Republika – Senin, 03 Desember 2007
Oleh :
Subagyo
Advokat Publik di Walhi Jatim, Aliansi Pembela Rakyat, serta Lembaga Hukum dan HAM Keadilan Jatim
Mulai tanggal 3 Desember 2007 Indonesia menjadi tuan rumah konferensi tingkat tinggi (KTT) internasional tentang perubahan iklim bertempat di Bali. Isu utama KTT tersebut adalah agenda penyelamatan dunia dari bahaya perubahan iklim (climate change) akibat pemanasan global (global warming). Akankah KTT tersebut menjadi ajang taubatan nasuha bagi bangsa-bangsa penyebab kekacauan iklim yang mengancam dunia? Ataukah KTT tersebut hanya menjadi ajang baru perdagangan nasib manusia berupa transaksi perdagangan karbon?
Akibat imperialisme
Prof Daniel C Maguire (2000) dan David Korten (1995) memberitahu kita bahwa dunia sedang dijajah oleh tirani korporasi. Kekacauan iklim yang sedang mengancam manusia merupakan akibat kesombongan kapitalisme global yang kali pertama dipancangkan di muka bumi dalam pertemuan di Bretton Woods tahun 1944. Saat itu, Henry Morganthau, menteri keuangan Amerika Serikat (AS) selaku presiden Konferensi Bretton Woods menggagas agenda tentang penciptaan ekonomi dunia yang dinamis, di mana rakyat setiap bangsa akan merealisasikan kemampuan untuk mencapai perdamaian, semakin menikmati hasil dan kemajuan material.
Tahun 1990-an ekonom AS, mantan ekonom Bank Dunia, Lawrence Summers, mengatakan bahwa ide untuk membatasi pertumbuhan ekonomi dengan dalih keterbatasan alam adalah sebuah kesalahan besar. Namun, menurut Maguire, setiap gerak ekonomi di muka bumi ini, setiap hari membakar energi yang untuk menciptakannya bumi membutuhkan waktu 10 ribu hari.
Gagasan ekonomi kapitalisme yang dirancang di Bretton Woods memberikan kejutan bagi dunia dengan kenyataan bahwa menurut UNDP terdapat 20 persen penduduk dunia menguasai 82,7 persen seluruh pendapatan dunia. Artinya, 80 persen penduduk dunia hanya membagi 17,3 pendapatan dunia. Apa arti semua itu?
Pertama, benar kata David Korten, ekonom AS itu, bahwa bangsa-bangsa di muka bumi dijajah oleh keperkasaan korporasi. Ilmu ekonomi kita menjijikkan, kata Maguire, dengan sinis melihat kenyataan bahwa kapitalisme menganggap sebagai ’pihak luar’ terhadap apa yang dipandang tidak ekonomis, termasuk soal lingkungan hidup. Dia mengatakan bahwa jiwa korporasi tidak dikendalikan oleh hati nurani, tapi hanya mempunyai dua nafsu: keuntungan dan pertumbuhan. Apa yang telah dilakukan globalisasi adalah menghasilkan ’bunyi penghisap yang keras’. Begitu kata Maguire meminjam Ross Perot.
Kedua, peta ketidakadilan ekonomi dunia akibat imperialisme korporasi sekaligus menampakkan watak dan gaya hidup konsumerisme kaum kaya dunia. Lahan yang dapat ditumbuhi tanaman di muka bumi, 43 persennya mengalami degradasi sebab setiap hari bumi kehilangan 71 juta ton humus. Barat, termasuk AS, merupakan bangsa makmur yang menjadi contoh buruk.
Hampir 80 persen hutan Eropa telah rusak oleh hujan asam akibat industri. Sebanyak 20 persen penduduk terkaya di dunia dengan gaya konsumeris mereka bertanggung jawab terhadap lebih dari 60 persen hingga 80 persen emisi saat ini. Rata-rata emisi setiap satu orang AS sebanding dengan emisi 9 orang Cina, 18 orang India, atau 4 sampai 5 kali dari emisi rata-rata dunia. Setiap orang AS menggunakan energi 8 kali lebih tinggi dari bahan bakar fosil yang digunakan rata-rata penduduk di negara berkembang.
Penduduk AS hanya sekitar 4 persen dari penduduk dunia tetapi menyumbang emisi lebih besar dibandingkan 136 negara berkembang yang tergabung sebagai penyumbang 24 persen dari total emisi. Orang AS menggunakan pendapatan mereka per kapita 8 kali lebih besar dan melepaskan proporsi karbondioksida (CO2) lebih tinggi dibandingkan orang di negara lain (The Community Solution, 2006; Walhi, 2007). Artinya, bangsa-bangsa miskin di dunia yang terjajah secara ekonomi sedang dan akan terus menjadi korban gaya hidup bangsa-bangsa kaya.
Keadilan ekologis
Jika dalam KTT tentang perubahan iklim di Bali nanti hanya mewacanakan ’permintaan kepada negara-negara kaya’ agar membayar Indonesia dan negara berkembang yang menjadi paru-paru dunia, maka itu hanya gagasan ’dagang karbon’. Belum tentu uang sumbangan pengisapan emisi itu tak akan menjadi bahan korupsi. Gagasan tersebut hanya akan menjadikan Indonesia sebagai negara, tetap terjajah.
Pemanasan global dan perubahan iklim dengan akibat mencairnya gunung-gunung es di kutub bumi justru membahayakan negara kepulauan seperti Indonesia. Negara maju dalam Konferensi Kyoto telah ’menghina’ negara kepulauan dengan pernyataan, ”Merelokasi penduduk kepulauan kecil lebih murah daripada membayar biaya pengurangan emisi.” (Godrej, 2001; Walhi 2007). Pada Maret 2001 AS mengundurkan diri dari negosiasi Protokol Kyoto, lantas beberapa bulan kemudian Australia juga mundur. Kesombongan mereka tetap kukuh hingga sekarang. Mereka enggan bertanggung jawab.
Indonesia harus berani memosisikan setara dengan negara maju yang telah mengoyak-ngoyak keamanan bumi dari ancaman bencana. Kita mempunyai kewajiban amar ma’ruf nahi munkar dalam rangka menegakkan keadilan ekologis di muka bumi, serta wajib berupaya menghentikan kemunkaran bangsa-bangsa kaya tersebut. Tuntutan kita adalah pembatasan penggunaan energi fosil negara-negara maju yang memacu produksi emisi, sebagaimana dunia dapat membatasi diri dari persenjataan nuklir. Indonesia harus menggalang suara negara-negara di dunia untuk menyelamatkan bumi. Konvensi tentang penyelamatan dunia dengan cara mewajibkan negara-negara di dunia untuk mengendalikan industrialisasi agar ramah lingkungan hidup merupakan hal yang harus diperjuangkan.
Kekayaan penduduk kaya bangsa maju harus dialokasikan sebagian untuk mempercepat upaya-upaya penemuan energi alternatif yang tidak merusak bumi. Dari dalam negeri, bangsa Indonesia sendiri juga harus menyadari bahwa Indonesia dipercaya Tuhan dengan hutannya yang menjadi paru-paru dunia, sehingga hukum dan politik yang dijalankan tidak berakibat pada perusakan hutan. Hutan jangan sampai rusak, baik secara legal atau ilegal, sebab tujuan yang terpenting adalah menyelamatkan umat manusia dari bahaya.
Pembangunan ekonomi hendaknya tidak dijalankan secara kasar tanpa memerhatikan keselamatan lingkungan hidup. Indonesia juga harus aktif mengembangkan upaya penemuan energi alternatif, sekaligus untuk menghemat energi fosil agar bumi kita tidak terus-terusan dikuras tanpa henti yang kadang-kadang menimbulkan ’kemarahannya’ seperti dalam kasus lumpur Lapindo.
Hari ini kita menggugat bangsa-bangsa maju agar keadilan ekologis global ditegakkan. Di zaman imperarialisme negara dahulu, kita telah diperas mereka dan di zaman imperialisme korporasi sekarang ini kita harus menanggung resiko perbuatan mereka. Kita harus berbuat sesuatu dan tak boleh hanya tinggal diam.
Ikhtisar
– KTT tentang perubahan iklim di Bali merupakan kesempatan sangat baik bagi Indonesia untuk melawan ‘kejahatan’ negara-negara’ maju.
– Pemanasan global lebih banyak dipicu oleh konsumsi bahan bakar fosil dalam jumlah besar di negara maju.
– Doktrin ekonomi kapitalisme telah berperan besar menghasilkan ketimpangan ini.
– Indonesia, sebagai tuan rumah sekaligus salah satu pemilik hutan tropis harus lantang menyuarakan pentingnya keadilan ekologi dunia.
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Terbaik Pemilihan Peneliti Muda Indonesia 2001 Bidang Teknologi Rekayasa
Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina dan Institut Pertanian Bogor
famhar@telkom.net
Abstrak
Tulisan ini terdiri dari empat bagian, bagian pertama membawa kepada filosofi penelitian, Manfaat serta Peranannya dalam Permasalahan Dunia Kerja; bagian kedua tentang filosofi kebenaran; kemudian bagian ketiga tentang kreativitas sebagai tindak lanjut konkrit setelah pengenalan kebenaran bagi perkembangan peradaban manusia. Tulisan ini diakhiri dengan bagian keempat berupa paradigma Islam dalam penelitian dan pengembangan sains dan teknologi.
Setiap tahun, ratusan ribu calon sarjana di Indonesia membuat penelitian, setidaknya sekali seumur hidup mereka, entah itu yang dinamai skripsi, tugas akhir, proyek akhir dan sebagainya. Teorinya, suatu bangsa yang memiliki banyak sumberdaya manusia melek penelitian, akan jadi bangsa yang tangguh. Mereka adalah bangsa yang mencintai kebenaran dan juga mampu menghasilkan karya-karya ilmiah dan teknologi. Di abad 21 ini jelas, keunggulan suatu bangsa makin ditentukan oleh penguasaannya atas iptek, tidak lagi pada kekayaan alamnya, atau besar jumlah penduduknya.
Tanpa stimulasi ini, sulit dibayangkan bahwa para pemuda di Indonesia, terutama yang mengenyam pendidikan tinggi, akan tertarik untuk mengalami suatu proses penelitian. Dunia kita saat ini digeber justru untuk lebih tertarik pada sesuatu yang tidak rasional, baik itu mistik ataupun kehidupan glamour ala artis. Hampir tidak ada bupati atau konglomerat yang berlomba memberi hadiah bagi pemenang Lomba Karya Ilmiah Remaja atau Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia. Namun hampir semua jor-joran mengguyur juara AFI yang notabene pasti sudah ditawari menjadi bintang iklan dengan nilai ratusan juta Rupiah.
Pertanyaannya adalah, perlukah semua mahasiswa itu nanti jadi peneliti? Jadi peneliti atau ilmuwan di Indonesia ini belum menjadi idola banyak orang. Lain dengan menjadi dokter spesialis, jadi selebriti atau – sekarang ini – jadi anggota legislatif! Dan faktanya, jadi peneliti di Indonesia ini masih harus “Omar Bakri”. Tunjangan peneliti yang tertinggi (untuk Ahli Peneliti Utama) baru Rp. 1.118.000,- Bersama gaji pokok tertinggi (Rp. 1.500.000), seorang peneliti senior (yang sampai botak!) dengan pengalaman akademis minimal 20 tahun, hanya akan membawa pulang kurang dari Rp. 3 juta. Jumlah ini bisa didapat Inoel hanya dengan goyang pantat selama 10 menit!
Di instansi pemerintah, sudah rahasia umum bahwa badan-badan Litbang adalah “Sulit Berkembang” atau orang-orangnya “Dililit dan Dibuang”. Anggaran riset kita tak sampai 0,2% PDB Bandingkan dengan Malaysia, yang R&D tersebut hampir 2% PDB, atau Jepang yang hampir 5% PDB. Sementara itu di sektor swasta, penelitian juga tiarap. Mungkin hanya di sedikit industri farmasi ada riset. Sementara itu sebagian besar industri kita hanya “kacung” dari suatu raksasa di Luar Negeri. Di negeri asal itulah ada R&D. Di sini, mau buat apa? Jangan-jangan malah khawatir nanti disintegrasi …
Sebenarnyalah, senang meneliti tidak harus jadi peneliti. Sikap (attitude) dan kemahiran yang didapatkan dari pelatihan penelitian atau skripsi, mestinya dibawa sampai mati, tidak dibatasi ruang dan waktu, apalagi bentuk-bentuk institusi.
Seharusnya, bagus-bagus saja, ketika seorang yang pernah dilatih penelitian, kemudian ketika menjadi pejabat politik, dia tidak hanya mengikuti gossip, wangsit ataupun instink belaka, namun mengkaji permasalahan secara ilmiah, sehingga keputusannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara rasional kepada publik.
Juga tentu bagus sekali, bila keahlian meneliti itu dipakai untuk mengembangkan enterpreneurship. Sekarang ini konon lapangan kerja sedikit sehingga cari kerja susah. Faktanya, banyak pemilik modal atau perusahaan kesulitan mendapatkan SDM yang tepat. Banyak sarjana, tapi pola pikirnya tidak berbeda dengan lulusan SD. Tidak rasional, tidak kreatif dan tidak-tidak yang lain. Ya terang saja perusahaan itu kesulitan, karena pada umumnya mereka yang pintar dan kreatif, lebih suka buka perusahaan sendiri, sudah jadi bos sendiri, bisa ngatur penghasilannya sendiri, dan juga bisa menolong orang dapat kerjaan (dapat pahala). Nah untuk tahu bagaimana memilih bisnis yang tepat, dan setelah itu bagaimana agar bisnis itu berjalan lancar dan maju, ini semua perlu dievaluasi dan dianalisis terus menerus dengan metode ilmiah – sesuatu yang mudah-mudah didapatkan mahasiswa selama pelatihan atau tugas akhirnya.
Bahkan jika ada alumni pelatihan penelitian itu akhirnya lebih banyak beraktivitas di rumah (misal jadi ibu rumah tangga), mereka seharusnya bisa mengenali permasalahan di rumah, baik yang sifatnya fisik, finansial, maupun psikologis. Metode ilmiah banyak membantu menyelesaikan segalanya, walaupun tentu bukan segala-galanya.
Bila di suatu majelis ada perbedaan pendapat, sebagian orang sering langsung mengeluarkan jurus “peredam ikhtilaf”, yaitu kalimat-kalimat seperti “Kebenaran itu relatif”, “yang mutlak benar hanya Tuhan, kebenaran ilmu itu relatif”, dsb.
Masalah ini bermula ketika berbagai usaha untuk “islamisasi ilmu pengetahuan” sering terjebak pada keinginan untuk mencocok-cocokkan suatu fakta ilmiah dengan Qur’an atau Hadits. Tindakan ini sangat berbahaya, karena andaikata suatu ketika yang dianggap fakta ilmiah itu teranulir oleh fakta yang lebih akurat, maka Qur’an atau Hadits akan kehilangan kredibilitasnya.
Maka kita perlu menengok sejauh mana relativitas kebenaran itu, dan sejauh mana kita bisa menempatkan diri secara proporsional.
Dalam filsafat ilmu, kita mengenal tiga jenis aliran informasi, dan ini berakibat ada tiga macam kebenaran, yaitu: (1) kebenaran deduktif atau bisa disebut juga kebenaran subjektif/otoritatif/deklaratif; (2) kebenaran naratif atau transmisif; (3) kebenaran induktif atau objektif/konklusif. Tiga jenis kebenaran ini bisa berkaitan namun tak bisa dicampuradukkan.
Kebenaran deduktif adalah kebenaran pernyataan (declare) dari seseorang karena otoritasnya – yang tentu saja bisa subjektif. Seorang ayah berhak memberi nama anaknya Ahmad, sehingga pasti salah kalau orang lain memanggil anak itu Aceng. Suatu pemerintah berhak menetapkan bahwa kendaraan jalan di lajur kiri, sehingga pasti salah bila ada kendaraan jalan di lajur kanan. Di sini kebenaran sama sekali tidak relatif. Kebenaran ini hanya bisa digugat ketika otoritas ayah atau pemerintah tersebut dipertanyakan.
Ummat muslim seharusnya menyadari, bahwa kebenaran sumber-sumber Islam seperti Qur’an, Sunnah atau Ijma’ as-Shahabah, adalah memiliki deduktif/subjektif, artinya kebenarannya tergantung sejauh mana otoritas yang mengeluarkannya itu (Allah-Rasul) memiliki arti bagi kita. Karena itu hal yang paling mendasar adalah pengakuan atas otoritas tadi, yaitu syahadatain.
Kebenaran naratif adalah kebenaran akurasi dari objek atau informan ke penerima. Kebenaran ini terkait dengan akurasi alat transmisi (alatnya cacat, noise, bias atau tidak) dan tingkat kepercayaan manusia yang terlibat (apa benar pernah bertemu dan mendengar/melihat, sejauh mana ingatannya, reputasi kredibilitasnya, dll). Inilah kebenaran yang sering diandalkan oleh para jurnalis, pengadilan, pemberantas korupsi dan periwayat hadits.
Kebenaran induktif adalah kebenaran objektif. Nilai kebenaranya tidak tergantung dari siapa yang mengeluarkan, namun dari alur logis cara menarik kesimpulan tentang objeknya, yang bisa diulangi oleh siapapun. Inilah jenis kebenaran yang paling luas, yang ditemui di dunia sains maupun fiqih. Dalam kebenaran induktif, sesuatu dianggap benar sampai ditemukan suatu kejanggalan, yaitu ketika ada dalil atau fakta yang tidak “fit” di konklusinya.
Kebenaran induktif ini ada yang bersifat relatif dan ada yang mutlak. Yang bersifat relatif pada umumnya mencakup hal-hal yang rumit dan rinci. Yang mutlak mencakup hal-hal yang sederhana.
Contoh: adalah mutlak benar mengatakan bahwa bentuk bumi ini mirip bola (dan mutlak salah mengatakan bumi ini seperti cakram). Namun mengatakan berapa besar radius bumi sampai milimeter terdekat masih relatif benar, karena hal itu terkait dengan beberapa penyederhanaan yang menjadi asumsinya.
Dalam ilmu pengetahuan, agar sesuatu itu bisa berguna, dia tidak harus mutlak benar. Cukup bahwa prediksi yang dihasilkannya sesuai dengan kenyataan, sudah akan membuat ilmu itu memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi.
Pada abad pertengahan, peta-peta yang dipakai oleh para penjelajah dunia, masih sangat sederhana, dan dilihat dari kacamata sekarang, jelas banyak yang salah. Namun peta-peta itu telah berguna membawa banyak tokoh sejak dari Al-Biruni, Vasco da Gama atau James Cook mencapai tempat-tempat yang saat itu sulit dibayangkan.
Demikian juga teori mekanika Newton sebenarnya tidak tepat benar. Kalau untuk memprediksi gerakan planet Mercurius, teori Newton akan gagal. Orang harus beralih ke Teori Relativitas Umum Einstein. Namun teori Newton ini berguna untuk 95% persoalan sehari-hari, mulai dari perhitungan struktur bangunan, aerodinamika pesawat, hingga prediksi planet-planet selain Mercurius. Orang kemudian memandang bahwa Teori Einstein lebih benar dan lebih luas dari teori Newton, atau Teori Newton adalah special-case dari Teori Einstein.
Yang jelas, kebenaran induktif yang mutlak, bisa menjadi acuan untuk kebenaran deduktif dan naratif. Siapakah ayah yang berhak memberi nama anaknya, bisa dicari secara induktif, misalnya dengan tes DNA. Juga siapakah Nabi yang memang authorized untuk menyatakan diri sebagai Rasul utusan Tuhan, bisa dibuktikan (induktif) dari mukjizat yang dibawanya. Demikian juga, siapa yang ternyata kredible dalam penuturan hadits, dikaji terlebih dulu secara induktif.
Namun di luar persoalan kebenaran, ada persoalan lain. Filsafat membagi objek empiris dalam tiga dunia: “logika” (yang mengenal BENAR dan SALAH), “etika” (yang mengenal BAIK dan BURUK) dan “estetika” (yang mengenal INDAH dan JELEK). Pada umumnya, ketiga dunia ini dianggap sama sekali tak saling bertaut. Karenanya, suatu ekspresi seni yang secara etika dianggap melanggar norma kesopanan, oleh kalangan lain dianggap memiliki nilai estetis.
Di sinilah Islam mengintegrasikan ketiga dunia tersebut di bawah satu payung kebenaran syariat. Syariat menentukan nilai BENAR-SALAH dari suatu perbuatan, dan yang sesuai syariat adalah BAIK, dan nilai keindahanpun baru ada bila memenuhi kriteria minimal syariat (HALAL). Tentu saja bagi yang telah memenuhi syarat minimal syariat, masih terbentang spektrum dari yang BAIK dan LEBIH BAIK, dari yang INDAH dan LEBIH INDAH. Dan ini sangat subjektif.
Ketika nilai kebenaran dijadikan sandaran untuk memahami alam semesta, kehidupan dan manusia, kreatifitas diperlukan untuk menjawab tantangan permasalahan yang dihadapi di dunia ini. Kreatifitaslah yang menjadikan suatu bangsa unggul dalam ilmu dan teknologi, dan bukan nilai kebenaran atau kebijaksanaan yang mereka kumpulkan.
Kreativitas bisa dibagi dalam suatu matriks 3 x 3. Pada sumbu datar adalah jenis kreatifitas dari segi kematangan untuk digunakan, yaitu observatif – analitif – kreatif. Sedang pada sumbu tegak adalah tingkat kesulitan mendapatkannya, yaitu aplikatif – modifikatif – inovatif.
inovatif | 7 Nobel | 8 Nobel | 9 Paten |
modifikatif | 4 | 5 | 6 Paten |
aplikatif | 1 | 2 | 3 |
observatif | analitif | kreatif |
Riset para peneliti di negeri-negeri muslim yang notabene negara berkembang umumnya hanya berkutat riset pada kotak nomor 1, 2 atau 3.
Riset observatif-aplikatif artinya pengamatan mencari data dengan menggunakan teknik yang telah lazim diketahui, hanya diterapkan pada medan yang baru. Jarang kita kembangkan metode observasi yang baru untuk menangkap fenomena yang sebelumnya sulit didekati. Pernahkah membayangkan metode riset untuk mengamati fenomena mahluk halus?
Riset analitif-aplikatif artinya analisis antara berbagai data dengan menggunakan pisau analisis yang telah ada. Kembali di sini, jarang ditemukan pengembangan baru, sekalipun hanya modifikasi. Riset jenis inilah yang paling populer, sehingga di berbagai perguruan tinggi, seakan-akan tak mungkin ada riset tanpa statistik dan data real. Padahal untuk riset jenis kreatif, kehadiran statistik atau data real tidak terlalu mutlak, karena yang lebih penting adalah terciptanya suatu alat atau software yang bisa digunakan.
Namun riset kreatif di negeri muslim umumnya juga hanya aplikatif, sekedar menggunakan (try-out) produk yang sudah dibuat orang dari negara maju.
Alangkah jarang kita dapatkan riset observatif atau analitif yang inovatif, yang bila memiliki dampak yang besar bagi kemanusiaan, pantas dihadiahi Nobel atau yang setara dengan itu. Demikian juga riset kreatif, yang sekalipun sifatnya modifikatif, tapi sering pantas dilindungi paten – agar tidak dibajak oleh kapitalis bermodal raksasa, yang melihat penemuan itu memiliki nilai komersial yang sangat tinggi.
Paradigma kreatifitas ini yang harus dikembangkan di masyarakat muslim sehingga mereka tidak perlu hanya bersifat defensif menghadapi serbuan teknologi Barat, yang kadang disisipi pemikiran dan ideologi Barat, namun sebaliknya bisa proaktif mengekspor teknologi, pemikiran bahkan ideologi Islam ke Barat, sehingga Islam benar-benar menjadi rahmat seluruh alam.
Kalau melihat sejarah, sering ada dugaan bahwa kemunduran dunia riset Islam dimulai ketika iklim kebebasan berpikir – yang sering dianggap direpresentasikan kaum mu’tazilah – berakhir, dan digantikan oleh iklim fiqh yang skripturalis dan kaku. Teori ini terbukti bertentangan dengan fakta bahwa munculnya ilmu-ilmu fiqh dan ilmu-ilmu sains dan teknologi berjalan beriringan[i]. Bahkan ketika ilmu dasar ummat musim mulai kendur, teknologi mereka masih cukup tinggi untuk bertahan lebih lama[ii].</P>
Hunke[iii] dengan cukup baik melukiskan latar belakang masyarakat ummat muslim di khilafah Islam sehingga keberhasilan pengembangan teknologi Islam terjadi, dan ini bisa diklasifikasikan menjadi dua hal.
Pertama adalah paradigma yang berkembang di masyarakat Islam, yang akibat faktor teologis menjadikan ilmu sebagai “saudara kembar” dari iman, menuntut ilmu sebagai ibadah, salah satu jalan mengenal Allah (ma’rifatullah), dan ahli ilmu sebagai pewaris para nabi, sementara percaya tahayul adalah sebagian dari sirik. Paradigma ini menggantikan paradigma jahiliyah, atau juga paradigma di Romawi, Persia atau India kuno yang menjadikan ilmu sesuatu privilese kasta tertentu dan rahasia bagi awam. Sebaliknya, Hunke menyebut “satu bangsa pergi sekolah”, untuk menggambarkan bahwa paradigma ini begitu revolusioner sehingga terjadilah kebangkitan ilmu dan teknologi. Para konglomeratpun menjadi sangat antusias dan bangga bila berbuat sesuatu untuk peningkatan taraf ilmu pengetahuan atau pendidikan masyarakat, seperti misalnya membangun perpustakaan umum, observatorium ataupun laboratorium, lengkap dengan menggaji pakarnya.
Kedua adalah peran negara yang sangat positif dalam menyediakan stimulus-stimulus positif bagi perkembangan ilmu. Walaupun kondisi politik bisa berubah-ubah, namun sikap para penguasa muslim di masa lalu terhadap ilmu pengetahuan jauh lebih positif dibanding penguasa muslim sekarang ini. Sekolah yang disediakan negara ada di mana-mana dan bisa diakses masyarakat dengan gratis. Sekolah ini mengajarkan ilmu pengetahuan tanpa dikotomi ilmu-ilmu agama dan teknologi yang bebas nilai.
Rasulullah pernah mengatakan “Antum a’lamu umuri dunyaakum” (Kalian lebih tahu urusan dunia kalian) – dan hadits ini secara jelas berkaitan dengan masalah teknologi – waktu itu teknologi penyerbukan kurma. Ini adalah dasar bahwa teknologi bersifat bebas nilai.
Namun demikian, dalam pencarian ilmu, Islam memberikan sejumlah motivasi maupun guideline.
Motivasi pencarian ilmu dimulai dari hadits-hadits seperti “Mencari ilmu itu hukumnya fardhu atas muslim laki-laki dan muslim perempuan”, “Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahad”, “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina”, “Orang yang belajar dan mendapatkan ilmu sama pahalanya dengan sholat sunat semalam suntuk”, dsb[iv].
Sedang guideline bisa dibagi dalam tiga kelompok sesuai pembagian dalam filsafat ilmu[v], yaitu dalam kelompok ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi menyangkut masalah mengapa suatu hal perlu dipelajari atau diteliti. Qur’an memuat cukup banyak ayat-ayat yang merangsang pembacanya untuk menyelidiki alam, seperti “Apakah tidak kalian perhatikan, bagaimana unta diciptakan, atau langit ditinggikan, …” (al-Ghasiyah 17-18). Maka tidak heran bahwa di masa al-Makmun, para pelajar ilmu tafsir menyandingkan buku astronomi Almagest karya Ptolomeus (astronom Mesir kuno) sebagai “syarah” dari surat al-Ghasiyah tersebut.
Kaidah“Ma laa yatiimul waajib illaa bihi, fahuwa wajib” (Apa yang mutlak diperlukan untuk menyempurnakan sesuatu kewajiban, hukumnya wajib pula) juga memiliki peran yang besar. Maka ketika kaum muslimin melihat bahwa untuk menyempurnakan jihad melawan adikuasa Romawi memerlukan angkatan laut yang kuat, maka mereka – berpacu dengan waktu – mempelajari teknik perkapalan, navigasi dengan astronomi maupun kompas, mesiu dsb. Dan bila untuk mempelajari ini mereka harus ke Cina yang waktu itu lebih dulu mengenal kompas atau mesiu, merekapun pergi ke sana, sekalipun menempuh perjalanan yang berat, dan harus mempelajari sejumlah bahasa asing.
Dengan ontologi syariah ini, kaum muslim di masa lalu berhasil mendudukkan skala prioritas pembelajaran dan penelitian secara tepat, sesuai dengan ahkamul khomsah (hukum yang lima: wajib-sunnah-mubah-makruh-haram) dari perbuatannya[vi].
Epistemologi menyangkut metode bagaimana suatu ilmu dipelajari. Epistemologi Islam mengajarkan bahwa suatu ilmu harus dipelajari tanpa melanggar satu hukum syara’pun. Maka beberapa eksperimen dilarang, karena bertentangan dengan syara’, misalnya cloning manusia.
Di sisi lain, ilmu dipelajari dengan mempraktekkannya. Oleh karena itu, ilmu seperti ilmu sihir menjadi haram dipelajari, karena konteks epistemologinya adalah dipelajari sambil dipraktekkan. Namun di sisi lain, ilmu-ilmu seperti kedokteran, fisika, namun juga ilmu sosiologi atau hukum (fiqh) menjadi tumbuh pesat karena setiap yang mempelajarinya punya gambaran yang jelas bagaimana nanti menggunakan ilmu itu. Berbeda dengan sekarang ketika banyak mahasiswa yang ada di “menara gading”, dan ketika turun ke masyarakat ternyata tidak mampu harus mulai dari mana dalam menggunakan ilmunya.
Sedang aksiologi adalah menyangkut bagaimana suatu ilmu diterapkan. Ilmu atau teknologi adalah netral, sedang akibat penggunaannya tergantung pada peradaban (hadharah) manusia atau masyarakat yang menggunakannya. Banyak hasil riset yang walaupun dibungkus dengan suatu metode statistik, namun dipakai hanya untuk membenarkan suatu model yang bias secara ideologis ataupun kepentingan tertentu[vii].
Pada masyarakat muslim penggunaan teknologi akan dibatasi oleh hukum syara’. Teknologi hanya akan digunakan untuk memanusiakan manusia, bukan memperbudaknya. Teknologi digunakan untuk menjadikan Islam rahmat seluruh alam, bukan untuk menjajah negeri-negeri lain. Oleh karena itu kebuntuan untuk mencapai kemajuan pada negeri-negeri miskin[viii] – seperti yang terjadi dewasa ini di Afrika – akan bisa didobrak dengan aksiologi syariah.
Saat ini, kemampuan sains dan teknologi ummat muslim sangat parah. Akibatnya, mereka mengalami ketergantungan kepada Barat, sehingga Baratpun memiliki posisi tawar yang lebih tinggi untuk memaksakan aturan ataupun kepentingannya di dunia Islam. Ada tiga ketertinggalan teknologi:
Pertama, Sumber Daya Manusia Ilmuwan yang tidak memadai. Berbagai usaha meningkatkan kuantitas maupun kualitas ilmuwan muslim dengan mengirim mereka belajar atau riset di negara-negara maju akhirnya kandas: banyak di antara mereka yang justru kemudian menetap di negara maju (braindrain)[ix]. Sebagian kembali namun memilih bekerja pada perusahaan multinasional yang sedikit banyak tidak berkaitan dengan riset yang akan menjadi indikator kemajuan teknologi negaranya. Sedang sebagian kecil lagi, walaupun bekerja dalam riset sebagai pegawai negeri atau swasta nasional, namun waktunya terkuras untuk hal-hal yang kurang relevan, misalnya menjadi birokrat, pengurus partai politik atau sibuk mencari tambahan penghasilan dengan aktivitas lain.
Kedua, anggaran riset yang rendah. Dalam prosentase PDB, riset di dunia Islam termasuk yang terrendah dibanding negara-negara Barat. Dana riset menjadi tidak memadai manakala bahan atau peralatan riset harus didatangkan dari luar negeri. Akibat mutu SDM yang rendah, maka kreatifitas untuk menciptakan bahan atau peralatan pengganti juga hampir tak ada. Selain itu riset belum benar-benar terkait dengan dunia industri dan bisnis, sehingga riset praktis tidak mampu menghasilkan sesuatu secara ekonomis[x].
Ketiga, dan ini berkait dengan mutu SDM dan anggaran: kualitas riset yang sangat rendah. Banyak riset yang dikerjakan fiktif, tidak menghasilkan paper yang layak dijadikan referensi, apalagi menghasilkan paten yang dicari dunia industri[xi].
Oleh karena itu, bila kita bicara kebijakan riset di negeri Islam, mau tidak mau harus kita pisahkan antara kebijakan jangka pendek dan jangka panjang, antara yang bisa kita kerjakan dalam skop individu, skop “kelompok peduli”, dan skop sebuah negara.
Kebijakan jangka pendek lebih menjadi domain individu ilmuwan muslim yang memiliki komitmen dengan perkembangan sains dan teknologi di negeri Islam. Untuk itu tak ada cara lain selain bahwa mereka memberi contoh dengan diri mereka sendiri, melalui produktifitas risetnya, profesionalismenya serta usahanya yang tak henti untuk melakukan sosialisasi budaya ilmiah pada masyarakat.
Sementara itu dalam jangka panjang, negara harus menempuh sejumlah kebijakan yang akan menjadikan negeri-negeri muslim menarik untuk tempat berkiprah terutama ilmuwan muslim. Nilai atraktifitas ini hanya bisa dicapai dengan iklim kebebasan profesi ilmiah, berikut penghargaannya, kultural maupun ekonomis.
Sedangkan peran dari “kelompok peduli” adalah di satu sisi mendesakkan agenda-agenda kebijakan ini pada pemerintah, dan di sisi lain mengubah opini masyarakat luas, sehingga mereka ikut mendukung kultur ilmiah dan kebijakan ilmiah ini nantinya.
Bacaan Lanjut
[ii] Ahmad Y. al-Hassan & Donald R. Hill: Islamic Technology: an illustrated History. Unesco, 1986. (Terjemahan oleh Yulian Liputo: Teknologi dalam Sejarah Islam. Bandung, Mizan, 1993).
[iii] Sigrid Hunke: Allah’s Sonne ueber dem Abendland. Frankfurt, Fischer, 1990.
[iv] Yusuf Qardhawi: Metode & Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah. Bandung, Rosda, 1991.
[v] Julius Suriasumantri: Ilmu dalam Perspektif. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1983.
[vi] Yusuf Qardhawi: Fikih Prioritas, Sebuah Kajian Baru. Jakarta, Robbani Press, 1996.
[vii] Darell Huff: How to Lie with Statistics. New York, W.W. Norton, 1960
[viii] Franz Nuscheler: Lern- und Arbeitsbuch Entwicklungspolitik. Bonn, Verlag Neue Gesselschaft,1987.
[ix] Muhammad ‘Abd al-Marsi: Bencana Dunia Islam – Pelarian Cendekiawan Islam. Bandung, Rosda, 1989.
[x] International Seminar of Best Practices in Effective Research Financing Polecy. Jakarta, Bappenas-Ristek, June 17, 2002.
[xi] S. Farid Ruskanda (Ed): Pencapaian Ilmu LIPI (Suatu Model Evaluasi). LIPI, 1998.
Tulisan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Sabtu 8 Januari 2005.
KATA Tsunami tiba-tiba menjadi akrab bagi kita. Namun saya terus terang sangsi, apakah keakraban ini akan membuahkan perubahan sikap kita yang selama ini relatif cuek dengan alam, dengan moral dan dengan ilmu pengetahuan.
Kalau kita bercermin pada media massa yang lebih suka ‘bersendagurau’ dengan aneka kontes bintang (AFI, KDI, Indonesian Idol, Penghuni Terakhir,… ) dan baru pasca bencana tanpa putus menayangkan Indonesia Menangis – itupun tidak semua stasiun, kita koq perlu pesimis. Bisa saja akan banyak peristiwa lain yang mengalihkan perhatian kita (bencana di daerah lain atau hiruk pikuk Pilkada). Apakah Aceh akan terlupakan? Atau kongkritnya apakah dari Tsunami ini tidak kita ambil hikmah? Karena Tsunami bisa saja menyambar daerah lain, dan bencana tidak cuma tsunami!
Kalau kita tidak mau mengubah diri kita, yakni pikiran dan perasaan kita dalam memandang dan menyikapi hidup ini, maka nasib kita tidak akan berubah. Nanti ketika ada bencana lagi, dan mungkin langsung mengenai kita, kita akan tetap terbirit-birit, panik, tak ada koordinasi dan kerugian bisa jadi jauh lebih besar. Tak salah Allah berjanji: sesungguhnya Dia tak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka (QS 13:11).
Antara Amanah dan Ikhtiar
Sikap terbijak pertama adalah memandang pada hakikatnya semua ini milik Allah dan kita hanya mendapat amanah untuk menjaga dengan hak guna sesuai ketentuan-Nya. Jika titipan itu diambil kembali oleh pemiliknya, semestinya kita bersyukur, karena tanggungjawab kita berkurang. Meski begitu di dalam hak guna itu juga terkandung kewajiban untuk memaksimalkan ikhtiar. Ikhtiar ini meliputi pasca maupun pra-bencana.
Ikhtiar pasca-bencana meliputi aktivitas yang akut (pertolongan korban, penguburan jenazah, rehabilitasi infrastruktur dansebagainya) berikut hal-hal yang terkait (dana, sarana transportasi dan alat berat, logistik, petugas dan relawan) maupun aktivitas jangka panjang (terapi mental, pengasuhan anak yatim, pencarian orang hilang, hingga revitalisasi kehidupan ekonomi).
Sedang ikhtiar pra-bencana berusaha mencegah agar bencana ini tidak terulang lagi, di manapun. Memang tak ada manusia mampu mencegah tsunami, seperti juga tak ada yang mampu meramal kapan gempa. Gempa dengan magnitudo 9 Skala Richter memang mungkin hanya terjadi seribu tahun sekali, tapi apa lantas kita tak ada antisipasi?
Banyak cara agar Tsunami tidak menimbulkan korban dan kerusakan yang besar. Ikhtiar itu antara lain: tata ruang yang tepat (sehingga zone rawan tsunami tak menjadi pusat kegiatan ekonomi dan sosial), pembuatan peredam tsunami (pemecah ombak, hutan mangrove, tanggul pantai), sistem peringatan dini (karena dari gempa ke tsunami ada selang waktu setengah hingga beberapa jam), pembuatan tempat-tempat evakuasi aman yang dapat dijangkau dalam setengah jam, pelatihan masyarakat secara terjadwal untuk menghadapi kondisi darurat dan adanya sistem-sistem antisipasi bencana (meliputi sistem informasi, SOP, posko). Sehingga ketika bencana itu tiba, pertolongan mudah terkoordinasi.
Di sinilah pemerintah wajib berperan. Kalaupun Pos Peduli Aceh tumbuh seperti jamur (dan kadang tidak transparan), pemerintahlah yang seharusnya memiliki inisiatif, mengoptimalkan instrumen yang dimilikinya. Pemerintah bisa menggerakkan TNI dan Polri dari manapun di Indonesia. Pemerintah bisa juga memobilisasi alat-alat berat atau transportasi milik swasta atau bahkan meminjam dari luar negeri. Pemerintah juga bisa mewajibkan semua media agar membantu. Dia bisa pula melarang hura-hura tahun baru, di saat ada penderitaan yang luar biasa.
Pemerintah juga memiliki dana sarana dan birokrasi untuk mengimplementasikan hasil-hasil riset. Riset Tsunami di Indonesia sudah sering dilakukan, namun hasilnya cuma masuk perpustakaan. Sayang dengan expertise yang sudah dikumpulkan oleh lembaga-lembaga seperti Bakosurtanal, BMG, ITB, BPPT dan sebagainya. Bakosurtanal sudah melakukan riset geodinamika sejak 25 tahun. Riset ini bahkan menarik banyak peneliti dari luar negeri, dan sebagian malah didanai dari mereka. BMG punya Pusat (Studi) Gempa Nasional. ITB punya software untuk menghitung gempa dan tsunami. Dan Balai Penelitian Dampak Bencana BPPT punya Lab Teknik Pantai di UGM yang biasa melakukan simulasi tsunami untuk studi perlindungan pantai. Mereka juga telah mengembangkan sistem informasi geografis yang bisa dengan cepat menghitung berapa kerugian materi yang ditimbulkan oleh suatu gempa-Tsunami dengan magnitudo dan jarak episenter tertentu.
Sayang riset semacam ini malah cenderung mudah dipangkas, konon karena ‘tidak jelas manfaatnya’. Orang sering bertanya-tanya, buat apa geodesi & geodinamika yang memasang GPS-permanen dan mengukur gerakan kerak bumi dengan akurasi sub-milimeter? Padahal riset ini antara lain akan menunjukkan zona rawan gempa.
Antara Persatuan dan Peradaban
Kita ikut sangat bersedih dengan musibah Aceh. Penggalangan bantuan yang paling kolosal dalam sejarah Indonesiapun muncul. Perasaan ini tidak muncul ketika kota Bam di Iran rata oleh gempa serupa. Juga tidak muncul saat kota Fallujah di Iraq dihajar oleh bom-bom Amerika.
Bisa demikian, karena Aceh masih senegara dengan kita. Andaikata GAM sudah melepaskan Aceh dari Indonesia, mungkin kita akan lebih ‘masa bodoh’. Bangsa lainpun juga demikian dalam memandang kita. Maka, meski dari berbagai negeri Muslim (terutama yang kaya minyak) bantuan mengalir, nilainya tentu tak akan sesignifikan dengan andai mereka satu negara dengan kita.
Maka musibah Aceh ini mengajari kita, bahwa adalah kepentingan kita semua, agar negeri-negeri Muslim bersatu di bawah satu kepemimpinan, seperti di zaman Khilafah Rasyidah. Dengan itu kita akan maksimal dalam saling menanggung dan mengisi kekurangan kita. Barangkali Allah memberi musibah di wilayah ‘ter-Islam’ negeri ini, untuk mengingatkan kaum muslimin sedunia, bahwa mereka itu satu tubuh. Mereka menyembah Tuhan yang sama, mengikuti Nabi yang sama, membaca Kitab yang sama, salat ke Kiblat yang sama dan pergi haji ke tempat yang sama. Untuk apa sekat-sekat nasionalisme memisahkan mereka?
Bencana ini adalah cara Allah memuliakan manusia. Korbannya akan dimuliakan dengan kesabaran dan baik sangkanya kepada Allah. Sedang yang hidup dimuliakan dengan darmanya menolong sesama, dan ikhtiarnya di masa selanjutnya. Boleh jadi kamu benci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu suka sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Qs. 2:216)
Mereka juga telah membuktikan, bahwa selain amal kebajikan yang melekat di dalam dada, apapun bisa lenyap seketika. Bencana ini juga cara Allah untuk ‘mengocok’ kartu nasib. Orang-orang yang di masa lalu telah punya ‘segalanya’, tiba-tiba kehilangan semuanya. Harta hanyut, rumah roboh, kendaraan hancur, keluarga tewas semua, ijazah lenyap – bahkan sekolah yang mengeluarkannyapun hilang dan guru-gurunya entah bagaimana. Hal yang sama terjadi dengan surat tanah, kertas saham dan polis asuransi. Orang-orang itu kini kembali dari nol lagi. Sebaliknya orang-orang yang sebelumnya belum memiliki apa-apa mungkin punya kondisi re-start yang lebih baik, karena mereka tak perlu sangat menangisi apa yang hilang.
Kalau Allah mau, musibah itu bisa hadir di tempat kita, mungkin berupa longsor, gunung meletus, angin ribut, kecelakaan lalulintas, kerusuhan atau teror. Bila saat itu kita sedang jauh dari syari’at atau sedang maksiat, habis kita dunia akherat. Maka mestinya kita selalu siap mati dalam keridhaan Allah. Kita harus selalu di jalan syari’at. Dan para penguasa punya kewajiban syari’at lebih banyak dari rakyatnya.
Mereka wajib mengatur politik, ekonomi, pendidikan, pertahanan dan hubungan luar negerinya sesuai syari’at. Kemudian rakyatnya yang masih hidup, segar bugar, banyak harta, banyak ilmu, bisa tertawa, juga punya kewajiban yang lebih besar dari para pengungsi Aceh, yang kini tak punya apa-apa lagi, bahkan sudah sulit untuk tertawa. Marilah kita tarik hikmah dari Tsunami ini. q – m
*) Dr Ing Fahmi Amhar, Ahli geodesi, Peneliti di Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional-Bakosurtanal.