Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Poem’ Category

Sebuah Puisi Untuk Para Penghabis Anggaran

Tuesday, November 13th, 2012

Indikator menghabis-habiskan anggaran,
oleh aparat sipil di negara bukan-bukan,
di akhir tahun banyak rapat dan pelatihan,
di hotel paling mewah diselenggarakan,
terutama di daerah atau templat pelesiran,
tetapi yang hadir minim dan keluar masuk ruangan.

Acara dibuat tiga hari berturutan,
hari pertama cuma chek-in kedatangan,
hari ketiga cuma check-out kepulangan,
acara cuma di hari kedua dan juga cuma jam-jaman,
agar lumsum penuh tiga harian,
yang penting absen ditandatangan,
lalu narasumber dari luar berdatangan,
kualitas toh tak ada yang mempersoalkan,
yang penting ada materi untuk bahan pertanggungjawaban,
toh narasumberpun biasanya tidak keberatan,
karena honor mereka sekarang jutaan.

Tapi rakyat di luar sana dapat apa gerangan,
kalau makin baik birokrat membuat kebijakan,
tentu tak banyak lagi kritik maupun makian,
juga tak ada lagi puisi seperti ini jadi suratan,
tapi kalau justru makin rata kelaparan dan kebodohan,
atau makin canggih korupsi dan penindasan,
maka tunggulah puisi ini menjadi bola liar bersahutan,
yang bisa mendorong sebuah negeri berganti zaman.

 

POLITIK itu …

Thursday, October 11th, 2012

Politik itu,

melayani umat sepenuh hati,
agar semua hak bisa diberi arti,
dan semua kewajiban bisa terpenuhi.

Politik itu,

mengkondisikan agar semua muslim bisa shalat,
meski shalat sendiri adalah persoalan ibadat,
bukan persoalan politik bulat-bulat.

Politik itu,

bagaimana agar setiap manusia mengenal Rabb-nya,
tidak cuma yang dekat dengan mushola,
atau yang pak ustadz masih saudara.

Politik itu,

menyelesaikan masalah sosial ekonomi hankam dan budaya,
dengan menggerakkan sumber daya manusia yang ada,
yang jumlahnya terbatas, dan kualitasnya masih ala kadarnya.

Politik itu,

bagaimana sebuah aktivitas yang aslinya tampak sederhana,
tapi bisa dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar manusia,
dan berdampak nyaris sepanjang masa.

Politik itu,

seni mempengaruhi orang-orang yang semula memusuhi kita,
menjadi minimal tidak menghalangi-halangi kita,
bahkan lama-lama mendukung kita.

Politik itu,

bagaimana memprovokasi perlawanan pada penjajahan nyata maupun maya,
agar manusia tidak saling memperbudak sesamanya,
tetapi hanya menghamba Allah semata.

Politik itu,

menyampaikan seluruh kebenaran pada orang yang tepat,
di tempat yang tepat, di saat yang tepat,
dengan uslub dan bahasa yang tepat.

Politik itu,

ketika logika ilmiah tidak seluruhnya dapat diterima,
ketika argumentasi bisnis dimentahkan realita,
dan ketika orang-orang bertanya tentang isu rahasia.

Politik itu,

seni menyelesaikan masalah orang-orang yang bersengketa,
tanpa membuat sebagian kehilangan muka,
tanpa membuat yang lain bertepuk dada.

Politik itu,

aktivitas para Nabi yang mulia,
untuk mengubah kehidupan manusia dengan kata-kata,
agar mereka menjadi hamba-Nya dan rahmat ke seluruh dunia.

Mungkin Sekali Saya Sendiri Juga Maling (puisi Taufiq Ismail)

Wednesday, October 10th, 2012
Taufiq Ismail

Taufiq Ismail

Kita hampir paripurna menjadi bangsa porak-poranda,
terbungkuk dibebani hutang dan merayap melata sengsara di dunia.
Penganggur 40 juta orang, anak-anak tak bisa bersekolah 11 juta siswa,
pecandu narkoba 6 juta anak muda, pengungsi perang saudara 1 juta manusia,
VCD koitus beredar 20 juta keping tak kenal usia,
kriminalitas merebat di setiap tikungan jalan raya
dan beban hutang di bahu 1600 trilyun rupiahnya.

Pergelangan tangan dan kaki Indonesia diborgol di ruang tamu Kantor Pegadaian Jagat Raya,
dan di punggung kita dicap sablon besar-besarTahanan IMF dan Penunggak Bank Dunia.
Kita sudah jadi bangsa kuli danbabu, menjual tenaga dengan upah paling murah sejagat raya.

Ketika TKW-TKI itu pergi lihatlah mereka bersuka cita
antri penuhharapandan angan-angan di pelabuhan dan bandara,
ketika pulang lihat mereka berdukacita
karena majikan mungkir tidak membayar gaji dan upahnya,
banyak yang disiksa malah diperkosa dan pada jam pertama mendarat di negeri sendiri diperas pula.

Negeri kita tidak merdeka lagi, kita sudah jadi negeri jajahan kembali.
Selamat datang dalam zaman kolonialisme baru, saudaraku.
Dulu penjajah kita satu negara, kini penjajah multi-kolonialis banyak bangsa.
Mereka berdasi sutra, ramah-tamah luarbiasa dan banyak senyumnya.
Makin banyak kita meminjam uang, makin gembira karena leher kita makin mudah dipatahkannya.

Di negeri kita ini, prospek industri bagus sekali.
Berbagai format perindustrian, sangat menjanjikan, begitu laporan penelitian.
Nomor satu paling wahid, sangat tinggi dalam evaluasi, dari depannya penuh janji, adalah industri korupsi.

Apalagi di negeri kita lama sudah tidak jelas batas halal dan haram,
ibarat membentang benang hitam di hutan kelam jam satu malam.
Bergerak ke kiri ketabrak copet,
bergerak ke kanan kesenggol jambret,
jalan di depan dikuasai maling,
jalan di belakang penuh tukang peras,
yang di atas tukang tindas.
Untuk bisa bertahan berakal waras saja di Indonesia, sudah untung.

Lihatlah para maling itu kini mencuri secara berjamaah.
Mereka bersaf-saf berdiri rapat, teratur berdisiplin dan betapa khusyu’.
Begitu rapatnya mereka berdiri susah engkau menembusnya.
Begitu sistematiknya prosedurnya tak mungkin engkau menyabotnya.
Begitu khusyu’nya, engkau kira mereka beribadah.
Kemudian kita bertanya, mungkinkah ada maling yang istiqamah?

Lihatlah jumlah mereka, berpuluh tahun lamanya,
membentang dari depan sampai ke belakang,
melimpah dari atas sampai ke bawah,
tambah merambah panjang deretan saf jamaah.
Jamaah ini lintas agama, lintas suku dan lintas jenis kelamin.

Bagaimana melawan maling yang mencuri secara berjamaah?
Bagaimana menangkap maling yang prosedur pencuriannya malah dilindungi dari atas sampai ke bawah?
Dan yang melindungi mereka, ternyata, bagian juga dari yang pegang senjata dan yang memerintah.
Bagaimana ini?
Tangan kiri jamaah ini menandatangani disposisi MOU dan MUO (Mark UpOperation),
tangan kanannya membuat yayasan beasiswa, asrama yatim piatu dan sekolahan.
Kaki kini jamaah ini mengais-ngais upeti ke sana ke mari,
kaki kanannya bersedekah, pergi umrah dan naik haji.
Otak kirinya merancang prosentasi komisi dan pemotongan anggaran,
otak kanannya berzakat harta, bertaubat nasuha dan memohon ampunan Tuhan.

Bagaimana caranya melawan maling begini yang mencuri secara berjamaah?
Jamaahnya kukuh seperti diding keraton,
tak mempan dihantam gempa danbanjir bandang,
malahan mereka juru tafsir peraturan dan merancangundang-undang,
penegak hukum sekaligus penggoyang hukum, berfungsi bergantian.

Bagaimana caranya memroses hukum maling-maling yang jumlahnya ratusan ribu,
barangkali sekitar satu juta orang ini, cukup jadi sebuah negara mini,
meliputi mereka yang pegang kendali perintah, eksekutif, legislatif, yudikatif dan dunia bisnis,
yang pegang pestol dan mengendalikan meriam, yang berjas dan berdasi.
Bagaimana caranya?
Mau diperiksa dan diusut secara hukum?
Mau didudukkan di kursi tertuduh sidang pengadilan?
Mau didatangkan saksi-saksi yang bebas dari ancaman?
Hakim dan jaksa yang bersih dari penyuapan?
Percuma
Seratus tahun pengadilan, setiap hari 8 jam dijadwalkan Insya Allah tak akan terselesaikan.
Jadi, saudaraku, bagaimana caranya?
Bagaimana caranya supaya mereka mau dibujuk, dibujuk, dibujuk
agar bersedia mengembalikan jarahan yang berpuluh tahun dan turun-temurun sudah mereka kumpulkan.
Kita doakan Allah membuka hati mereka,
terutama karena terbanyak dari mereka orang yang shalat juga,
orang yang berpuasa juga,
orang yang berhaji juga.
Kita bujuk baik-baik dan kita doakan mereka.

Celakanya, jika di antara jamaah maling itu ada keluarga kita,
ada hubungan darah atau teman sekolah,
maka kita cenderung tutup mata, tak sampai hati menegurnya.

Celakanya, bila di antara jamaah maling itu ada orang partai kita,
orang seagama atau sedaerah, kita cenderung menutup-nutupi fakta,
lalu dimakruh-makruhkan
dan diam-diam berharap semoga kita mendapatkan cipratan harta tanpa ketahuan.

Maling-maling ini adalah kawanan anai-anai dan rayap sejati.
Dan lihat kini jendela dan pintu rumah Indonesia dimakan rayap.
Kayu kosen, tiang, kasau, jeriau rumah Indonesia dimakan anai-anai.
Dinding dan langit-langit, lantai rumah Indonesia digerogoti rayap.
Tempat tidur dan lemari, meja kursi dan sofa, televisi rumah Indonesia dijarahanai-anai.
Pagar pekarangan, bahkan fondasi dan atap rumah Indonesia sudah mulai habis dikunyah-kunyah rayap.
Rumah Indonesia menunggu waktu, masa rubuhnya yang sempurna.

Aku berdiri di pekarangan, terpana menyaksikannya.
Tiba-tiba datang serombongan anak muda dari kampung sekitar.
“Ini dia rayapnya! Ini dia Anai-anainya!” teriak mereka.
“Bukan. Saya bukan Rayap, bukan!” bantahku.
Mereka berteriak terus dan mendekatiku dengan sikap mengancam.

Aku melarikan diri kencang-kencang.
Mereka mengejarkan lebih kenjang lagi.
Mereka menangkapku.
“Ambil bensin!” teriak seseorang.
“Bakar Rayap,” teriak mereka bersama.
Bensin berserakan dituangkan ke kepala dan badanku.
Seseorang memantik korek api.
Aku dibakar.
Bau kawanan rayap hangus.
Membubung Ke udara.