Dr. Fahmi Amhar
Iran adalah sebuah negeri yang unik. Setelah revolusi Islam, tidak ada orang asing datang ke Iran untuk mencari hiburan. Nyaris tidak ada hiburan di sana – kalau hiburan itu diartikan pesta minum-minuman keras, berjudi, bermalas-malasan di pantai, ataupun mencari sex. Mereka yang hari-hari ini ke Iran datang untuk mencari alam yang indah (seperti kelompok “Kartini Petualang” yang akan mendaki gunung Damavand), spiritualitas (mengunjungi kota suci Syiah Qom), mencari celah bisnis (mumpung di Iran sejak diembargo tidak ada lagi perusahaan Amerika seperti Coca Cola, McDonald atau Microsoft!) atau berinteraksi dengan para ilmuwan Iran.
Iran beruntung memiliki warisan kejayaan Islam masa lalu, bahkan juga dari masa pra Islam. Nama-nama intelektual besar Islam “hadir” dalam kehidupan sehari-hari. Banyak jalan, taman atau lapangan dinamai dengan tokoh-tokoh itu. Daftar ilmuwan Islam di era keemasan Islam yang pernah lahir, dibesarkan atau berkarya di wilayah Iran sekarang amatlah panjang. Yang paling terkenal saja (dan diabadikan sebagai nama jalan, taman, lapangan) ada lebih dari 200 ilmuwan. Berikut ini cuplikannya saja.
Di bidang matematika ada Abū ʿAbdallāh Muḥammad ibn Mūsā al-Khwārizmī lahir 780 M di Khwarezm, provinsi Khurasan Raya yang dulu meliputi Iran dan Uzbekistan sekarang. Al-Khwarizmi sangat berjasa dalam penggunaan angka desimal dalam Matematika, serta penggunaan aljabar dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang membutuhkan perhitungan rumit dengan menggunakan persamaan matematika. Namanya abadi dalam istilah “Algoritma” sebagai langkah-langkah yang harus diikuti secara konsisten agar suatu persoalan dalam diselesaikan secara matematis dengan hasil yang tepat dan juga konsisten. Al-Khwarizm yang kemudian bekerja di Baitul Hikmah di Baghdad, wafat pada 850 M.
Di bidang astronomi ada Abū al-Abbās Aḥmad ibn Muḥammad ibn Katsīr al-Farghānī alias Alfraganus pada abad 9 M. Dia terlibat dalam perhitungan diameter bumi melalui pengukuran meridian dalam sebuah tim bentukan Khalifah al-Ma’mun. Bukunya tentang “elemen-elemen astronomi dan gerakan benda langit” yang ditulis pada 833 M diterjemahkan ke bahasa Latin pada abad-12 dan sangat populer di Eropa hingga era Johannes Müller von Königsberg (1436–1476), astronom Jerman yang lebih terkenal dengan julukan Regiommontanus. Al-Farghani kemudian bekerja di Mesir membangun sistem peringatan dini sungai Nil (Nilometer) pada 856 M dan wafat di Cairo.
Di bidang kimia ada Abu Musa Jābir ibn Hayyān (Geber) yang lahir tahun 721 M di Tus Khorasan, Iran dan wafat 815 M in Kufah, Iraq. Selain dikenal terutama sebagai pendiri kimia experimental (yang membersihkan unsur sihir dari ilmu kimia), beliau juga seorang astronom, geologist, dokter dan insinyur. Beliau menulis 193 buku dalam semua bidang ilmu yang dikuasainya itu.
Di bidang kedokteran ada Abū ʿAlī al-Ḥusayn ibn ʿAbd Allāh ibn Sīnā (Avicenna), yang lahir tahun 980 M di Afshana, masuk provinsi Khurasan Raya. Ayahnya Abdullah dari Balkh, kini masuk Afghanistan; ibunya dari Bukhara, kini masuk Uzbekistan. Ibnu Sina menulis hampir 450 makalah tentang topik yang sangat luas, termasuk 150 di bidang filsafat dan 40 terfokus pada kedokteran. Namun bukunya yang paling legendaris adalah “Qanun fit Thib” (Canon of Medicine) yang merupakan buku standard medis di Eropa hingga abad-18. Ibnu Sina wafat di Hamadan, Iran 1037 M.
Di bidang ilmu bumi ada Abū al-Rayḥān Muḥammad ibn Aḥmad al-Bīrūnī (Alberonius) yang lahir 973 M di Kats, Khwarezm (sama seperti al-Khwarizm) dan wafat 1048 M di Ghazni, semua di Iran. Beliau adalah seorang polymath yang menghasilkan banyak karya terutama di bidang ilmu bumi, tetapi juga di matematika, astronomi, anthropologi, psikologi dan kedokteran.
Monumen al-Biruni di Laleh Park, dekat Univ. of Teheran
Pada masa rezim sekuler Syah Iran, prestasi sains dan teknologi Iran sempat sangat terpuruk. Tetapi sejak revolusi Islam, trend-nya berbalik. Apalagi embargo yang diterapkan Amerika dan sekutunya pada Iran membuat Iran mau tak mau harus berdiri dengan kaki sendiri. Ini justru membuat prestasi Iran melonjak.
Menurut Science Metrix Report – sebuah lembaga di Inggris, pertumbuhan sains dan teknologi Iran, diukur dari jumlah publikasi ilmiah internasional dan paten teknologi, naik 1000% antara 1995-2004. Tahun 2008, Iran sudah menghasilkan 1.08 % dari total output sains dunia. Iran memiliki 500 saintis per sejuta orang, yang bekerja dalam riset dan pengembangan (bandingkan dengan Indonesia yang kurang dari 50 saintis per sejuta orang). Iran adalah negara ke-9 di dunia yang berhasil membuat roket dan satelit serta meluncurkannya sendiri ke orbit. Negara sebelumnya adalah AS, Russia, Perancis, India, Israel, China, Jepang dan Konsorsium Eropa (ESA).
Kalau Iran sendirian dengan revolusi Islamnya saja bisa bangkit demikian, apalagi kalau Khilafah yang bangkit dan mempersatukan potensi negeri-negeri muslim sedunia serta menjadi magnet bagi para saintis muslim yang saat ini bertebaran di dunia Barat.
Dr. Fahmi Amhar
Bunga tulip selalu diasosiasikan dengan Negeri Belanda. Pada musim semi, sekitar April sampai Mei, di taman Keukenhof Belanda yang seluas 32 hektar, mekar 4 juta kuntum dari 300 jenis tulip. Luar biasa. Mungkin inilah secuil taman surga yang digelar Allah di dunia.
Namun tahukah anda bahwa bunga tulip bukanlah asli Belanda?
Suatu riwayat mengatakan bahwa tulip dibawa ke Eropa oleh Oghier Ghislain de Busbecq, duta besar raja Ferdinand I dari Jerman untuk Sultan Sulayman al Qanuni (1520-1566) dari Daulah Utsmani. Sang duta besar ini amat mengagumi berbagai bunga di Istanbul yang bahkan mekar di tengah musim dingin.
Versi lain mengatakan bahwa bunga ini diperkenalkan ahli botani Universitas Leiden, Carolus Clusius, pada tahun 1573. Dia mendapat bibit bunga itu dari Austria. Di Austria, bunga ini diperkenalkan etnis Hungaria. Dan orang-orang Hungaria ternyata mengenal tulip dari orang-orang Khilafah Utsmaniyah, yang datang membebaskan Hungaria pada awal abad 16!
Ternyata, bunga tulip sebagai tumbuhan liar telah dikenal di Turki pada tahun 1000-an. Namun adalah Sultan Ahmed III (1718-1730) yang memerintahkan membudidayakan tulip secara massif. Para pejabat bertugas menilai bagus jeleknya berbagai jenis tulip. Masa pemerintahan Sultan Ahmaed III ini disebut juga Era Bunga Tulip.
Ilustrasi tulip oleh Abdulcelil Levni (1720)
Era Tulip (dalam bahasa Turki: Lale Devri) adalah periode dalam sejarah Utsmani yang relatif damai, di mana Daulah Utsmani sudah mulai melakukan politik yang lebih berorientasi pada industri dan perdagangan, dan mengurangi tensi terhadap Barat. Sejak kegagalan expedisi jihad ke Wina Austria pada tahun 1683 Daulah Utsmani telah sejenak melakukan “reses” dari jihad.
Selama periode tulip ini, masyarakat kelas elit telah membentuk minat yang besar untuk tulip. Tulip identik dengan gaya hidup bangsawan. Namun tulip juga merupakan romantisme yang mewakili kalangan elit dan kaya, yang pada saat yang sama menunjukkan kerapuhan dari pemerintahan despotik (yakni pemerintahan yang terkonsentrasi di tangan segelintir elit).
Dr. Fahmi Amhar
Muammar Khadafi, pemimpin Libya berusia 69 tahun itu menunjukkan wajah aslinya. Tokoh yang ke negeri-negeri muslim lainnya gemar membangun citra pembela Islam dengan membangun masjid, membagi mushaf dan mengolok-olok Amerika itu kini menjawab demonstrasi rakyatnya dengan pesawat tempur! Karena shock dengan perintah itu, beberapa pesawat tempurnya lantas membelot ke Luar Negeri. Sebagian duta besarnya juga lalu mengundurkan diri.
Padahal Libya di zaman kekhilafahan Islam dulu pernah menjadi lumbung pangan!
Di bawah komando Amr bin Ash, tentara Islam membuka Libya mulai dari Cyrenaica, yang diganti namanya menjadi Pentapolis, Barqa. Pada 647 M, 40.000 pasukan yang dipimpin oleh ‘Abdu’llah bin Sa’ad, menembus jauh ke Barat Libya dan mengambil Tripoli dari Bizantium. Selama berabad-abad berikutnya Libya berada di bawah pemerintahan Islam, dengan berbagai tingkat otonomi yang bervariasi, mulai dari Ummayah, Abbasiyah dan Fatimiyah. Kekuasaan Islam dengan mudah diberlakukan di daerah pertanian pesisir dan kota-kota, yang menjadi makmur di bawah perlindungan Islam.
Di Cyrenaica, penganut Monofisit dari Gereja Koptik telah menyambut kaum Muslim sebagai pembebas dari penindasan Bizantium. Suku-suku Berber dari pedalaman menerima Islam, namun mereka memiliki sedikit resistensi terhadap budaya Arab.
Ketika Khalifah Harun Al-Rasyid menunjuk Ibrahim ibn al-Aghlab sebagai gubernur Afrika pada 800 M, Libya menikmati otonomi lokal yang cukup besar. Penguasa dinasti Aghlab berada di antara para penguasa Islam yang paling perhatian untuk Libya. Mereka menghadirkan sebuah standar pemerintahan dan pelayanan publik yang baik, mengembangkan lanjut sistem irigasi Romawi yang membawa kemakmuran ke daerah tersebut hingga meraih surplus pertanian, dan Libya menjadi lumbung pangan untuk di wilayah Mediterania.
Pada akhir abad ke-9 Masehi, Dinasti Fatimiyah mengendalikan Barat Libya dari ibu kota mereka di Mahdia, sebelum ibukota baru mereka Kairo pada 972 M dan menunjuk Buluggin bin Ziri sebagai gubernur Libya. Selama pemerintahan Fatimiyah, Tripoli berkembang pesat pada perdagangan, terutama untuk barang-barang yang dibawa dari Sudan seperti wol, kulit, dan garam yang diekspor hingga ke Italia dalam pertukaran dengan barang dari kayu dan besi.
Kemudian muncul Ibnu Ziri’s, dinasti Berber Zirid yang memisahkan diri dari Syiah Fatimiyah, dan mengakui Abbasiyah Sunni di Baghdad sebagai khalifah yang sah. Sebagai pembalasan, Fatimiyah memigrasikan 200.000 keluarga dari dua suku Badui, Banu Sulaym dan Bani Hilal ke Afrika Utara. Tindakan ini benar-benar mengubah corak kota-kota Libya karena memantapkan arabisasi budaya. Sayangnya, menurut catatan Ibn Khaldun, para pendatang ini kurang bisa mengurus pertanian, sehingga tanah-tanah yang diduduki Bani Hilal lambat laun berubah menjadi padang pasir yang gersang.
Kondisi dalam negeri di Libya yang kurang kondusif ini menjadikannya sempat dikuasai oleh pasukan Salib yang dipimpin Raja Roger II dari Sizilia pada 1146 M. Namun pada 1174 pemerintah Ayubiyah (keturunan Salahuddin al Ayubi) berhasil merebutnya kembali dengan tentara Turki dan Badui.
Setelah itu berkuasalah sultan Muhamad bin Abu Hafsid, dan para penggantinya – dikenal dengan “Dinasti Hafsid” selama hampir 300 tahun. Mereka mendirikan perdagangan yang signifikan dengan negara-negara kota di Eropa. Penguasa Hafsid juga mendorong kesenian, sastra, arsitektur dan memberi beasiswa untuk para ilmuwan. Ahmad Zarruq (1442–1493) adalah salah satu ulama Islam yang paling terkenal yang menetap di Libya saat itu. Hasil karyanya antara lain Qawa’id al-Tasawwuf (Prinsip-prinsip Tasawuf), Syarah Fiqh Maliki dan Syarah kitab al-Hikam dari ibn ‘Ata illah.
Selama Era Hafsid, pengaruh peradaban Islam yang lebih tinggi dari Andalusia menyebar sampai Tripolitania, dimana perlindungan Hafsid telah mendorong kreativitas penduduk Libya untuk beberapa dekade berikutnya.
Pada abad ke-16, Hafsids terperangkap dalam konflik antara Spanyol dan Khilafah Utsmaniyah. Setelah sempat diinvasi oleh Spanyol pada 1510, Khilafah Utsmani akhirnya merebut kembali Libya pada 1551 M. Kota Tripoli kemudian dibangun terus sampai menjadi salah satu kota yang paling mengesankan sepanjang pantai Afrika Utara. Pada 1565., kewenangan administratif penguasa di Tripoli ditunjuk langsung oleh Khalifah di Istanbul.
Selanjutnya politik di Libya memang mengalami pasang surut, yang intinya adalah memperebutkan tingkat otonomi yang bervariasi. Namun hal ini tak menyurutkan kondisi bahwa Tripoli dan Libya umumnya adalah salah satu kota dunia di tepi Laut Tengah.
Ekonomi Libya mulai runtuh setelah negara-negara Barat masuk ke Afrika, dimulai dari Napoleon pada 1819. Mereka menggunakan strategi perpecahan dan perang saudara. Akhirnya, ketika Daulah Utsmaniyah sendiri mengalami kemerosotan, wilayah Libya menjadi provinsi yang terpencil di sebuah negara yang membusuk.
Pada tahun 1969, Muammar Khadafi yang baru berusia 27 tahun melakukan kudeta tak berdarah, dengan memaksa raja Idris agar menyerahkan kekuasaan ke Putra Mahkota, tetapi lalu sang Putra Mahkota tidak pernah dilantik. Muammar Khadafi kemudian mengembangkan Islam menurut versinya, yaitu sosialisme. Dia menulis “Buku Hijau”, membagikan ke rakyatnya dan mewajibkan mereka untuk mempelajarinya seperti layaknya Qur’an.
Hasilnya, Libya semakin terpuruk, dan hari-hari ini, mereka meminta sang pemimpin yang sudah tidak muda lagi itu untuk mundur. Libya memang hanya akan bangkit dan maju kalau diperintahkan kembali dengan syariat Islam di dalam Daulah Khilafah.