Pasti Anda pernah mendengar pertanyaan, “Bagaimana shalat di daerah kutub yang panjang siangnya atau malamnya berbulan-bulan?” Mungkin ustadz yang ditanya akan menjawab, “Ah di sana tidak ada manusia, atau minimal tidak ada Muslimnya”.
Salah fatal. Saat ini di kutub utara ada Muslim, dan ada masjid! Masjid yang diresmikan 21 September 2010 ini berada di kota Inuvik, Kanada, yang posisinya 68°20′ Lintang Utara, 133°25 Bujur Barat. Seperti kita ketahui, kutub utara dimulai dari lintang 66° 33′ 44″.
Masjid paling utara di bumi akan menjadi rumah ibadah bagi sekitar 100 lebih kaum Muslim di antara 3.200 penduduk. The Zubaidah Tallab Foundation, sebuah lembaga amal Islam di Manitoba, mengumpulkan dana hampir $ 300 ribu untuk membangunnya di Winipeg dan mengapalkan masjid itu ke Inuvic sejauh hampir 4000 Km.
Kanada sendiri adalah sebuah negeri yang amat luas (luas daratannya lima kali Indonesia, tetapi sebagian besar adalah padang tundra di wilayah kutub!), dan hanya berpenduduk 32,8 juta, sedang Muslimnya hanya sekitar 784.000 jiwa atau sekitar 2,5 persen. Tentu saja tidak semua mempraktikkan Islam, sebagian adalah “Muslim kultural”.
Komunitas Muslim di Kanada adalah setua bangsa Kanada itu sendiri. Empat tahun setelah berdirinya tahun 1867, sensus menemukan 13 Muslim di Kanada. Masjid pertama berdiri di Edmonton 1938, di mana ada 700 Muslim. Sekarang masjid ini bagian dari museum Fort Edmonton Park. Setelah 1960-an, jumlah Muslim meningkat pesat, setelah ada imigrasi besar-besaran dari Timur Tengah.
Dibandingkan Muslim di Eropa, Muslim di Kanada tidak mendapatkan masalah seberat Muslim di Eropa – yang pernah mengalami trauma Perang Salib, meski akhir-akhir ini menguat pula masalah integrasi sebagian Muslim yang memakai cadar dengan mainstream. Secara umum Muslim Kanada hanyalah salah satu kelompok etnis, ras atau agama yang bersama-sama membentuk Kanada.
Kota dengan populasi Muslim terbesar adalah Montreal. Ada 12 masjid di Montreal, dan secara berkala mereka melakukan “Montreal Open Door Mosques”. Selain itu terdapat juga “masjid kagetan” di kampus, seperti di McGill University. Di universitas ini terdapat pusat studi Islam yang banyak dijadikan tempat S2 dan S3 dosen-dosen UIN dari Indonesia. Perpustakaan di sini memiliki koleksi buku yang sangat lengkap. Tidak cuma buku-buku Islam berbahasa Arab dan Inggris, tetapi yang berbahasa Urdu, Persi, Turki atau Indonesia juga banyak. Hanya sayang, mainstream pemikiran yang berkembang di McGill adalah Islam liberal.[]
Dr. Fahmi Amhar
Tunisia bergolak. Rakyat turun ke jalan. Presiden Ben Ali lari. Tirani sekian puluh tahun pun berganti. Berganti, bukan berhenti. Mungkin akan muncul tirani baru yang belum disadari. Bukan sistem baru. Tirani baru yang tetap akan melarang wanita memakai jilbab di ruang publik. Tirani baru yang akan tetap berhamba kepada hukum sekuler warisan Barat. Padahal Barat yang diperhamba ternyata lepas tangan, tidak mau menolong Presiden Ben Ali, saat rakyat mengusirnya.
Sayang sekali. Padahal Tunisia adalah mutiara di Afrika yang ditinggalkan peradaban Islam pada masa jayanya. Pada pergantian abad ke-7 ke abad ke-8 M, wilayah Tunisia dibuka oleh kaum muslim. Mereka mendirikan kota Kairouan, yang menjadi kota pertama Afrika utara. Di kota ini pula berdiri masjid dengan seni arsitektur terindah di dunia Islam bagian barat.
Pemerintahan Islam juga membangun instalasi irigasi yang ekstensif untuk menjamin kota dan daerah pertanian dengan air. Akhirnya kemakmuran yang diraih itu memungkinkan untuk membangun istana Al-Abassiyah pada tahun 809 M dan Raqadda tahun 877 M. Sebuah universitas juga dibangun.
Tunisia menjadi matahari peradaban ke dua di dunia Barat mengiringi Cordoba, sebagaimana Cairo menjadi pengiring Baghdad di dunia timur. Para ilmuwan besar pun muncul atau berdatangan untuk penelitian di Tunisia. Namun dari seluruh ilmuwan yang dibesarkan atau berkarier di Tunisia, tidak diragukan bahwa yang paling dikenang adalah Ibnu Khaldun, sampai-sampai pemerintah sekuler membuatkan patungnya di Tunis.
Abū Zayd ‘Abdur-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami (1332 – 1406 M) dari Tunisia adalah seorang polymath yang menguasai banyak keahlian sekaligus; beliau adalah hafiz (penghafal puluhan ribu hadits), faqih (pernah menjabat qadhi utama untuk madzhab Maliki di Mesir), astronom, geografer, matematikawan, sosiolog, ekonom, politolog dan sejarahwan. Riwayat Ibnu Khaldun terdokumentasi dengan amat bagus, karena sebagai sejarahwan, dia juga menulis autobiografi: At-Taʻrīf bi Ibn-Khaldūn wa Riħlatuhu Gharbān wa Syarqān. Namun tentu saja bukunya yang paling terkenal adalah “Muqaddimah” (diterjemahkan ke bahasa Latin menjadi “Prolegomenon”), yaitu juz pertama dari tujuh juz buku sejarah dunia universalnya “Kitab al-Ibar”.
Sejarahwan terkenal Inggris Arnold J. Toynbee menyebut Muqaddimah adalah karya terbesar dalam filsafat sejarah yang pernah dibuat pikiran manusia sepanjang masa. Bahkan ahli Inggris lainnya, Robert Flint menulis bahwa Plato maupun Aristoteles belum mencapai jenjang intelektual setaraf Ibnu Khaldun.
Di antara pemikiran jenius Ibnu Khaldun adalah ketika mendefinisikan pemerintahan sebagai “institusi pencegah kezaliman“. Negaralah yang harus berdiri di pihak para korban ketika menghadapi kekeliruan atau kelalaian yang dilakukan orang-orang kaya. Negara juga yang harus memperjuangkan hak-hak kaum dhuafa ketika pasar tidak berfungsi sepenuhnya. Ini adalah teori terbaik dalam ilmu politik. Sedang konsep Ibnu Khaldun dalam meramalkan kegagalan ekonomi pasar dinilai sebagai dasar-dasar sosionomi (sosiologi-ekonomi). Teori Ibnu Khaldun ini ternyata masih cocok untuk menganalisis akar krisis finansial global yang melanda Amerika tahun 2008.
Teori pasang surut peradaban dari Ibnu Khaldun juga berlaku untuk negerinya sendiri. Zaman keemasan Tunisia ternyata memiliki sisi gelap yang dimulai dari mengendurnya dakwah tauhid, yakni dakwah yang menolak semangat ashabiyah (kesukuan / tribal). Ketika pemerintah pusat Khilafah sedang direpotkan oleh separatisme dinasti Fatimiyah di Mesir, Afrika Utara nyaris terabaikan. Akibatnya muncullah instabilitas politik karena perebutan kekuasaan antar kabilah. Kondisi ini berakibat mundurnya pertanian dan perdagangan. Ibnu Khaldun sendiri pada masanya menulis bahwa banyak tanah pertanian yang kemudian berubah kembali menjadi gurun pasir, karena irigasi tidak lagi berfungsi. Salah satunya adalah tanah-tanah yang diduduki oleh Banu Hilal.
Peradaban memang naik turun seperti gelombang. Kemunduran Tunisia akhirnya menjadikan daerah ini diduduki oleh orang-orang Kristen Norman dari Sizilia pada awal abad-12. Kaum muslim Arab kemudian merebutnya kembali, memaksa orang-orang yang murtad untuk kembali ke Islam, atau mengusirnya. Pada 1159 wilayah ini berada di bawah kekuasaan kekhalifahan Almohad dari Andalusia, yang merupakan pecahan khilafah Umayyah di Cordoba. Kemudian dari 1230 – 1574 M, Tunisia berada di bawah kekuasaan dinasti Berber Hafsid, yang dapat kembali memakmurkan Tunisia. Ini adalah kurun ketika Ibnu Khaldun hidup. Namun pada akhir abad-16, jauh setelah wafatnya Ibnu Khaldun, terjadilah apa yang diprediksikan: dinasti ini bangkrut, dan pantai Tunisia berubah menjadi sarang bajak laut di Laut Tengah. Sejak itulah muncul istilah “Negara Barbar” – untuk mencerminkan negara yang buas.
Sebenarnya “Berber” sebagai nama suku, dalam huruf Arab tentu saja ditulis “Barbar”. Namun karena “Barbar” kemudian menjadi sinonim dari kejahatan, maka dewasa ini untuk nama suku lalu ditulis dan dilafalkan “Berber”.
Tahukah Anda bahwa Kekaisaran Jepang adalah sahabat Khilafah di Turki? Sebetulnya hanya ada sedikit catatan tentang kontak antara Islam dan Jepang sebelum pembukaan negeri itu dari isolasi tahun 1853, meski mungkin ada Muslim yang telah datang ke sana berabad sebelumnya. Kontak Muslim modern pertama adalah dengan orang-orang Melayu yang melayani kapal-kapal Inggris dan Belanda di akhir abad-19.
Pada 1870, sejarah kehidupan Nabi Muhammad telah diterjemahkan ke bahasa Jepang. Pada tahun 1890 kontak penting terjadi ketika Turki Utsmani mengirim kapal perang ke Jepang untuk membalas kunjungan persahabatan Pangeran Komatsu Akihito ke Istanbul tujuh tahun sebelumnya.
Orang Jepang pertama yang pergi haji adalah Kotaro Yamaoka. Dia masuk Islam setelah kontak dengan penulis Turki Abdürreşid İbrahim. Yamaoka berhasil mendapatkan izin untuk membangun masjid jami’ di Tokyo (selesai 1938) dari Sultan Abdülhamid II sebagai khalifah dan pemimpin seluruh Muslim. Pada tahun 1998 masjid ini direnovasi total.
Baru pasca Revolusi Rusia, beberapa ratus Turko-Tatar-Muslim dari Rusia datang ke Jepang mencari perlindungan. Mereka membentuk komunitas-komunitas kecil di beberapa kota di Jepang.
Turki tetap komunitas Muslim terbesar Islam sampai sekarang. Jepang sejak sebelum perang dikenal simpatinya pada Muslim di Asia Tengah, karena mereka dilihat sebagai sekutu melawan Rusia maupun Soviet. Pada saat itu, intelijen Jepang banyak bekerja sama dengan Muslim, bahkan sebagian terus masuk Islam, dan menyebarkan Islam setelah perang selesai.
Hal menarik terjadi pada serdadu ini saat mereka dikirim ke Asia Tenggara. Pilot-pilot ini diperintahkan untuk mengucapkan kalimat “La ilaha illa Allah” jika mereka tertangkap di daerah ini. Saat ini benar-benar terjadi, begitu mereka mengucapkan kalimat ini, penangkapnya berubah pikiran dan memperlakukan mereka dengan baik.
Pada masa pendudukan sekutu pasca Perang Dunia II, terdapat tokoh Shūmei Ōkawa dan muridnya, Toshihiko Izutsu, yang meski ditahan sebagai penjahat perang kelas-A, tetapi di penjara tetap mempraktekkan Islam dan berusaha menyelesaikan penerjemahan Quran.
Pada 1953 berdiri organisasi Muslim Jepang pertama, Japan Muslim Association, di bawah pimpinan Sadiq Imaizumi. Jumlahnya mencapai 120 pada saat dia wafat enam tahun kemudian. Presiden kedua adalah Umar Mita. Dia masuk Islam ketika kontak dengan Muslim Cina, saat Jepang menduduki Cina. Dia lalu naik haji dan menerjemahkan Quran ke bahasa Jepang. Dia juga membuat dokumenter: “Road to Hajj – Japan”, yang disiarkan oleh Al-Jazeera. Saat ini yang menjadi presiden Japan Muslim Association adalah Prof Hasan Ko Nakata, dari Fakultas Theologi Universitas Dosisha Kyoto. Dia pernah menjadi pembicara pada Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta tahun 2007.
Pada tahun 1970-an, terjadi “Islamic booming” akibat krisis minyak. Begitu menyadari pentingnya Timur Tengah dan besarnya cadangan minyaknya untuk ekonomi Jepang, media massa Jepang gencar memublikasikan tentang dunia Islam.
Tetapi sulit mendapatkan data seberapa besar jumlah Muslim bertambah. Keiko Sakurai pada tahun 2000 menaksir jumlah Muslim etnis Jepang sekitar 63.000, dan yang orang asing sekitar 100.000. Sedang Michael Penn menaksir 90 persen Muslim di Jepang adalah orang asing, dan hanya 10 persen yang etnis. Semuanya spekulatif, karena pemerintah Jepang yang sangat sekuler sama sekali tidak memasukkan agama sebagai salah satu variabel statistik. Meski demikian, semua orang tahu bahwa mayoritas rakyat Jepang adalah penganut kepercayaan Shinto yang kadang-kadang dicampur dengan agama Budha atau Kristen. Ada lebih dari 100.000 kuil Shinto di Jepang.
Menurut situs japanfocus.org, baru ada 30 – 40 bangunan masjid di Jepang, dan sekitar 100 apartemen yang digunakan sebagai mushala. Jumlah ini tentu saja sangat kecil mengingat populasi Jepang yang 120 juta jiwa.
Semua ini memperlihatkan bahwa pekerjaan dakwah di Jepang masih sangat besar, di tengah suasana yang lebih ramah dan lebih bebas prasangka daripada di Barat misalnya. Maklum, sekali lagi dulu Kaisar Jepang pernah menjadi teman Khalifah.[]