar di kantor-kantor pemerintahan.[]