Oleh: Fahmi Amhar
Seseorang datang ke dunia tanpa bisa memilih pada keluarga mana ia dilahirkan, pada lingkungan apa ia tumbuh, dan oleh (guru) siapa ia dididik. Maka pada umumnya seorang anak kecil tidak bisa memilih sejak awal, apa agama yang akan dianutnya. Bila ia dilahirkan pada sebuah suku di rimba di Afrika, bisa jadi ia akan menjadi pemeluk paganisme yang kolot. Bila ia dibesarkan oleh seorang kader partei komunis di Uni Soviet, ia akan menjadi komunis yang fanatik. Bila ia dididik terus pada sebuah sekolah katholik di Irlandia Utara, dia akan menjadi pejuang katholik yang berani mati. Dan bila dia tumbuh di Makkah Al Mukarramah, serta setiap tahun menyaksikan jutaan muslim dari seluruh dunia datang berhaji, ia bisa berkembang menjadi muslim yang kosmopolit.
Sebagian besar manusia terbentuk oleh lingkungan. Pemikiran, perasaan dan perbuatan mereka akan ditentukan oleh apa yang menjadi norma kolektif dalam lingkungan tersebut. Jarang seorang anak kecil yang berpikir seperti Ibrahim a.s., yang mempertanyakan “Benarkah yang dianut orang-orang ini?”. Lingkungan pada umumnya kurang menghendaki pemikiran yang bertentangan dengan mainstream. Di Barat ini akan “aneh” sekali bila ada orang yang mempersoalkan kebenaran prinsip sekularisme atau demokrasi. Seperti anehnya masyarakat Quraisy di Makkah abad 7 Masehi, ketika Muhammad Saw membawa ajaran Tauhid. Mereka menuduh Muhammad telah melecehkan nenek moyang mereka, melecehkan agama dan adat istiadat mereka, bahkan mengganggu keharmonisan hidup masyarakat Makkah (lihat Sirah Nabawiyah, Ibnu Ishaq). (more…)
Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar,
Kadang-kadang ada seseorang bertanya kepada saya, “Prof, apakah saya bisa menjadi peneliti?”.
Dan kadang-kadang saya gemes dan ingin menjawab, “Biasanya kalau berbakat jadi peneliti, tidak akan pernah bertanya seperti itu”. 🙂
Peneliti itu ada dua macam: peneliti formal dan peneliti informal. Sama dengan dunia usaha, ada sektor formal yang diakui negara (karena bayar pajak) dan ada sektor informal, yang meskipun dirasakan nyata, tetapi sering tidak dihitung.
Di Indonesia, peneliti formal ada di dunia perguruan tinggi, lembaga penelitian, divisi R&D BUMN dan perusahaan swasta besar bahkan lembaga konsultan yang melakukan riset. Mereka tentu saja wajib membawa sejumlah syarat formal, misalnya minimal ijazah S1. Kalau mau jadi peneliti senior, profesor misalnya, tentu bahkan harus S3 (doktor). Selain itu, mereka wajib rajin membuat karya tulis ilmiah. Kalau tidak produktif, pasti dicopot-lah status penelitinya. Tetapi ada juga peneliti informal. Mereka adalah yang meneliti karena hobby, karena penasaran pada sesuatu, atau memang karena kebutuhan urusan/bisnis pribadinya. Mereka tidak peduli dengan status formal. Ada peneliti yang bahkan bukan sarjana. Tetapi karyanya jelas dirasakan banyak orang. Di tingkat dunia, banyak penemu teknologi yang sejatinya hanya peneliti informal. Thomas Alva Edison atau Bill Gates adalah para penemu yang gigih meneliti bertahun-tahun, sebelum karya mereka akhirnya mengubah dunia. Mereka tentu saja tidak akan lolos syarat peneliti formal, karena keduanya bukan sarjana. Mereka juga membuat tulisan yang sangat informatif, inovatif dan inspiratif bagi jutaan orang, tetapi mungkin tulisan itu juga tidak lolos standard jurnal ilmiah.
Saya saat ini menyandang predikat peneliti formal. Jabatan peneliti itu saya mulai sejak tahun 1998. Pada tahun 2010 saya bahkan sudah dikukuhkan sebagai Professor. Banyak orang melihat ini terlalu cepat. Tetapi sesungguhnya, saya sudah menjadi peneliti informal sejak tahun 1981 !!!
Benar, saya sudah menggeluti dunia penelitian sejak saya masih kelas 1 SMP !!! Apa ya buktinya? Buktinya, sejak kelas 1 SMP saya sudah gemar melakukan aktivitas yang ternyata terhitung aktivitas paling mendasar dalam penelitian, yakni membaca secara sistematis & kritis. Membaca sistematis artinya kita membaca dengan tujuan yang jelas, apa yang dicari, lalu dibuatkan summary atau dibuat klipping tema tertentu. Sedang kritis artinya, kita mendiskusikan topik itu, mencari kelebihan dan kelemahannya, bahkan membandingkan dengan tulisan lain. Kita tidak menganggap tulisan itu satu-satunya yang paling benar atau hebat. Waktu itu saya melakukan untuk tema elektronika. Saya membuat klipping rangkaian elektronika dari koran. Memang belum jurnal ilmiah. Tetapi saya sangat heran, kalau ada peneliti formal yang belum pernah melakukan seperti itu. Sekarang untuk membuat klipping semacam ini jauh lebih mudah, ada software free seperti MENDELEY yang bisa dipakai untuk mengklipping dan melakukan citasi berbagai versi dengan sangat cepat.
Aktivitas kedua adalah pengamatan. Sejak SMP, saya gemar membawa notes kecil setiap pergi ke mana-mana. Apa-apa yang menarik segera saya catat. Saya menghitung berapa langkah yang dibutuhkan dalam berjalan dari rumah ke masjid atau ke pasar. Beberapa hari saya mencatat jam berangkat dari rumah dan jam tiba di sekolah ketika saya bersepeda ke sekolah. Bahkan saya mencoba beberapa rute yang berbeda untuk membandingkan waktu perjalanannya. Saya bahkan iseng banget: menghitung jumlah pengemis yang ada sepanjang pertokoan pecinan, dari hari ke hari, sampai menjelang hari raya! Beberapa pengemis bahkan saya ajak ngobrol, saya tanya-tanya mereka dari mana, berapa uang yang didapat perhari, apakah mereka sendirian atau berkelompok, dan sebagainya. Dengan dikawani seorang teman, saya juga pernah melakukan survei menelusuri sebuah saluran irigasi yang cukup besar di Magelang (Kali Manggis) sampai ke hulunya di Kali Progo di Temanggung, sejauh kurang lebih 26 Km. Di beberapa lokasi, saya melempar botol plastik kecil untuk mengukur kecepatan airnya. Saya juga mengukur kedalaman air dan menaksir lebar sungai. Jadi saya dapat angka perkiraan debit air per detik. Kadang-kadang, sekarang saya mikir, apa kalau anak saya nekad melakukan seperti ini, bakal saya ijinkan ya? Tapi dulu Ibu saya tidak begitu tahu, bahwa saya senekad itu. 🙂
Tapi beberapa hal tidak bisa diamati begitu saja. Harus ada pengamatan yang dirancang. Bentuknya bisa eksperimen, atau untuk fenomena sosial bisa kuesioner. Saya banyak melakukan eksperimen dengan alat-alat listrik, kadang bahkan dengan tegangan tinggi. Saya membuat aquarium, di mana ikan saya masukkan, lalu saya aliri arus listrik PLN. Aman sih, karena kabelnya saya hubungkan seri dengan lampu. Tentu saja begitu elektroda dimasukkan, ikan-ikan pada pingsan. Begitu arus diputus, mereka bangun lagi … Kadang kalau saya pikir, nekad banget ya, kalau saya kesetrum gimana … Saya juga bikin kompor listrik dari batu tahu yang saya lubangi, lalu ke dalamnya dimasukkan elemen pemanas 300 Watt. Saya mencoba menghitung, berapa Rupiah yang dibutuhkan untuk mendidihkan seliter air. Ini saya kerjakan ketika saya kelas 1 SMA. Kemudian saya juga menyebarkan kuesioner ke teman-teman. Kuesioner pertama saya buat untuk tahu pendapat siswa atas tradisi memakai baju tradisional saat Hari Kartini. Ada guru-guru yang berkomentar miring, “ngapain sih bikin kuesioner segala ?” Padahal saya tidak minta bantuan apapun.
Aktivitas ketiga adalah menulis. Menulis yang tidak sekedar menulis, tetapi menuliskan hasil pengamatan, eksperimen atau hasil kuesioner kita langsung. It is very amazing! Hasilnya sering tidak terduga. Apakah Anda bisa menebak, berapa jumlah pengemis di hari biasa dan di hari Jum’at ? Benarkah tebakan Anda? Ini saya tulis. Saya mengikuti lomba karya tulis ilmiah sejak kelas 1 SMP (tahun 1981). Waktu itu LKIPR Dikbud (sekarang namanya LPIR Dikbud). Tetapi tulisan saya itu cuma dari bacaan dan ditambah opini (persisnya khayalan) :-). Tentu saja tidak lolos final. Tahun 1983 (kelas 3 SMP) saya ikut Lomba Karya Ilmiah yang diadakan Cerebrovit. Ini meskipun mayoritas masih dari bacaan, tapi ada sedikit pengamatan. Topiknya tentang Hobby. Alhamdulillah juara 1. Tahun 1983 (tapi sudah kelas 1 SMA) ikut Lomba Karya Ilmiah Perminyakan dari HMTM ITB. Ini nyaris hanya dari bacaan semua. Pas final, hanya dapat juara 2, soalnya yang juara 1 pakai kuesioner. Padahal kuesionernya sederhana, tanya ke sejumlah orang seperti ibu rumah tangga, pemilik warung dsb persepsi mereka tentang BBM dan alternatifnya. Tahun 1984 (kelas 1 SMA), saya menuliskan beberapa hasil survei pedesaan saya ke LKIR LIPI. Dipanggil final. Wah pesaingnya hebat-hebat. Banon Gede Umbaran dari Semarang melaporkan penelitiannya di kampung-kampung nelayan di Pantura. Sergius Sutanto penelitian tentang pengemis di Jakarta. Tetapi pas final, yang disidang oleh para Professor (Prof. Astrid Susanto, Prof. Conny Semiawan, Prof. Doddy Tisna Amidjaya), jawaban polos saya rupayanya memukau. Mungkin mereka melihat, ini beneran meneliti, dan tingkatannya memang masih anak SMA, tidak disetir oleh gurunya. Jadi saya dikasih juara 2 bersama dengan Sergius Sutanto. Yang juara 1 tidak ada.
Sampai detik itu, memang praktis tidak ada guru yang secara khusus membimbing. Di SMP saya ketemu Pak Bambang Supriyo, guru bahasa Indonesia yang mengajari membuat klipping dan majalah dinding. Juga Pak Darodji yang mengajari survei (sinau wisata). Tapi itu diberikan ke semua siswa. Anehnya, tidak banyak siswa yang lalu tertarik meneliti. Karena tidak punya “gen” meneliti ?
Karena memang tidak ada guru yang khusus membimbing, di SMA saya nekad mendirikan sendiri Kelompok Ilmiah Remaja (KIR). Ya di situ secara formalitas ada juga guru yang didudukkan sebagai pembimbing. Tetapi kami lebiih sering jalan sendiri. Lha bingung, kalau mengajak guru, ternyata mereka selalu mikir SPPD-nya. Padahal kami sering jalan sendiri tanpa SPPD … he he …
Memang hidup tidak selalu linier. Ada teman-teman yang waktu SMA sama sekali tidak tertarik ikut KIR, tapi ternyata setelah mahasiswa sangat cemerlang, lalu terus sekolah di luar negeri sampai S3, dan terus jadi peneliti kelas dunia. Sebaliknya, ada juga yang dulu ikut KIR, bahkan pernah menjuarai LKIR LIPI, tapi ternyata sekarang tidak terlalu terdengar kiprahnya dalam penelitian. Meskipun yang namanya peneliti informal, itu bisa saja profesinya jadi wartawan, aktivis LSM, atau bahkan wirausaha sejati, yang menjalankan roda bisnis tidak sekedar dengan intuisi, tetapi juga research-based, meskipun produknya tidak harus berbau teknologi.
Tetapi yang saya paling sedih adalah jika ada peneliti formal yang sebenarnya tidak paham-paham juga aktivitas penelitian itu apa. Ada yang menyangka, penelitian itu cuma membaca lalu menulis. Ada yang menyangka survei itu sudah penelitian. Padahal kan tergantung yang disurvei apa, bakal ada sesuatu yang “Wow” atau tidak. Tetapi saya paling “eneg” dengan peneliti yang hanya pelarian karena tidak laku di tempat lain, dan karena itu hanya menjadi pemburu “kum” – angka kredit peneliti – yang kadang bahkan menghalalkan segala cara, seperti nitip nama, niitip judul doang (tapi idenya seperti apa tidak jelas, boro-boro menunjukkan metode penelitiannya, boro-boro ikut menulis), bahkan plagiarisme. Yah sekilas, itulah dunia peneliti, yang saya sudah mulai sejak 32 tahun yang lalu.
Indikator menghabis-habiskan anggaran,
oleh aparat sipil di negara bukan-bukan,
di akhir tahun banyak rapat dan pelatihan,
di hotel paling mewah diselenggarakan,
terutama di daerah atau templat pelesiran,
tetapi yang hadir minim dan keluar masuk ruangan.
—
Acara dibuat tiga hari berturutan,
hari pertama cuma chek-in kedatangan,
hari ketiga cuma check-out kepulangan,
acara cuma di hari kedua dan juga cuma jam-jaman,
agar lumsum penuh tiga harian,
yang penting absen ditandatangan,
lalu narasumber dari luar berdatangan,
kualitas toh tak ada yang mempersoalkan,
yang penting ada materi untuk bahan pertanggungjawaban,
toh narasumberpun biasanya tidak keberatan,
karena honor mereka sekarang jutaan.
—
Tapi rakyat di luar sana dapat apa gerangan,
kalau makin baik birokrat membuat kebijakan,
tentu tak banyak lagi kritik maupun makian,
juga tak ada lagi puisi seperti ini jadi suratan,
tapi kalau justru makin rata kelaparan dan kebodohan,
atau makin canggih korupsi dan penindasan,
maka tunggulah puisi ini menjadi bola liar bersahutan,
yang bisa mendorong sebuah negeri berganti zaman.