Wahai Saudaraku, kader dan simpatisan HTI,
Sekalipun kalian meyakini kesalahan demokrasi,
Tetapi tetaplah santun pada mereka yang menjalani,
Karena sungguh di antara mereka ada yang hanya beda definisi,
Mereka anggap demokrasi hanya alat agar penguasa bisa dikoreksi,
Dan itu pun hanya bersifat sementara sebagai solusi,
Karena di ujung sana tetap Khilafah juga dambaan hati,
Seperti ada di kitab karangan Al-Bana hingga Qardhawi.
Karena itu tak boleh mereka dicaci-maki,
Tetapi semangatilah agar dakwahkan syari’ah mereka tetap berani,
Apalagi bila mereka menjadi wakil rakyat atau pejabat tinggi,
Agar di dewan tidak ada Undang-undang yang tidak syar’i,
Agar jadi Gubernur tak ijinkan acara Miss World meski tanpa bikini,
Agar jadi Menteri bersihkan kebijakan dari segala konspirasi,
Dan bila saatnya tiba, Islam akan mereka jadikan konstitusi.
Dukunglah, bila mereka dengan sungguh-sungguh berjanji,
Akan menegakkan Islam tanpa malu-malu atau sembunyi-sembunyi,
Seraya melindungi umat dari makar imperialis jagad yang ditakuti.
Tetapi bila mereka justru mengajak menikmati demokrasi yang sejati,
Menghalalkan yang haram, sedang yang fardhu malah dibatasi,
Kemudian pejuang syariah dan khilafah malah dimusuhi,
Penjajah kafir malah dengan manis diajak berkolaborasi,
Maka ingatkanlah mereka, lalu doakanlah di malam sunyi,
Karena Allahlah Sang Pemberi Hidayah yang azabnya tak terperi.
Dulu mereka adalah orang-orang yang menjaga diri,
saat mereka belum berkuasa atau jadi petinggi negeri.
Dulu mereka teriakkan ma’rifatullah dan syari’at rabbani,
saat mereka merasa lemah, miskin dan tanpa legitimasi.
Namun kini, zaman telah jauh berganti,
Kini adalah era keterbukaan, demokrasi dan reformasi.
Kini katanya, kita harus menikmati demokrasi,
Dengan demokrasi, dakwah makin semarak di negeri ini.
Kini katanya, kita tak perlu lagi teriak syariat Islam tanpa henti,
Bukankah sudah banyak ustadz di parlemen atau jadi menteri.
Dulu mereka anti Amerika yang bantu Israel dan jajah sana sini,
Kini mereka adakan acara mewah di hotel paling bergengsi,
Pembesar kedutaan Amerika tak lupa diundang untuk hadiri,
Dan di sana, Uncle Sam itu pun dipeluk dan cipika-cipiki.
Dulu dengan 3F (Food-Fun-Fashion) mereka sangat anti,
Karena itu jurus kapitalis menjajah seantero bumi,
Kini mereka pro bila kontes Miss World diadakan di sini,
Bahkan Hollywood pun dipersilakan ikut menari-nari.
Oh itulah makna menikmati demokrasi yang hakiki,
Dan mereka sepertinya adalah teladan sejati.
Untung saja, masih ada hamba-hamba Allah yang bernurani,
Mereka memahami bahwa dalam demokrasi yang substansi,
tidak hanya ada kebebasan dari represi rezim otokrasi,
tetapi juga hawa nafsu yang dilegalkan melawan kehendak Ilahi.
Karena itu saksikanlah, wahai para penikmat demokrasi,
Kalau kami masih bekerja dan berdakwah di negeri ini,
Itu karena bumi ini masih bagian jagadraya milik Tuhan kami,
Dan terhadap umat kami merasa bertanggungjawab dan peduli.
Andai setelah berkuasa kalian terapkan syariah sepenuh hati,
Sambil terus bersuara agar Islam kaffah jadi cita-cita negeri,
Tentu kalian akan didukung, dido’akan dan makin dicintai,
Tapi itu harapan palsu, sebab kalian adalah penikmat demokrasi.
Dr. Fahmi Amhar, Dosen Pascasarjana Univ. Paramadina
Tulisan ini di publikasikan di isnet.org (http://media.isnet.org/islam/Etc/PKSMenang.html)
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah meraup suara yang fenomenal. Meski perhitungan akhir suara belum selesai karena teknologi TI yang ternyata tidak meyakinkan, tapi sudah tampak dari angka absolutnya, peraihan suara PKS pasti berlipat dari perolehan PK pada pemilu 1999.
Namun apakah kemenangan PKS ini berarti kemenangan Islam? Atau keberhasilan dakwah Islam? Dan kira-kira apa yang terjadi setelah ini? Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu melihat struktur pemilih PKS.
Profil pemilih PKS terdiri dari lima kelompok
Yang pertama adalah pemilih klasik, yaitu binaan gerakan (harakah) tarbiyah di Indonesia, yang sejak era 1980-an marak di kampus-kampus. Mereka inilah kader inti PKS, dengan ciri-ciri khasnya yaitu: muda, terdidik dan islamis. Mereka dibina dalam halaqoh-halaqoh dengan pola yang cukup rapi, mengacu pada gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Rujukan mereka adalah buku-buku karya Hasan Al-Bana, Said Hawa, dan terutama Yusuf Al-Qardhawi.
Yang kedua adalah simpatisan harakah-harakah lain dengan karakteristik kader yang mirip, semisal Hizbut Tahrir, yang meski memiliki massa cukup besar, namun tidak secara tegas memerintahkan kader atau simpatisannya agar memilih partai tertentu. Mereka hanya menunjukkan beberapa kriteria, seperti bahwa parpol yang dipilih harus yang berasas Islam dan memperjuangkan syariat Islam. Meski PKS tidak pernah terang-terangan berkampanye untuk syariat Islam, namun di level bawah, kader-kader inti PKS terus bergerak dari masjid ke masjid atau di majelis-majelis taklim, seraya mencoba meyakinkan massa Islam pro syariat bahwa jalan yang ditempuh PKS ini akan sampai ke penerapan syariat oleh negara. Maka tak heran bila simpatisan harakah-harakah ini akhirnya berpikir bahwa PKS adalah salah satu atau bahkan satu-satunya partai yang memenuhi syarat tadi. Apalagi juga tidak pernah ada seruan dari harakah-harakah tadi untuk Golput. (more…)