Sejak teknologi memungkinkan orang-orang Islam bisa menjelajah ke segala penjuru bumi dengan mudah, ada sejumlah fiqih ibadah yang perlu dipikirkan ulang, perlu ijtihad – meski ada kaidah bahwa dalam ibadah tidak ada ijtihad. Misalnya:
1. Sahkah syahadat (bagi muallaf) tanpa disaksikan seorang muslim, tetapi hanya dibimbing oleh software atau website atau paling jauh via skype.
2. Bagaimana cara berwudhu, menentukan waktu sholat dan qiblat bagi seseorang yang berada di pesawat antar benua, atau di stasiun ruang angkasa, atau berada di pos pengeboran minyak di lingkar kutub ? Bagaimana adzan yang menggunakan pengeras suara atau radio ? Bolehkah mengikuti sholat dengan imam yang terjangkau dengan televisi ? (more…)
oleh: Fahmi Amhar
Meskipun harga BBM sudah naik, subsidinya masih sangat besar. Pemerintah beralasan, subsidi itu lebih baik dialihkan untuk membiayai pembangunan. Sebab, subsidi BBM justru lebih banyak dinikmati oleh mereka yang sudah kaya, yakni mereka yang punya kendaraan, atau bisa lebih banyak memborong sembako yang murah karena BBM disubsidi. Tapi, ada yang menduga kenaikan harga BBM belakangan ini lebih terjadi karena paksaan IMF.
Mengapa BBM perlu subsidi? Ada tiga poin di sini yang perlu kita soroti. Pertama adalah masalah teknologi. Agar BBM ini bisa ditemukan, diambil dan diolah, diperlukan sejumlah teknologi, yang faktanya saat ini semuanya dikuasai oleh industri asing. Karena itu, pihak asing memaksakan sejumlah aturan yang pasti akan menguntungkan mereka, bilamana Indonesia mau mendayagunakan potensi migasnya. Pada umumnya mereka menginginkan sistem kontrak bagi hasil, yaitu mereka memasukkan modal terlebih dulu (investasi), kemudian setelah menghasilkan (operasional), mereka ”dibayar” dengan bagi hasil BBM yang dihasilkan itu.
Hanya saja kontrak bagi hasil itu berjangka waktu yang sangat panjang, misalnya 10, 25, atau bahkan 50 tahun. Padahal barangkali, dengan hanya beberapa tahun saja, investasi mereka sudah akan kembali. Namun, kalau Indonesia menginginkan skema yang lain, misalnya mereka hanya dibayar secukupnya saja, atau kita beli saja teknologi mereka secara langsung lalu kita operasikan sendiri, maka mereka juga akan ”kong-kali-kong”. Prinsipnya mereka harus untung besar. Inilah fakta yang ada, dan ini semua berasal dari politik teknologi selama ini yang tidak efektif. (more…)
Semua konstitusi di dunia mencantumkan keadilan.
Tetapi apakah makna “keadilan” itu sendiri sesungguhnya jelas & sederhana?
Mari kita coba dengan sebuah test-case berikut:
“Kalau Anda jadi ketua DKM, terus ada bantuan dari seorang aghniya pecinta umat – misalnya uang Rp. 100 juta – untuk dibagikan ke jama’ah masjid, maka menurut Anda, yang adil membaginya itu bagaimana?”
Untuk satu pertanyaan sederhana ini, ternyata ada banyak jawaban:
1. Bagi rata saja uang itu ke jama’ah yang hadir di masjid.
Jadi kalau sewaktu sholat shubuh ada 40 orang, kasih masing-masing Rp. 2,5 juta”.
2. Bagi rata saja uang itu ke jama’ah yang khusus diundang.
Jadi pada hari yang ditentukan, orang-orang tertentu diundang untuk sholat shubuh.
Nah di situ dibagi rata …. he he …
Kalau biasanya yang sholat jama’ah cuma 40, dengan undangan itu jadi 100.
Jadi tiap orang dapat Rp 1 jt.
3. Bagi rata/tidak rata uang itu sesuai dengan perannya di masyarakat.
Di masyarakat itu kan macam-macam, ada yang pengabdiannya besar, sedang, rata-rata dsb.
Jadi yang besar (misal pak ketua DKM, pak imam, pak khatib) kasih lebih banyak, lalu berikutnya muadzin, pak marbot, dst. Baru jama’ah yang tak punya tugas khusus.
4. Bagi tidak rata, tetapi rata menurut blok-nya.
Jadi karena jama’ah masjid ini berasal dari 5 RT, maka per RT-nya kasih Rp. 20 juta.
Nanti dari setiap bloknya itu gimana mbaginya, terserah mereka.
Jadi RT-1 yang jama’ahnya paling banyak, dapatnya lebih kecil,
Sedang RT-5 yang jama’ahnya paling sedikit, jadi dapat insentif.
5. Bagi tidak rata, tetapi hasilnya memeratakan pendapatan.
Jadi dilihat, yang masih dhuafa, kasih banyak.
Yang sudah kaya, kasih sedikit saja, atau tidak sama sekali.
Padahal sama-sama jama’ah masjid.
6. Bagi tidak rata, tetapi memiliki nilai yang sama.
Jadi, yang masih perlu bayar utang, atau berobat, kasih lebih banyak.
Sedang yang lebih penting dzikir, tidak usahlah, dia kan uang tidak ada nilainya.
7. Bagi tidak rata, tetapi semua memiliki starting point yang sama.
Jadi, uang ditaruh di tengah masjid, jama’ah suruh berdiri di pinggir pada jarak yang sama.
Lalu dengan teriakan takbir, semua silakan berebut … Tentu saja kompetisi ini bisa dilakukan dengan cara yang berbeda, misalnya dari tempat duduk di shaf berapa, jumlah ayat baru yang dihafal dalam seminggu terakhir, dsb.
8. Bagi tidak rata, tetapi semua dengan peluang statistik yang sama.
Artinya, setiap jama’ah dikasih kertas undian, lalu diundi.
Hanya yang keluar nomornya di 3 penarikan pertama akan dapat uang.
9. Bagi tidak rata, tetapi semua memiliki suara yang sama.
Serahkan urusan pembagian pada satu orang.
Satu orang itu kita pilih dengan voting.
….
Inilah fakta “keadilan” di dunia nyata …
Mungkin Anda akan bisa mengidentifikasi, bahwa teknis mewujudkan keadilan (EQUITY TECHNOLOGY) ini di berbagai keadaan nyata, misalnya membagi kekayaan sumberdaya alam, membagi beban anggaran, membagi ekosistem planet bumi (oksigen, carbon), dsb.
🙂