Kata “mengikuti” sering multitafsir.
“Apakah kalian mengikuti piala dunia? yang menang Spanyol atau Jerman?”
Oh ternyata yang dimaksud “menonton siaran piala dunia”.
Ini mah “Mengikuti Tanpa Terlibat” (MTT).
Hukum MTT apa ya?
Tergantung objeknya apa, dan posisi kita di sana sebagai siapa, juga seberapa dekat MTTnya.
Kalau objeknya mubah (seperti pertandingan bola), maka MTT juga mubah kalau cuma via layar kaca, tetapi kalau kita ada di stadion, bisa menjadi makruh atau haram tergantung suasana yang menyelubungi kita, seberapa jauh ikhtilatnya, seberapa anarkis aktivitas supportingnya dsb.
Kalau objeknya haram (seperti pesta goyang dangdut yang menebar aurat), maka MTT juga ikut haram, kecuali kalau kita “terjebak”, maksudnya: gak tahu kalau acaranya sejauh itu, karena tadi katanya ini peringatan 1 Muharram, dibuka dengan bacaan Quran & doa oleh Pak Ustadz, gak tahunya ada dangdut segala, dan mau escape susah, maka hukumnya jatuh makruh (asal kita tidak justru “kebeneran” lalu bilang “Masya Allah – Alhamdulillah”) :-).
Bagi wartawan, peneliti atau investigator hukum, MTT untuk objek yang haram pun kadang-kadang diperlukan. Tujuannya semata-mata untuk fact-finding. Mereka tidak diberi kewenangan menindak. Mereka masuk ke arena sekedar untuk mengumpulkan data. Biar nanti otoritas pemilik kewenangan yang melakukan penindakan. Pada kasus zina, syara’ mewajibkan untuk menghadirkan 4 orang saksi yang semua melihat dengan matanya sendiri. Tentu saja, para saksi ini mustahil dihadirkan kalau mereka tidak MTT. Dan kalau MTT itu dari awal dinyatakan haram, ya mereka juga tidak mau jadi saksi.
Wartawan atau peneliti kadang-kadang perlu MTT pada acara ritual agama lain. Juga sekedar fact finding, apa yang dilakukan. Karena meski Islam mentolerir umat agama lain menjalankan ritualnya, tetapi ritual itu sendiri tidak boleh melanggar hukum yang berlaku umum. Misalnya, tidak boleh ada ritual agama dengan melakukan pengorbanan manusia. Petugas dari Khalifah Umar bin Khattab yang dikirim ke Mesir mendapatkan bahwa orang-orang penganut agama Mesir kuno kala itu kalau kemarau panjang suka melakukan upacara ritual melarung (menghanyutkan) perawan cantik ke sungai Nil. Bisa saja mereka dilapori orang lain, tapi bisa pula sebelumnya mereka telah mencari fakta melalui MTT, untuk meyakinkan bahwa itu bukan gossip murahan. Setelah yakin ada faktanya, maka Umar kemudian memerintahkan menggantikan korban manusia itu dengan sehelai suratnya yang terkenal, yang bertuliskan: “Wahai Sungai Nil, kalau engkau mengalir karena kemauanmu sendiri, maka mengalirlah; dan kalau engkau mengalir karena menuruti perintah Rabb-mu, maka turuti perintahNya”.
Pada kasus kejahatan luar biasa (korupsi, narkotika, terorisme), MTT bisa berabe, karena sekedar tahu – tapi tidak berbuat pro justicia (melaporkan) – bisa dianggap terlibat. Kecuali kalau sebelumnya ada ijin dari aparat (misalnya untuk petugas serse atau KPK yang akan disusupkan untuk menangkap basah).
Bagaimana MTT pada objek yang hukumnya wajib? Misalnya ada seorang yang perlu pertolongan segera, dia digigit anjing, atau dia hampir hanyut diterjang banjir, maka MTT hukumnya haram kalau kita punya kemampuan untuk memberi pertolongan, minimal mencari pertolongan terdekat. MTT baru dimaklumi kalau benar-benar force majeur, misalnya anjingnya sangat ganas sementara tidak ada senjata atau orang lain yang bisa dipanggil; atau dalam kasus banjir, kita sendiri sangat berresiko terseret arus karena banjir sangat deras dan kita tidak bisa berenang.
Yang pasti, untuk banyak aktivitas fardhu kifayah (termasuk dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam melalui penerapan syariah dan khilafah), kita tidak boleh MTT, karena sekecil apapun, pasti ada peran yang dapat kita lakukan.
Wallahu a’lam bis shawab.
Prof. Dr. Fahmi Amhar
“Seorang dokter yang salah diagnosa, akan salah pula memberi therapi.
Bila ummat Islam salah memahami proses kemundurannya, maka mereka
akan salah pula dalam mencari cara-cara menuju kebangkitannya”
Kalau kita mencoba melakukan analisis atas kualitas suatu ummat, tak terkecuali ummat Islam, maka kita harus menetapkan dulu tolok ukurnya, agar tak salah bila kita katakan suatu ummat itu maju atau mundur, dan bila mundur, kita juga tahu bagaimana seharusnya, atau ke mana langkah menuju.
Qualitas ummat terbaik adalah ditemui pada generasi Nabi, generasi sesudahnya (Tabiin) dan generasi sesudahnya lagi (Tabiit-Tabiin). (HR Bukhari, dll).
Qualitas itu diukur dengan kriteria yang uniq, yakni pada aktivitasnya dalam menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar (QS 3:110). Tugas ini memerlukan type-type manusia muttaqin, mereka yang hanya takut kepada Allah saja, dan tidak bisa dipungkiri, bahwa jumlah “muttaqin per kapita” yang terbanyak adalah di zaman Nabi.
Di zaman sesudahnya, jumlah ini makin menurun secara berangsur-angsur, meskipun wilayah Islam dan populasi muslim terus membesar, dan karya-karya peradaban baik dalam ilmu-ilmu agama maupun dalam iptek dan kesenian terasa menuju “masa keemasan”-nya. Dalam konteks materialisme seperti pada budaya Barat, memang qualitas suatu bangsa biasa diukur dari produk peradaban (iptek, kesenian, arsitektur, etc). Namun dalam konteks Islam, ukuran yang standard adalah kontribusi bangsa itu dalam amar ma’ruf nahi munkar. Jadi peradaban sesungguhnya hanyalah alat semata. Motivasi amar ma’ruf nahi munkar-lah yang pernah membawa ummat Islam untuk menciptakan peradaban yang maju, karena berlaku prinsip: “APA YANG DIPERLUKAN UNTUK MEMENUHI YANG FARDH, HUKUMNYA JUGA FARDH”.
Bila kita analisis, maka proses kemunduran ummat Islam itu secara singkat bisa dibagi dalam tiga tahapan:
1. Kekaburan Fikrah Islamiyah (=ide atau fikiran)
2. Kekaburan Thariqah Islamiyah (=methode mewujudkan ide)
3. Kekaburan Relasi antara Fikrah dan Thariqah.
1 Kekaburan Fikrah Islamiyah
1.1 Merebaknya Mitos
Kekaburan fikrah mulai terjadi sejak dini (abad 2 H), saat derap perluasan wilayah Islam kurang terimbangi dengan derap pewarisan fikrah Islam. Akibatnya, berbagai bangsa yang tadinya hidup dalam mitos dan filsafat serta mistik Yunani/Mesir, Persia atau India, tidak segera membuang mitos/filsafat/mistik itu dari alam fikirnya, melainkan mencoba “mengawinkannya dengan Islam” atau dengan kata lain: “mengislamkan mitos” dan “memitoskan Islam”.
Contoh dari mitos ini banyak sekali. Kita tahu, dalam semua ajaran lain, keyakinan dasarnya selalu berasal dari mitos, atau suatu aksioma dasar yang tidak bisa dilacak secara rasional. Bangsa yang tadinya penganut mitos itu, ketika beralih ke Islam, pun memandang aqidah Islam sebagai mitos. Person Rasul berubah dari sosok manusia yang bisa ditiru setiap muslim (sebagai uswatun hasanah) menjadi sosok keramat yang supranatural. Bahkan belakangan, seorang ‘alim yang aslinya hanyalah ilmuwan atau pakar, yang dalam ijtihadnya bisa benar maupun salah, tiba-tiba dipandang sebagai “orang suci” yang tidak mungkin salah, sebagaimana orang-orang Kristen memandang Paus, atau orang-orang Hindu memandang Sri Bhagawan.
Ketika seseorang bisa menjadi “kult-figur” karena mitos, maka orang-orang yang ada penyakit di hatinya berlomba untuk juga memiliki posisi di sana. Mereka melegitimasi diri di depan orang-orang yang tidak tahu dengan ayat-ayat Qur’an yang diselewengkan tafsirnya, atau dengan hadits-hadits yang dhaif atau palsu. Maka muncullah bid’ah di mana-mana.
1.2 Pengabaian Bahasa Arab
Kekaburan fikrah ini makin dipercepat tatkala bahasa Arab tidak lagi dipelihara. Hingga berakhirnya masa khilafah Abbasiyah, islamisasi selalu dilakukan bersama-sama dengan “arabisasi”. Dengan itulah, maka orang-orang yang berpotensi dari seluruh dunia Islam, meskipun berasal dari etnis bukan Arab, bisa memberikan kontribusinya yang besar pada Islam. Bahasa Arab klasik sebagai bahasa Qur’an, yang memang paling kaya di antara bahasa-bahasa di dunia, menjadi bahasa internasional, bahasa silaturahmi ummat Islam, dan bahasa ilmu pengetahuan Islam. Tak ada suatu kata yang tidak bisa diungkapkan dalam bahasa Arab.
Adalah keputusan yang fatal dari suatu masa khilafah Utsmaniyah, ketika mereka memutuskan untuk meninggalkan tradisi tersebut, dengan alasan, agar Islam lebih mudah “diserap” tanpa barier bahasa Arab. Namun akibatnya, di negeri-negeri yang belum berbahasa Arab, bahasa Arab menjadi “hak istimewa” selapis kecil kaum terpelajar saja, sedangkan bagi ummat, khasanah ilmu yang luar biasa, yang selama itu hanya ada dalam bahasa Arab, menjadi tertutup.
1.3 Surutnya Ijtihad
Akibatnya, ketika faktor bahasa Arab menjadi barier, maka ijtihad tidak lagi dikerjakan dengan cukup. Padahal ummat Islam hanya bisa terus menerus menghadapi zaman, bila mereka terus menerus berijtihad. Sedangkan ijtihad hanya bisa dikerjakan dalam bahasa Arab klasik. Ketika sebagian orang nekad berijtihad tanpa bekal yang memadai, timbullah berbagai “fatwa nyleneh”, sehingga beberapa penguasa pada zaman itu merasa perlu untuk “menutup pintu ijtihad”. Suatu keputusan berniat baik namun gegabah dan justru memperburuk suasana.
Karena ijtihad tidak lagi dikerjakan, maka persoalan baru tampak menjadi muskil dipecahkan dengan Islam. Maka ummat Islam pun mulai mengambil solusi dari luar Islam. Mulai abad 17 (abad 11 H) sejalan dengan invasi Barat ke negeri-negeri muslim, ummat Islam mengambil sistem ekonomi kapitalis dan sistem hukum & politik sekuler, meskipun mereka masih “menguji” agar “tidak bertentangan dengan Islam”. Namun kekaburan ini sudah terlanjur menjadi, dan ummat Islam tidak lagi kritis, bahwa sistem asing yang diimpornya itu didasarkan pada mitos. Bahkan lambat laun mereka cukup fanatik pada sistem asing itu, karena telah ada seseorang yang juga sudah dimitoskan yang melegitimasinya.
2 Kekaburan Thariqah Islamiyah
Islam bukanlah ajaran yang memberikan sekedar ide, melainkan juga menunjukkan metode untuk mewujudkan ide tersebut, yang dikenal dengan term “thariqah”. Bila kita selidiki, semua perintah-perintah ilahi selalu termasuk fikrah (=ide) atau thariqah (=metode), dan tak ada perintah fikrah tanpa thariqah, atau thariqah tanpa fikrah.
Sebagai contoh, “Berimanlah” adalah perintah fikrah. Perintah thariqah yang berkaitan dengan ini adalah hal-hal yang menyangkut mengamati alam serta melakukan pemikiran rasional yang menjadi landasan iman, dan perlindungan iman termasuk jihad serta hukuman mati bagi orang-orang yang murtad.
Contoh lain, “Jiwamu, Hartamu dan Kehormatanmu adalah suci” adalah perintah fikrah. Perintah thariqah yang berkaitan adalah perlindungan atas kesucian itu, seperti fasilitas kesehatan, polisi, pengawas pasar, peradilan keluarga, dan juga termasuk hukuman bagi pelanggaran atas tindak pidana yang terkait.
Kekaburan atas thariqah Islamiyah bisa dibagi dalam tiga tahap:
2.1 Kendurnya Jihad
Pada awalnya ummat Islam sadar bahwa hidup mereka dipersembahkan untuk Islam serta untuk memanggul dakwah Islam, dan ini berarti termasuk jihad al-qital (perang fisabilillah), agar tak ada lagi fitnah di muka bumi sehingga agama itu hanya untuk Allah belaka (QS 2:193).
Dan karena jihad memerlukan persiapan yang matang, maka otomatis kaum muslimin menyiapkan tubuh yang sehat dan kuat, keluarga yang intakt, negara yang adil, ekonomi yang mapan, IPTEK yang maju dan ibadah yang khusyu’. Jihad sebagai alat dakwah sekaligus menjaga kaum muslimin agar selalu menjadi ummat terbaik di muka bumi (khairu ummat) agar ummat lain yakin, bahwa ajakan kepada Islam memang akan membawa mereka menjadi maju, adil, makmur dan diridhoi Allah. Bila mereka perlu contoh, maka silakan melihat sendiri fakta di Daarul Islam. Saat itu, adakah negara yang lebih baik dari Daarul Islam? Inilah dakwah yang sangat meyakinkan.
Namun lambat laun, bersamaan dengan kekaburan fikrah, maka orientasi ummat Islam mulai bergeser. Di satu sisi, sebagian ummat lebih cenderung untuk “meresapi kehidupan religi” yang disalahtafsirkan sebagai “Jihad Qubra”, sebagaimana tampak dalam ribuan sekte-sekte “sufi” yang menjauhi jihad serta amar ma’ruf nahi munkar. Di sisi lain, sebagian ummat lebih cenderung “menikmati rejeki Allah” dengan hidup lux, walaupun dari rejeki yang halal. Yang jelas, jihad mulai redup. Dan dakwah mulai dikerjakan “sambil lalu”. Ini yang menjelaskan, mengapa dakwah ke Asia Tenggara praktis tanpa jihad, walau tetap pantas dikagumi, bahwa “dakwah sambil lalu” dari para pedagang itu toh masih memiliki kemampuan yang tinggi untuk mendesak suatu ajaran lama. Namun fikrah yang masuk sudah tidak sejernih dakwah pada generasi awal Islam.
2.2 Lenyapnya Daulah Khilafah
Ketika qualitas ummat semakin redup, maka semakin turun pulalah kontrol atas kekuasaan sesuai pepatah Arab (“Pemimpinmu itu sebagaimana kamu”). Daulah khilafah, meski saat itu masih ada dan diakui ummat Islam di seluruh dunia, namun kekuasannya mulai terbatas sekedar sebagai simbol persatuan spiritual, sedangkan di mana-mana mulai tampil raja-raja monarki, yang meskipun masih memerintah dengan Islam, namun tak lagi sepenuhnya menyemangatkan “Jama’atul Islamiyah” (=negara dunia Islam) melainkan “Jama’atul Qaumiyah” (=negara kebangsaan). Akibatnya, potensi ummat Islam mulai tidak menyatu menjadi sinergi yang luar biasa. “Take care” ummat Islam di suatu wilayah atas penderitaan ummat Islam di wilayah lain tinggal sebatas pada doa dan sedekah yang tidak seberapa, karena khilafah tidak lagi kuat untuk menjalankan fungsi baik komando maupun koordinasinya. Di samping itu, bahasa Arab sebagai bahasa pemersatu mulai kurang dipahami oleh ummat Islam sendiri, karena kurang dipelihara.
2.3 Lepasnya Bumi Islam
Ketika khilafah mulai lemah, sementara fikrah sudah sangat kabur, maka relatif mudah bagi bangsa Barat untuk invasi dengan menggunakan politik devide et impera. Antar raja-raja muslim karena semangat qaumiyahnya mulai gampang dihasut dan diadu domba. Maka Barat menjanjikan bantuan pada salah satu pihak, dengan imbalan wilayah. Para penguasa muslim tidak lagi sadar, bahwa adalah haram hukumnya meminta perlindungan pada orang-orang kafir, dan perselisihan antar kaum muslimin harus dicarikan penengah yakni dari khalifah. Namun apa daya ketika khilafah sendiri mulai lemah?
Maka satu demi satu bumi Islam mulai lepas ke tangan penjajah. Dan mulailah, sedikit demi sedikit penjajah memasukkan sistem kufur dalam kehidupan, dan menggeser sistem Islam. Proses ini makin dipercepat ketika kalangan elit muslim juga terpengaruh fikrahnya, apalagi melihat Barat secara material/fisik berada di atas angin.
Ketika di abad-20 bumi Islam diberi kemerdekaan kembali – karena desakan politik (pseudo) anti imperialisme dari Uni Soviet maupun Amerika Serikat, sehingga kolonialisme gaya lama menjadi tidak “in” lagi, sistem yang berlaku pada mereka, serta fikrah yang lazim pada mereka, sudah sangat terkontaminasi dengan produk-produk mitos Barat. Sementara khilafah, sebagai simbol persatuan ummat Islam, pun sejak 1924 secara formal sudah tidak ada lagi.
3 Kekaburan Relasi Fikrah-Thariqah
Bila di kesempatan yang lalu kita sama-sama melihat secara terpisah bahwa bidang fikrah maupun thariqah sama-sama terserang “penyakit”, maka lepasnya kaitan antara fikrah dan thariqah lebih mempercepat lagi proses tersebut, atau setidaknya, menyulitkan proses penyembuhannya. Ibarat seorang pasien penyakit jiwa yang juga mengalami penyakit jasmani, maka mestinya penanganannya dilakukan secara holistis (“menyeluruh”), dan tidak sepotong-sepotong, karena kestabilan jiwa juga tergantung pada kesehatan jasmani, dan demikian pula sebaliknya.
3.1 Disintegrasi Studi Islam
Pada awalnya, kaum muslimin mempelajari Islam secara menyeluruh. Prioritas mempelajari ilmu tidak tergantung dari subyeknya, namun semata dari hukm syar’i amal/prakteknya (fardh-mustahab-mubah). Suatu amalan yang fardh, maka semua ilmu yang terkait pun fardh. Maka ketika jihad fardh, iptek pendukung jihad pun fardh. Demikianlah, ketika studi Islam dikerjakan dengan benar, tak ada dikotomi antara so called “ilmu agama” dengan “ilmu dunia”, tidak ada pemisahan antara hukum waris dengan aljabar, atau ilmu sholat dengan astronomi, dll.
Namun lambat laun, sejalan dengan merebaknya mitos dan melemahnya ijtihad, kaum muslimin lebih berkonsentrasi pada ilmu-ilmu “ide” namun mengabaikan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan metode pelaksanaan ide-ide tersebut. Maka mereka memusatkan diri pada peraturan ibadat ritual (sholat/puasa) atau tentang nikah dan cerai; namun mengabaikan misalnya peraturan tentang jihad, khilafat, lembaga peradilan dan sistem ekonomi Islam. Belakangan, sistem peradilan bahkan dipisah menjadi peradilan sistem (al-qadhi an-Nizhami) yang menjalankan hukum positif (non Islam) yang berkaitan dengan pidana, ekonomi, tata negara dsb; dan peradilan agama (al-qadhi as-Syar’i) yang cuma mengurusi keluarga (nikah, cerai, waris). Hukum Islam tidak lagi dijadikan pegangan untuk semua jenis peradilan.
Mereka mempelajari Islam berlawanan dengan metode yang diperlukannya. Sebelumnya, fiqh selalu dipelajari secara praktis, yang sesuai masalahnya akan dijalankan oleh individu, keluarga atau negara sebagai organ exekutif. Pada awalnya, fiqh berkembang di tangan para mujtahid yang diikuti oleh qadhi (=hakim), sehingga masalah yang dibahasnya selalu relevan dengan realita. Maka ketika syari’ah tidak lagi dijadikan pegangan dalam menetapkan hukum positif, mulailah ia jauh dari realita. Fiqh Islam didegradasi menjadi aspek teoretis-moral saja. Ia tidak lagi menjadi alat untuk memberikan solusi bagi permasalahan sehari-hari ummat, dan para ahlinya diturunkan jabatannya menjadi sekedar penceramah atau missionaris yang membosankan masyarakat dengan khutbahnya yang selalu diulang-ulang, tanpa bisa melahirkan suatu energi yang produktif. Ujung-ujungnya, studi Islam dianggap “melangit” dan tidak “membumi”.
Akibatnya, pemuda-pemuda yang cerdas dari ummat Islam pada umumnya akan lebih condong pada studi yang lebih praktis seperti teknologi, kedokteran, ataupun “ilmu-ilmu sistem” yang dipakai, seperti ekonomi atau hukum positif, meskipun tidak berasal dari Islam. Dan sebaliknya, studi Islam tinggal ditekuni oleh mereka yang secara umum “second class”, walaupun tetap ada satu dua orang yang gemilang, sebagai perkecualian. Sementara itu, secara keseluruhan, ummat menganggap studi Islam sebagai fardhu kifayah, dan gugurlah kewajiban mereka bila telah ada orang yang mengerjakannya. Padahal mestinya, setiap muslim yang dewasa dan berakal sehat, fardhu ain untuk mengetahui segenap peraturan Islam yang diperlukan dalam hidupnya sehari-hari, karena ia diwajibkan untuk senantiasa beriorientasi pada perintah dan larangan Allah. Hanya ijtihad untuk menurunkan hukm syar’i dari Qur’an dan Sunnah yang fardhu kifayah.
Akibatnya, sprial kemunduran studi Islam makin menjadi-jadi. Mereka yang akhirnya secara formal dianggap “pakar” dalam studi Islam, sering tidak lagi kompeten untuk mengajukan Islam sebagai solusi permasalahan aktual. Bahkan tidak jarang, orang yang hanya mengenal Islam sepotong-sepotong, dengan mudah dijadikan masyarakat sebagai “tokoh Islam”, yang didengar ucapannya, dan diikuti pendapatnya.
3.2 Evolusi Islam
Akibat “the wrong man on the wrong place” ini, yang sering ada bukannya “Islam meluruskan masyarakat” namun “Islam disesuaikan dengan masyarakat”. Karena ummat tidak mengetahui lagi metode menjalankan ide-ide asli Islam, maka Islam dicoba ditafsirkan kembali agar konform dengan “semangat zaman”. Yang dimasuki tidak cuma aspek-aspek hukum parsial, namun bahkan ushul fiqh yang fundamental. Maka timbullah prinsip-prinsip nyeleneh seperti “Fiqh itu mengikuti tempat dan waktu”, atau “Tradisi itu boleh menjadi sumber hukum”, atau “Hukum boleh dihapus demi kemaslahatan”, dsb. Bahkan tidak jarang, mimpi ataupun contoh kehidupan / pengalaman pribadi seorang tokoh muslim kontemporer dijadikan hujjah.
Mereka mulai menghalalkan bunga dengan alasan itu perlu untuk uang yang mengalami inflasi atau untuk mengisi kas anak yatim (=ada maslahat). Pelacuran, judi atau konsumsi khamr mulai tidak dijauhi habis-habisan namun justru ditolerir secara terbatas dengan istilah “lokalisasi”. Kerjasama dengan negara perampok (Israel) dikatakan halal dengan alasan tidak ada mimpi yang melarangnya. Dan muslimah difatwakan tidak usah berjilbab karena istri sang tokoh juga tidak berjilbab.
Dan karena “semangat zaman”, maka semua hukum Islam yang lain pun disesuaikan agar cocok dengan ideologi modern, entah itu kapitalisme, marxisme, sekulerisme/demokrasi, dsb. Bahkan mereka menganggap “ada demokrasi dalam Islam” atau “ada kapitalisme dalam Islam”. Mereka tidak lagi mampu melihat mitos-mitos yang ada di balik isme-isme modern itu, sehingga menganggap asas musyawarah sebagai demokrasi, pasar bebas sebagai kapitalisme, dan toleransi mazhab sebagai sekularisme.
Bahkan mereka anggap, syi’ar Islam bisa “ditinggikan” atau “disempurnakan” dengan slogan-slogan nasionalisme, demokrasi, hak asasi manusia, dsb. Mereka berpikir, dengan itu, Islam bisa ditampilkan dengan wajah yang lebih “ramah”. Namun pada hakekatnya, Islam justru semakin jauh dari kehidupan. Andaipun nama Islam tampil, ia tak lebih sekedar sebagai “agama yang diakui negara”, “agama negara” atau sekedar kenyataan bahwa “kekuasaan ada di tangan mereka yang mengaku muslim”. Dan ummat umumnya tanpa sadar sudah puas, bahwa kini mereka tidak lagi diperhamba oleh penjajah kafir, namun oleh “penjajah muslim”. Maka mereka menghentikan usaha untuk hanya diperhamba oleh Allah atau oleh hukum-hukum Allah saja.
3.3 Terpojok di Sudut Defensif
Ketika fikrah Islam sudah sangat redup, mitos sudah merajalela, orang menjadi mukmin tidak karena berpikir tetapi karena ikut-ikutan lingkungan, khilafah sebagai methode menerapkan Islam di masyarakat tidak exist lagi, bahkan masyarakat semakin asing dari ajaran Islam yang murni karena studi Islam ditangani oleh orang-orang yang bukan ahlinya, yang tidak meluruskan masyarakat namun justru merubah Islam, di saat yang sama datang serangan yang telak dari orang-orang kafir: MENYUDUTKAN ISLAM.
Musuh-musuh Islam sadar, bahwa tidak mungkin menghancurkan Islam dan ummat Islam dengan kekuatan senjata. Karena itu, mereka berupaya terus menerus tanpa henti, untuk minimal membuat Islam dan ummat Islam tidak lagi berbahaya bagi kepentingan mereka. Andaikata ummat Islam masih tegar seperti pohon yang sehat dan berakar dalam, maka niscaya badai topan sebesar apapun akan dengan tatag dihadapinya. Namun kini, ketika akar sang pohon sudah lapuk, maka terpaan angin sepoi-sepoi saja bisa membuatnya rubuh.
Maka ummat Islam dewasa ini umumnya kelimpungan, ketika dikonfrontasikan dengan berbagai ajaran Islam yang ada dalam Qur’an atau Sunnah sendiri. Mereka tidak bisa menerangkan, mengapa Islam memerintahkan memotong tangan pencuri, atau membagi warisan bagi lelaki 2x wanita, atau bahwa seorang lelaki boleh menikahi sampai 4 istri, atau bahwa dalam Islam ada perintah jihad, dsb. Ketika orang-orang kafir mengkritik hal itu sebagai barbarik, bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, atau Islam itu fanatik dan agresif, ummat Islam umumnya hanya bisa dengan terbata-bata membela diri. Mereka mencoba menafsirkan kembali Islam, sekedar musuh-musuhnya puas, dan kritikan mereda.
Mereka katakan, perintah memotong tangan pencuri itu hanya metaforis. Mereka katakan juga, bahwa sekarang ini warisan harus dibagi sama, karena wanita muslim sekarang sudah sama derajatnya. Tentang polygami, mereka katakan, sebenarnya di Qur’an diharamkan, karena manusia tidak mungkin berlaku adil. Dan tentang jihad, mereka katakan jihad itu hanya dilakukan bila ummat Islam diserang (defensif).
Amboi, betapa jauhnya tafsiran-tafsiran “modern” ini dengan ajaran Islam yang murni. Karena dalam Sunnah-nya, Rasulullah telah menunjukkan sendiri bahwa ia memotong tangan pencuri, bahwa ia menikahi banyak istri, dan bahwa jihad yang dilakukan ummat Islam melawan Persia atau Romawi, sama sekali bukan jihad ketika ummat Islam diserang. Dan ajaran Islam merupakan risalah terakhir yang diturunkan Allah di muka bumi, sehingga tetap berlaku hingga hari kiamat. Maka betapa anehnya tafsiran-tafsiran baru, yang mungkin dilakukan dengan “niat baik”, namun hasilnya malah justru memporak-porandakan ajaran Islam yang murni. Kesalahan tafsir yang fatal ini terjadi, karena ummat Islam memisahkan antara fikrah dan thariqah, karena semua hukum yang dihujjat tadi, memang tak bisa jalan sendiri-sendiri, melainkan hanya berfungsi dalam rangkaian metode yang tepat, dalam suatu negara yang islami, dalam suatu daulah khilafah.
Spiral kemunduran berputar semakin cepat. Orang-orang yang ditokohkan berlomba mencari pembenaran atas perilakunya, sehingga banyak rakyat jelata yang karena kebingungan akhirnya memutuskan untuk beramai-ramai melepaskan kepercayaannya pada para ulama – termasuk ulama yang shaleh. Bahkan mereka yang semula gembira dengan type ulama ini, karena merasa bisa “ngerti bahasanya”, lambat laun akan dihadapkan dengan sejumlah besar kontradiksi. Dan akhirnya sama saja: makin jauh dengan ulama.
Ummat yang masih tersisa ghirahnya pada Islam mencoba langsung mempelajari Islam dari sumbernya: Qur’an dan Sunnah. Namun mereka lupa, bahwa untuk itu diperlukan seperangkat bekal, baik ilmu bahasa Quran (bahasa Arab klasik) maupun ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Karena mereka maju tanpa bekal ini, mereka akan terbentur ke sana ke mari. Akhirnya kalau tidak terjerumus ke extremitas yang satu (menganggap yang hukum Islam itu cuma fardh semua dan yang lain haram semua), akan terpuruk ke extremitas lainnya (menolak memakai hadits, karena terlalu was-was dengan hadits yang “tidak jelas”, dan ujung-ujungnya meragukan Qur’an, karena tanpa penjelasan dari hadits, Qur’an mustahil dipahami dengan benar).
Maka tak heran, ummat Islam sekarang hanya sensitif bila sisa-sisa rasa agamanya diganggu. Mereka menjadi bersikap menunggu (re-aktif) dan tidak berani memulai (pro-aktif). Mereka justru menghindari untuk dikenal sebagai muslim, karena ini berarti harus menghadapi berbagai pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya. Dan di masyarakat di mana muslim mayoritas, mereka hanya sensitif bila ada kristenisasi, namun “cuek” bila hukum-hukum kafir diberlakukan di atasnya. Bahkan mereka marah, bila ada orang yang berbeda madzhab sholat agak lain dengan mereka (misalnya tidak baca qunut), namun tenang-tenang saja, ketika harus bermuamalah dengan riba, atau harus mendidik anak dengan pola pendidikan dan kurikulum sekuler.
Ummat Islam jadi tersudut di pojok defensif. Jarang dari mereka yang berani mengambil inisiatif untuk menelanjangi berbagai ideologi kafir yang didasarkan pada mitos, entah mitos demokrasi (dalam politik), mitos pertumbuhan (dalam ekonomi), maupun mitos HAM (dalam sosial). Tidak ada lagi dakwah offensif sebagaimana yang dilakukan Rasulullah dan para pengikutnya terdahulu.
Hasilnya memang tepat seperti yang diinginkan musuh-musuh Islam.
Islam kini tinggal ahlaq – tanpa jihad,
Islam kini tinggal ibadah (ritual) – tanpa syari’ah,
Islam kini boleh menyinari rumah, tapi bukan pasar, pabrik atau bank,
Islam kini boleh menguasai masjid, tapi tidak menguasai kantor,
Islam kini boleh bicara tentang akherat, tapi tidak tentang negara,
Islam yang boleh disanjung adalah Islamnya para pertapa shufi, dan bukan Islamnya umara’ yang zuhud, ulama faqih yang zuhud, aghniya’ yang zuhud atau mujahidin yang zuhud.
Islam yang tidak mampu menolong ummatnya sendiri, baik di Bosnia, Palestina, Chechnya atau Sudan, apalagi menolong dunia dari disorientasi kehidupan, dari AIDS, dari kerusakan lingkungan, dari kesewenang-wenangan para kapitalis di era globalisasi.
dan Qur’an boleh didendangkan di MTQ, dan bukan di Pengadilan,
dan Qur’an boleh dibacakan pada orang mati, bukan pada orang hidup,
dan Qur’an boleh diajarkan di pesantren, dan bukan di universitas,
dan Qur’an boleh untuk menghitung pembagian zakat, namun bukan untuk membagi kekayaan alam dengan adil,
dsb.
Inilah, Islam semakin jauh dari kehidupan, dan Ummat Islam semakin mundur, meskipun kadang mereka merasa “ada kebangkitan”, ketika melihat masjid penuh, MTQ semarak, dan para pejabat berlomba naik haji. Namun mereka bingung, ketika ketidakadilan tetap saja langgeng, dan korupsi, kolusi serta manipulasi malah justru makin menjadi.
Ibarat orang yang sudah sakit parah, Ummat Islam tidak disembuhkan, tidak dioperasi atau dikasih antibiotik, namun hanya dikasih valium. “Valium Islam”.
Dan inilah realita yang sangat pahit. Adakah obatnya? Pasti, untuk setiap penyakit, Allah telah menyiapkan obatnya. Masalahnya hanya apakah kita cukup tekun berikhtiar serta belajar dari ayat-ayat baik kauni maupun qur’ani, sehingga penyelidikan kita akhirnya sampai ke sana.
Sejak kecil saya hidup di lingkungan keluarga yang relatif taat beragama Islam. Namun rumah kami dikelilingi tetangga non muslim. Persis di sebelah kiri rumah kami seorang Tionghoa Kristen pedagang telor. Sebelah kirinya lagi salon, lalu pabrik kue, semua milik Tionghoa kristen juga. Di depan rumah kami (di seberang jalan) juga dua rumah Tionghoa Kristen, salah satunya punya halaman yang sangat luas. Sedang persis di sebelah kanan rumah kami sebenarnya orang Jawa muslim, tetapi separuh rumahnya, justru yang utama, disewakan pada suami istri dokter yang juga Tionghoa kristen. Jadinya, tiap hari Natal, dan juga tiap tahun baru Imlek, banyak aneka makanan mengalir ke rumah kami. Biasanya sih berupa kue atau agar-agar atau buah-buahan. Tetangga-tetangga kami yang Tionghoa kristen itu baik-baik. Mereka tidak pernah mengirim makanan yang patut diduga ada unsur keharamannya. Dan mereka juga tidak pernah mempersoalkan, bahwa keluarga kami tidak pernah mengucapkan selamat Natal pada mereka, apalagi ikut merayakan Natal bersama mereka. Yang jelas, setiap mereka merayakan Natal, wajah kami tidak pernah berubah jadi cemberut. Lha kan memang hak mereka. Dan soal makanan itu, mungkin mereka hanya membalas kebiasaan kami mengirim ketupat dan opor setiap lebaran Iedul Fitri, atau gule kambing setiap lebaran Haji. Ini berjalan puluhan tahun, bahkan sebelum ada fatwa MUI tahun 1981. Ibu saya biasa ngobrol-ngobrol dengan tetangga-tetangga yang beda etnis maupun agama ini. Kehidupan di lingkungan kami harmonis.
Tetapi memang saya merasakan, sejak tahun 1980-an, pemerintah Orde Baru agak mulai “lebih memaksa” umat Islam untuk agak “menurunkan tensi radikalnya”. Indikatornya adalah bersedia mengucapkan selamat Natal atau bahkan ikut merayakan Natal. Saya ingat, tahun 1980 ada kerusuhan anti Cina, termasuk di kota saya, Magelang. Keluarga kami termasuk yang berusaha meredakan tensi, agar kelompok-kelompok massa yang dengan anarkis melempari batu ke rumah-rumah warga Tionghoa itu tidak sampai masuk lingkungan kami. Mungkin peristiwa itu – yang juga terjadi di beberapa kota di Indonesia – menjadi alasan agar umat muslim di Indonesia “lebih toleran”. Apalagi setelah kemudian pemerintah membuat P4.
Tetapi saya tidak tahu, apakah tahun 1980 itu juga kali pertama di sekolah saya, sebuah SMP Negeri papan atas di Magelang, menyelenggarakan perayaan Natal bersama. Saya yang waktu itu termasuk pengurus kelas (dan juga pengurus OSIS), dipaksa ikut koor / paduan suara untuk menyanyikan lagu Natal ! Alamak. Dari sekitar 30 anak tim koor, lebih dari separuhnya muslim. Tetapi dalam latihan saya banyak “mbalelo”-nya, yang lain berdiri saya duduk saja, yang lalu mulutnya terbuka, saya terlihat diam saja. Ada dua orang yang seperti itu. Sepertinya saya lalu dikeluarkan dari tim koor dengan sedikit ancaman dari guru pembina OSIS saat itu. Tapi ternyata ancaman itu tidak terbukti, karena pas rapor akhir semester, saya tetap di peringkat-2 di kelas.
Tahun 1981 keluarlah fatwa MUI yang menghebohkan itu. Buya Hamka, sang Ketua MUI legendaris yang saat itu sudah berusia 70 tahun, ditekan kanan-kiri untuk mencabut fatwanya. Tidak, bagaimana mungkin dia mencabut fatwanya hanya karena tekanan, di masa Orde Lama, meski dipenjara bertahun-tahun dengan tuduhan yang dibuat-buat saja tidak menggentarkannya, bahkan di penjara dia justru produktif berkarya. Tetapi pemerintah Orde Baru terus menekan MUI, mengucilkan para anggotanya agar tidak kebagian jatah ceramah, mungkin juga mengetatkan bantuan keuangannya yang hingga sekarang mengalir melalui Depag. Akhirnya Buya Hamka memilih mundur daripada mencabut fatwanya. Hasilnya, hingga sekarang tidak ada satupun tokoh MUI yang berani mencabut fatwa itu. Mungkin satu dua tokoh MUI secara pribadi melanggar fatwa itu dengan mengucapkan selamat Natal, tetapi mencabut fatwa itu mereka tidak berani. Bahkan seorang tokoh MUI yang pernah menghalalkan judi ala SDSB-pun, juga tidak berani mencabut fatwa Natal itu.
Ketika saya sekolah di Eropa, saya hidup dalam lingkungan yang nyaris 99% non muslim. Saya tinggal di asrama, di mana yang muslim bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Bahkan asrama saya pun milik sebuah yayasan Kristen (Evangelische Stiftung). Penghuni asrama yang hampir seluruhnya mahasiswa domestik akan pulang kampung menjelang liburan Natal, jadi asrama akan sangat sunyi. Tinggal segelintir mahasiswa asing dari negara yang jauh saja yang akan tinggal. Tetapi, beberapa hari sebelum liburan, para penghuni asrama itu akan merayakan Natal dengan pesta pora. Dan makna “pesta” di sini adalah minum-minum bier sambil menikmati musik keras-keras, sampai pagi. Bukan pesta ritual agama. Justru sebagian mereka secara bercanda mengaku agamanya adalah “bola, bier dan musik” !
Pada tahun pertama, saya sempat muncul sebentar di pesta sekedar “say hello”. Bahkan sekali saya didapuk untuk menyanyi. Saya menyanyi saja lagunya Rhoma Irama dalam bahasa Indonesia dengan diiringi gitar sebisanya. Lagunya tentu saja tidak nyambung, toh mereka juga tidak mengerti. Maka sambutannya meriah. Mereka bertanya, “Itu lagi Natal di negerimu ya?”. Saya jawab saja, “ya itu lagu yang saya nyanyikan KETIKA hari Natal”. Saya kan tidak mengatakan “itu lagu yang saya nyanyikan UNTUK MERAYAKAN Natal”. Tapi begitu mereka mulai menyetel musik keras-keras dan mulai membuka botol bier, saya merasa itu bukan acara saya, maka saya pamit kembali ke kamar. Tetapi tentu saja di kamar saya juga tidak bisa tidur. Mungkin tingkat kebisingannya cuma selapis di bawah suara mesin jet !!! Pernah di tahun berikutnya saya mencoba menyabot pesta itu dengan mematikan listrik. Tapi efeknya cuma sebentar, karena mereka tahu cara menghidupkannya lagi. Komplain saya secara resmi ke pengelola asrama cuma ditanggapi untuk melakukan polling di antara penghuni, siapa yang pro dan siapa yang kontra dengan pesta. Tentu saja prosedur demokratis di antara populasi tukang mabuk gini akan dimenangkan oleh mereka. Tapi saya surprise, bahwa di antara bule-bule ini ada juga yang tidak setuju dengan pesta mabuk seperti itu. Tahun-tahun berikutnya, setiap mereka pesta Natal seperti ini, saya mengungsi ke rumah teman, atau bahkan menginap di lab kampus!
Di antara masyarakat Indonesia di sana, perayaan Natal juga sangat semarak. Banyak warga Indonesia yang menikah dengan bule. Sebenarnya sebagian bule ini masuk Islam, bahkan yang laki-laki juga disunat, tetapi karena keluarga besarnya masih nasrani, jadi ya tetap merayakan Natal. Apalagi yang memang semua nasrani. Mereka mengadakan dua acara terpisah. Satu acara ritual (misa) yang cuma dihadiri yang nasrani, satu acara gembira dengan mengundang seluruh warga Indonesia. Tentu saja di acara gembira itu ada juga teatrikal yang berisi sejarah kelahiran Tuhan versi nasrani. Masalahnya, acara gembira ini sering diadakan di aula asrama saya !!! Kalau saya tidak turun, wah dijemput ke kamar !!! Jadi akhirnya saya turun juga, tetapi cuma di lapis terluar. Maklum, hadirin sangat banyak, jadi berjubel. Orang Indonesia memanfaatkan momen yang cukup jarang seperti ini untuk ketemuan. Yang jarang ketemu masakan Indonesia, ini adalah kesempatan. Bahkan kalau ada makanan sisa, saya sebagai penghuni asrama “tuan rumah” (yang sebenarnya tidak terlibat sama sekali), malah dibawain bekal buat “peningkatan gizi” he he … maklum mahasiswa. Tetapi tetap saja saya hanya menjabat tangan teman-teman yang nasrani itu, tanpa mengucapkan selamat Natal.
Beberapa keluarga Nasrani di Wina saat itu sebenarnya memiliki hubungan yang cukup dekat dengan saya. Minimal saya relatif sering berkunjung ke rumahnya, sekedar ngobrol, atau sedikit mengajari anak-anak mereka beberapa mata pelajaran sekolah. Jadi tentu saja, kalau pas Natal mereka mengadakan open house, saya merasa wajib menyempatkan datang. Tetapi saya juga tidak mengucapkan selamat Natal. Hanya datang, ikut ngobrol, ikut makan, foto-foto, pulang … Alhamdulillah, hubungan juga tidak terganggu.
Ketika saya menempuh S3, hubungan saya dengan para dosen dan warga lab di kampus juga menjadi lebih erat. Walhasil, ketika hari Natal tiba, ketika masing-masing saling mengucapkan selamat Natal, kita diminta untuk kreatif. Tetapi ada untungnya juga di sana hari besar Islam (Iedul Fitri/Iedul Adha) bukan hari libur, sehingga bule-bule itu juga tidak tahu, dan tidak pernah mengucapkan selamat untuk kita, sehingga kita juga tidak merasa berkewajiban membalasnya ketika Natal. Bahkan, ketika ada yang tidak tahu bahwa saya muslim, lalu mengucapkan “Frohes Weihnachten” (Selamat Natal) untuk saya, saya balas dengan bercanda, “Hei, karena saya kemarin pas Iedul Fitri saya ngacir, sekarang pas Natal saya malah sibuk di lab, tahu !!!”. Mereka tentu saja justru tertawa, sambil bernada kasihan …. Oh Du armes Kind …