Fahmi Amhar
Kehidupan sehari-hari di zaman modern ini tidak dapat dibayangkan seandainya tidak ada jejak karya ilmuwan Islam di dalamnya. Berikut ini adalah 14 penemuan terpenting yang dipilih dari situs Science Museum of Univ. of Manchester (www.1001inventions.com). Pemilihan dimulai dari yang paling dekat dengan semua orang, yaitu makanan, pakaian, tempat tinggal, urusan pendidikan dan kesehatan, transportasi, hiburan, hingga politik. Tentu saja, siapa saja dapat membuat daftar seperti ini sesuai selera masing-masing.
1. Minum Kopi
Kita mulai dari minuman terpopuler di dunia. Konon ini ditemukan di Ethiopia, ketika seorang penggembala Muslim melihat kambing-kambingnya lebih segar setelah memakan biji-bijian dari dari sejenis tumbuhan. Ia lalu merebus biji tersebut dan membuat kopi pertama di dunia. Sejarah lalu mencatat setelah biji-biji kopi tersebut dibawa ke Yaman, digunakan oleh para sufi untuk mengusir kantuk saat beribadah di malam hari. Pada akhir abad 15 kopi tiba di Mekah dan Turki hingga akhirnya tiba di Venesia pada tahun 1645. Kopi yang dalam bahasa Arabnya “qahwa” di Turki disebut “kahve” di Italia disebut “caffe” dan di Inggris disebut “coffee”.
2. Tata Cara Makan
Tata cara makan yang berupa tiga urutan hidangan makanan yang bermula dari sup, diikuti dengan ikan atau daging, lalu makan buah dan kacang, diperkenalkan oleh Ali bin Nafi, yang dikenal populer dengan Ziryab di Cordoba pada abad 9. Dia juga memperkenalkan cara minum dengan gelas kristal (bukan lagi cangkir logam atau keramik).
3. Memakai Sabun dan Shampoo
Mencuci dan mandi adalah hal religius bagi umat Islam, tidak heran jika mereka menyempurnakan resep untuk sabun yang kita gunakan saat ini. Bangsa Mesir kuno atau orang Romawi sudah mengenal sabun, tapi orang Islamlah yang menggabungkan minyak nabati dengan sodium hidroksida dan aromatik. Shampoo diperkenalkan ke Inggris oleh seorang Muslim yang membuka pemandian “Mahomed’s India Vavour bath” di pinggir laut Brighton pada 1759 M. Dari sana Keramas di perkenalkan dari ahli bedah hingga Raja George IV dan William IV.
4. Menggelar Karpet
Karpet sebagai perlengkapan rumah nyaman adalah produk teknik tenun umat Islam, paduan dari bahan kimia Islam dan pola yang ditata dengan rapi. Menurut pujangga Belanda Erasmus, sebelum rumah-rumah Eropa mengenal karpet, lantai-lantainya biasa tertutup rumput, dan bertahun-tahun, menyimpan dahak, muntah, kotoran anjing, dan lainnya. Tidak mengejutkan bagaimana akhirnya karpet dengan cepat berkembang di sana.
5. Taman untuk Meditasi
Bangsa Eropa sudah biasa memiliki dapur dan taman obat, tapi orang-orang Islamlah yang mengembangkan gagasan kebun sebagai tempat keindahan dan meditasi. Taman dengan julukan “The Royal Pleasure Garden” pertama dibuka di Eropa pada abad ke-11 oleh Muslim Spanyol. Di samping itu kita juga mengenal bunga yang berasal dari daerah Muslim termasuk anyelir dan tulip.
6. Menulis dengan Pena
Tidak ada pendidikan tanpa tulis-menulis. Fountanin pen (pena cair) diciptakan untuk Sultan Mesir pada 953 M setelah ia menuntut pena yang tidak akan menodai tangan atau pakaian. Pena tersebut menyimpan tinta dalam sebuah reservoir dan sebagai pena modern, ia bekerja dengan sistem gravitasi dan sistem kapiler. Ratusan tahun setelah itu, di Eropa orang masih saja harus menulis dengan bulu ayam yang tetesan tintanya akan sering menodai kertas atau tangan mereka.
7. Berhitung “Cara Arab”
Sistem angka mungkin berasal dari India tapi sistem penjabaran angka berasal dari Arab dan pertama kali muncul dalam karya Al-Khwarizmi dan Al-Kindi sekitar tahun 825 M. Isi buku al-Khawarizmi, Al-Jabr wa-al-Muqabilah, masih dipakai hingga kini. Karya ini dibawa ke Eropa 300 tahun kemudian oleh matematikawan Italia, Fibonacci. Algoritma dan banyak teori trigonometri datang dari dunia Muslim. Dan penemuan Al-Kindi mengenai analisis frekuensi telah menciptakan dasar ilmu kriptologi modern.
8. Alat Bedah
Rumah sakit modern tidak terbayangkan tanpa unit bedah. Banyak peralatan bedah modern yang desainnya persis dengan yang dibuat abad 10 oleh Abu Qosim Az-Zahrawi. Pisau bedah, gergaji tulang, tang, gunting halus untuk bedah mata dan sebanyak 200 alat ciptaannya tetap di pakai oleh ahli bedah modern. Dialah yang menemukan Catgut, alat yang digunakan untuk jahitan internal yang dapat melarutkan diri secara alami (penemuan itu terjadi ketika seekor monyet menelan senar kecapinya) dan ternyata benda tersebut juga dapat digunakan untuk membuat kapsul obat. Pada abad ke-13, petugas medis Muslim lainnya bernama Ibn Nafis menjabarkan tentang sirkulasi darah, 300 tahun sebelum William Harvey menemukannya. Muslim dokter juga menemukan obat bius dari campuran opium dan alkohol dan menemukan jarum berongga yang dipakai untuk menyedot katarak dari mata, sebuah teknik yang masih digunakan sampai saat ini.
9. Vaksinasi
Teknik inokulasi dengan kuman yang dilemahkan untuk merangsang kekebalan tubuh ternyata dirancang di dunia Muslim dan dibawa ke Eropa dari Turki oleh istri duta besar Inggris ke Istanbul pada tahun 1724 M. Anak-anak Turki telah divaksin dengan cacar sapi untuk melawan cacar yang mematikan setidaknya 50 tahun sebelum Jenner dan Pasteur di Barat menemukannya.
10 Engkol Poros
Engkol-poros adalah perangkat yang mengubah putaran menjadi gerak linear di hampir semua mesin dalam dunia modern. Penemuan mekanis terpenting dalam sejarah manusia ini diciptakan oleh Al-Jazari untuk mengangkat air untuk irigasi. Dalam bukunya tahun 1206 M mengenai Pengetahuan tentang Alat Mesin, ia menunjukkan penyempurnaan penggunaan katup dan piston, merancang beberapa jam mekanik tenaga air dan berat, dan merupakan ayah dari dunia robotika. Salah satu diantara 50 penemuannya adalah kunci kombinasi.
11. Pesawat Terbang
Penemu prinsip pesawat terbang adalah Abbas Ibnu Firnas, seribu tahun sebelum Wright bersaudara menambahkan mesin padanya. Abbas Ibnu Firnas pada tahun 852 M melompat dari menara Masjid Agung di Cordoba menggunakan jubah longgarnya yang dipadu dengan kayu. Dia berharap untuk meluncur seperti burung, tetapi yang didapatnya adalah apa yang kini dianggap sebagai parasut pertama. Pada tahun 875 M, saat usianya sudah 70 tahun, setelah menyempurnakan alat terbangnya yang memakai sutera dan bulu elang ia mencoba lagi, melompat dari sebuah gunung. Dia terbang dari bisa bertahan di ketinggian selama sepuluh menit tetapi jatuh saat mendarat. Ia menyimpulkan bahwa itu karena ia tidak memberikan ekor pada perangkatnya sehingga akan melambat saat mendarat.
12. Kamera
Tidak terbayangkan saat ini ada suatu acara tanpa diabadikan dengan kamera. Adalah Ibn al-Haitham yang membuat kamera pin-hole pertama setelah mengamati cara cahaya datang melalui lubang di jendela-jendela. Semakin kecil lubang, semakin jelas bentuknya, ia lalu membuat Kamera Obscura pertama (dari kata “qamara” dalam bahasa Arab untuk ruangan gelap atau ruang pribadi). Dia juga disebut orang pertama yang merancang secara fisik sebuah pemikiran filsafat menjadi bentuk eksperimen ilmiah.
13. Geografi
Tidak ada urusan politik tanpa geografi. Pada abad ke-9 M, geografer Muslim telah menganggap bahwa bumi itu bulat. Ibn Hazm mengatakan, “bahwa matahari selalu vertikal terhadap satu titik tertentu di Bumi, itu adalah bukti bumi itu bulat”. Hal itu terjadi 500 tahun sebelum Galileo. Astronom Muslim menghitung keliling bumi kira-kira 40,253 km – hanya kelebihan 253 km dari harga saat ini. Al-Idrisi membawa globe yang menggambarkan dunia ke Raja Roger Sizilia pada 1139 M.
14. Senjata Api
Senjata api adalah perlengkapan standar polisi dan militer di manapun saat ini. Cina adalah penemu mesiu, dan menggunakannya dalam kembang api mereka, tetapi insinyur Muslimlah yang memurnikannya dengan potasium nitrat untuk kepentingan militer. Pada abad ke 15 mereka telah membuat roket, yang mereka disebut “telur bergerak sendiri dan membakar”, dan sebuah terpedo paduan bom berbentuk buah pir dengan tombak di bagian depan yang akan menusuk dirinya dan meledak bila ditembakkan ke kapal musuh.
Semua penemuan ini terjadi karena ada sinergi para ilmuwan yang terdidik dan difasilitasi oleh Daulah Khilafah, kemudian disebarkan ke seluruh dunia dengan semangat rahmatan lil ‘alamin.
Oleh: Dr. Fahmi Amhar
Siapapun tahu, bahwa pada masa sekarang ini, biaya kesehatan sangat mahal. Bila orang terlanjur sakit, maka membuatnya kembali sehat, apalagi harus diberi tindakan medis (operasi misalnya), atau setidaknya harus dirawat-inap di rumah sakit, bisa meludeskan uang yang telah ditabung bertahun-tahun. Walhasil, seratus juta lebih rakyat miskin di negeri ini dilarang sakit.
Menurut seorang pakar instrumentasi kesehatan, biaya medis yang tinggi itu 60 persen baru untuk mengetahui penyakitnya, yaitu berupa peralatan canggih seperti sinar roentgen, CT-scan atau berbagai alat lab untuk uji darah. Baru 40 persennya untuk terapi. Yang mengerikan, banyak alat-alat tersebut sudah lama tidak dikalibrasi, sehingga boleh jadi banyak orang yang divonis sakit padahal sehat, juga sebaliknya, dinyatakan sehat padahal sakit, atau bahkan dianggap sakit A, padahal sebenarnya sakit B.
Karena itu sangatlah wajar, bila orang lalu lari kepada pencegahan. Bagaimanapun mencegah penyakit lebih murah dari mengobati. Gerakan “hidup sehat ala Nabi” menjadi trendy. Rasulullah memang banyak memberi contoh kebiasaan sehari-hari untuk mencegah penyakit. Misalnya: menjaga kebersihan; makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang; lebih banyak makan buah (saat itu buah paling tersedia di Madinah adalah rutab atau kurma segar); mengisi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga udara; kebiasaan puasa Senin-Kamis; mengonsumsi madu, susu kambing atau habatus saudah, dan sebagainya.
Bagi yang terlanjur sakit dan mencari pengobatan yang lebih murah, juga tersedia “berobat cara Nabi” alias Thibbun Nabawi, yang obatnya didominasi madu, habatus saudah dan beberapa jenis herbal. Kadang ditambah bekam dan ruqyah. Pengobatan ini jauh lebih murah karena praktisinya cukup ikut kursus singkat, tidak harus kuliah di fakultas kedokteran bertahun-tahun. Profesi thabib atau hijamah ini juga relatif belum diatur, belum ada kode etik dan asosiasi profesi yang mengawasinya, sehingga tidak perlu biaya tinggi khas kapitalisme.
Namun sebagian aktivis gerakan ini dalam perjalanannya terlalu bersemangat, sehingga lalu bertendensi menolak ilmu kedokteran modern, seakan “bukan cara Nabi”. Realitas pelayanan kesehatan modern yang saat ini sangat kapitalistik menjadi alasan untuk menuduh seluruh ilmu kedokteran modern ini sudah terkontaminasi oleh pandangan hidup Barat, sehingga harus ditolak.
Salah satu contoh adalah gerakan menolak vaksinasi. Sambil mengutip data dampak negatif vaksinasi dari media populer Barat (yang sebenarnya kontroversial), dengan amat semangat, gerakan ini menyatakan bahwa “di masa khilafah tanpa vaksinasi juga manusia tetap sehat” atau “sebelum ada vaksinasi, tidak ada penyakit-penyakit ganas seperti kanker”.
Tentu menjadi menarik untuk melihat seperti apa pencegahan penyakit di masa Khilafah itu?
Sebelumnya perlu diketahui, bahwa vaksinasi memang sebuah teknologi dalam ilmu kedokteran yang baru ditemukan oleh Edward Jenner pada akhir abad-18 dan dipopulerkan awal abad-19. Vaksin penemuan Jenner ini berhasil melenyapkan penyakit cacar (small pox) – bukan cacar air (varicella). Pada abad-19, penyakit cacar ini membunuh jutaan manusia setiap tahun, termasuk rakyat Daulah Khilafah! Namun saat itu Daulah Khilafah sudah dalam masa kemundurannya. Andaikata Daulah Khilafah masih jaya, barangkali teknik vaksinasi justru ditemukan oleh kaum Muslimin.
Dalilnya adalah Rasulullah menunjukkan persetujuannya pada beberapa teknik pengobatan yang dikenal semasa hidupnya, seperti bekam atau meminumkan air kencing onta pada sekelompok orang Badui yang menderita demam. Lalu ada hadits di mana Rasulullah bersabda, “Antum a’lamu umuri dunyakum” – Kalian lebih tahu urusan dunia kalian. Hadits ini sekalipun munculnya terkait dengan teknik pertanian, namun dipahami oleh generasi Muslim terdahulu juga berlaku untuk teknik pengobatan. Itulah mengapa beberapa abad kaum Muslim memimpin dunia di bidang kedokteran, baik secara kuratif maupun preventif, baik di teknologinya maupun manajemennya.
Muhammad ibn Zakariya ar Razi (865-925 M) menemukan kemoterapi. Sekitar tahun 1000 M, Ammar ibn Ali al-Mawsili menemukan jarum hypodermik, yang dengannya dia dapat melakukan operasi bedah katarak pada mata! Pada kurun waktu yang sama, Abu al-Qasim az-Zahrawi mengembangkan berbagai jenis anastesi dan alat-alat bedah, yang dengannya antara lain dapat dilakukan operasi curette untuk wanita yang janinnya mati.
Pada abad-11 Ibnu Sina menerbitkan bukunya Qanun fit-Thib, sebuah ensiklopedia pengobatan yang menjadi standar kedokteran dunia hingga abad 18. Di dalam kitab itu juga ditemukan saran Ibnu Sina untuk mengatasi kanker, yakni “pisahkan dari jaringan yang sehat, potong dan angkat”. Jadi 1000 tahun yang lalu, jauh sebelum ada vaksinasi, sudah ada penyakit kanker! Karena penyakit ini memang sudah ditemui sejak Hipokrates, dokter Yunani Kuno. Jadi tidak benar tuduhan bahwa kanker disebabkan oleh vaksinasi.
Semua penemuan teknologi ini tentunya hanya akan berhasil diaplikasikan bila masyarakat semakin sadar hidup sehat, pemerintah membangun fasilitas umum pencegah penyakit dan juga fasilitas pengobatan bagi yang telanjur sakit. Kemudian para tenaga kesehatan juga orang-orang yang profesional dan memiliki integritas, bukan orang-orang dengan pendidikan asal-asalan serta bermental pedagang.
Menarik untuk mencatat bahwa di daulah Islam, pada tahun 800-an Masehi, madrasah sebagai sekolah rakyat praktis sudah terdapat di mana-mana. Tak heran bahwa kemudian tingkat pemahaman masyarakat tentang kesehatan pada waktu itu sudah sangat baik.
Pada kurun abad 9-10 M, Qusta ibn Luqa, ar Razi, Ibn al Jazzar dan al Masihi membangun sistem pengelolaan sampah perkotaan, yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, yang di perkotaan padat penduduk akan berakibat kota yang kumuh. Kebersihan kota menjadi salah satu modal sehat selain kesadaran sehat karena pendidikan.
Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya. Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya. Mereka harus diperankan sebagai konsultan kesehatan, dan bukan orang yang sok mampu mengatasi segala penyakit.
Pada abad-9, Ishaq bin Ali Rahawi menulis kitab Adab at-Tabib, yang untuk pertama kalinya ditujukan untuk kode etik kedokteran. Ada 20 bab di dalam buku itu, di antaranya merekomendasikan agar ada peer-review atas setiap pendapat baru di dunia kedokteran. Meskipun madu atau habatussaudah sudah direkomendasikan sebagai obat oleh Rasulullah, tetapi dosis yang tepat untuk penyakit-penyakit tertentu tetap harus diteliti.
Lalu kalau ada pasien yang meninggal, maka catatan medis sang dokter akan diperiksa oleh suatu dewan dokter untuk menguji apakah yang dilakukannya sudah sesuai standar layanan medik. Hal-hal semacam ini yang sekarang justru masih absen di kalangan penggiat Thibbun Nabawi.
Ini adalah sisi hulu untuk mencegah penyakit, sehingga beban sisi hilir dalam pengobatan jauh lebih ringan. Meski demikian, negara membangun banyak rumah sakit di hampir semua kota di Daulah Khilafah.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa kaum Muslim terdahulu memahami bahwa sehat tidak hanya urusan dokter, tetapi pertama-tama adalah urusan masing-masing, walaupun juga tidak direduksi hanya sekedar pada kebiasaan mengonsumsi madu atau habatus saudah. Ada sinergi yang luar biasa antara negara yang memfasilitasi manajemen kesehatan yang terpadu dan sekelompok ilmuwan Muslim yang memikul tanggung jawab mengembangkan teknologi.
Andaikata khilafah kembali tegak, maka pencegahan penyakit tidak hanya sekedar urusan vaksinasi, tetapi khilafah juga tidak menafikan keberadaan vaksinasi karena ini adalah produk teknologi seperti teknologi lain yang dikembangkan ilmuwan Muslim terdahulu.
Dr. Fahmi Amhar
Yaman sedang bergolak. Presidennya terluka dan kabur berobat ke Saudi Arabia. Suasana politik menjadi serba belum pasti hingga tulisan ini ditulis. Dalam suasana seperti itu tentu sulit untuk melanjutkan kehidupan secara normal, apalagi aktivitas pendidikan dan pengembangan sains dan teknologi.
Dahulu, ketika Khilafah masih tegak dan syari’ah masih diterapkan, keributan politik tak banyak berpengaruh pada aktivitas pendidikan dan pengembangan sains, karena aktivitas ini sudah melebur dalam kehidupan masyarakat. Karena itu meski Khalifah silih berganti, dan sebagian bahkan secara berdarah, tetapi pendidikan tetap berjalan dengan kualitas tinggi, melanjutkan nilai-nilai Islam ke generasi berikutnya. Para ilmuwan juga tetap berkarya, karena era yang baru tentu tetap membutuhkan kontribusi mereka.
Di masa lalu, meski Yaman tidak sebesar Baghdad atau Cordoba, namun Yaman ternyata juga pernah punya sejumlah ilmuwan besar.
Yang pertama Ya’qūb ibn Isḥāq al-Kindī (Alkindus), yang dijuluki “guru-filosof-kedua-pasca-Aristoteles”. Beliau hidup dari 801 – 873 M. Meski lahir di Kufah Iraq, tetapi al-Kindi adalah keturunan bani Kindah yang berasal dari Yaman. Selain filosof, dia juga ahli berbagai bahasa, juga dokter yang meneliti dosis tepat khasiat obat (farmakologi) dan menggabungkannya dengan khasiat terapi musik, bahkan juga berexperimen dengan cryptografi – bagian ilmu matematika untuk menyandi dan mengungkap informasi yang tersandi. Al-Kindi pernah menjadi tokoh sentral di Baitul Hikmah di Baghdad, dan beberapa khalifah Abbasiyah menunjuknya untuk menjadi guru privat anak-anak Khalifah serta memimpin tim penerjemahan banyak naskah Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Karena naskah-naskah ini umumnya membahas filsafat, maka dalam perkembangannya, tulisan-tulisan al-Kindi tentang filsafatlah yang paling banyak dibicarakan orang.
Potret al-Kindi
Sebagian dari karya filsafat al-Kindi memang kontroversial dan menjadi sasaran kritik para ahli Ushuluddin. Misalnya al Kindi menganggap bahwa wahyu dan pengetahuan empiris adalah dua jalur yang sama-sama menuju Tuhan. Ini bisa diartikan bahwa tanpa wahyupun orang bisa mendapatkan kebenaran bagaimana cara beribadah dan cara hidup di dunia lainnya. Sayangnya, tidak banyak tulisan asli al-Kindi yang bertahan hingga zaman modern untuk direview. Sebagian yang ada hingga kini adalah komentar atas komentar tulisan al-Kindi. Bisa saja, komentar yang pertama sudah bias karena tidak memahami pendapat asli al-Kindi.
Ilmuwan Italia zaman Rennaisance Geralomo Cardano (1501-1575) menyebut al-Kindi sebagai salah satu dari 12 pemikir terbesar Zaman Pertengahan. Menurut Ibn an-Nadim, al-Kindi menulis sedikitnya 260 buku, di antaranya 32 buku tentang geometri, 22 buku tentang kedokteran, 22 buku filsafat, 9 buku logika, 12 buku fisika. Meskipun banyak bukunya telah hilang, sebagian terjemahan latinnya diselamatkan Gerard of Cremona dan sebagian lain ditemukan di sebuah perpustakaan di Turki.
Dari buku cryptografi al-Kindi
Harbi al-Himyari adalah ilmuwan Arab dari Yaman hidup antara abad 7 – 8 M. Dia adalah salah satu guru dari ahli kimia terbesar Jabir al Hayyan. Namun biografinya tidak banyak diketahui.
Abū Muḥammad al-Ḥasan ibn Aḥmad ibn Ya‘qūb al-Hamdānī (sekitar 893-945 M) adalah muslim Arab yang ahli geografi, pujangga, ahli bahasa, sejarahwan dan astronom. Dia berasal dari suku Hamdan, di barat ‘Amran Yaman. Dia adalah salah satu wakil kebudayaan Islam pada masa-masa akhir Khilafah Abbasiyah.
Sayang data biografi al-Hamdānī sangat sulit diketahui, meskipun karya ilmiahnya tersebar luas. Dia sangat dikenal reputasinya sebagai grammarian (ahli bahasa), tetapi juga menulis banyak puisi, mengkompilasi tabel astronomi, dan menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mempelajari sejarah dan geografi kuno Arabia.
Ayahnya adalah pengelana dan sering harus ke kota-kota Kufah, Baghdad, Basra, Oman dan Mesir. Pada usia 7 tahun, dia telah mulai bercakap tentang pengelanaan. Dia lalu pergi ke Makkah dan tinggal dan belajar di sana lebih dari enam tahun. Belakangan dia balik ke San’a dan berkarya di Himyar. Namun sikapnya yang kritis terhadap politik membuatnya dipenjara hingga dua tahun. Setelah dilepas dia kembali ke Rayda, dan dalam perlindungan sukunya, dia berkarya di sana sampai wafat hingga 945 M.
Karya al-Hamdani tentang Geografi Jazirah Arab (Sifat Jazirat ul-Arab) adalah karya yang sangat penting di bidang ini, bahkan hingga seribu tahun kemudian (!) sebagaimana diakui oleh A. Sprenger dalam bukunya “Post- und Reiserouten des Orients” (Leipzig, 1864) dan dalam “Alte Geographie Arabiens” (Bern, 1875). Karya besar al-Hamdānī yang lain adalah “Iklil” (Mahkota) yang membahas genealogi (silsilah) para Himyarit, peperangan di antara mereka dan para rajanya, dalam 10 jilid. Jilid 8 tentang kota-kota dan istana di Arab Selatan telah diedit dan dikomentari oleh Müller dalam buku “Die Burgen und Schlösser Sudarabiens” (Vienna, 1879-1881).